E - DILUAR EKSPEKTASI

2122 Kata
Pagi-pagi, Naya sudah dibuat gusar oleh pesan yang dikirim si psikopat sekolah. Bagaimana bisa cowok itu melakukan hal paling kejam setelah apa yang ia lakukan selama 2 minggu ini? Ia benar-benar tidak habis pikir. Rasa-rasanya, dirinya sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Selama ini, Naya selalu menurut apa yang diminta oleh manusia satu itu.  Naya langsung berlari memasuki sekolah. Melewati koridor menuju papan pengumuman demi mengetahui kebenarannya. Langkah kakinya berubah pelan ketika melihat sekumpulan siswa-siswi yang memenuhi mading. Rasanya ia ingin kabur dari tempatnya berdiri sekarang. Pergi sejauh mungkin detik itu juga.  Pikirannya melayang jauh. Semua penghuni sekolah pasti sudah tahu tentang foto itu. Naya tidak bisa membayangkan caption seperti apa yang Davi berikan pada fotonya. Dan setelah semua ini, ia yakin mereka pasti akan menertawakannya, membicarakannya, dan menjadikannya sebagai trending topic terhangat selama berminggu-minggu. Tapi, untuk kabur sekalipun rasanya enggak akan ada gunanya. Apalagi saat mereka menatap Naya dengan tatapan yang sulit diartikan.  Akhirnya, Naya memberanikan dirinya mendekati mading dan masuk ke sela-sela kerumunan. Mata Naya terbelalak ketika melihat foto itu terpajang di sana lengkap dengan keterangan yang sama sekali tidak benar. Naya langsung mengambil kertas itu dan keluar dari kerumunan tersebut. Dengan langkah panjang, ia berjalan menuju ke tempat manusia psikopat itu berada. Naya sama sekali tidak peduli dengan pandangan dan omongan yang keluar dari para cewek di sepanjang koridor. Karena yang terpenting sekarang adalah menemui si biang keladi dan meminta pertanggungjawaban cowok itu atas ketidak enaran foto tersebut. Pacar katanya? Siapa yang sudi?  Di kelas, Davi duduk santai di bangku paling belakang sambil memakan kacang kulit bersama 2 temannya. Tidak terlihat sedikit pun kecemasan di wajahnya. Seolah yang baru saja diperbuatnya bukanlah masalah besar. "Gimana menurut lo? Temen kita ini udah gila apa belum?" goda Reno sambil tertawa lepas. Yang disindir malah bersikap santai dan terkekeh geli.  Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah takjub dengan apa yang dilakukan oleh sohib sekaligus bosnya itu.  "Udah-udah. Gila banget malah! Ckckck. Tiga tahun kita temenan, baru kali ini gue liat bos kita ini ngelakuin hal yang bikin satu sekolah gempar," ungkapnya diselingi tawa.  "Ngomong-ngomong, tuh cewek udah liat belum, ya?"  "Kayaknya sih belum. Buktinya belum ada tanda-tanda kedatangan tuh cewek kemari," timpal Gilang.  "Emang berani?"  "Me-" ucapan Gilang terpotong ketika sebuah suara mengalihkan pandangan mereka. "DAVINO MUHAMMAD FAISHAL!!!" teriak Naya di ambang pintu. Wajahnya sudah memerah padam, menandakan jika ia benar-benar marah.  "Baru juga di omongin, udah nongol aja. Emang ya, panjang jodoh. Eh panjang umur maksudnya," ucap Reno. Ketiganya pun tertawa. Tidak peduli dengan istilah senioritas, tidak peduli bahwa adik kelas harus bersikap santun pada kaka kelas, tidak peduli ada di area mana Naya sekarang, ia langsung nyelonong masuk dan berjalan mendekati Davi. Para penghuni kelas tersebut seketika langsung diam. Suasana kelas pun menjadi senyap. Semua pandangan langsung tertuju pada Naya dan Davi.  Di tatapnya mata Davi dengan penuh amarah."Maksud kak Davi apa?" tanyanya sambil meletakan kertas itu di meja dengan kasar. Kertas berupa foto Naya yang sedang menyuapi Davi kemarin. Lengkap dengan caption :  "Davi dan Naya, New Couple SMA PERTIWI. HARI JADIAN, KEMARIN." Davi bangkit dari duduknya. "Gimana, lo suka sama kejutan yang gue kasih?" tanyanya. Seulas senyum tercetak jelas di bibir cowok itu. "Mau kak Davi apa sih, hah? Kenapa kak Davi ngelakuin hal kayak gini?" Naya balik bertanya. Intonasinya meninggi. Ia benar-benar kesal dengan cowok yang ada di hadapannya saat ini.  Davi menaikkan satu alisnya. "Apa hak lo protes? Suka-suka gue dong," ucapnya santai sambil masukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ciri khas seorang Davino. Davi memajukan langkahnya hingga sepatunya menempel pada sepatu Naya. Ditatapnya cewek itu lekat lalu perlahan, ia menundukkan kepalanya hingga sampai di telinga Naya. "Lo masih inget perjanjian kita, kan? Biar gue ulang. Lo, harus nurutin semua kemuan gue. Termasuk ini."  Naya menelan ludahnya susah payah. Ucapan Davi barusan entah kenapa malah menimbulkan efek yang berbeda. Tidak seperti biasanya. Dengan cepat, Naya langsung mendorong d**a bidang Davi hingga cowok itu mundur beberapa langkah. Ia mengambil kertas tadi kemudian menyobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil. "Percuma lo sobek-sobek tuh kertas, gak ada gunanya. Ada puluhan kertas lain yang bakal terpampang di mading sekolah," papar Davi kembali mendekat. "Ren, keluarin!" perintahnya pada Reno. Cowok itu langsung meraih tasnya dan mengeluarkan segepok kertas dengan foto dan caption yang sama. Naya menatap kertas-kertas itu tak percaya.  "Keterlaluan!" Naya mengepal kedua tangannya. Matanya terasa sangat panas. Nya tidak mengerti Apa yang diinginkan Davi sebenarnya.  "Terserah lo mau ngatain gue apapun. Tapi, gue enggak akan ngerubah keputusan gue."  Ia menatap lekat cowok di depannya. Bagaimana bisa Davi bersikap seegois ini? Bagaimana bisa Davi melakukan hal yang tidak masuk akal seperti ini?  "Sakit jiwa lo? Denger ya, lo boleh aja nyuruh gue buat ngelakuin hal seenak jidat lo! Nyuruh gue pasang Dasi lo tiap pagi, nyuapin lo, nemenin lo makan, dan yang lainnya. Tapi, bukan berarti lo juga bisa ngendaliin perasaan gue sesuka lo! Gue bukan pacar lo dan gak sudi jadi pacar lo!" ucap Naya tegas. Persetan dengan statusnya yang harus sopan sebagai adik kelas. Untuk apa sopan pada orang yang seperti Davi?  Naya berbalik dan hendak pergi. Tapi, Davi lebih dulu menahan lengan Naya dan menariknya ke dalam pelukannya. Naya yang kaget langsung berusaha melepaskan diri. Namun, sia-sia saja karena Davi semakin mengeratkan pelukannya. Dan tenaganya tidak akan cukup untuk melawan Davi.  "Gue benci sama lo! Gue benci!!!" ungkap Naya pelan. Davi bisa merasakan pertahanan Naya yang mulai melemah serta nafasnya yang naik turun tidak teratur. Ia tahu apa yang dilakukannya memang terlalu cepat dan terkesan memaksa. Tapi, tidak ada cara lain.  "Gue janji ini permintaan yang terakhir. Dan gue harap lo gak nolak. Masih ada dua minggu, kan? Gue bisa jadi pacar yang baik selama sisa waktu itu. Jadi, please jangan tolak gue," ucap Davi halus, pelan hampir tidak terdengar. Untuk pertama kalinya, Naya mendengar penuturan Davi begitu tulus dan halus. Seolah ucapan itu keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.  Davi mengantarkan Naya ke kelasnya. Ranita yang melihat kondisi wajah Naya yang pucat dan mata sembab seperti habis menangis langsung melayangkan tatapan tajam pada Davi. Seakan bertanya "Kak Davi apain lagi Naya sampe begini?"  "Titip Naya ya, Ran. Dan please, lo jangan tanya apa-apa dulu ke Naya. Jam istirahat nanti, gue balik lagi," ucapnya lalu melenggang pergi.  Sepersekian detik, Ranita dibuat tertegun oleh kalimat Davi barusan. Bukan, bukan karena apa yang cowok itu bilang, tapi cara Davi berbicara, itulah yang mengherankan. Untuk pertama kalinya Ranita mendengar Davi berbicara dengan suara yang lembut.  "Ini, gue enggak salah denger, kan?" ucapnya pelan. Pandangannya langsung terarah pada Naya.  "Nay, lo gak papa?" tanya Ranita cemas.  Naya hanya menggeleng pelan. Membuat Ranita semakin bingung apa yang sudah terjadi antara Davi dan Naya. Yang ia dengar hanya gosip yang beredar pagi ini. Tapi, Ranita tahu betul jika gosip itu sama sekali tidak benar.  Ranita langsung mengeluarkan botol minumnya dan memberikannya pada Naya. "Minum dulu deh, Nay. Biar lo agak tenangan." Pelan, Naya mengambil botol minum itu dan meneguknya.  "Gue gak bakal nanya apa-apa. Sebelum lo cerita dengan sendirinya," kata Ranita penuh pengertian. Naya menoleh dan tersenyum tipis, "Thanks, ya."  "Sama-sama."  Pandangannya kembali pada white board di hadapannya. Naya sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Semuanya campur aduk dan rasanya ia ingin pingsan saja. Tulang-tulang di tubuhnya pun seperti remuk seketika. Kejadian pagi ini, ucapan Davi, dan permohonan cowok itu tadi, benar-benar membuat kepala Naya pusing bukan kepalang.  "Bu, saya boleh izin ke toilet?" pinta Naya pada Bu Lili.  Bu Lili yang sedang menulis pun menghentikan aktivitasnya dan menoleh. Ia memperhatikan anak didiknya yang satu itu. Wajah Naya memang tidak sepucat sebelumnya, tapi Bu Lili juga seorang ibu, dan pernah muda. Ia tahu gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Apalagi ditambah info yang beredar pagi ini.  "Apa kamu sakit? Kalau sakit lebih baik ke UKS saja," sarannya penuh keibuan.  Tapi, dengan cepat Naya menggeleng. "Saya baik-baik aja kok, Bu."  Bu Lili menghembuskan nafasnya berat. "Ya sudah. Jangan lama-lama." "Yuk, Ran?" Ranita ikut bangkit dan berjalan mengikuti Naya. Sepanjang perjalanan, Naya hanya diam sambil menundukkan kepalanya. Ia butuh membasuh muka untuk menyegarkan kembali wajahnya.  "Nay, gue tunggu di luar aja, ya. Lo jangan lama-lama."  "Iya. Jangan pergi kemana-mana," timpal Naya. Ia memperhatikan wajahnya di cermin. Terlihat sangat kusut dan berantakan. Naya menghela napasnya pelan sebelum kemudian membasuh wajahnya. Saat hendak berbalik, ia lebih dulu dikejutkan oleh air yang tiba-tiba mengguyur kepalanya. Dirinya mendongak dan mendapati sang kakak kelas yang sedang menatapnya tajam.  "Nggak usah so' jual mahal cuman gara-gara Davi ngejar-ngejar lo. Lo gak pantes jadi pacarnya Davi. Dan gue, enggak akan pernah ikhlas Dia jatuh ke tangan lo!" tandasnya.  "Terus mau Kakak apa? Rebut kak Davi?" Naya tersenyum sinis. "Silahkan kalau bisa. Kalau kak Davinya mau ya itu juga. Masih mending saya dikejar-kejar, daripada Kakak? Udah ngejar, gak dapet, songong pula," cibir Naya.  "Apa lo bilang? Beraninya lo—" Tangannya dengan cepat langsung di tepis oleh Naya.  "Ini udah akhir tahun 2017, gak zaman masih pake labrak-labrakan apalagi kekerasan." Naya menghempaskan lengan itu kemudian berjalan keluar toilet.  Ranita yang sedari tadi menunggu di luar, kaget melihat Naya yang keluar dengan keadaan basah kuyup.  "Lo kenapa, Nay? Kok basah kuyup gini?"  "Tadi ketemu monster nyasar di toilet. Udah yuk balik ke kelas."  "Gila lo, ya? Ke kelas dengan keadaan kayak gini. Bilang apa gue ke bu Lili entar? Kita ke UKS aja deh mendingan." Naya hanya menurut dan mengekor di belakang Ranita. Ia lelah. Energinya sudah terkuras habis.  "Eh Dav, lo enggak ke UKS?" tanya Lana sambil memutar posiai duduknya ke arah belakang. Davi yang sibuk memainkan rubiknya menatap Lana datar sambil menaikkan satu alisnya.  "Tadi pas gue abis dari koperasi, gue papasan sama cewek yang baru aja lo paksa jadi pacar tadi pagi. Seragamnya basah kuyup gitu. Pas gue perhatiin mereka masuk ruanh UKS," terang Lana santai. Davi mengerutkan keningnya, seolah ada yang janggal dengan penjelasan Lana.  "Ck! Sama temennya, yang biasa di kun—" belum sempat Lana menyelesaikan kalimatnya, Davi lebih dulu bangkit dari duduknya dan berjalan cepat keluar kelas. "Ye, kebiasaan banget sih tuh bocah. Orang belum selesai ngomong juga, udah main kabur aja," dumel Lana kembali membenarkan posisi duduknya menghadap papan tulis. Melanjutkan aktivitas menulis yang sempat tertunda tadi.  "Yulia, itu tulisan apaan, sih? Kok remang-remang gitu. Kalau nulis tuh yang agak gedean dikit napa," protes Lana.  "Makanya kalau nyadar mata minus, duduknya di depan," balas Yulia dari arah depan. Lana hanya terkekeh tak peduli.  "Udah ah gue males nulis."  "Ye terus lo beli pulpen buat apaan?"  "Kan pengen lewat ke kelas si ganteng," cengir Lana. "Istigfar deh, Lan. Tuh cowok masih kelas 10. Masa mau lo gebet juga."  "Bodo amat yang penting judulnya ganteng."  "Serah dah." Bella memutar bola matanya kembali ke papan tulis.  Davi berhenti diujung pintu. Dari tempatnya berdiri saat ini, Ia bisa melihat Naya yang sedang sibuk mengeringkan rambutnya. Seulas senyum pun tercetak jelas di bibirnya. Davi mengeluarkan ponselnya, mengetikkan sesuatu di sana. "Lo kenapa?" celetuk seseorang dari arah samping. Naya hafal betul siapa orang itu.  Ia menoleh sesaat lalu kembali mengeringkan rambutnya dengan handuk dan mengabaikan pertanyaan cowok itu. Davi bukan siapa-siapa, jadi enggak wajib buat Naya menanggapi pertanyaan tersebut.  "Gue tanya, lo kenapa?" untuk kedua kalinya, Davi mengulang kalimatnya dengan intonasi yang pelan dan lembut. Ia mendekat dan mengambil handuk dari tangan Naya.  "Kak Davi apa-apaan, sih? Main rebut-rebut aja!" ketus Naya.  Davi menghela nafasnya panjang. "Lo kenapa?"  "Nggak apa-apa."  "Nay, Ini teh Ang ... eh ada Kak Davi." Ranita melangkah masuk dengan senyum kaku. Sebaliknya, Davi malah menanggapinya dengan senyum manisnya.  Ini gue gak salah liat, kan? Kak Davi senyum? Apa Kak Davi abis di ruqiyah, ya? Ranita langsung meletakkan teh hangat itu ke sebuah meja kecil. "Kayaknya gue ganggu waktu kalian, deh. Nay, gue balik ke kelas dulu, ya," pamit Ranita cepat-cepat sebelum di usir seperti biasa.  "Enggak usah. Lo di sini aja, temenin Naya. Gue gak lama, kok," ujarnya santai.  "I—iya deh, Kak," putus Ranita pada akhirnya.  Tak lama, muncul Reno dari balik pintu dengan membawa sebuah seragam di tangannya. "Nih Bos seragamnya. Sesuai permintaan lo." Davi mengambil seragam itu dan memberikannya pada Naya. "Pake. Lo gak mungkin kan di UKS sampe jam pulang? Atau balik ke kelas pake seragam basah? Mau sakit?"  Naya tidak menanggapi, tidak juga mengambil seragam itu. Ia masih sibuk mengeringkan rambutnya. Di raihnya tangan Naya dan menaruh seragam itu tepat di telapak tangannya. "Gue gak mau lo sakit," ucapnya kembali pada intonasi semula. Dingin dan ketus. Tanpa mengatakan apa pun lagi, bahkan tanpa menatap Naya, Davi berbalik dan melangkah pergi.  "Mending lo pake deh, Nay. Davi tulus ngasih itu buat lo." Reno berucap datar lalu berbalik dan ikut melenggang pergi. Naya menghela napasnya jengah. "Gue ke ruang ganti dulu deh," putusnya kemudian. Biar bagaimanapun, ia membutuhkan seragam itu. Tapi, bukan berarti Naya menerimanya secara cuma-cuma. Ia sudah bertekad akan menggantinya nanti. Dicicil dari uang sakunya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN