“Aaaaw!”
Tiara tidak bisa tidur di kamar ini. Periode datang bulan yang datang membuat dia mudah terkena sakit kepala, belum lagi rasa sakit dari jerawat dan juga perut bagian bawahnya yang berulang kali keram.
Seperti inilah tersiksanya dia saat datang bulan.
Perempuan yang sedang menahan sakit itu pun turun dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk bercermin. Melihat pantulan dirinya dengan banyak sekali jerawat membuat dia sangat sedih.
Memang ketika datang bulan, dia selalu berjerawat. Tapi sebelumnya tidak pernah jerawat itu sebanyak ini. Stres yang dialami Tiara beberapa hari terakhir membuat tonjolan-tonjolan itu muncul dengan jumlah yang sangat banyak.
“Aaassssh!” Dia mendesis saat mengelap salah satu nanah bercampur darah yang keluar dari dekat hidungnya.
Tak pernah sebelumnya jerawat yang ia alami separah ini, Tiara menangis.
Dalam hati ia merutuki nasib yang selalu mendapat kemalangan. Sekarang dirinya pasti sudah masuk dalam daftar hitam pegawai negeri karena tidak bekerja berhari-hari dan membuat kesan yang buruk di lingkungan kerja.
Kembali ke kamar setelah mencuci muka dari darah-darah kotor yang keluar, Tiara juga mengeluh karena di sini tidak sabun khusus untuk kulit berjerawat.
Dia tidak bisa hidup di tempat ini!
Yang anehnya lagi, dia tidak bisa kabur meski pintunya tidak dikunci.
Malam yang semakin larut, tetap tak membuat Tiara bisa tidur dengan lelap. Hingga akhirnya sinar matahari masuk melalui kisi-kisi udara di sudut ruangan, dia pun menyadari hari telah pagi.
Kepalanya berkunang-kunang karena belum tidur lelap sejak tadi. Ditambah tak ada aktivitas yang bisa dilakukan di tempat ini, membuat dirinya ingin menangis dan ingin kembali pada kehidupannya.
“Ini sarapanmu!” Seperti biasa, para pelayan itu akan keluar masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu.
Tiara melihat nampan yang berisi penuh makanan tergeletak di pintu. Mereka memang memperhatikan asupan gizi Tiara. Tapi tetap saja, sebanyak apa pun makanannya, Tiara tak bisa membuat perutnya kenyang. Karena, gadis tersebut tak pernah mau untuk menyentuh semua itu.
“Tuan muda, makanlah!” teriak pelayan dari seberang kamarnya yang bisa terdengar sampai kemari.
Tiara pun teringat pada Ethan, anak kecil kemarin yang menghampiri ke kamarnya.
Dia mengintip melalui celah tirai dan melihat pada pintu seberang yang terbuka. Tampak pelayan yang keluar masuk dari ruangan tersebut.
“Kenapa di sana sangat ramai?” gumam Tiara.
Dia melihat pada makanan yang dibawakan untuknya. Makanan ini cukup enak, perut laparnya sedari berbunyi. Belum lagi liur yang hampir menetes mencium aroma nasi goreng dengan campuran daging ayam.
Tiara mengintip lagi ke kamar Ethan untuk mengalihkan pikiran laparnya, tapi dia malah tergoda lagi oleh aroma harum yang sedang tersimpan di bawah pintu.
Asap dari nasi goreng panas itu mengepul dan mencapai ke indra penciumannya. Menggelitik bulu-bulu hidung di sana, sampai dirinya akhirnya dia tak tahan dan meraih sendok di atas nampan.
“Ya, aku hanya harus hidup untuk bisa berpikir dan menyelamatkan Ethan dari sini.” Tiara pun menyuapkan makanan ke mulutnya.
Dia mengunyah makanan tersebut dengan cepat. Entah karena nasi goreng itu yang terlalu enak, atau hanya karena sekedar perutnya yang lapar.
Satu bulir pun tak tersisa di atas piring putih tersebut. Bahkan air dalam gelas pun tandas dengan sekali Tiara mengangkat gelas. Tersisa dua buah pir yang sama sekali tak disentuh oleh Tiara.
Beberapa menit pun berlalu, ruangan di seberang kembali sepi. Entah pergi ke mana para pelayan tadi. Mungkin mereka sudah usai menyuapi Ethan, sehingga anak itu ditinggalkan.
Masih menjadi misteri bagi Tiara, kenapa semua yang ada di tempat ini menyebut dengan sebutan Tuan Muda?
“Sepertinya Ethan adalah anak dari orang yang sangat kaya! Dia diculik dari orang tuanya dan ditahan di tempat ini. Maka dari itu, Ethan dipanggil Tuan Muda!” Tiara berasumsi sendiri.
Memperhatikan sekeliling lantai dua yang sepi, Tiara pun menyelinap keluar. Dia menghampiri kamar Ethan dan bergerak tanpa suara.
“Hai,” sapa Tiara lirih saat ia telah masuk ke kamar Ethan.
“Boleh aku masuk?” tanyanya.
Ethan tak menjawab atau sekedar memberi isyarat. Dia hanya menatap pada Tiara sekejap, lalu kembali fokus pada lukisannya.
Lagi-lagi, reaksi Ethan seperti mengabaikan Tiara. Tapi kali ini, mata Tiara langsung menuju pada sebuah lukisan yang dibingkai dan dipasang di dinding. Itu adalah lukisan yang kemarin dibawa dan ditunjukkan Ethan padanya.
“Kali ini kau menggambar danau?” Tiara beralih pada kanvas yang sedang digarap oleh Ethan.
“Kau pernah melihat danau ini? Seandainya danau ini ada, pasti indah sekali!” Tiara lagi-lagi bicara seorang diri.
Ethan menoleh untuk mengambil palet warna dan mengganti kuasnya, anak ini kembali mengoleskan cat dengan warna lain pada kanvasnya.
“Dulu sekali, aku memiliki tempat tinggal di sekitar danau. Danau itu menjadi tempat wisata dan banyak sekali yang datang untuk bermain di sana.” Karena kesepian, akhirnya Tiara bicara sendiri.
“Ibuku juga membuka usaha penginapan dan warung makan di sana. Sesekali aku membantu ibu setelah pulang dari sekolah! Lalu terkadang, ada pengunjung yang memberiku uang receh. Aku sangat bahagia saat mendapat uang tersebut!”
Tiara tersenyum sendiri walau yang ceritakan tak mendapat respons apa-apa dari Ethan.
“Wah, kau juga diberi makan? Kenapa belum dimakan?” tanya Tiara yang mengambil piring tersebut.
“Menggambarlah! Biar aku yang menyuapi kamu,” tutur perempuan itu dengan menyodorkan sesendok nasi.
Ethan melihat ke arah sendok tersebut dan juga Tiara secara bergantian.
“Makanlah, sambil melanjutkan lukisanmu!” ujar Tiara yang semakin mendekatkan sendok itu pada Ethan.
Meski awalnya diam saja, akhirnya Ethan membuka mulutnya juga. Anak itu sangat pendiam dengan wajah datarnya. Orang kadang tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran anak ini.
Suapan demi suapan masuk ke mulut Ethan. Anak itu tidak rewel atau memilih-milih lauk, sungguh dia anak yang sangat tenang bagi Tiara.
“Maafkan kami!” Dari luar terdapat suara langkah kaki yang mendekat.
Tiara dan juga Ethan langsung gugup dan melihat ke arah pintu.
“Kami akan merayunya sekali lagi!”
Itu suara para pelayan.
“Baik, Tuan David! Kami mengerti!”
Setelah itu pintu kamar Ethan terbuka.
Semuanya benar-benar terkejut, begitu pula dengan Tiara dan Ethan.
Hampir saja tangan Tiara terpeleset dan hendak menjatuhkan piring karena saking gemetar.
Ternyata para pelayan tersebut sedang melakukan panggilan video dengan David, karena David ingin melihat anaknya. Akan tetapi, sang pelayan terlalu gugup karena ia gagal menyuapi Ethan untuk sarapan pagi.
Namun saat mereka masuk ke kamar Ethan, semuanya terkejut karena mendapati anak itu yang sedang disuapi oleh Tiara.
Sebelum Tiara benar-benar menjatuhkan piring, dia pun menyimpan benda tersebut kembali ke atas meja.
Kemudian, dari seberang terdengar suara amarah yang teramat sangat.
“KAU APAKAN ANAKKU?”