Hari ini sama sekali bukanlah hari libur. Tapi, entah kenapa tidak ada satu angkot pun yang lewat. Jalanan hanya di penuhi oleh kendaraan pribadi saja. Naya melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukkan hampir pukul tujuh pas. Ia mendesah kesal.
"Kalau gini caranya, gue bisa telat datang ke sekolah," keluh Naya entah yang ke berapa kalinya. Namun tiba-tiba saja, sebuah motor hitam menghampirinya. Membuat Naya terkesiap dan waspada.
"Percuma aja lo nunggu angkot hari ini. Sampe Naruto jadi TKJ di Korea juga tuh angkot gak bakal lewat," ujar cowok itu masih dengan helm yang menutupi wajahnya.
"Ko—kok gitu?"
"Ck! Angkotnya lagi demo di terminal. Mending lo berangkat bareng gue aja."
"Hah?"
"Lo berangkat bareng gue aja," ulangnya dengan intonasi sedikit lebih tinggi.
"Eh? Eng—enggak usah. Gue berangkat sendiri aja. Jalan kaki juga nyampe kok," tolak Naya halus.
"Gue gak bakal ngapa-ngapain atau bawa lo kabur, kalau itu yang lo takutin."
Naya jadi bingung sendiri. Jika ia mengiyakan ajakan cowok di hadapannya, kemungkinan besar dirinya memang tidak akan datang terlambat dan terbebas dari hukuman s***s guru piket. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cowok itu akan benar-benar mengantarkannya selamat sampai sekolah. Mengingat Naya baru mengenalnya beberapa menit yang lalu. Tapi, jika Naya melewatkan kesempatan yang tidak mungkin datang dua kali ini, maka sudah dipastikan ia akan berurusan dengan guru piket yang terkenal dengan ceramah panjangnya dan berakhir di toilet guru pulang sekolah nanti.
"Ye ... nih anak malah bengong. Ayo, jadi ikut enggak? Waktu makin mepet nih?" ujarnya.
"Emmm ituu ...."
"Ck! Kalau lo gak mau ya udah gue duluan." Ia menyalakan mesin motornya dan hendak pergi tapi refleks Naya langsung menahannya.
"Ok—ok gue ikut sama lo," putusnya cepat.
"Nah gitu, dong. Tapi, gue gak bawa helm 2 gak apa-apa kan, ya?"
"Iya, gak apa-papa, kok."
"Ya udah buruan naik." Masih dengan perasaan ragu, Naya pun menaiki motor cowok tersebut dan berusaha duduk senyaman mungkin.
"Pegangan ya, soalnya gue mau ngebut."
"Eh–eh? Gue pegangan ke mana? Motor lo gak ada pegangannya gini," ucap Naya bingung.
"Pegangan ke jaket gue aja," timpalnya. Dan dalam sekejap cowok itu pun benar-benar membuktikan ucapannya. Ia menaikkan laju motornya dan membelah kepadatan kota Bandung di pagi hari. Naya yang kaget langsung berpegangan erat pada jaket hitam cowok tersebut. Entah itu tindakan benar atau salah, Naya tidak lagi memikirkannya. Ia hanya ingin cepat sampai ke sekolah dengan selamat dan tepat waktu.
Naya segera turun dari motor hitam itu dan merapikan seragamnya. Jam masih menunjukkan pukul 06.55, yang artinya masih tersisa 5 menit sebelum jam pelajaran pertama di mulai.
"Makasih ya, udah mau nganterin gue sampe ke sekolah."
Cowok itu mengangguk lalu membuka helmnya. Naya langsung membulatkan matanya saat melihat wajah cowok di hadapannya.
Oh my god ... cakep banget!!! Udah baik, ganteng lagi. Duhh idaman banget, sih. Kak Davi doang mah lewattt!!! gumam Naya salam hati.
"Sama-sama. Kenalin, Nama gue Fahreza, lo bisa panggil Eza," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Ini beneran dia ngajak gue kenalan? batinnya.
Masih setengah percaya, Naya menjabat tangan cowok yang mengaku bernama Eza itu. "Krisanaya. Panggil aja Naya."
Eza tersenyum. "Nama lo unik."
"Kalau gitu gue cabut dulu ya. Sampai ketemu lagi, Nay." Tanpa menunggu jawaban dari Naya, Eza langsung melajukan motornya dan melesat pergi.
Ranita sama Novitri harus tahu pokoknyaaaaa!!! batinnya antusias. Naya langsung berbalik dan berjalan memasuki sekolah. Ia sudah tidak sabar ingin menceritakan pertemuannya dengan Eza pada kedua sahabatnya.
Sampai di depan kelas, mood Naya langsung turun drastis saat melihat Davi yang sudah bersandar di muka pintu dengan gaya so' cool-nya. Perasaan yang awalnya begitu menggebu saking senangnya, sirna seketika.
Naya berjalan menghampiri Davi dan berniat akan melewatinya begitu sampai di muka pintu. Ia tak peduli sekalipun nantinya cowok itu akan kembali murka.
"Jadi gitu ya, Datang ke sekolah mepet. Habis pacaran dulu?" celetuk Davi membuat langkah Naya terhenti.
"Apa?"
"So sweet banget dianter sampe depan gerbang segala. Enggak sekalian sampe parkiran sekolah?" lanjutnya lagi.
Sabar Nay, sabar ...
"Terus Kak Davi mau apa?"
"Ck! Lo kayak gak tahu kebiasaan gue tiap pagi aja," cibir Davi. Matanya menunjuk ke bawah. Pada dasinya yang belum terikat.
"Pasangin, ya. Soalnya gue udah lupa lagi gimana cara masangnya," ucapnya enteng.
Naya menghembuskan nafasnya kesal. Tidak ingin berdebat seperti kemarin lusa, ia pun sedikit mendekat dan mulai membuat simpul berbentuk segitiga. Setelah selesai, Naya langsung berbalik dan hendak melanjutkan langkahnya, namun Davi lebih dulu mencekal lengan gadis itu, membuatnya mau tak mau kembali berhadapan dengan mata tajam Davi.
"Jangan buat gue marah apalagi pagi-pagi begini," ujarnya pelan namun sarat akan ancaman.
"Hah?" Bukannya mengulang kalimat, Davi malah langsung pergi begitu saja.
"Kak Davi kenapa, sih? Pagi-pagi udah sensi aja. Lagi PMS apa, ya?" gumam Naya pelan. Namun, dengan cepat ia menepis semua hal tentang cowok tersebut. Ada yang lebih penting dari sekedar memikirkan kakak kelasnya yang satu itu. Yap, siapa lagi kalau bukan Eza. Cowok ganteng yang super baik hati yang kini memenuhi isi kepalanya.
Di kantin, seperti biasa Naya, Ranita, dan Novitri akan membicarakan banyak hal sambil menikmati makanan mereka. Kali ini bagian Naya yang bercerita tentang kejadian yang dialaminya pagi tadi. Novitri yang sedang meminum es jeruknya, langsung tersedak ketika Naya menceritakan tentang cowok yang ditemuinya.
"Serius lo Nay, ketemu cowok yang lebih cakep dari kak Davi?" tanya Novitri tak percaya.
"Aduh Nov, pelan-pelan napa ngomongnya! Kedengeran sama kacungnya kak Davi bisa berabe entar," omel Naya.
"Hehehe sorry Nay, refleks soalnya."
"Terus-terus, gimana? Lo kenalan sama tuh cowok?" tanyanya lagi semakin penasaran.
"Ho'oh. Namanya siapa, ya? Duh lupa. Pokoknya sebutannya Eza. Pokoknya tuh cowok cakep banget deh. Wajahnya tegas tapi ada manis-manisnya gitu," ungkap Naya antusias.
"Kok gue bayanginnya tuh cowok kayak Lucas, ya?" kata Ranita tiba-tiba.
Novitri mengerutkan alisnya. "Hah? Siapa tuh? Baru denger gue."
"Isshhh! Itu loh yang nama instagramnya sugarrluck," terang Ranita.
"Oh iya-iya inget gue."
"Nah iya, sebelas dua belas deh tuh sama si Lucas," ujar Naya kemudian.
"Eh serius Nay?"
"Serius, Ran. Sebelas dua belas gaya rambutnya," jawab Naya tertawa pelan.
"Ye si dodol! Gue naya beneran juga."
"Pokoknya jauh beda deh sama kak Davi," ujarnya kemudian sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
"Apanya yang jauh beda?" tanya seseorang yang seenak jidatnya langsung duduk di samping Naya.
Mampus gue!!! batin Naya dalam hati.
Davi menopang dagunya sambil menatap Naya intens. "Apa yang jauh beda?" Davi mengulang kalimat untuk pertama kalinya.
"Eehh itu ... Emm ... bukan apa-apa kok Kak," jawab Naya terbata-bata. Untuk saat ini, ia benar-benar tidak mau bertatap muka dengn Davi.
"Gitu, ya? Ok." Davi mengambil alih bubur ayam Naya dan menariknya ke hadapannya.
"Lho, lho? Kok di ambil? Kok di makan?"
Davi melirik ke arah Naya sambil menaikkan satu alisnya. "Kenapa? Lo mau? Satu sendok berdua, ya?"
"Hah? Ng—nggak deh, buat kak Davi aja," ujar Naya cepat. Ia tidak bisa membayangkan satu sendok barengan dengan Davi. Eww ... itu sangat ... Sudahlah ...
Tapi kan tuh sendok bekas gue, batin naya meringis dalam hati.
Ranita dan Novitri hanya bisa diam dan memperhatikan. Membuka suara pun tidak akan ada gunanya jika si presiden sekolah tidak memintanya. Bisa-bisa mereka malah kena dampratnya. Jadi, lebih baik berada di Zona aman meskipun mereka harus mengorbankan salah satu teman.
Davi memutar sendok tersebut hingga mengarah pada Naya.
"Ng—nggak usah, Kak. Kan saya udah bilang, buat Kak Davi aja."
Lagi-lagi Davi mengangkat satu alisnya. "Siapa yang nyuruh lo makan?"
"Suapin gue," lanjutnya santai.
"Hah?"
"Lo b***k, ya?"
"Enggak kok, Kak. Saya denger."
"Ya udah." Dan dengan seenak jidatnya lagi, Davi mengambil es teh manis Naya, meminumnya hingga tersisa setengahnya.
Naya, Ranita, dan Novitri melongo seketika. Pasalnya sedotan itu pun adalah bekas Naya. Kenapa cowok di depannya itu sekarang menjadi sangat aneh dan membingungkan? Akhirnya, dengan ragu, Naya mulai menyuapi Davi. Persis seperti seorang ibu menyuapi anaknya yang sedang sakit.
Tak berselang lama, semangkok bubur dan segelas es teh mania pun habis di lahap oleh sang penguasa sekolah.
"Thank you!" ucapnya singkat tanpa ekspresi, tanpa senyum sedikit pun. Ia mengacak-ngacak rambut Naya sesaat kemudian bergegas pergi.
Ranita dan Novitri saling bertukar pandang lalu menggeleng bersamaan. Kejadian barusan benar-benar sulit di cerna oleh otak mereka dan juga Naya. Naya memandang ke arah kedua sahabatnya. "Kak Davi gak lagi kerasukan hantu sekolah, kan?"
"Gue juga mikirnya gitu. Aneh banget deh," timpal Ranita.
Tiba-tiba Mang Usman datang membawa nampan berisi es teh manis dan semangkok bubur ayam lalu meletakkannya tepat di hadapan Naya.
"Lho, Mang? Kok? Kan saya udah pesen tadi," ujar Naya bingung.
"Oh ini tadi Davi yang pesen. Katanya buat Neng Naya," ujarnya ramah.
"Serius, Mang?" tanya Novitri sambil membelalakkan matanya tak percaya.
"Iya Mang, serius gak? Ah Mang Usman mah salah denger kali," timpal Ranita.
"Beneran, Neng. Mamang gak salah denger, kok. Nih, buktinya Mamang dikasih uang tip sama Davi," ungkapnya sambil mengeluarkan uang dua lembar lima puluh ribuan dari saku kaosnya.
Keduanya melongo. Terkecuali Naya. Sedari tadi dia hanya diam sambil mencerna semua kejadian hari ini yang menurutnya sangat janggal.
"Kalau gitu Mamang permisi dulu nya," pamitnya.
"I—iya, Mang. Makasih Mang buburnya," ucap Naya pelan. Mang Usman hanya mengangguk lalu kemudian pergi.
Tubuh Naya lemas seketika. Ia benar-benar bingung dengan semuanya.
"Nay, lo gak papa, kan?" tanya Novitri mulai khawatir. Naya hanya menggeleng pelan.
"Kalau lo gak mau, ya udah gak usah di makan," sambung Ranita.
"Kok gue jadi takut, ya?" Naya memicingkan matanya.
"Takut kenapa?"
"Ya itu ... gue merasa kalau kak Davi tuh punya kepribadian ganda gitu, Ran."
"Hus, jangan bercanda, Nay. Lo mah ada-ada aja."
"Ih gue serius. Coba lo berdua bayangin, dia tuh awalnya jahat dan s***s bukan kepalang kan, ya? Terus sekarang, jadi aneh kayak begini. Apa coba namanya kalau bukan punya kepribadian ganda?"
"Ya ... iya sih," Ranita ikut membenarkan.
"Terus sekarang gimana?" tanya Novitri.
"Enggak tahu, deh. Balik ke kelas aja, yuk? Sumpah gue udah gak mood buat makan." Lalu, ketiganya pun langsung bangkit dan berjalan meninggalkan kantin.
Naya duduk santai di halte depan sekolahnya sambil menunggu angkot. Ia terpaksa menunggu sendirian karena Ranita dan Novitri sudah pergi sepuluh menit yang lalu. Lima belas menit berlalu, angkot yang ditunggunya pun sama sekali tidak muncul. Bukan hanya angkot yang mengarah ke rumahnya saja, tapi setelah diperhatikan memang sedari tadi tidak ada yang lewat satu pun.
"Apa angkotnya enggak pada narik ya, gara-gara demo tadi pagi?" pikirnya mengingat kejadian tadi pagi.
Tiba-tiba, sebuah motor hitam berhenti tepat di hadapannya. Naya seperti tidak asing dengan motor dan jaket hitam tersebut.
"Lho, Eza?" ucap Naya tepat saat orang tersebut membuka helmnya. Naya langsung berdiri dan menghampiri Eza.
"Hai," sapanya dengan senyum mengembang.
"Hai juga. Lo kok ke sini? Mau jemput siapa?" tanya Naya heran.
"Jemput lo," jawabnya blak-blakan.
"Hah?"
"Angkotnya lagi pada gak narik. Kan tadi pagi gue udah bilang kalau sopir angkotnya lagi pada demo di terminal," terangnya.
"Bu—bukan itu ... maksud gue, kenapa lo tiba-tiba datang ke sekolah gue dan bilang mau jemput gue?" Lagi-lagi Eza tersenyum.
Duh jangan senyum terus dong, Za. Bikin gue melting tau gak?! umpat Naya dalam hati.
"Emangnya enggak boleh?"
"Ya bukannya gitu ...."
"Kenapa? Takut cowok lo marah, ya?" tanya Eza. Raut wajahnya berubah jadi serius.
"Pacar dari Hongkong. Nggak ada pacar," terang Naya.
Eza terkekeh geli. "Bercanda gue ... ya udah balik, yuk?" ajaknya sambil menyodorkan sebuah helm pada Naya.
"Lho? Perasaan tadi pagi lo gak bawa helm dua."
"Dapet nyolong punya temen," ungkapnya enteng sambil memakai helmnya sendiri.
"Hah?"
"Gue pinjem dari temen. Udah cepetan pake, keburu makin panas, Nih."
"Iya-iya." Naya langsung memakai helm itu dan menaiki motor Eza.
"Pengangan, ya."
"Eh? Enggak usah, deh. Kan kita gak lagi buru-buru."
"Oke deh."
Eza langsung menyalakan mesin motornya dan melaju meninggalkan sekolah Naya.
Seulas senyum tercetak jelas di bibir Eza tanpa Naya sadari.
Salahkah aku yang jatuh cinta pada pandangan pertama? tanyanya dalam hati.
Selesai mengerjakan tugas, Naya memutuskan untuk membereskan buku-bukunya dan bergegas tidur. Namun, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang terlihat menyala.
Lho? Eza Video Call?
Tanpa berpikir lama, Naya langsung menyentuh icon video. Tidak seperti saat Davi yang menelepon, ia harus menimbang-nimbang apakah telepon itu perlu diangkat atau tidak.
"Hai Nay, gue ganggu ya?"
"Eh, enggak, kok. Ini baru selesai ngerjain tugas."
"Beneran? Tugas apa?"
"Iya. Tugas bahasa indonesia."
"Oh ... By the way thanks ya buat hari ini. Lo udah mau nemenin gue jalan," ujarnya sambil mengulas senyum.
"Iya, sama-sama. Harusnya gue yang bilang thanks sama lo. Kalau bukan karena lo, tadi pagi pasti gue telat datang ke sekolah."
"Gak masalah. Gue seneng kok, bisa nganterin lo sekolah sama pulang. Kapan-kapan, gue anterin lagi mau, ya?"
"Ng—nggak usah, Za. Gue gak mau repotin lo."
"Ck! Gue gak ngerasa di repotin, kok. Lagian jarak sekolah kita kan deketan. Tinggal lurus dikit juga nyampe," terangnya.
"Hah? Maksud lo, sekolah SMA Nasional?"
"Iya."
What? Serius? Itu kan sekolah SMA yang terkenal sama muridnya yang pinter-pinter. Wadahnya cewek-cewek popular. Cowoknya apalagi, ganteng-ganteng. Gak heran sih kalau Eza sekolah di sana.
"Nay? Naya?"
"Iya Za, kenapa?"
"Kok bengong, sih? Lagi ada yang lo pikirin?"
"Enggak kok."
"Ya udah tidur gih. Udah malem juga. Night, ya. Semoga mimpi indah," katanya diiringi dengan senyuman manis.
Naya balas tersenyum. "Lo juga. Semoga mimpi indah, ya."
Eza mengedipkan satu matanya. "Pasti."
"Ok gue tutup, ya." Naya mengangguk pelan dan seketika Video call pun terputus.
Davi menyenderkan kepalanya di muka pintu kamar. Pandangannya lurus pada pemandangan di luar kamarnya. Ditemani secangkir kopi di genggamannya, ia merenung tanpa sadar. Apa yang Reno katakan sepertinya akan menjadi nyata. Tapi, ia tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Apa yang sudah ia claim sebagai miliknya, sudah pasti tidak akan dilepaskan, apa pun caranya. Davi menyesap kopinya, membiarkan rasa pahit dan manis itu bercampur menjadi satu. Menimbulkan rasa nikmat yang pas di lidahnya.
Karena terkadang, lo harus belajar dari secangkir kopi dulu, buat ngerasain manis dan pahitnya perasaan. Sebelum lo benar-benar mencecap kesempurnaan dari perpaduan keduanya, batin Davi sambil tersenyum misterius. Ia mengambil ponsel dari saku celananya, dan mengetikkan sesuatu di sana.
To : Naya
DI BAIKIN MALAH BIKIN GUE MARAH. SIAP-SIAP LIAT MADING BESOK PAGI. FOTO LO BAKAL GUE PAJANG DI SANA. SELAMAT MALAM DAN SEMOGA MIMPI LO INDAH!
Pesan pun sukses terkirim. Davi kembali memasukkan ponselnya dan bersiul riang.
"Kita liat kejutan apa yang bakal gue tunjukin," ujarnya pelan sambil kembali menyesap kopinya dan tersenyum misterius.