Jonathan tengah bersiap-siap untuk menjemput Dina di rumahnya. Ia telah menyanggupi permintaan kekasihnya itu untuk menemaninya pergi ke acara teman Dina.
Jonathan melakukan itu karena merasa bosan di apartemennya. Apalagi Tegar tengah sibuk dengan urusannya sendiri.
Perfect.
Jonathan memang sengaja berdandan semaksimal mungkin. Tapi, ia sengaja berpenampilan rapi dan mengagumkan bukan untuk Dina, tapi ia berharap akan bertemu dengan seseorang di acara teman kekasihnya itu.
Siapa tau pulang dari pesta itu, Jonathan akan mendapatkan gebetan baru. Setelah putus dengan Jenny, Jonathan memang tidak lagi menjalin hubungan dengan wanita lain. Hanya Dina kekasihnya saat ini.
Setelah selesai bersiap-siap, Jonathan mengambil ponsel dan kunci mobilnya, setelah itu melangkah keluar dari kamarnya, dan tentu saja keluar dari apartemennya.
Melewati koridor menuju lift untuk turun di lantai bawah. Menuju basement apartemennya untuk mengambil mobilnya yang ia parkir kan di sana.
Dalam perjalanan menuju rumah Dina, Jonathan sengaja berhenti di toko bunga.
Jonathan sengaja membelikan Dina bunga mawar merah, karena ia tidak ingin membuat Dina terus mencurigai nya. Jika sampai itu terjadi, rencananya selama ini akan sia-sia.
Sesampainya di rumah Dina, Jonathan meminta izin kepada kedua orang tua Dina untuk mengajak Dina keluar. Ia juga berjanji akan mengantar Dina pulang tepat pada waktunya.
“Kami percaya sama kamu, Jo. Tolong jaga Dina,” ucap Atha sambil menepuk bahu Jonathan.
“Baik, Om. Jo akan mengaja Dina dengan baik,” ucap Jonathan dengan senyuman di wajahnya.
“Ma, Pa. Dina pergi dulu ya,” pamitnya lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
Jonathan pun melakukan apa yang Dina lakukan.
“Hati-hati, jangan pulang larut malam,” ucap Desy.
“Iya, Ma. Dina pergi dulu. Ayo, Sayang,” ajaknya lalu menarik tangan Jonathan dan membawanya keluar dari rumahnya.
Jonathan membukakan pintu mobil untuk Dina, memintanya untuk masuk.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Dina lalu masuk ke dalam mobil.
Jonathan menutup pintu mobil, setelah itu berjalan memutar menuju pintu pengemudi, membukanya, masuk ke dalam mobil.
Jonathan mengambil setangkai mawar merah dari dalam dashboard mobilnya.
“Ini buat kamu, Din. Aku minta maaf untuk sikapku tadi siang. Aku tau, sikap aku tadi sudah sangat keterlaluan sama kamu,” ucapnya.
Dina mengambil setangkai mawar merah itu dari tangan Jonathan. Ia tidak menyangka, setelah sekian lama, Jonathan kembali memberinya setangkai mawar merah. Mencium baru harum mawar merah itu.
“Terima kasih, Sayang. Bunganya cantik. Aku suka,” ucapnya lalu mengecup pipi Jonathan.
Jonathan tersenyum, ia lalu mulai melajukan mobilnya keluar dari gerbang rumah Dina yang menjulang tinggi.
Dalam perjalanan menuju tempat acara, Dina tak melepas rangkulannya dari tangan Jonathan. Ia seakan takut kehilangan sang pujaan hati yang malam ini terlihat sangat tampan dan menawan.
“Sayang,” panggilnya lirih.
“Hem...” menjawab dengan deheman tanpa menoleh.
“Selama disana nanti, jangan jauh-jauh dari aku ya,” pintanya.
“Kenapa?” tanya Jonathan yang merasa penasaran.
“Aku hanya takut, akan banyak pasang mata yang menatap kagum padamu. Mereka pasti akan bersikap genit dan menggoda mu,” ucap Dina dengan mengerucutkan bibirnya.
Jonathan tersenyum, “itu hanya pikiran kamu aja. Mereka ‘kan gak kenal aku. Jadi mana mungkin teman-teman kamu akan menggodaku.”
“Siapa tau. Pacar aku ini ‘kan sangat tampan. Apalagi malam ini, penampilan kamu sangat berbeda dari biasanya. Apa kamu sengaja berpenampilan setampan ini untuk...”
“Aku sengaja berpenampilan seperti ini, hanya untuk kamu. Aku hanya gak ingin sampai kamu merasa malu karena telah mengajakku,” ucap Jonathan mencoba untuk menepis keraguan Dina.
Dina melepaskan rangkulan tangannya. Ia lalu menatap Jonathan yang saat ini masih fokus menatap jalanan yang ada di depan.
“Apa kamu serius, Sayang?” tanyanya dengan wajah bahagia.
Jonathan menganggukkan kepalanya, “aku ingin terlihat sempurna didepan teman-temanmu. Tentu saja agar kamu gak merasa malu punya pacar kayak aku.”
“Kamu bagiku adalah pria tertampan yang pernah aku kenal. Yang sangat aku cintai. Terima kasih, Sayang,” ucap Dina dengan senyuman di wajahnya.
Jonathan mengusap puncak kepala Dina, “udah, nanti make up kamu luntur lagi, kalau kamu sampai nangis karena terharu,” godanya.
“Ih, ya gak lah. Memangnya make up yang aku pakai murahan apa,” cebiknya tak terima.
Jonathan tertawa, “Din. Bukannya kamu dulu sangat ingin menjadi model ya. Kenapa sekarang kamu berubah pikiran?” tanyanya penasaran.
“Papa gak suka aku jadi model. Katanya hidup aku bisa hancur, dan akan terlibat pergaulan bebas.”
Sekarang aja hidup lo udah hancur, Din. Lo aja udah tidur sama gue dan Dava. Entah pria mana lagi yang pernah tidur sama lo.
“Iya sih. Sebenarnya aku juga gak setuju kalau kamu jadi model. Bisa-bisa kamu lupa sama aku lagi kalau udah sukses dan terkenal,” godanya.
“Ya gak lah, Sayang. Bagaimana aku bisa melupakan kamu. Aku aja cinta mati sama kamu. Kamu adalah cinta pertama dan terakhir aku,” ucap Dina sambil menyandarkan kepalanya di bahu Jonathan.
Cinta mati tapi berkhianat! Dasar jalang!
Tak berselang lama Jonathan dan Dina sampai ditempat tujuan. Mereka lalu keluar dari mobil.
“Din, teman kamu mengundang banyak tamu ya?” tanya Jonathan saat melihat begitu banyak pasangan yang memasuki gedung tempat teman Dina mengadakan acara.
“Aku juga gak tau, mungkin teman-teman kuliahnya.”
Dina lalu merangkul lengan Jonathan dan mengajaknya memasuki gedung tempat acara dilaksanakan.
Semua mata menatap ke arah Dina dan Jonathan saat mereka mulai memasuki sebuah aula di salah satu gedung itu.
Dina mengajak Jonathan untuk menemui sahabatnya—sang pemilik acara tentunya. Biasa, menyapa yang pemilik acara terlebih dulu.
Dina memeluk sahabatnya itu, “selamat ulang tahun ya, Sel. Moga panjang umur, apa yang kamu inginkan tercapai, sukses selalu,” ucapnya lalu melepaskan pelukannya.
“Makasih ya, Din. Aku kira kamu gak jadi datang.”
Sela lalu menatap Jonathan, “siapa pria tampan yang ada disamping kamu ini?” tanyanya kemudian.
Dina kembali merangkul lengan Jonathan, “dia pacar aku. Gimana? Tampan ‘kan?” pamernya.
Sela mengulurkan tangannya, “hai, aku Sela, sahabat masa kecil Dina,” ucapnya memperkenalkan diri.
Jonathan menjabat uluran tangan Sela, “Jonathan,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Yang lain mana, Sel?” tanya Dina yang tak melihat teman-temannya yang lain.
“Mungkin bentar lagi datang,” ucap Sela yang sejak tadi terus menatap Jonathan.
Jonathan tau, jika sahabat Dina itu mulai tertarik padanya. Tapi, ia bersikap biasa-biasa saja dan tak merespon tatapan mata Sela. Ia memilih untuk menatap Dina yang sejak tadi seperti tengah mencari seseorang.
“Sayang. Siapa yang kamu cari?” tanyanya penasaran.
“Cika. Dia juga sahabat masa kecil aku. Aku ingin mengenalkanmu padanya, karena dia selalu bertanya siapa pacar aku,” sahut Dina tanpa menatap Jonathan.
Dina melihat Cika yang saat ini tengah melangkah ke arahnya. Tapi dia terkejut saat melihat wanita yang bersama dengan sahabatnya.
Jenny! Sedang apa dia disini? Kenapa dia bisa bersama dengan Cika? Apa mereka saling mengenal?
Jonathan pun juga terkejut saat melihat Jenny ada di acara itu juga.
“Hai, Din, Sel. Maaf, aku terlambat.” Cika lalu memeluk Sela, “selamat ulang tahun ya,” ucapnya lalu melepas pelukannya.
“Makasih, Cik,” ucap Sela dengan senyuman di wajahnya.
“Hai, Din, Jo,” sapa Jenny.
Cika mengernyitkan dahinya, “kalian sudah saling mengenal?” tanyanya terkejut.
“Iyalah, Kak. Dina dan Jonathan ‘kan teman satu kampus aku,” ucap Jenny dengan senyuman di wajahnya.
“Kak!” seru Dina terkejut.
“Iya. Kak Cika ini ‘kan kakak aku,” ucap Jenny sambil merangkul lengan Cika.
Usia Cika memang lebih tua 2 tahun dari Dina. Mereka berteman sejak duduk dibangku SD.
Cika adalah kakak kelas Dina waktu itu. Tapi, Dina tak mengenal Jenny saat itu, karena Jenny tinggal bersama dengan mamanya, sedangkan Cika tinggal dengan papanya.
Cika dan Jenny berasal dari keluarga yang broken home. Tapi, setelah lulus kuliah, Cika memilih untuk tinggal bersama dengan mamanya dan adiknya, karena sang papa telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Cik! Kok kamu gak cerita kalau kamu punya seorang adik?” tanya Sela yang tak kalah terkejut.
“Ceritanya panjang. Nanti aku ceritakan,” ucap Cika.
Jenny menatap Jonathan dengan tatapan kerinduan. Ya...ia sangat merindukan sosok pria yang sampai sekarang masih mengisi relung hatinya.
Sela mengajak Dina dan Cika untuk menemaninya membuka acara pesta ulang tahunnya.
Dina sebenarnya tak rela meninggalkan Jonathan berdua bersama dengan Jenny. Tapi, ia tak punya pilihan lain, karena ia tak ingin mengecewakan sahabat masa kecilnya itu.
Jenny menarik tangan Jonathan dan mengajaknya keluar dari kerumunan para tamu undangan.
“Ada apa? jangan membuat keributan disini. Lo pasti gak ingin sampai kakak lo tau siapa lo sebenarnya ‘kan?”
Jenny tak peduli dengan ucapan Jonathan, ia langsung memeluk tubuh pria itu.
“Gue kangen sama lo, Jo. Apa lo gak kangen sama gue? Sejak putus sama lo, gue gak pernah berhubungan dengan pria lain, karena yang gue inginkan hanya lo.”
Jonathan melepas pelukan Jenny, “gak! Memang apa peduli gue. Lo mau berhubungan dengan siapapun gue juga gak peduli,” ucapnya dingin.
“Jo, gue janji, gue gak akan mengatakan apa-apa sama Dina. Tapi, gue ingin kita kembali kayak dulu lagi.”
Jenny melingkarkan kedua tangannya ke leher Jonathan, menempelkan bibirnya ke bibir pria itu.
Jonathan hanya diam, ia ingin melihat, sampai sejauh mana Jenny akan mengodanya. Ia tau, kalau saat ini Jenny ingin membangkitkan gairahnya.
Jenny memang tau titik-titik kelemahan seorang Jonathan. Ia tersenyum, saat mendengar desahan yang mulai keluar dari mulut Jonathan.
“Jen! Hentikan! Jangan sampai lo menyesal nanti!” seru Jonathan sambil mendorong tubuh Jenny.
“Jo, gue tau lo sangat menginginkannya. Gue tau, udah lama lo pasti gak pernah melampiaskannya. Malam ini, gue akan lakukan apapun yang lo inginkan,” ucap Jenny sambil mengusap lembut pipi Jonathan.
Jenny mendekatkan wajahnya, “gimana kalau sekarang kita pergi ke belakang. Kita tuntaskan apa yang sangat kita inginkan malam ini,” bisiknya sambil menghembuskan nafas hangat ke telinga Jonathan.
Jenny menarik Jonathan dan membawanya ke belakang. Tentu saja tempat yang mereka tuju adalah salah satu kamar yang ada di hotel itu.
Dina sejak tadi terus mencari keberadaan Jonathan. Bahkan panggilannya pun tak di jawab oleh Jonathan. Raut kecemasan terlihat jelas di wajah Dina saat ini.
“Gimana, Din. Apa Jonathan mengangkat telpon darimu?” tanya Sela.
Dina menggelengkan kepalanya, “Cik. Kamu tau dimana Jenny?” tanyanya.
Cika menggelengkan kepalanya, “Din, sebenarnya ada apa sih ini? aku lihat sepertinya kamu gak suka dengan Jenny. Apa kamu dan adik aku ada masalah?” tanyanya penasaran.
Gak! Gue gak boleh cerita soal Jenny dan Jonathan. Bisa-bisa mereka nanti malah mengejek gue, karena Jonathan telah berselingkuh dengan Jenny, sahabat gue sendiri.
“Gak kok, Cik. Perasaan kamu aja. Aku dan Jenny gak ada masalah apa-apa kok,” ucap Dina berbohong.
“Coba kamu hubungi Jonathan lagi, siapa tau kali ini diangkat,” usul Sela.
Dina menganggukkan kepalanya. Ia lalu kembali menghubungi nomor Jonathan. Tapi, Jonathan tak juga mengangkat telepon darinya.
Jo, kemana sih kamu. Apa kamu sekarang lagi sama Jenny? Apa kamu gak bisa sekali aja, gak bikin hati aku sakit kayak gini, Jo.
Sela melihat Jonathan yang tengah berjalan ke arahnya, “itu Jonathan,” ucapnya sambil menatap Jonathan.
Dina lalu bergegas menghampiri Jonathan, memeluknya saat sudah berada tepat di depannya.
“Kamu kemana aja? Kenapa telepon aku gak kamu angkat? Kamu gak lagi sama Jenny ‘kan?” tanyanya cemas dan takut.
Takut kalau apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan.
Jonathan melepaskan pelukan Dina, “sory, tadi aku ada urusan sebentar. Ponsel aku tertinggal di mobil,” ucapnya sambil membelai pipi Dina.
“Jo, kamu gak habis sama Jenny ‘kan?” tanya Dina lagi.
Saat memeluk Jonathan, Dina mencium bau parfum seorang wanita. Tapi itu bukan bau parfum miliknya. Ia semakin yakin, parfum itu adalah parfum milik Jenny.
Belum sempat Jonathan menjawab, Jenny melangkah mendekat.
“Terima kasih ya, Jo. Gue seneng deh bisa melepas rasa rindu gue sama lo,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jenny lalu menatap Dina yang saat ini menatapnya tajam penuh amarah.
“Jonathan itu bukan hanya milik lo, tapi dia juga milik gue. Apa lo lupa itu?” sinisnya.
“Kamu!” seru Dina geram.
Dina hendak menampar Jenny, tapi Jonathan menghalanginya.
“Jangan mempermalukan diri kamu sendiri karena sikap kekanak-kanakan kamu. Lebih baik kita pulang sekarang,” ajaknya lalu menarik tangan Dina keluar dari aula itu.
Jenny tersenyum puas, “Jo, sampai kapan pun gue gak akan pernah lepasin lo.”
Dina menghempaskan tangan Jonathan yang menariknya keluar dari aula gedung itu. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya.
“Jo, apa kamu dan Jenny...kalian habis...” Dina bahkan tak sanggup mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya.
“Jangan berpikir macam-macam. Gak ada apa-apa antara aku dan Jenny.”
“Bohong! Aku bisa mencium parfum Jenny di baju kamu! apa yang telah kalian lakukan di belakang aku! kenapa kamu tega melakukan ini sama aku, Jo? Kenapa?” tangis Dina semakin pecah. Mereka bahkan sekarang menjadi pusat perhatian.
“Terserah, kamu mau percaya sama aku atau enggak. Tadi, Jenny memang mengajakku untuk ML.”
Kedua mata Dian membulat dengan sempurna, “terus kamu turuti kemauannya?” geramnya.
“Sudah aku bilang, aku gak melakukan apa-apa sama Jenny.”
“Lalu...kenapa tadi Jenny mengucapkan terima kasih sama kamu? dia juga bilang kalau dia sudah melepaskan rasa rindunya sama kamu? aku gak percaya sama kamu, Jo!”
Jonathan menghela nafas, “kamu mau tau kenapa Jenny mengatakan semua itu sama kamu? aku akan mengatakannya. Jenny tadi membawaku ke salah satu kamar yang ada di hotel itu. Dia bahkan mengajakku untuk ML. Dia bahkan sudah hampir melepas semua pakaiannya dan merayuku.”
Jonathan bersandar pada badan mobilnya, “aku hampir terbuai. Aku juga pria normal, melihat kemolekan tubuh Jenny sudah membuatku panas dingin.”
Dina mengepalkan kedua tangannya.
“Tapi, aku teringat sama kamu. Tujuan aku kesini untuk menemani kamu, bukan untuk tidur sama Jenny. Jadi, aku putuskan untuk pergi dan ninggalin Jenny di kamar itu,” lanjut Jonathan.
“Kamu gak bohongkan?” tanya Dina lalu memeluk Jonathan.
“Hem...lebih baik sekarang kita pulang. Aku gak mau membahas masalah ini lagi. Selain itu, kamu gak usah mendengar apapun yang Jenny katakan. Kamu tau ‘kan kalau Jenny gak terima saat aku mutusin dia?”
Dina menganggukkan kepalanya, “maafkan aku,” ucapnya.