Jonathan dan Dina sudah selesai makan malam 5 menit yang lalu. Kini mereka tengah menikmati minuman yang tadi mereka pesan.
Jonathan meletakkan gelas yang sudah kosong. Minuman itu sudah diminumnya sampai habis.
“Aku akan antar kamu pulang,” ucapnya.
Dina mengerutkan dahinya, “Jo, kamu gak kangen sama aku?”
Jonathan menghela nafas, “jangan kayak anak kecil, Din. Ini udah malam. Aku juga lelah, ingin langsung istirahat.”
“Ok. Kamu pulanglah dulu. Aku masih ingin disini. Maaf, jika aku sudah mengganggu istirahat kamu. Aku memang gak ngerti dengan keadaan kamu saat ini.”
“Aku akan antar kamu pulang. Please jangan kayak gini. Kamu bukan lagi anak kecil, Din.”
Jonathan juga tak mungkin meninggalkan Dina sendirian di restoran itu.
Ia yang membawa Dina ke restoran itu, jadi ia harus bertanggung jawab untuk mengantarnya sampai di rumah dengan selamat.
Dina tersenyum sinis, “yang berubah itu kamu, Jo. Bukan aku. Tapi, aku selalu memaafkan semua kesalahan kamu, karena aku cinta sama kamu. Aku gak ingin kehilangan kamu. Aku tau, aku bukan lagi anak kecil. Tapi, apa aku salah jika aku menginginkan perhatian dari pacarku sendiri?”
Kamu gak cinta sama aku, Din. Entah siapa sebenarnya yang kamu cintai. Apa selamanya kamu juga akan mempermainkan perasaan Dava? karena sebenarnya aku sendiri mulai ragu akan perasaan aku sama kamu sekarang.
Jonathan beranjak dari duduknya, “aku gak mau bahas itu. Ujung-ujungnya pasti akan debat panjang. Aku lelah, selalu itu yang kamu bahas. Padahal aku udah bilang sama kamu. Semua orang bisa berubah, Din, termasuk aku. Juga kamu.”
“Tapi perubahan sikap kamu udah keterlaluan, Jo. Bukan hanya sekali dua kali kamu duain aku. Aku bahkan gak tau apa salah aku sama kamu, sampai kamu memperlakukan aku kayak gini. Apa karena kamu udah mulai bosan sama aku? katakan, Jo!” desak Dina.
“Sudah aku bilang, aku gak mau bahas masalah ini lagi. Kita sudah sering membahasnya, tapi kamu tetap gak terima. Percuma juga kita debat, kalau gak sampai ke titik temunya. Atau jangan-jangan kamu ingin kita putus? Dengan senang hati aku akan mengabulkannya.”
Kedua mata Dina membulatkan kedua matanya.
“Jo! Kamu gak seriuskan! Kamu gak mungkin mutusin aku gitu aja ‘kan? Aku gak mau!”
Jonathan tersenyum sinis, “kalau kamu gak mau kita putus, kamu hanya perlu diam. Aku gak suka sama cewek yang selalu ikut campur dengan urusan pribadi aku. Kamu memang pacarku, tapi kamu bukan istriku yang selalu ingin mengatur hidupku.”
Jonathan lalu menatap jam di pergelangan tangannya, “yakin gak mau aku antar? Aku gak akan memberikan tawaran kedua.”
Dina mengangguk pelan, “pulanglah. Aku bisa pulang sendiri. Bukannya kamu lelah? Aku gak mau mengganggu kamu,” kesalnya
“Jika itu yang kamu mau. Aku pergi. Jangan pulang malam-malam, kasihan om dan tante yang selalu mencemaskanmu.”
“Jangan sok baik sama aku, karena kebaikan kamu itu gak tulus!” cebik Dina.
Jonathan menghela nafas, “terserah!”
Jonathan lalu melangkahkan kakinya pergi keluar dari restoran itu, meninggalkan Dina seorang diri dengan hati yang sangat sakit.
Dina menatap punggung Jonathan yang semakin jauh semakin tak terlihat.
Buliran bening jatuh dari kedua sudut matanya yang sejak tadi sengaja ia tahan. Ia tak ingin terlihat lemas di depan Jonathan.
“Jo. Aku gak tau apa salah aku sama kamu. Hingga kamu berubah dingin sama aku. Tapi, sekeras apapun kamu terus menghindariku, aku tetap gak akan menjauhimu. Aku hanya ingin kamu, Jo. Bukan yang lain.”
Dina mendengar suara dering ponselnya. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam tas nya. Melihat siapa yang menghubunginya.
Dava!
Tanpa pikir panjang Dina langsung menjawab panggilan itu. Malam ini ia butuh teman. Jonathan telah menolaknya.
“Hem...” hanya deheman yang akhirnya keluar dari mulutnya.
“Apa lo sama Jonathan?”
“Gak. Ada apa?”
“Temani gue jalan. Gue suntuk di rumah. Tenang aja, nanti gue akan antar lo pulang.”
“Ok. Sekarang lo jemput gue di restoran dekat apartemen Jonathan.”
“Apa lo tadi bersama dengan Jonathan?”
“Gak usah banyak tanya. Gue tunggu, kalau dalam waktu 30 menit lo gak datang, gue pergi.”
Dina lalu mengakhiri panggilan itu. Entah mengapa moodnya jadi jelek. Niat mau menghabiskan malam dengan Jonathan untuk melepas rindu karena sudah hampir tiga bulan tidak pernah menghabiskan waktu bersama. Tapi, dirinya malah ditolak mentah-mentah.
Tak butuh waktu lama. Cukup 20 menit, Dava sudah sampai di restoran yang Dina maksud. Ia lalu membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam restoran, melihat Dina yang tengah duduk sendirian.
“Ayo,” ajaknya setelah menghentikan langkahnya tepat di samping Dina.
“Kita mau kemana?” Dina beranjak dari duduknya.
“Kemanapun lo mau. Malam ini gue akan buat lo senang.”
Menggenggam tangan sang kekasih lalu mengecupnya.
“Sama gue lo akan bahagia. Kenapa lo gak tinggalin Jonathan aja?” tanyanya kemudian.
“Jangan ikut campur urusan gue sama Jonathan. Meskipun gue masih tetap berhubungan sama lo, bukan berarti gue akan lebih milih lo ketimbang Jonathan. Lo harus ingat. Hanya Jonathan yang gue inginkan!” tegasnya.
Dava mengedikkan kedua bahunya, “serah! Yang terpenting lo masih mau jalan sama gue. Lo juga selalu ada kalau gue butuh. Bagi gue, itu udah lebih dari cukup.”
“Kita pergi sekarang, keburu makin malam, gak enak gue sama kedua orang tua lo.”
“Lo tenang aja. Gue udah bilang sama kedua orang tua gue, kalau gue nginep di rumah temen.”
Dava tersenyum miring, “berarti nanti malam kita bisa bersenang-senang dong?”
“Hem, gue juga butuh lo malam ini.”
Setelah ditolak Jonathan, masih ada Dava sebagai cadangan.
Dina merangkul lengan Dava, melangkah keluar dari restoran.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada yang sengaja menunggu tak jauh dari restoran.
Mengepalkan kedua tangan dan terus mengumpat. Dia adalah Jonathan, yang sengaja menunggu di pinggir jalan, menunggu Dina keluar dari restoran.
Tapi, tak menyangka, mobil Dava berhenti di depan restoran, dimana tadi dirinya makan malam bersama dengan Dina.
Semakin sakit, saat melihat sahabat dan kekasihnya, melangkah keluar dari restoran dengan bergandengan mesra.
Gue harus ikuti mereka. Kemana mereka akan pergi. Apa gue tolak, Dina langsung lari ke pelukan Dava?
Dasar jalang!
Mulai menstarter motornya saat melihat mobil Dava mulai melaju meninggalkan restoran. Mengikuti dari belakang.
Tentu saja dengan menjaga jarak aman, agar tak ketahuan. Menyusun rencana untuk mengabadikan momen sepasang sejoli itu.
Saat gue puas bikin lo sakit hati, gue akan ninggalin lo, Din. Gak ada lagi yang perlu gue pertahanin lagi. Sekarang lo tak jauh beda dengan jalaang yang sering menjajakan tubuhnya.
Jonathan mengernyitkan dahinya, saat melihat mobil Dava masuk ke dalam sebuah rumah minimalis tapi terlihat mewah—yang tak lain rumah yang belum lama ini Dava beli.
Untuk apa Dava membawa Dina ke rumahnya? apa mereka memang akan menghabiskan malam bersama?
Tak ingin lagi membuntuti, Jonathan memilih untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Rasa kesal, marah, dan muak, bercampur jadi satu. Malam ini ia butuh pelampiasan. Tapi siapa?
Jonathan teringat Tegar dan Rendy. Tapi, ia memilih untuk datang ke kontrakan Tegar, karena hanya Tegar yang bisa ia ajak untuk bicara dari hati ke hati. Tegar juga sahabat yang paling bisa ia percayai untuk saat ini.
Menghentikan mobilnya tepat di depan kontrakan Tegar. Rumah dengan 3 lantai. Kamar Tegar ada di lantai 3.
Memilih tetap untuk berada di atas motornya, mengambil ponsel dari saku celananya, mencari kontak Tegar, lalu menghubunginya.
“Keluar sekarang. Gue ada di depan kontrakan lo.” Langsung mengakhiri panggilan, bahkan tak menunggu Tegar membalas ucapannya.
Jonathan turun dari motor. Memijit pelipisnya yang terasa pening. Masalahnya dengan Dina membuatnya hampir gila.
Sengaja merubah kepribadiannya, menghancurkan hidupnya. Tapi, kenapa setiap melihat Dina dengan Dava, hatinya masih merasakan sakit?
Bukannya gue udah berniat untuk menghancurkan Dina? Tapi kenapa? kenapa hati gue masih sesakit ini? kenapa?
Memiringkan kepala, saat mendengar suara pintu terbuka. Melihat Tegar yang kini tengah berjalan ke arahnya. Bahkan hanya memakai kaos oblong dan celana kolor.
“Tumben lo ke kontrakan gue? Lo lagi ada masalah?”
Tegar memang selalu merasa khawatir terhadap Jonathan. Bagi Tegar, Jonathan adalah sahabat sekaligus malaikat penolongnya.
“Malam ini boleh gue nginep di tempat lo? Gue butuh teman untuk berbagi masalah gue. Gue pikir, gue sanggup menahannya seorang diri. Tapi, gue sadar, gue gak sanggup. Terlalu sakit untuk gue tahan.”
Tegar menganggukkan kepalanya, “tapi kontrakkan gue gak sebagus apartemen ataupun rumah lo. Gue lagi nabung buat beli apartemen,” ucapnya nyengir kuda.
“Gue gak masalah mau tidur dimana aja.”
Tegar mengajak Jonathan untuk masuk ke dalam kontrakannya.
Ya, bisa dibilang kos-kosan, karena bukan hanya Tegar yang tinggal di rumah itu. Tak lupa ia menyuruh Jonathan untuk memasukkan motor sportnya ke dalam garasi.
Bagaimanapun kontrakannya mempunyai garasi tempat untuk kendaraan para penghuni kontrakan.
Tegar meminta Jonathan untuk duduk di sofa, ia memilih untuk mengambil minuman kaleng dari dalam lemari pendingin.
“Apa yang ingin lo ceritakan? Apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan?” menjatuhkan p****t di sofa empuk, memberikan kaleng minuman kepada Jonathan.
Jonathan menerima minuman kaleng itu, membukanya lalu meneguknya hingga tinggal separuh.
“Ini soal Dina,” ucapnya kemudian.
Tegar yang awalnya ingin meneguk minuman kaleng itu, langsung mengurungkan niatnya saat mendengar nama Dina.
Sudah lama, dirinya ingin tau masalah apa yang terjadi antara Jonathan dan Dina. Kini justru Jonathan sendiri yang mau menceritakannya. Tegar menyambutnya dengan kedua tangan terbuka.
“Apa kalian akhirnya putus?”
Jonathan menggelengkan kepalanya, “gue gak bisa mutusin dia. Meskipun ada niat ke arah itu, tapi gue ingin menghancurkan hidupnya!”
Tegar menaikkan sebelah alisnya, “menghancurkan? Maksud lo?” tanyanya bingung.
“Dia udah berkhianat. Dia sudah mengkhianati cinta dan kepercayaan gue selama ini.”
Tegar membulatkan kedua matanya, merasa ada yang salah dengan pendengarannya. Mencoba untuk kembali mencerna apa yang Jonathan katakan. Bertanya untuk memastikan, berharap apa yang dipikirkannya salah.
Gak mungkin Dina selingkuh? Itu yang dipercayai Tegar selama ini.
“Selingkuh maksud lo?” tanyanya dengan menautkan kedua alisnya.
Berharap Jonathan menggelengkan kepalanya.
Tegar tak percaya, saat justru Jonathan menjawab dengan anggukkan kepala. Membenarkan apa yang tadi ia tanyakan.
“Lo yakin? Lo punya bukti? Bukannya lo yang udah khianatin Dina selama ini?” itu yang Tegar tau.
“Dina yang berkhianat lebih dulu. Gue hanya membalas apa yang dia lakuin ke gue. Gue merubah sifat gue, gue berubah menjadi pria brengsekk hanya untuk membuat Dina hancur.”
“Jo! Lo serius? Lo gak sedang bercanda ‘kan?” masih dengan tatapan tak percaya.
“Lo akan lebih tak percaya, saat lo tau siapa pria yang menjadi selingkuhan Dina.”
“Siapa?” memasang tampang penasaran.
“Temen lo.”
Tegar mengernyitkan dahinya, “siapa? Rendy?”
Jonathan menggelengkan kepalanya.
“Jangan bilang, pria itu adalah Dava?”
Kali ini Jonathan menganggukkan kepalanya.
Tegar membungkam mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangannya. Kabar yang didengarkan sungguh sangat mengejutkannya. Terlebih ia tak menyangka, Dava akan setega itu kepada Jonathan, sahabat masa kecilnya sendiri.
“Jo...”
“Gue gak tau harus berbuat apa. Dava sahabat gue. Udah gue anggap kayak saudara gue sendiri. Tapi kenapa? kenapa dia tega ngelakuin ini ke gue? Apa salah gue sama dia?” menopangkan kedua tangan ke kedua kaki, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Gar! Gue akan buat Dina hancur sehancur-hancurnya. Gue akan pastikan itu!” geramnya.
Tegar menepuk bahu Jonathan, “lo tenangin diri lo dulu. Gue tau ini gak mudah buat lo. Tapi, lo juga gak bisa gegabah.”
“Lo udah pernah minta putus dari Dina?” tanyanya kemudian.
Jonathan menganggukkan kepalanya, “tapi seperti yang lo liat, dia gak mau lepasin gue gitu aja. Dina sekarang semakin hari semakin buat gue muak!”
“Kenapa lo gak bicara langsung sama Dava? tanyakan apa alasan dia ngelakuin semua itu? padahal dia tau, lo cinta banget sama Dina.”
“Kalau gue ngelakuin apa yang lo katakan, gue yakin, Dava akan semakin besar kepala dan merasa menang, karena telah menghancurkan hubungan gue sama Dina. Gue gak akan lakuin itu. Tapi, suatu saat, gue akan bikin perhitungan ke mereka berdua.”
“Jo, lo yakin? Dava itu sahabat lo sejak kecil. Gak mungkin dia tega melakukan semua itu sama lo. Atau jangan-jangan Dina yang sudah merayu Dava selama ini?”
“Sahabat yang tega menusuk sahabatnya sendiri dari belakang? Apa itu bisa disebut sahabat? Gue selama ini diam, bukan karena gue takut sama dia. Tapi, gue lagi nyusun rencana buat ngancurin hidup mereka berdua.”
“Gue akan pastikan, mereka akan menyesal seumur hidup karena telah mencoba bermain api dibelakang gue!” geramnya.