Ajakan ke puncak

1789 Kata
Desy saat ini tengah duduk di teras belakang rumahnya. Menatap berbagai macam bunga yang sengaja ia tanam di belakang rumahnya. Tanaman bunga itu tumbuh dengan sangat indah. Desy menanam berbagai macam bunga di belakang rumahnya, karena permintaan anak keduanya yang saat ini tengah menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Desy sangat merindukan putri keduanya itu, sudah setahun Diva tidak pulang ke Indonesia, dengan alasan sibuk dengan tugas kuliahnya. Padahal saat itu, Diva baru saja lulus S1. “Mendingan aku telepon Diva. Siapa tau dia belum tidur.” Desy lalu mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja. Membuka kontak dan mencari nomor Diva, menekan nomor itu, lalu menempelkan benda pipih itu di telinganya. Tak butuh waktu lama, panggilan itu sudah tersambung. “Halo, Ma,” sahut Diva saat panggilan itu sudah tersambung. “Apa Mama mengganggu tidurmu, Sayang?” “Diva belum tidur, Ma. Diva baru saja selesai mengerjakan tugas kampus. Mama apa kabar?” “Mama baik, Sayang. Bagaimana kabar kamu? kapan kamu akan pulang ke Jakarta? Mama kangen sama kamu.” kedua mata Desy mulai berkaca-kaca. “Sebentar lagi Diva pulang, Ma. Diva mau ambil cuti seminggu. Selain itu ada sesuatu yang mau Diva ambil buat tugas kampus.” Kedua sudut bibir Desy tertarik membentuk sebuah senyuman, “Mama akan menunggumu, Sayang.” “Ma... apa Mama menangis?” Diva bisa mendengar suara mamanya yang mulai serak. “Gak kok Sayang. Mama sangat bahagia.” “Maafin Diva ya, Ma. Diva janji, setelah Diva lulus kuliah nanti, Diva akan pulang ke Jakarta. Diva akan tinggal sama Mama dan Papa. Sudah cukup Diva mengalah selama ini.” “Sayang. Maafkan sikap kakak kamu ya. Maafkan Mama dan Papa juga.” “Mama dan Papa gak salah kok. Diva juga bisa mengerti perasaan Kak Dina. Tapi, sikap Kak Dina sudah keterlaluan. Kenapa Diva yang harus disalahkan, sedangkan Diva gak tau apa-apa.” “Maafkan Mama, Sayang.” “Ma, bagaimana kabar Papa? Papa sehatkan, Ma?” “Papa kamu sehat, Sayang. Kakak kamu sekarang juga sudah kerja di kantor membantu Papa. Mama sudah gak sabar melihat keluarga kita berkumpul seperti dulu lagi.” “Diva juga, Ma. Diva sudah gak sabar ingin peluk Mama dan Papa. Diva benar-benar kangen sama Mama dan Papa.” Seorang wanita paruh baya datang menghampiri, “Nyonya, ada tamu,” ucapnya. Desy menganggukkan kepalanya, “Sayang, sudah dulu ya, nanti kita sambung lagi.” “Iya, Ma. Diva sayang sama Mama. Salam untuk Papa dan Kak Dina.” “Nanti Mama sampaikan. Mama juga sayang sama kamu.” Desy lalu mengakhiri panggilan itu. “Siapa, Bi yang datang?” tanyanya kemudian kepada asisten rumah tangganya. “Nyonya Nita, Nyonya.” Desy lalu beranjak dari duduknya, “tolong buatkan minuman ya Bi,” pintanya lalu melangkahkan kakinya menuju ruang tamu untuk menemui sahabatnya. Desy dan Nita saling berpelukan dan melakukan cipika cipiki tentunya. “Tumben kamu datang ke rumah aku? apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?” tanya Desy setelah menyuruh Nita untuk kembali duduk. “Gak. Aku kangen aja sama kamu. Aku kangen masa-masa kita kuliah dulu. Ada hal lain juga yang ingin aku bicarakan sama kamu.” Desy mengernyitkan dahinya, “soal apa ya?” tanyanya penasaran. Seorang wanita paruh baya datang sambil membawa nampan yang berisi dua gelas jus jeruk, lalu meletakkannya di atas meja. “Silahkan diminum, Nyonya,” tawarnya. “Terima kasih, Bi,” ucap Nita dengan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu lalu pamit undur diri. “Apa yang ingin kamu bicarakan soal Dina dan Jonathan?” tebak Desy dan langsung mendapatkan anggukkan kepala dari Nita. Jonathan saat ini tengah sibuk dengan setumpuk berkas di atas meja kerjanya. Hari ini Tegar mengambil cuti, karena ibunya tengah sakit, hingga Tegar terpaksa harus pulang kampung untuk menjenguk ibunya. Jonathan sempat menawarkan diri untuk mengantar Tegar pulang ke kampung halamannya. Tapi, tentu saja ditolak langsung oleh Tegar. Karena Tegar tau betul, betapa sibuknya kantor saat ini. Jonathan menghela nafas, “gue gak nyangka, ternyata gak ada Tegar kacau semua pekerjaan gue,” keluhnya. Jonathan mendengar suara ketukan pintu, “masuk,” sahutnya. Pintu terbuka dengan perlahan, menampilkan sosok Gresia dengan pakaian kerjanya yang seksi tentunya. “Pak, ada yang ingin bertemu dengan anda,” ucapnya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya hingga Jonathan bisa dengan jelas menatap belahan dadaa Gresia yang memang terlihat dengan sangat jelas. Gimana Tegar gak tergoda, belahan dadanya aja begitu menggoda. “Siapa?” tanya Jonathan penasaran. “Pak Dava.” Dava! untuk apa dia datang ke kantor gue? “Suruh dia masuk.” Gresia kembali membungkukkan tubuhnya, “baik, Pak,” ucapnya lalu pamit undur diri. Setelah kepergian Gresia, tak berselang lama, Dava masuk ke dalam ruangan Jonathan. “Apa gue mengganggu?” tanya Dava lalu menarik salah satu kursi yang ada di depan meja kerja Jonathan. “Ada apa lo ke kantor gue? Tumben.” “Gue kesini ingin mengajak lo liburan ke puncak weekend besok. Adik sepupu gue, mengadakan acara di puncak.” Jonathan menatap Dava dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Entah itu tatapan kebencian, atau tatapan penasaran. “Lo bisa ajak Dina juga. Gue udah ajak Tegar dan Rendy juga,” lanjutnya. “Kenapa gak lo aja yang ajak Dina? Kalau lo yang ajak, dia pasti ikut.” Dava tertawa, “lo ‘kan pacar Dina, gak mungkin dong gue ajak pacar temen gue sendiri.” Dasar munafik! Jonathan tersenyum sinis, “ya gak apa-apa dong. Dina ‘kan selain pacar gue, dia juga sahabat lo ‘kan? Gak ada salahnya ngajak temen sendiri.” Dava lalu mengambil pigura yang ada di atas meja kerja Jonathan. Di dalam pigura itu terdapat foto Jonathan dan Dina yang sedang berpelukan. “Jo, apa lo berniat untuk menikahi Dina?” tanyanya sambil menatap foto kedua sahabatnya itu. Jonathan mengernyitkan dahinya, “kenapa lo menanyakan itu?” Dava tersenyum, “kalian sudah berpacaran selama 4 tahun, gak mungkin ‘kan lo akan putusin Dina gitu aja?” Jonathan melipat kedua tangannya didepan dadanya, “kalau gue dan Dina akhirnya putus, memangnya apa yang akan lo lakukan?” “Gue akan merasa kasihan dengan Dina, karena dia sangat mencintai lo,” jawab Dava sambil mengusap foto Dina dalam figura itu. Jonathan beranjak dari duduknya, melangkah mendekati Dava lalu mengambil pigura yang ada di tangan sahabatnya itu. “Kita gak akan tau bagaimana masa depan. Kalau gue dan Dina memang berjodoh, kami gak akan terpisahkan dan menikah nantinya. Tapi, kalau kami memang gak berjodoh, gue juga gak bisa berbuat apa-apa,” ucapnya sambil menatap foto dirinya yang tengah memeluk Dina dari belakang. Foto itu diambil saat Jonathan dan Dina merayakan hari jadi hubungan mereka yang ke satu tahun di puncak. Jonathan meletakkan pigura itu ke atas meja, “lo udah makan belum?” tanyanya pada Dava. “Lo mau ngajak gue makan siang?” “Ini sudah waktunya makan siang. Gak mungkin juga gue ninggalin lo sendirian disini.” Dava lalu beranjak dari duduknya, “ok, tapi gue yang traktir ya.” “Serah lo.” Jonathan dan Dava lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Melihat Gresia yang kini beranjak dari duduknya untuk menyapa Jonathan dan Dava. “Kamu boleh pergi makan siang sekarang,” titah Jonathan. “Baik, Pak. Terima kasih,” ucapnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Dava membisikkan sesuatu di telinga Jonathan, “sekretaris lo seksi juga ya,” bisiknya. “Lo suka? Boleh lo ambil kalau kamu,” ucap Jonathan lirih lalu melangkah pergi menuju lift. Dava menatap Gresia yang masih berdiri. Ia lalu tersenyum. “Saya duluan ya,” pamitnya. Gresia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Tanpa sepengetahuan Dava, Jonathan mengirim pesan kepada Dina dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Dava begitu terkejut saat melihat kedatangan Dina. Begitu pun dengan Dina, dia juga terkejut saat melihat Jonathan yang ternyata tengah bersama dengan Dava. “Sayang, kenapa kamu malah bengong? Apa kamu gak ingin duduk?” tanya Jonathan sambil menarik kursi di sebelahnya. “Jo, lo gak bilang kalau lo mengajak Dina untuk makan siang.” Dava menatap Dina yang saat ini sudah duduk di samping Jonathan. Jonathan merangkul bahu Dina, lalu mengecup pelipisnya. “Kenapa? apa lo gak suka kalau gue ajak Dina untuk makan siang sama kita?” “Bu—bukan begitu. Kalau kayak gini ‘kan gue seakan sedang mengganggu kencan kalian,” ucap Dava sambil menepiskan senyumannya. Jonathan menyungingkan senyumannya. Ia merasa sangat puas melihat ekspresi keterkejutan Dina dan Dava. Tapi, dengan mengajak Dina makan siang bersama, Jonathan harus bersandiwara di depan Dina dan Dava, dan harus bersikap romantis kepada Dina. “Sayang, kamu mau pesan makanan apa?” tanya Jonathan dengan mesra kepada Dina. “Hem, terserah kamu aja, Sayang.” Dina merangkul lengan Jonathan, “aku seneng deh, kamu mau ngajak makan siang aku,” lanjutnya. “Anggap saja ini sebagai permintaan maaf aku karena gak punya waktu untuk kamu.” Jonathan mengecup pelipis Dina, dan itu tak luput dari tatapan Dava. Jonathan lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman. Setelah mencatat semua pesanan Jonathan, pelayan itu pamit undur diri. “Oya, Sayang. Dava mengajak kita untuk liburan ke puncak. Kamu mau ikut gak?” Jonathan menggenggam tangan Dina lalu mengecupnya. Dina menatap Dava, “liburan ke puncak? Dalam rangka apa ya?” tanyanya penasaran. Bukankah semalam Dava bilang dia hanya akan mengajak gue untuk liburan ke puncak? Kenapa dia malah mengajak Jonathan juga? Apa yang sedang Dava rencanakan sebenarnya? “Gak ada acara apa-apa sih. Ingin liburan aja, sama sepupu gue mengadakan acara kecil-kecil di puncak,” jawab Dava sambil menepiskan senyumannya. Jonathan beranjak dari duduknya, “gue tinggal ke toilet bentar ya,” pamitnya lalu melangkah pergi. Dina melihat Jonathan yang sudah menjauh, “Dav, kenapa lo ajak Jonathan juga? Apa yang sebenarnya lo rencanakan? Apa lo ingin membongkar semuanya di depan Jonathan?” tanyanya penuh emosi. Dava menggenggam tangan Dina yang ada di atas meja, “lo jangan salah paham dulu. Gue sengaja mengajak Jonathan dan yang lainnya agar mereka gak curiga saat lo pergi sama gue.” “Apa lo bodoh! Bukannya kalau Jonathan dan yang lainnya ikut, mereka akan tau soal hubungan kita, hah! Kenapa lo gak mikir sampai kesitu? Apa otak lo udah mulai bodoh!” Dava mencium punggung tangan Dina, “kalau soal itu, lo tenang aja. Mereka gak akan tau soal hubungan kita.” Tanpa Dina dan Dava ketahui, Jonathan dengan diam-diam merekam interaksi mereka berdua. Jonathan memang sengaja meninggalkan Dina dan Dava berdua dengan beralasan untuk pergi ke toilet. Padahal ia hanya ingin memantau mereka dari jarak yang sama sekali tak mereka sadari. Dava, Dina. Lihat saja apa yang akan gue lakukan untuk membalas perbuatan kalian ini. Pembalasan gue akan lebih sakit dari apa yang gue rasakan. "Jangan kalian pikir gue akan tetap diam saja. Lihat saja nanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN