C - TIBA-TIBA BERUBAH

1793 Kata
"Hal yang tiba-tiba berubah, tetap akan membuatmu bertanya, walaupun kamu sudah susah payah menepisnya." —Author—  Selesai makan malam, Naya memilih untuk kembali ke kamar. Ia malas menonton televisi bersama Nata, karena ujung-ujungnya pasti ribut hanya karena berebut remote televisi. Naya duduk di kursi belajarnya, kemudian meraih ponselnya yang terlihat menyala di meja. Seketika, ia mengerutkan kening ketika melihat sebuah nama keramat tertera di layar ponselnya. Angkat, enggak? Angkat, enggak? Enggak aja, deh. Lagi males ngomong. Masih kesel kuadrat juga, batin Naya kemudian meletakan kembali ponselnya di tampat semula. Ia beranjak dari meja belajarnya menuju kamar mandi. Memilih untuk melakukan rutinitas malamnya sebelum tidur. Sekembalinya dari kamar mandi, layar ponselnya kembali menyala. Dengan malas, Naya berjalan mendekati meja belajar dan meraih ponselnya. Ada 19 missed call dari satu orang yang sama. Sekali lagi, ponselnya menyala. Kali ini Naya mengalah dan menjawab telepon tersebut. Naya memilih untuk diam. Menunggu orang di seberang telepon memulai percakapan. Detik demi detik berlalu begitu saja dan ia mulai tidak nyaman dengan situasi seperti itu. Tidak bisa diam lebih lama lagi, Naya akhirnya memilih untuk membuka bersuara. "Kalau enggak ada yang penting, saya mau tutup te—" "Jangan!" sergahnya cepat. Naya kembali diam dan menunggu. Ia bisa mendengar helaan nafas lawan bicaranya. "Good night and sorry," ucapnya pelan di seberang. Di detik berikutnya, telepon pun terputus. "Kak Davi nelepon cuman buat ngomong 5 kata doang? Dia sehat, kan?" gumam Naya tak habis pikir. Pelajaran olahraga sudah berakhir sejak 10 menit yang lalu. Davi, Gilang, dan Reno, berjalan santai menuju kelas sambil mengobrol ringan. Mereka tampak biasa-biasa saja dengan pemandangan kaum hawa yang menatap mereka dengan tatapan semanis mungkin. Berharap salah satu dari mereka akan meliriknya. Namun, berkhayal setinggi apa pun tetap tidak akan merubah harapan menjadi kenyataan. Faktanya, menjadi pasangan salah satu dari mereka—terutama Davi, hanya lah sebuah mimpi tanpa kepastian. Jadi, daripada berandai kemudian dijatuhkan, lebih baik mengincar cowok lain yang lebih meyakinkan. Begitulah opini sebagian cewek yang otaknya masih bersih dan belum terkontaminasi. "Wahh dapet kiriman lagi nih kayaknya pangeran sekolah," ujar Gilang saat melihat sebuah kotak makanan bertengger di meja Davi. "Apalagi nih kali ini?" Reno mendekat lebih dulu kemudian mengambil kotak tersebut dan membukanya. "Wih ... nasi goreng, Bro. Wangi banget lagi," ungkap Reno. "Siapa yang ngasih?" tanya Davi pada Lana, cewek yang duduk tepat di depan mejanya. "Melati, Anak 11 IPA 1." "Tau orangnya?" "Tahu. Kenapa? Lo mau minta gue buat cari tuh cewek?" tebak Lana malas. "Tepat!" "Gak gratis, ya." "Lo mau apa?" tanya Davi enteng. "Serius? Aaaa ... lo emang sepupu gue yang paling the best!" kata Lana dengan mata yang berbinar. "Mulai deh alaynya." Davi memutar bola matanya malas. Kadang, Davi berpikir kenapa ia sampai bisa mempunyai sepupu seperti Lana. Lana tertawa kecil. "Emang ya, faedah banget punya sepupu most wanted kayak lo." "Jadi lo mau apaan?" "Eummm ... niatnya pulang sekolah nanti gue mau nonton sama—" "Gak usah di lanjutin. Berapa orang?" sergah Davi cepat. Ia paling malas jika mendengar pemaparan Lana yang sebenarnya pendek tapi sangat suka di panjangkan, muter ke sana ke sini sebelum sampai ke omongan inti. "Enam orang." Davi mengeluarkan dompetnya, lalu meletakkan sejumlah uang di meja lana. "Cukup, kan?" "Cukup-cukup. Malah ini masih lebihan." Lana nyengir kuda. "Selamet dah uang saku gue," ujarnya pelan sambil memasukkan uang tersebut ke saku seragamnya. "Yaudah buruan pergi. Suruh tuh cewek temuin gue di kantin. Ok?" "Siap bos!" "Yuk Bel, kita jalankan misi," ajaknya pada Bela. Mereka pun berjalan keluar kelas untuk menjalankan tugas dari Davi. "Ckckck beruntung juga lo punya sepupu kayak Lana," ujar Rino sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Beruntung apaan, kerjaannya malakin terus gue!" dumel Davi. "Tapi, seengganya lo kan gak perlu repot-repot datang ke kelas tuh cewek, ya gak?" "Iya, sih." Davi membenarkan ucapan Gilang. Mereka pun tertawa bersama. "Yuk ke kantin. Kita liat drama apa yang bakal di lakuin sama sohib kita ini," ajak Rino sambil membawa kotak bekal tersebut. Davi tersenyum tipis. "s****n lo." Naya, Ranita, dan Novitri, seperti biasa mengambil meja di dekat tembok yang menurut mereka adalah tempat favorit sekaligus strategis karena bisa melihat cowok-cowok ganteng yang berlalu lalang. "Ran, kenal cowok itu gak?" tunjuk Novitri pada salah satu cowok yang duduk tak jauh dari mereka. "Mana?" "Itu loh yang itu, Ran. Yang duduk samping Kak Altar." "Oh yang itu, iya-iya tau. Kemarin kan gue liat dia nganterin si Anita pulang," ujar Ranita sambil memakan bakwannya. "Anita?" "Iya. Itu loh anak IPA 4. Kayaknya sih lagi PDKT gitu jelas Ranita singkat. "Yah, pupus deh harapan gue buat deketin dia," gumam Novitri kecewa. Ranita terkekeh geli. "Wis ... nggoleki liyane." "Tuh tuh, bahasa jawanya keluar dah." "Refleks Nov," ucap Ranita sambil menaikkan dua jarinya membentuk tanda peace. Ranita memang bukan asli orang Bandung. Ibunya menikah dengan orang jawa dan lama tinggal di Cirebon. Jadi wajar kalau Ranita sejak kecil berbicara bahasa setempat. Baru ketika SMP, ia kembali ke kota kelahiran ibunya dan menetap di Bandung hingga sekarang. Sementara itu, Naya begitu menikmati batagornya. Bagaimana tidak, sejak pagi sampai jam istirahat, tidak ada tanda-tanda kehadiran Davi yang selalu mengancam kesejahteraan hidupnya di sekolah. "Ran, Ran ... liat deh ada yang senyum-senyum sendiri dari tadi. Nih anak waras kan, Ran?" bisik Novitri. Ranita mengangguk masih dengan bakwan di tangannya. "Kak Davi ngapain Naya, ya? Kok gue curiga ada sesuatu yang gak beres. Menurut lo gimana, Nov?" "Iya. Sama. Apa jangan-jangan pas nge-date kemaren, kak Davi nembak Naya terus di terima? Terus sekarang mereka jadian?" Novitri menerka-nerka. "Heh gue denger, ya ..." Akhirnya Naya bersuara. "Jadi bener?" "Ya enggak, lah!" Naya melempar sedotan ke arah kedua sahabatnya. Ngawur high level lo! "Terus ngapain lu senyum-senyum sendiri kayak pasien rumah sakit jiwa baru kabur?" "Ho'oh." Ranita ikut mengiyakan. "Gue tuh ya, lagi seneng. Soalnya dari pagi sampe sekarang, enggak ada tanda-tanda kak Davi ngusik ketenangan gue," papar Naya sambil tersenyum lebar. Rasanya ia seperti burung yang baru saja keluar dari sangkar. "Eh iya, ya. Kok gue baru sadar," ucap Novitri. "Iya. Biasanya kan sebelum bel masuk kak Davi pasti udah jadi satpam kelas. Nungguin lo datang cuman buat minta lo iketin dasi dia. Terus kalau jam istirahat lo di bawa ngilang, balik-balik muka udah kayak benang kusut. Abis disuruh ngambil kucing yang tiba-tiba nyasar di rak perpustakaan paling atas yang debunya bejibun lah, disuruh nyari tipe-x di kolam kecil di belakang sekolah yang keruhnya bukan kepalang lah, disuruh ngambil kunci motor di pohon mangga lah, dan sederet perintah gak masuk akal lainnya," papar Ranita. "Yah mungkin aja dia masih merasa bersalah sama kejadian kemaren. Duh akhirnya gue bisa bebas juga." "Eh eh, liat tuh gerombolannya kak Davi," tunjuk Novitri pada 3 cowok yang baru saja datang dan mengambil tempat duduk yang tak jauh dari mereka. "Kok tumben dia gak nyamperin lo ke sini. Biasanya kan tuh cowok langsung bikin rusuh," sambung Novitri. "Ck! Kan gue udah bilang, dia masih merasa bersalah. Udah sih biarin aja," ujar Naya sambil melahap potongan batagor terakhirnya. Ranita melirik ke arah Novitri. Namun, yang dilirik hanya menaikkan kedua bahunya tanda dia juga tidak tahu. Tak berselang lama, seorang cewek berjalan mendekati meja Davi. Ia terlihat begitu senang. Wajahnya pun berbunga seolah baru saja mendapatkan jackpot. "Duduk," ucap Davi pelan. Matanya melirik sebuah bangku yang berada tepat di sampingnya. Dengan senang hati, cewek itu pun duduk di samping Davi. Davi memajukan kursinya, dengan sengaja ia merangkul bahu cewek tersebut hingga membuat suasana kantin yang awalnya sunyi menjadi riuh oleh sahutan para siswa. "Siapa nama lo?" tanya Davi tepat di telinganya. Membuat Naya sekilas flashback pada kejadian dulu. Davi juga melakukan hal yang sama padanya. "Me—Melati," jawabnya gugup. "Melati itu temennya tali pramuka kan, ya?" "Ck! Bukan, Dav. Itu belati." Reno membenarkan. "Oh iya ya," ucap Davi pura-pura b**o. Reno dan Gilang berusaha menahan tawa melihat tingkah sohibnya itu. Davi merenggangkan rangkulannya. "Ren, keluarin gih barangnya," perintah Davi. Reno kemudian mengeluarkan barang yang dimaksud Davi dan meletakkannya di atas meja. "Ini ... kotak makanan lo, kan?" Davi melirik manis ke arah Melati. Cewek itu pun dengan cepat mengangguk. "Denger ... pertama, gue bukan anak umur 5 tahun yang harus di bawain bekel. Kedua, kebetulan gue juga enggak suka nasi goreng. Ketiga, jangan buang-buang waktu buat narik perhatian gue, karena gue sama sekali gak tertarik sama lo," papar Davi tenang tapi terdengar jelas di telinga semua orang yang ada di kantin. Tubuh Melati menegang. Wajah cantiknya berubah pucat. Ia benar-benar malu di perlakukan seperti ini. "Paham?" tanya Davi dengan tatapan membunuhnya. "Pa—paham, Kak." "Bagus." "Jadi sekarang, lebih baik ambil lagi kotak bekel lo, sebelum gue lempar ke tong sampah." Melati langsung membawa kotak nasinya dan bergegas pergi dengan wajah merah dan perasaan malu luar biasa. "Gila lo, Dav ... s***s banget kalau nolak cewek." Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya. Pura-pura shock dengan kejadian barusan. "Gue heran, cewek-cewek model begitu kok enggak ada kapok-kapoknya, ya? Ada aja gitu yang masih berani malu-maluin diri sendiri, padahal mereka semua udah tahu kalau ujung-ujungnya bakal di tolak," kata Reno sambil memijit pelipisnya. Davi hanya tersenyum kecil. Kejadian tersebut hanya salah satu dari puluhan kejadian yang pernah Davi ciptakan. Kadang, ia heran dengan cewek penghuni SMA PERTIWI ini. Bagaimana bisa kejadian yang sama terus terjadi padahal mereka semua sudah tahu respond seperti apa yang akan ia berikan. Ya, sebuah penolakan yang tanpa perasaan. Naya terus memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00, tapi ia sama sekali tidak bisa tidur. Pada akhirnya, Naya tidak bisa menepisnya lagi. Perubahan Davi selama di sekolah tadi terus menimbulkan tanya dalam benaknya. Ketika Davi menatapnya sesaat di kantin, Naya sudah waspada jika cowok itu akan kembali mengerjainya. Tapi, hingga bel pulang berbunyi sekalipun, Davi tidak menemuinya seperti hari-hari sebelumnya. Saat berpapasan di tempat parkir pun, Davi hanya menoleh dan menatapnya sesaat kemudian berlalu begitu saja. Apa kak Davi semenyesal itu, ya? gumam Naya dalam hati. Ia jadi teringat pada kejadian di mana Davi menariknya Naya ke pelukannya. Bagaimana cara cowok itu meminta maaf, intonasinya yang pelan dan penuh ketulusan. Naya menarik nafasnya pelan. "Kenapa gue jadi mikirin kak Davi, sih? Serah deh dia mau berubah jadi pendiem kek, berubah jadi monster kek, jadi hulk sekalipun, terserah ... gue enggak peduli. Selagi perubahan tuh cowok enggak mengancam ketentraman gue, gue mah selow-selow aja," ujar Naya tersenyum lebar. "Oke Nay, mari kita tidur dan menyambut hari esok yang penuh kebebasan. Akhirnya bisa bernapas bebas jugaaa," lanjutnya. Di lain tempat, Davi duduk santai di balkon kamarnya. Malam sudah mulai larut, tapi ia masih betah menikmati ratusan bintang di langit. Diambilnya sebuah benda dari dalam dompetnya. Benda berukuran 3x4 itu selalu berhasil membuatnya tersenyum. Bukan, bukan karena apa yang tergambar di sana. Tapi, kecepatan otaknya yang langsung tertuju pada pemilik benda tersebut. Digenggamnya erat benda tersebut, dan diletakkannya di atas d**a. Perlahan ia menutup matanya sejenak. "Selamat malam," ucapnya pelan. Entah tertuju untuk siapa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN