7

2481 Kata
Author's POV Ami bercermin, menyisir rambut spikenya lalu merapikan seragamnya. Tiba-tiba dering smartphone mengagetkannya. Ada telpon dari Liam. "Assalamu'alaikum Liam, ada apa?" Tanya Ami lembut. "Wa'alaikumussalam Ami sayang, gue nggak berangkat hari ini Mi. Demam gue. Tadi udah titip surat dokter ke pak Budi. Nanti pak Budi bakal jemput lo." Ami tersentak mendengar suaminya sakit. "Lo sakit? Sejak kapan Liam? Gue jadi khawatir. Apa gue izin ya? Biar bisa nemeni lo." Liam tersenyum mendengar kekhawatiran meluncur dari bibir Ami, "dari tadi malem, papa langsung manggil dokter. Nggak usah khawatir Mi, gue cuma demam. Lumayan lemes juga sih. Udah lumayan membaik." "Beneran lo udah membaik? Nggak apa-apa nggak ditemeni?" Ami meyakinkan sekali lagi. "Nggak apa-apa. Lo berangkat aja. Kalau lo nggak berangkat ntar siapa yang nerangin pelajaran hari ini ke gue? Kalau lo berangkat, lo bisa nyatet materi hari ini, ntar gue salin." Suara Liam terdengar sedikit serak. "Okey Liam, pulang sekolah gue langsung ke rumah lo ya." "Kalau bisa lo nginep sini ya Mi. Semalam aja. Gue pingin ditemeni. Kalau lo nemeni gue pasti cepet sembuh." Liam merajuk manja. Ami tersenyum, "iya nanti gue nginep. Berarti gue sambil bawa baju juga ya. Sekalian bawa seragam ama buku-buku buat jadwal besok." "Lo bawa seragam ama buku aja. Baju couple-an endorse masih banyak. Lo juga bisa pake kaos gue, selera fashion lo kan mirip ama gue. Kecuali underwear lah jelas beda hehe. Alat mandi, alat sholat ada semua di sini." "Okey deh." "Oya sayang, kalau anak-anak nanya, bilang gue udah membaik. Mereka nggak usah dateng coz besok insya Allah gue udah balik ke school. Gue nggak pingin dijenguk siapapun kecuali lo." "Siap suamiku." "Kiss-nya mana?" Ami senyum-senyum, "emmuachhh.. Get well soon ya. "Makasih sayang. Emmuach, I love you." "I love you too." *** Kris duduk termenung di taman. Dalam benaknya terpikirkan banyak hal, tentang Angela juga tentang perbincangannya dengan ayahnya semalam. "Lo kenapa Kris?" Tanya salah seorang teman genknya yang bernama Tio. "Iya dari tadi diem terus. Belum sarapan? Laper?" Salah seorang temannya yang berwajah tampan dengan tampang paling kalem diantara anggota genknya ini ikut bersuara. Namanya Seno, tak hanya paling kalem tapi juga paling pintar akademis diantara yang lain. "Kalau gue tebak sih lagi mikirin Angela. Baru kali ini temen kita ini dibikin tak berkutik ama cewek." Seringai Chandra, atau yang sering dipanggil Chan, anggota genk paling cute. Kris menatap temannya satu per satu, "gue lagi nggak mau mikirin Angela dulu. Ada yang lebih penting." Seno, Chan dan Tio saling bertatapan. "Apa yang lebih penting?" Tio menaikkan alis matanya. "Semalam gue ngobrol bareng bokap gue. Dia pingin gue pindah ke Canada." Ujar Kris dengan suara yang berat. "Kenapa lo disuruh pindah?" Seno mengernyitkan dahi. "Katanya di sini mungkin kurang aman buat gue. Ayah tuh punya musuh bisnis di mana-mana. Perusahaan ayah lagi maju-majunya dan dia sering menang tender. Ada persaingan nggak sehat. Ayah takut gue kenapa-kenapa karena dia sering diteror." "Tanggapan lo gimana? Lo belum lama di sekolah ini masa mau pindah lagi?" Chan menggaruk belakang kepalanya. "Gue nggak mau. Di sini temen gue banyak. Berat rasanya ninggalin Indonesia. Kecuali kalau udah lulus, itu lain lagi." Sahut Kris sambil menerawang ke arah koridor. Dia terkesiap melihat Angela berjalan dengan Satria di koridor. Ketiga temannya mengikuti ke arah mana Kris melayangkan pandangannya. Kris merasa cemburu melihat keakraban yang ditunjukkan Angela dan Satria. "Wah udah ada yang berani deketin Angela tuh. Si satria, genknya Liam" Tio terkekeh. Mata Kris dipenuhi bara api kecemburuan. Dia belum ingin mundur untuk mendapatkan Angela. Satria mungkin menjadi salah satu pesaing yang cukup berat. Dia tak akan menyerah begitu saja. *** Hari ini Ami tidak begitu bersemangat mengikuti pelajaran. Dipandanginya bangku Liam yang kosong. Rasanya harinya begitu hambar tanpa ada Liam di sekolah. Dia tak bisa berkonsentrasi penuh. Ingin rasanya memutar cepat waktu agar dia bisa cepat-cepat menemui suaminya. Ketika mencintai itu menjadi suatu kebutuhan maka selalu ada kekosongan, ada sesuatu yang hilang ketika seseorang yang biasa mewarnai hari, biasa ia lihat, hari ini sama sekali tak tampak. Entah seperti apa kebahagiaan yang membuncah dari bilik hati Amber tatkala mendengar jam tanda pelajaran telah usai dan dia sudah bisa pulang. Rasanya dia tak sabar untuk segera bertemu belahan jiwanya. *** Author's POV "Liamlihat siapa yang datang?" Herlina menuntun Ami masuk ke dalam kamar Liam. Liam yang tengah berbaring dengan wajah bosan menoleh ke arah pintu. Matanya berbinar dan senyum mengembang di wajahnya melihat Ami berjalan mendekat kepadanya. Tidak berjumpa Ami sehari saja sudah bisa menerbitkan kerinduan yang begitu dalam. Herlina meninggalkan mereka berdua di kamar.Ami dan Liam saling bertatapan. Ada gurat-gurat kesedihan tergambar dari raut wajah Ami kala melihat suami yang dicintai terbaring lemah dan terlihat pucat. "Lo pucet banget Liam." Ami duduk di sebelah Liam. Liam tersenyum, "lo nggak pengin meluk gue?" Ami menyeringai, "pingin sih.." Liam sgera menarik Ami ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan begitu erat seakan meluapkan segala kerinduan yang ada. L melepas pelukannya, lalu menatap wajah Ami masih dengan mengulum senyum. "Sehari nggak ketemu lo rasanya kayak lama banget nggak ketemu. Gue kangen." Ami tertawa kecil, "sama. Nungguin bel jam pulang itu menyiksa banget. Oya anak-anak titip salam. Tadinya mereka mau ikut tapi gue bilang nggak usah coz besok lo udah masuk ke sekolah." Liam tersenyum lagi, digenggamnya tangan Ami dan ditempelkannya di pipinya. "Gue beneran kangen banget ama lo. Lo beneran kan nginep di sini?" "Iya L gue ntar malam nginep. Suhu badan lo masih anget ya. Tangan lo anget. Lo beneran besok udah bisa sekolah?" "Insya Allah. Gue udah lebih baik kok. Oya tadi belajar apa aja di sekolah?" "Tadi Biologi belajar jaringan hewan, kalau bahasa Indonesia membahas tentang resensi. Gue udah fotocopy-in catatannya buat lo. Ada tugas suruh bikin resensi buku. Bebas mau buku apa aja, n****+, biografi, kumpulan cerpen atau puisi, pokoknya bebas." "Resensi itu kayak semacam pembahasan tentang buku ya? Film juga bisa dibikin resensi kan?" Tanya Liam sambil menyelam ke dalam kedua bola mata Ami yang selalu saja bisa meneduhkannya. Ami membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan buku catatannya. Dia membuka lembar demi lembar. "Iya ada resensi film juga, tapi Bu Syifa ngasih tugas untuk resensi buku. Nih gue bacain ya. Umumnya resensi terdiri dari : 1. Judul Judul resensi harus menarik dan selaras dengan keseluruhan isi resensi. 2. Identitas buku meliputi judul buku, judul asli dan kalau buku itu terjemahan ditulis juga judul terjemahannya, ada keterangan nama penulis, penerbit, tahun terbit, tebal buku. 3. Isi Meliputi - ulasan singkat isi - keunggulan buku, - kelemahan buku, - rumusan kerangka 4. Penutup Penutup resensi biasanya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa. Selain itu dapat juga berisi kelemahan buku." Liam tersenyum dan semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Ami. "Untuk urusan sekolah lo selalu bisa diandelin." "Berarti untuk urusan yang lain nggak?" Tatapan Ami menelisik menelusuri setiap garis wajah Liam. Liam tertawa, "bukan begitu. Lo bisa diandelin dalam banyak hal kok. Tapi ada banyak hal juga yang seharusnya lebih ngandelin gue." "Contohnya apa?" Tanya Ami dengan tampang innocentnya. "Ya misal nyari duit a.k.a nafkah lahir. Gue yang mesti diandelin. Ingat and catet tuh nafkah lahir.." "Tanpa dicatet gue udah paham. Gue tahu maksud pembicaraan lo. Pasti ujung-ujungnya nyempret ke nafkah batin. Lo sakit aja masih bisa mesum." Liam tertawa, "buat pasangan yang udah menikah bukan hal yang m***m kali Mi. Dapet pahala lho, dinilai ibadah lho, lo nggak tertarik?" Ami melayangkan bantal ke arah suaminya. Liam tertawa puas. "Oya lo udah ada gambaran mau resensi buku apa?" Tanya Liam setelah mereka selesai bercanda. "Mungkin biografi. Gue punya buku biografi favorit. Kalau lo sendiri mau resensi buku apa?" Liam tampak berpikir sejenak. "Gue sebenarnya kurang suka baca buku. Baca buku pelajaran aja suka males apalagi baca n****+ dan yang lain." Liam melanjutkan kata-katanya, "gue lebih seneng resensi film sih sebenarnya. Tapi mungkin gue bakal resensi biografinya David Beckham, dia pantas jadi legend sepakbola. Gue udah tamat beberapa kali baca bukunya. Kalau urusan sepakbola mah gue minat. Buku biografi yang nanti lo resensiin, biografinya siapa?" "Biografinya Dave Pelzer. Sebenarnya ada tiga buku, trilogi gitu, cuma buku terakhir yang mau aku resensiin. Cerita nyata tentang seorang anak korban child abuse. Kisahnya menyayat hati Liam. Gue ampe nangis bacanya." Liam penasaran juga dengan isi buku yang diceritakan Ami, "emang gimana sih ceritanya? Kayaknya menarik." "Intinya di buku ini tentang perjalanan hidup dia dari kecil sampai akhirnya menjadi sukses setelah dewasa. Dia tumbuh dari keluarga berantakan. Ayahnya pemabuk, ibunya suka sekali menyiksanya. Kekerasan yang dilakukan ibunya ini bener-bener di luar nalar, kejam banget. Lo kalau baca pasti teriris-iris deh. Dia sering kelaparan, ngorek-ngorek makanan di tempat sampah. Sampai akhirnya ada yang menyelamatkan. Dia dipindah ke panti asuhan. Dan dia berpindah-pindah dari satu panti ke panti lain. Yang bikin gue terharu, di saat dia udah sukses dia nggak lupa ama ibunya. Dia memaafkan semua kesalahan ibunya. Bahkan dia juga yang mengurusi pemakaman ibunya." Liam tertegun. Dia tipe yang mudah tersentuh dengan sesuatu hal yang berkenaan dengan hubungan antar orangtua dan anak. "Gue jadi inget Aldi." "Aldi siapa Liam?" Ami mengernyitkan dahinya. Dia belum pernah mendengar nama Aldi. "Aldi itu anak jalanan yang ditampung di panti asuhan keluarga gue. Maaf kalau gue baru cerita Mi. Berhubung lo udah jadi istri gue, gue perlu cerita hal-hal yang belum lo tahu. Jadi papa mama punya panti asuhan, gue kadang suka bantu ngurusin juga. Nah Aldi salah satu anak panti yang susah banget prosedurnya buat mindahin dia ke panti. Waktu itu papa lihat dia ngamen di jalan. Kondisi kakinya terluka, tangan wajahnya lebam, memprihatinkan banget lah. Papa ngikutin dia. Dia tinggal di daerah kumuh. Ayahnya tukang mabuk, kasar dan suka mukul Aldi. Ibunya juga suka nglakuin kekerasan ke anaknya sendiri. Luka-luka di sekujur tubuhnya itu hasil kekerasan yang dilakuin orangtuanya. Dia dipaksa putus sekolah dan disuruh ngamen sampai malem. Papa menemui ayah ibu Aldi baik-baik dan minta diizinkan untuk mengasuh Aldi di panti asuhan kami. Mereka nggak ngizinin. Ampe akhirnya papa lapor ke dinas sosial dan Komisi Perlindungan Anak karena hampir setiap hari mereka memukul Aldi." Liam menghela napas lalu meneruskan pembicaraannya, "Mereka tetep keukeuh nggak mau menyerahkan Aldi ke KPA, padahal kondisi Aldi makin hari makin mengenaskan. Akhirnya ada kerjasama bareng ketua RT tempat tinggal Aldi. Ayahnya yang kecanduan miras dibawa ke tempat rehab. Ibunya diperiksa kejiwaannya, ternyata dia menderita skizofrenia akut dan mesti dirawat di rumah sakit jiwa. Sebelum pindah ke panti, Aldi berada di bawah pengawasan KPA dan selama di sana dia menjalani konseling juga karena dia sempat mengalami trauma. Akhirnya setelah melalui serangkaian proses panjang, Aldi mau pindah ke panti. Sebelumnya papa sering jenguk dia jadi hubungannya dengan Aldi bisa terjalin akrab. KPA juga nggak begitu aja menyerahkan Aldi ke panti, sebelumnya ada pemeriksaan panti dulu, dinilai layak nggaknya. Setahun tinggal di panti, Aldi masih suka dibawa ke psikolog ama papa. Nggak mudah buat ngilangin traumanya. Aldi baru diajak njenguk ibunya di RSJ dan ayahnya yang sekarang tinggal di panti sosial setelah dia sendiri yang minta menjenguk orangtuanya, saat dia udah bisa berdamai dengan masa lalunya." Ami tercenung. Matanya terlihat berkaca. Meski penampilan luarnya tomboy, tapi hatinya sensitif dan mudah terharu dengan cerita-cerita sedih apalagi menyangkut hubungan keluarga. Dia lebih beruntung dari Aldi. Meski orangtuanya bercerai tapi dia tak pernah mendapat kekerasan dari orangtuanya. Sebaliknya, dia tak pernah kurang mendapat kasih sayang dari papa mamanya. "Dia umur berapa Liam?" "Dulu waktu pertama kali tinggal di panti umurnya 8 tahun. Sekarang dia udah 11 tahun, kelas 5 SD." "Gue boleh nggak sesekali ikut lo ke panti, ketemu Aldi dan anak-anak lain?" Ami mengulas senyum. "Boleh banget. Sering-sering juga boleh kok." Balas Liam dengan senyum juga. "Gue kadang mikir, kenapa orangtua kok tega banget ya melakukan kekerasan pada anak mereka? Dan angka kekerasan pada anak itu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Gue dulu pernah inbox-an ama teman dunia maya. Namanya Cecilia. Dia tinggal di Amrik. Orangtuanya itu imigran dari China. Gue pernah nanya tentang kriminalitas apa yang tinggi di sana. Gue lupa sih asal muasal kita ngobrolin tentang itu. Dia bilang child abuse masih tinggi, termasuk kasus bunuh diri juga banyak banget di sana. Dia bilang seenggaknya untuk kesadaran melaporkan kasus child abuse, masih lebih tinggi Amrik dibanding negara asalnya. Di negara asalnya kalau ada anak dipukulin orangtuanya, dianggap hal biasa. Mereka berpikir anak adalah hak orangtuanya jadi orang lain nggak mau mencampuri urusan rumahtangga orang. Yang jadi masalah kalau kekerasan ini mengancam nyawa si anak ini tapi dibiarkan aja. Giliran anak udah meregang nyawa baru ada penyesalan. Di negara kita juga banyak kasus gini ya Liam. Banyak kasus kekerasan anak yang luput dari perhatian kita, setelah si anak tewas baru mencuat ke permukaan." "Iya bener Mi. Kalau nanti kita punya anak, jangan ampe anak kita dapet kekerasan, naudzubillah." Ujar Liam. Ami mengangguk. "Liam, Ami, makan dulu yuk." Suara Herlina, mama Liam terdengar sayup dari lantai bawah. "Lo belum makan kan Mber? Makan dulu yuk. Dari pagi gue ilang selera makan. Setelah ada lo, selera makan gue jadi muncul lagi." "Hayuk.." Ami tersenyum cerah melihat L bersemangat untuk makan. *** Kondisi Liam sudah jauh lebih baik sejak kedatangan Ami. Suhu badannya sudah normal dan dia tak lemas lagi. Malam ini mega tampak mendung. Tak ada satupun bintang yang terlihat di langit. Keheningan malam membuat Amber tak sadar dirinya sudah terlalu lama berdiri di tepi jendela hanya untuk menatap langit yang mendung. "Mi lo belum ngantuk? Sini donk, jangan di situ terus." Ami menoleh Liam yang duduk di ujung ranjang. Ami menutup tirai lalu berjalan mendekat pada Liam. Ami duduk di sebelah Liam. "Lo udah ngantuk?" Tanya Ami. "Sebelum tidur, gue pingin... Gue pingin.. Nyium lo. Boleh gue nyium lo?" Ami memicingkan matanya, "gue istri lo, lo nggak perlu minta izin lagi." Ada kegirangan bertaburan di hati Liam mendengar pernyataan Ami. "Gue takut lo marah kalau gue nyium tiba-tiba. Dari tadi siang sebenarnya gue udah pingin nyium lo." Ami tersenyum, "gue tahu kok. Gue udah paham ama karakter lo." Liam tersipu malu. "Lo nggak lupa caranya kan?" Ami tertawa mendengar pertanyaan Liam yang terdengar seperti lelucon. "Just do it L, you will know the answer." Selalu saja ada rasa gugup yang menyergap setiap kali dirinya hendak mencium bibir Ami. Ami sudah memejamkan matanya. Liam mendekatkan wajahnya pada wajah istrinya. Ketika ujung bibirnya menyentuh bibir Ami, ada rasa hangat yang mengalir, menjalar ke seluruh tubuh. Bibir mereka saling berpagut, seiring dengan desahan napas yang terdengar saling mengejar dan memburu. Liam meneruskan ciumannya ke leher Ami, mengecupnya, tangannya mulai memasuki punggung Ami dan mengusapnya. Ami tahu apa yang mereka lalukan mungkin akan berujung ke sesuatu yang lebih, tapi dia membiarkannya. Sampai akhirnya Liam tersadar. Dia kikuk menatap wajah Ami yang masih memejamkan matanya. "Ami..." Ami membuka matanya, "ya Liam." "Udah ya, takut kesepakatan kita dilanggar. Bobo yuk." Ami mengangguk dan wajahnya memerah. Biasanya dia yang menghentikan Liam tapi sekarang seolah dia lupa pada kesepakan itu. Malam ini Liam tidur sambil memeluk erat Ami, seakan itu adalah malam terakhir mereka bersama. Liam tak melepaskan pelukannya. Ami tersenyum dalam tidurnya. Malam ini adalah malam paling romantis yang pernah ia lalui bersama Liam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN