Tiara menangis tersedu sembari memeluk anak kecil bermata hazel tersebut. Dia mencium dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang.
Dalam hati Tiara membatin, ternyata anak ini tetap terawat dengan baik. Dia cukup harum, rapi dan berpakaian mahal. Sebagai seorang anak yang diculik, sepertinya para pelayan tadi memperlakukan tawanannya dengan baik.
“Kau sudah makan?” tanya Tiara sambil menatap pada warna mata yang langka pada pupil sang bocah.
Setelah ditanya demikian, anak itu diam saja. Dia hanya menatap Tiara tanpa ekspresi.
“Kau bisa bicara? Berapa umurmu?” tanya gadis itu lagi.
Dilihat dari postur tubuh dan penampilannya, anak laki-laki ini seperti berusia lima tahunan. Tiara yakin akan itu, tapi kenapa anak ini diam saja seakan menunjukkan jika dirinya belum bisa bicara.
“Asalmu dari mana? Apakah orang tuamu yang sengaja membawamu ke sini?” Dia bicara sendiri sambil berlutut di depan anak laki-laki tersebut.
Tak ada sepatah kata pun yang dikeluarkan oleh anak yang menghampiri Tiara itu. Sesuatu berada dalam pelukannya, sejak tadi dia pegang seolah ingin ia lindungi agar tidak hilang.
Tiara penasaran dengan apa yang dibawanya. “Boleh aku lihat? Apa itu?”
Pertanyaan Tiara kali ini juga tak mendapat jawaban, akan tetapi dia menunjukkan benda tersebut yang ternyata merupakan sebuah lukisan.
“Wah, gambar yang indah. Siapa ini?” Tiara menunjuk pada seorang anak kecil yang berada dalam gambar.
Anak itu diam, dia tak menjawab. Mengangguk, menggeleng, atau dengan isyarat apa pun tidak.
Tiara mendadak jadi canggung sendiri, dia tahu jika bocah laki-laki ini memperhatikan dirinya, jadi sekarang dia benar-benar merasa diabaikan.
“Kalau ini ... ibumu?” Meski tahu dia tidak akan dijawab lagi, Tiara tetap mengajaknya bicara.
Kali ini sang bocah menatap Tiara. Mata berwarna hazel bergetar seakan menularkan pesan tersirat pada orang yang ditatapnya.
“Ini ... ibumu?” tanya Tiara lagi.
Bocah itu menggerakkan tangannya, lalu menunjuk tepat di hidung Tiara.
“Aku? Maksudmu, perempuan ini adalah aku?” Tiara terkekeh lalu dia melihat pada ujung dari lukisan tersebut yang terdapat sebuah tulisan. Perempuan itu pun membacanya. “Ethan? Namamu Ethan?”
Saat nama itu disebut, sang bocah pun melemparkan senyum yang lebar pada Tiara.
**
Kondisi dari salah satu bisnis yang dijalankan oleh David saat ini sedang kacau. Selundupan barang haram yang ia bawa ke Indonesia diketahui oleh pihak kepolisian. Seluruh antek yang menangani pun ditangkap oleh polisi.
Berita tentang temuan obat terlarang telah disiarkan di seluruh penjuru Indonesia, akan tetapi anggota mafia Serigala Pembunuh, tidak akan pernah tersentuh.
Hanya saja, David merasa dirugikan. Obat terlarang itu bernilai dua milyar rupiah. Salah satu orang yang bertanggungjawab akan hal tersebut adalah ayah dari Tiara, yang sekarang telah mengganti kerugian tersebut dengan menyerahkan sang anak.
Akan tetapi, kerugian tetap kerugian, meski telah mendapat pengganti, David tetap harus mencari akar dari penyebab hal ini bisa terjadi. Karena masalahnya, hal yang sama terjadi di Vietnam.
Hanya saja, masalah yang terjadi di salah satu negara Asia Tenggara sebelah utara ini lebih pelik dari yang dialami di Indonesia.
“Ini adalah daftar semua anak buah yang tertangkap oleh pemerintah setempat,” ucap seorang pengawal berkacamata sambil menunjukkan kertas yang berisi berbagai data diri anak buah mereka.
“Yohan, kau sudah menemukan siapa orang yang membelot padaku?” tanya David. Dia tak peduli dengan daftar anak buah yang tertangkap itu.
Pria yang dipanggil Yohan itu pun langsung menarik kembali dokumen yang ia berikan. “Maaf, Tuan!”
Jawaban itu mengecewakan David, pria itu menggeram dan langsung berdiri. Dia menghadapkan wajahnya tepat di hadapan Yohan. Hingga kacamata dari sang anak buah, pas berada tepat di depan hidung David.
Pimpinan mafia itu mendengkus kesal, tangannya mengepal erat menyalurkan seluruh amarahnya. Tapi kemudian dia melepaskan kembali kepalannya dan melemaskan tenaga sambil berbalik menjauh dari Yohan.
“Kalau begitu susuri ke mana para polisi itu membawa barang-barangku! Setidaknya kita harus mendapatkannya kembali, karena aku tak mau kehilangan lebih dari yang kemarin!” titah David pada Yohan.
Pria tersebut mengusap dagunya sendiri dan sebelah tangan masuk dalam saku. Dia kembali duduk sambil bertumpang kaki, bahunya terbuka lebar dan kedua siku bertumpu di sandaran lengan.
Jika masalah ini selesai dengan tuntas, ia harus menahan amarahnya dulu. Untuk sementara!
Salah seorang anggota mafia yang memiliki kemampuan cyber berjalan mendekat pada pimpinannya dengan cepat. “Titik koordinatnya, sudah ditemukan! Sebaiknya kita segera mengirim tim!”
Akan tetapi, David mengangkat tangannya. Hal tersebut menandakan agar para bawahannya itu tak bergerak dulu.
Semuanya yang sudah terlanjur melangkah pun kembali diam. Mereka menunggu instruksi dari pimpinan para ‘Serigala’ ini.
“Lacak tujuan mereka! Kita cari titik terlemah untuk memotong jalur yang mereka gunakan! Cepat!”
Perintah dari David telah muncul. Ahli komputer dalam kelompok tersebut langsung berkutat lagi dengan komputernya.
“Gedung X di distrik 407!” tuturnya dengan cepat.
“Kita bisa mengambil jalur ini, lalu menemui mereka di salah satu titik yang aku tandai. Tempat itu adalah titik buta kamera CCTV!”
Semua anggota langsung bergerak menuju mobil mereka. Begitu pula dengan David yang berjalan cepat dan masuk dalam salah satu mobil paling mewah di antara jajaran mobil tersebut.
“Periksa dan pantau terus pergerakan polisi itu, Yohan!” titah David pada orang berpenampilan culun di sampingnya tersebut.
“Baik, Tuan!” Yohan masuk dalam mobil yang sama dengan David. Dia mengikuti koordinat salah satu mobil polisi yang membawa barang milik mereka.
Ada lima mobil dengan warna hitam, melesat dengan gagah keluar dari garasi markas mereka. Semuanya beriringan dengan posisi mobil yang dinaiki oleh David ada di tengah.
“Kita ambil jalur ke kanan. Itu akan membuat kita tiba lima menit lebih cepat ke bawah terowongan.”
“Mobil tiga, pilih jalan lurus di pertigaan setelah ini. Kalian akan mengikuti mobil mereka!”
David duduk di kursi penumpang memperhatikan betapa sibuknya portofon yang digunakan oleh anggotanya. Dia pun memperhatikan bagaimana formasi yang dirancang oleh para anggota untuk berhadapan dengan para polisi nanti.
“Kirim serigala satu, mereka harus berada di posisi utara!” titah David sembari memperhatikan layar GPS yang terdapat pada mobil.
“Baik, Tuan!” timpal Yohan, yang langsung ia sebarkan pada tim serigala satu saat itu juga.
Mobil melesat begitu cepat sesuai dengan rute yang ditentukan untuk masing-masing tim. Namun di saat itu, layar GPS terganggu karena sebuah notifikasi panggilan muncul di layar.
“Angkat!” titah David pada Yohan.
Sebuah panggilan tersambung pada penyuara telinga melalui sambungan bluetooth milik Yohan. Pria tersebut fokus berkendara sambil mendengarkan suara di seberang.
Tanpa menimpali apa-apa, Yohan pun mengeraskan volume panggilan dan mengubahnya menjadi mode loudspeaker.
David yang tadinya tak peduli dan hanya berkonsentrasi terhadap pengejaran mereka, jadi teralih karena kalimat yang diucapkan oleh pihak penelepon.
“Tuan Muda Ethan tidak ada di kamarnya! Kami sudah mencari!”