5. We were Kidnapped

1181 Kata
“Jangan pernah masuk ke kamar itu lagi!” Peringatan terakhir yang diterima oleh Tiara sebelum dirinya didorong masuk oleh David dan langsung kembali dikurung dalam kamarnya. Akan tetapi ada yang aneh lagi di sini, pimpinan preman itu meninggalkan Tiara dalam kamar. Dia dikurung dengan pintu yang tertutup, tapi gadis itu tidak mendengar suara kunci pintu. Tiara menatap ke arah pintu yang terbuat dari kayu bercat coklat tersebut. Dia raih lagi gagang pintu sambil sedikit ia tarik. “Masih bisa dibuka,” gumamnya lirih. Tapi gadis dengan tubuh berbentuk buah pir itu langsung mendorong lagi pintu ketika ia mendengar langkah kaki dari luar. Dia menoleh ke sana dan kemari mengitari kamar ini. Tidak ada benda apa pun dalam kamar tempat Tiara dikurung selain ranjang dengan kasur yang ditutup seprai merah. Lemari, nakas, meja rias, sofa, semua tak ada. Ruangan luas ini terasa sangat luas karena kekosongannya. Sesungguhnya, tempat macam apa ini? “Aku harus memikirkan cara untuk keluar dan menolong anak kecil tadi! Dia pasti bernasib sama sepertiku,” batin Tiara dengan perasaan sedih. “Kenapa mereka setega itu menyekap anak kecil? Anak itu tidak tahu apa-apa, jadi dia hanya diam tanpa berusaha untuk melarikan diri. Malang sekali nasibmu, Nak!” ucap Tiara sembari mengintip ke arah jendela dan melihat ke arah pintu tempat anak kecil tadi berada. Gadis itu sedang mencoba berpikir ulang, bagaimana cara dia kabur dari sini. Kemudian tak lama setelah itu, tanpa sadar dia pun tertidur! ** “Kau sudah hubungi dokter yang menangani Ethan?” Dalam pesawat, David memikirkan kondisi anaknya. “Dokter James baru kemarin datang memeriksa Tuan Muda Ethan. Bukankah Anda sudah membaca laporan kesehatannya, Tuan?” jawab pria yang sedang duduk di belakang David. David yang sedang memegang cangkir wine langsung menyimpan dengan cara sedikit membantingnya. Cairan berwarna merah keunguan tersebut terguncang dan berputar dalam gelasnya. “Dia selalu mengatakan Ethan mengalami speech delay, padahal sudah kukatakan jika Ethan adalah anak yang cerdas! Dia adalah penerusku! Dia sudah fasih saat umur dua tahun! Ethan tidak seperti itu!” geram David sembari menatap pada awan di luar jendela. Pria yang duduk di belakang David terdiam, dia tak banyak menimpali apalagi menyanggah ucapan David. Ethan, seorang anak berusia lima tahun. Para anggota mafia Serigala Pembunuh tidak ada yang tahu asal-usul anak tersebut. David membawa anak itu ke markas ketika berusia tiga tahun, lalu pria itu mengatakan jika Ethan adalah anaknya. Semua anggota Serigala Pembunuh tak percaya jika seorang David bisa membentuk hubungan romantis dengan seorang perempuan sampai menghasilkan seorang anak. Tapi apabila sang pimpinan berkata demikian, siapa yang mau tidak percaya? Terlebih David yang memiliki sifat sangat keras dan tak kenal ampun, menjadi begitu lunak dan sangat memperlakukan Ethan dengan istimewa. Tak ada yang tahu siapa ibu dari Ethan, lalu tak ada pula satu orang anggota pun yang berani mempertanyakannya? Apalagi, David memerintahkan semua anggota Serigala Pembunuh merahasiakan keberadaan Ethan di markas utama. Orang luar tak ada yang tahu tentang Ethan, bahkan seperti dikatakan sebelumnya, satu pun tidak ada yang tahu jika David memiliki seorang anak. “Apa saya perlu mengganti Dokter James untuk menangani Tuan Muda?” tanya pria berkacamata berwajah cupu yang juga duduk di salah satu bangku pengawal belakang David. “Memangnya ada? James adalah dokter ketujuh yang menangani Ethan!” Wajah David tampak putus asa. Semenjak dibawa ke markas Serigala Pembunuh, Ethan adalah anak yang pendiam. Tapi lama kelamaan, Ethan bukan hanya pendiam, melainkan memang tidak bicara. Entah dia tidak mau, entah memang belum bicara. Berbagai terapi telah dilakukan untuk Ethan, tapi tak satu pun membuahkan hasil. Bahkan pimpinan mafia ini pun tak tanggung-tanggung mendatangkan dokter anak yang terbaik di dunia untuk menanganinya, tapi Ethan tetap tak bicara sampai sekarang. “Mereka semua sama saja, mereka hanya menganggap Ethan adalah seorang anak kecil yang terlambat bicara!” Jika membicarakan tentang Ethan, anaknya, aura yang dipancarkan oleh seorang David memang berbeda. Wajah khawatir seorang ayah, tercetak dengan jelas dalam ekspresinya. “Mungkin jika Tuan David menceritakan penyebab kenapa Tuan Muda bisa menjadi pendiam, para dokter akan menemukan cara mengatasinya. Tapi jika tidak, maka para dokter akan menganggap Tuan Muda memang belum bisa bicara!” saran dari pria berkacamata itu lagi. Mendengar hal itu, David sangat geram. Dia mengepalkan tangan begitu erat sambil merekatkan gigi-giginya. Pria itu hendak berdiri dan rasanya dia ingin menonjok pengawalnya sendiri. Akan tetapi, sebuah guncangan dialami pesawat. Keseimbangan mereka sedikit terpengaruh, sehingga hal itu mengurungkan niat David untuk melampiaskan kekesalannya. Semua penumpang pesawat memakai sabuk pengamannya masing-masing, karena pesawat sebentar lagi akan mendarat. ** Terbangun karena merasakan dirinya begitu tak nyaman, dia tertidur selama lebih dari enam jam karena saking lelahnya. Tiara baru ingat jika dia sedang datang bulan. Sejak tadi dia tertidur hingga tidak sadar bila darah haidnya sudah hampir mengotori pakaian yang ia kenakan. “Aku harus membersihkannya!” Dia terburu-buru bangun, sehingga membuat kepalanya sedikit pusing. Tiara langsung menuju ke kamar mandi dan membersihkan pakaian dalamnya. Masih ada pembalut sisa yang diberi oleh sang pelayan tadi, sehingga masih bisa ia gunakan. Setelah membersihkan diri, Tiara juga baru menyadari jika ada ngilu di beberapa titik di wajahnya. Spontan ia segera menghampiri cermin, satu-satunya cermin yang bisa ia gunakan di sini, hanyalah cermin dalam kamar mandi. Dia melihat ke arah wajahnya, ternyata di sana sudah bermunculan beberapa jerawat. Bahkan di antara mereka sudah ada yang cukup besar, tapi Tiara mungkin belum menyadarinya sejak kemarin. Rasa sakit karena kejadian yang menimpanya saat ini, membuat ia agak teralihkan dan tak memperhatikan jerawat selalu tumbuh di seluruh wajahnya saat datang bulan tiba. Tidak hanya di wajah, beberapa bahkan selalu muncul di bahu, punggung, dan perut. “Aah, kenapa malah muncul sekarang? Ini sakit sekali!” keluh Tiara yang berusaha pasrah dan tak ada niatan untuk memecah jerawat-jerawat itu, bagaimanapun juga Tiara tak ingin wajahnya dipenuhi bekas jerawat. Penampilan Tiara sebenarnya cukup menarik, beberapa orang menganggap Tiara memiliki wajah bak bule. Akan tetapi, jerawat menjadi nilai minus untuk seorang Tiara. Belum lagi dia tidak memiliki tubuh yang ramping seperti idaman banyak wanita, karena badannya berbentuk seperti buah pir di mana bagian pinggul dan pahanya lebih bervolume. ‘Tok Tok Tok!’ Tiara mendengar ada seseorang mengetuk pintu. “Siapa ...?” lirih Tiara. Tak akan ada seorang pengawal atau pelayan yang mengetuk pintu bila hendak masuk kamarnya. Apalagi jika itu adalah David. Dirinya yang sedang bercermin menatap pantulan wajah sendiri. Tiara tampak khawatir dan mulai gugup lagi. ‘Tok Tok Tok!’ Ketukan pintu terdengar lagi, membuat dia mundur beberapa langkah dan menelan ludah. Tiara keluar dari kamar mandi dan mengendap menuju ke area jendela. Seperti yang biasa ia lakukan, wanita itu akan mengintip ke luar dan melihat apa yang terjadi di depan pintunya. Kemudian, ia justru dikejutkan dengan penglihatannya saat itu. Tiara menutup mulutnya dan langsung membuka pintu, tanpa basa-basi dia langsung menarik seseorang yang berada di depan pintunya dan memeluk dengan erat. “Ya ampun, Nak. Kamu berjalan sendiri ke sini?” Di titik ini, Tiara meneteskan air mata lagi. Dia berpikir anak kecil ini sedang meminta tolong padanya sampai menghampiri dirinya menuju ke kamar. “Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk mengeluarkan kita dari sini, kau bertahan, ya, Sayang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN