Tegar benar-benar tidak menyangka. Di matanya, Dava adalah sahabat yang baik, yang selalu care dengan semua teman-temannya.
Bahkan dengan Jonathan. Dava sosok sahabat yang baik dan pengertian di mata semua sahabatnya.
Tak bisa dikatakan dengan kata-kata, betapa dekatnya mereka dulu. Sudah seperti adik kakak.
“Jo. Apa lo akan tetap diam melihat Dava dan Dina yang terus berhubungan di belakang lo?”
“Gue udah gak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan di belakang gue. Gue juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan.”
Memilih untuk berjalan menuju ranjang, merebahkan tubuhnya yang benar-benar lelah karena seharian bekerja. Belum lagi masalah Dina yang tak akan pernah bisa usai begitu saja.
“Sejak kapan lo tau hubungan mereka?”
“Dua bulan sebelum kelulusan. Lebih tepatnya hari jadi ketiga tahun hubungan gue sama Dina.”
Tegar beranjak berdiri, melangkah mendekati ranjang, duduk ditepi ranjang, menghadap Jonathan yang bahkan sudah mau memejamkan kedua matanya.
“Siapa lagi yang tau soal ini?”
Jonathan yang hampir memejamkan kedua matanya, kembali melek, menatap Tegar yang kini tengah menanti jawaban darinya.
“Jenny. Gue sengaja manfaatin Jenny untuk jadi mata-mata gue. Dia yang gue suruh untuk mencari bukti-bukti perselingkuhan Dina dan Dava.”
“Jenny?” Kedua mata Tegar membola.
Jonathan menganggukkan kepalanya, “gue sengaja jadikan dia kekasih, hanya untuk memanfaatkannya saja. Jenny berhasil mendapatkan bukti-bukti perselingkuhan Dava dan Dina.”
“Jadi karena itu juga lo mutusin Jenny? Karena lo udah dapat apa yang lo inginkan?”
Jonathan kembali mengangguk, “tumben lo pinter.”
“Udah lama kali gue pinternya. Berkat gue juga lo bisa memenangkan tender besar itu,” celetuk Tegar.
Jonathan nyengir kuda, “tenang aja, gue akan kasih bonus buat lo. Lo emang asisten pribadi gue yang cerdas,” pujinya.
Tegar menatap ranjangnya yang memang hanya muat untuk satu orang. Karena dirinya memang selalu tidur sendirian, dan tidak pernah membawa siapapun untuk menginap di kamar kontrakannya itu.
Tegar lalu menarik kasur busa yang ada di bawah ranjang. Mengambil selimut dari dalam lemari, mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur.
“Besok jangan lupa bangun pagi, Jo. Kita ada meeting penting dengan client,” ucapnya sebelum merebahkan tubuhnya di kasur.
Tak ada sahutan dari lawan bicaranya. Menengok ke atas ranjang, melihat kedua mata Jonathan yang ternyata sudah terpejam. Entah beneran udah tidur atau hanya merem.
Tegar menghela nafas, “sorry, Jo. Gue benar-benar gak tau tentang apa yang lo alami selama ini. Gue juga bener-bener gak nyangka, Dava tega ngelakuin itu sama lo. Padahal dia tau, lo sangat mencintai Dina,” ucapnya lirih, mungkin Jonathan tak akan mampu mendengarnya.
Itu yang dipikirkan Tegar. Tapi nyatanya Jonathan masih bisa mendengar apa yang Tegar katakan, karena dia memang belum tidur.
Hanya kedua matanya saja yang terpejam, karena ia memang sengaja memejamkan kedua matanya, agar Tegar yang semakin banyak bertanya.
Tegar adalah sahabat Jonathan yang paling kepo dan selalu ingin tau urusan semua sahabatnya.
Tapi, Tegar tak ada niat buruk dengan apa yang akan sahabatnya beritahukan kepadanya. Entah itu bersifat rahasia atau bukan.
Makasih, Gar. Lo udah mau menjadi teman curhat gue. Tapi, untuk sementara cukup sampai disini. Lain kali, gue akan kasih tau lo semua kebusukan Dina dan Dava.
Jonathan dan Tegar menjatuhkan tubuh mereka di atas sofa. Mereka baru saja selesai meeting dengan client yang sangat penting.
Client yang akan memberikan keuntungan besar buat perusahaannya.
“Lo emang hebat, Gar. Gak salah gue menjadikan lo asisten pribadi gue. Semua kerjaan lo selalu memuaskan,” puji Jonathan sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
“Jangan lupa, semua itu juga berkat Gresia juga. Tanpa bantuan dia, gue juga gak akan bisa sampai di titik ini dengan mudah.”
“Hem. Gue gak akan lupa itu. Kalian memang patner kerja gue yang the best pokoknya. Gimana kalau siang ini gue traktir lo sama Gresia makan siang? Jarang-jarang ‘kan kita pergi makan siang bertiga?” itu baru saja terpikirkan di benak Jonathan.
Tegar mengacungkan ibu jarinya, “ok lah kalau begitu. Gue akan kasih tau Gresia dulu.”
Beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu. Begitu terkejut setelah membuka pintu. Melihat Dina yang sudah berdiri di depan pintu.
“Jonathan ada ‘kan?” tanya Dina saat melihat Tegar yang hanya diam sambil menatapnya dengan kedua mata yang membulat.
“Hem, lo mau ajak dia makan siang?” moga aja tebakannya salah.
Dina mengangguk sambil tersenyum, “aku ingin makan berdua sama dia. Sudah lama kami gak jalan berdua.”
“Tapi, Jonathan ada janji sama gue dan Gresia.”
“Dalam rangka apa?” tanya Dina penasaran.
“Aku boleh ikut ‘kan?” tanyanya lagi.
“Lo tanya aja sama Jonathan langsung. Dia bakalan ngizinin lo ikut atau gak.” Melangkah mundur, membiarkan Dina untuk masuk.
Setelah Dina masuk, Tegar baru melangkah keluar dari ruangan Jonathan.
Tegar melihat Gresia yang tengah sibuk dengan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Ia lalu melangkah menuju meja kerja Gresia.
Gresia yang berniat untuk pergi makan siang setelah membereskan berkas-berkas di atas mejanya, menggurungkan niatnya saat melihat Tegar melangkah menghampirinya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Gresia memang selalu bersikap sopan dengan Tegar, meskipun usianya lebih tua dari Tegar. Tapi, ia sadar, jika Tegar adalah tangan kanan bos nya.
“Saya mau mengajak kamu makan siang bersama dengan Pak Jonathan. Pak Jonathan ingin merayakan keberhasilan meeting kita tadi,” ucap Tegar dengan senyuman di wajahnya.
Gresia menganggukkan kepalanya. Bagaimana ia akan menolak kesempatan bagus seperti itu. Apalagi ini pertama kalinya ia makan siang bersama dengan bos barunya itu.
Sedangkan di dalam ruangan Jonathan, ia terkejut saat melihat Dina masuk ke dalam ruangannya setelah Tegar keluar dari ruangannya.
“Din. Aku sudah pernah bilang sama kamu ‘kan? Jangan ganggu aku saat aku lagi kerja.” Terlihat jelas raut wajah tak suka di wajah Jonathan.
“Sayang. Ini kan jam istirahat. Aku mau mengajakmu makan siang bareng.” Seperti biasa, bergelayut manja di lengan Jonathan.
“Aku sudah ada janji sama Tegar dan sekretarisku.”
“Aku ikut ya? tadi aku juga udah bilang sama Tegar kok. Dia juga setuju,” pintanya dengan mengedipkan kedua matanya berkali-kali.
“Bukannya kamu udah mulai kerja di kantor papa kamu ya? kenapa kamu malah datang ke kantor aku? jarak kantor papa kamu kesini itu lumayan jauh lo?”
Dina menyandarkan kepalanya di bahu Jonathan.
“Tenang aja, aku udah izin sama Papa. Aku telat kembali ke kantor juga gak apa-apa. Kerjaan aku juga udah beres.”
Sial! Kenapa sulit banget sih lepas dari Dina!
“Serah kamu lah.” Beranjak dari duduknya. Akhirnya tak bisa menolak permintaan sang kekasih.
Dina juga ikut beranjak dari duduknya, dengan posisi masih menggandeng lengan Jonathan. Melangkah beriringan menuju pintu. Jonathan membuka pintu, meminta Dina untuk keluar lebih dulu, baru dirinya.
Tegar dan Gresia masih setia menunggu.
“Gar. Lo yang cari tempat makan yang enak ya.” Melangkah setelah mengatakan apa yang ingin dikatakan.
“Siap.”
Gresia dan Tegar mengekor di belakang Jonathan dan Dina.
“Sayang, tempatnya romantis ya? lain kali kita makan disini berdua aja ya,” pinta Dina sambil menyandarkan kepalanya di bahu Jonathan.
Tegar memang sengaja memilih tempat duduk yang ada di ruangan khusus. Tidak ada yang lain selain mereka berempat.
“Aku gak bisa janji. Kamu tau ‘kan aku sibuk?” masih terus menolak, apapun permintaan Dina.
Dina mengerucutkan bibirnya, “kan masih ada weekend. Apa kamu juga sibuk di hari libur?”
Pelayan datang sambil membawa makanan dan minuman yang mereka pesan.
Menata makanan dan minuman itu ke atas meja, setelah itu mempersilahkan tamu restorannya itu untuk mencicipi makanan yang baru saja ia hidangkan. Setelah itu baru pamit undur diri.
Tegar memotong steak yang dipesannya menjadi kecil-kecil, lalu memberikannya kepada Gresia. Setelah itu mengambil piring milik Gresia.
“Terima kasih,” ucap Gresia dengan senyuman di wajahnya.
Dina mengernyitkan dahinya melihat sikap Tegar yang sedikit aneh.
“Gar. Kamu ada hubungan dengan sekretaris Jonathan?” tanyanya penasaran.
“Kenapa lo tanya seperti itu? apa lo sekarang mulai kepo dengan urusan orang lain?” sindirnya sambil memotong stick lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
“Aku ‘kan cuma nanya, ya gak usah sewot gitu juga kali!” kesalnya.
Jonathan hanya diam. Ia memilih untuk mulai memakan makanan yang tadi dipesannya.
“Kalau gue memang ada hubungan dengan Bu Gresia. Memangnya ada urusannya sama lo? Gak ‘kan?” sewotnya lagi.
Gresia yang sedang mengunyah makanan yang ada di mulutnya, tiba-tiba tersedak saat mendengar apa yang Tegar katakan.
Tegar sontak langsung mengambilkan air putih dan memberikannya kepada Gresia. Menepuk punggungnya pelan.
“Makannya hati-hati. Gak ada yang minta juga,” godanya.
Tegar tau, jika Gresia terkejut dengan apa yang dikatakannya kepada Dina. Padahal tadi ia hanya asal ceplos saja.
Rasa kesalnya kepada Dina semakin menjadi, apalagi saat teringat curhatan Jonathan semalam.
“Terima kasih,” ucap Gresia setelah meneguk air putih yang tadi diberikan oleh Tegar.
“Gar, aku rasa ada yang salah sama kamu. Bagaimana kamu bisa berhubungan dengan wanita yang lebih pantas jadi kakak kamu?” Dina menatap Gresia yang memilih untuk menundukkan wajahnya.
“Sayang, kamu sudah tau soal hubungan mereka?” tanyanya kemudian kepada Jonathan.
“Aku gak mau ikut campur dengan urusan pribadi mereka. Terserah mereka mau melakukan apapun, asal diluar kantor dan gak mengganggu pekerjaan. Selain itu, kamu juga gak berhak untuk menghakimi Tegar. Terserah dia mau berhubungan dengan siapa aja. Kamu gak berhak untuk melarangnya.”
Jonathan menjawab tanpa menatap Dina, karena sibuk dengan makanan yang tinggal separuh. Lalu kembali memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya.
“Tapi, Sayang. Bukannya gak boleh pacaran sekantor ya? karena pasti akan sangat canggung kalau suatu saat hubungan mereka akan kandas.” Berucap sambil melirik Gresia dan Tegar secara bergantian.
“Lo gak usah ikut campur dengan urusan kehidupan gue. Mendingan lo urus hidup lo yang berantakan itu,” celetuk Tegar yang sontak membuat Jonathan mendongakkan wajahnya menatap Tegar.
“Gar. Lo juga harus jaga ucapan lo,” ucap Jonathan dengan nada sedikit meninggi.
“Sorry. Gue gak bisa nahan diri. Mulut cewek lo gak bisa dijaga. Kenapa juga dia harus ikut campur urusan hidup gue? Gue aja gak ikut campur urusan hidup dia!” kesal Tegar.
Tiba-tiba mood nya jadi buruk, semua itu karena Dina—wanita bermuka dua.
“Aku ingin makan dengan tenang.” Menatap Dina, “kalau kamu gak mau diam, lebih baik kamu pergi,” usirnya.
Dina memilih diam. Mulai memakan makanan yang tadi dipesannya meskipun tak lagi berselera. Berdebat dengan Tegar benar-benar membuat moodnya jelek.
Selesai makan siang, Jonathan terpaksa harus mengantar Dina ke kantornya. Ternyata Dina tak membawa mobil saat datang ke kantornya.
“Sayang, nanti malam kamu bisa temenin aku gak?”
“Kemana?” menjawab tapi tetap fokus menatap ke depan.
“Ke acara ulang tahun sahabat aku.”
“Apa aku mengenalnya? Takutnya ntar kamu sakit hati, kalau sahabat kamu itu ternyata salah satu mantan aku.” berucap tanpa peduli dengan perasaan Dina saat ini.
“Kamu gak kenal dia kok. Dia teman masa kecil aku, gak sekampus sama kita juga.”
“Ok. Jam berapa?”
“Setelah makan malam. Kamu jemput aku ya.”
“Hem...tapi aku boleh ajak temen gak?”
Dina mengernyitkan dahinya, “siapa?”
“Dava.” Jonathan sengaja memancing reaksi Dina setelah ia membawa-bawa nama Dava—selingkuhannya.
Dina membulatkan kedua matanya, “kenapa kamu ajak Dava segala? Dava ‘kan gak kenal sama sahabat aku?”
“Aku juga gak kenal dengan sahabat kamu. Tapi, kenapa kamu ajak aku kesana?” tanya Jonathan balik.
“Itu karena kamu pacar aku, Jo. Ya wajarkan kalau aku ajak kamu? kalau Dava ‘kan Cuma teman kita, buat apa ngajak dia.”
Dina menyandarkan kepalanya ke bahu kekasihnya, “kalau kamu ajak Dava, aku gak enak sama sahabat aku. Gak usah ajak Dava, ya?” pintanya.
“Ok. Kalau itu mau kamu.”
Teman tapi mesra. Ciih...munafik!
Dina mengecup pipi Jonathan, “makasih ya, Sayang. Aku mencintaimu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Hem.”
“Hem apa?”
“Aku tau.”
“Tau apa?”
“Kalau kamu mencintaiku.”
“Terus? Apa kamu juga mencintaiku, Jo?”
Cinta gue ke lo udah mati, Din. Tepat disaat lo khianatin cinta tulus gue.
“Kok diam. Kamu gak cinta sama aku, Jo? Katakan!”
“Gak perlu aku jawab ‘kan? Karena kamu tau apa jawabannya.”
“Apa cinta kamu masih sama seperti dulu? apa hanya aku yang kamu cintai, Jo?”
“Din. Aku lagi nyetir. Aku gak mau debat sama kamu. Aku hanya gak ingin sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Kamu gak mau 'kan kalau kita sampai kecelakaan?”
Dina memilih diam, menatap keluar jendela. Buliran-buliran bening mulai menetes dari kedua sudut matanya.
Jo, apa begitu susah untuk bilang kamu mencintaiku? Aku ingin kamu menjadi Jonathan yang dulu, yang selalu mengatakan cinta sama aku.