Author's POV
Para peserta pensi tampak sibuk mempersiapkan diri. Semua kelompok teater dari berbagai SMA sudah berkumpul di gedung teater. Pentas seni khusus teater ini biasanya diadakan enam bulan sekali.
Liam, Ami dan semua peserta teater SMA Cakrawala berkumpul di salah satu ruang. Mereka sibuk memakai kostum dan makeup. Kostum yang mereka kenakan menyewa pada salah satu tempat penyewaan kostum khusus untuk tema-tema kolosal. Kostum tersebut mirip seperti kostum ala film The Lord of The Ring. Ada beberapa peserta yang bertugas untuk bagian lighting, dokumentasi serta backsound. Mereka mendapat nomor urutan ke lima.
Kris merapikan kostum yang ia kenakan. Ia tampak begitu tampan ala bangsawan di masa lampau. Kris memilih menunggu di luar ruangan untuk membaca naskah kembali. Seno, Tio dan Chandra ikut mendampingi sahabatnya itu dan mereka juga ingin menonton penampilan perdana Kris sebagai peserta tim teater SMA Cakrawala.
Di sudut yang lain girl squad beserta Liam and the genk juga tampak berbincang dan sesekali menghafal kembali naskah. Sasha berperan sebagai ratu kerajaan Ethonia, Freya sebagai ratu kerajaan Andhaeva, Ami dan Angela sebagai saudari kandung putri Riona yang diperankan Aluna. Tatapan mata Kris terus-menerus tertuju pada Angela yang tengah berbincang dengan Satria. Hatinya meradang setiap kali melihat kedekatan mereka.
"Baju ini lumayan berat juga ya. Cuma gue nih yang dapet peran nggak banget. Udah jadi pengawal, jadi tukang gosip, mana bajunya berat pakai rompi logam segala. Kalian semua jadi bangsawan." Liam berulangkali menata rompi yang ia kenakan agar tak naik ke atas dan sedikit menekan lehernya. Celotehan Liam disambut tawa oleh teman-temannya.
"Kalian tega bener ngetawain gue." Liam menatap sebal ke arah teman-temannya.
"Udahlah Liam, nggak lama kok. Ditahan-tahanin aja." Ami mengacak asal rambut suaminya.
"Lo emang pantes jadi pengawalnya Kris kok Liam." Tio menimpali sambil tersenyum mengejek ke arah Liam.
"Non peserta dilarang ngomong. Belum tentu juga lo bisa akting." Ketus Liam.
"Aduuhhh gue kok stres banget. Peran ini bukan peran tersulit, gue pernah dapet peran lebih sulit dari ini. Tapi cuma peran ini yang bikin gue susah banget buat bereksplorasi, susah banget buat masuk ke tokohnya, susah banget dapet chemistrynya." Aluna mondar-mandir, suasana hatinya begitu kacau.
"Tenangin diri lo Aluna. Hirup napas dalam-dalam, keluarkan perlahan." Ujar Freya yang ikut cemas menyaksikan raut wajah Aluna yang gugup dan kalut.
Aluna mengikuti intruksi dari Freya.
"Nggak biasanya lo mati gaya kayak begini. Lo pasti bisa kasih yang terbaik." Sasha ikut memberi support.
"Lo grogi ya berhadapan ama Kris? Dibikin santai kali." Chan menyeringai.
"Lo nggak usah sok tahu. Gue nggak grogi. Gue cuma takut nggak bisa kasih yang terbaik. Gue takut nggak bisa maksimal dan nggak bisa tampil sesuai ekspektasi." Jawab Aluna sedikit sewot.
"Jawabnya nggak usah sewot gitu. Biasa aja kali." Chan tersenyum sinis.
Aluna cuma bisa melotot dan membuang muka.
"Lo jangan lihat gue sebagai Kris. Lihat gue sebagai Squall. Anggap diri lo benar-benar sebagai seorang Riona yang jatuh cinta pada Squall dengan segala dilema permusuhan antar dua kerajaan. Lo susah buat hidupin karakter itu karena lo selalu melihat gue sebagai Kris." Kris bicara tanpa mau menoleh pada Aluna.
Dalam hati, Aluna membenarkan perkataan Kris. Angela sempat melirik Kris. Ada desiran dan getaran hebat di hatinya setiap kali melihat sorot mata Kris yang setajam elang.
"Gue nggak mau ya akting kita akhirnya gagal karena lo nggak bisa bangun chemistry. Jangan manja Lun. Kalau dari awal lo nggak suka peran ini harusnya lo tolak. Masih banyak yang bisa meranin peran ini lebih bagus dari lo." Ketus Kris.
"Apa lo bilang? Gue dapetin peran ini karena menang casting. Dan gue suka peran ini. Attitude lo yang minus itu yang bikin gue muak." Aluna menatap tajam kepada Kris dan meninggikan intonasi suaranya.
Angela berjalan mendekati Aluna dan memintanya mundur, menjauh dari Kris.
"Lo nggak perlu bicara frontal ke Aluna. Kalau lo benci ama gue, jangan tumpahin kekesalan lo ke temen gue." Angela begitu marah dan bicara dengan ketus.
Kris beranjak. Dia berdiri di hadapan Angela.
"Oh sekarang udah ganti panggilan jadi gue-lo, okey... Itu artinya aku udah nggak spesial lagi buat kamu kan? Cepet banget kamu pindah ke lain hati. Kamu lagi deket ama Satria kan? Dan tolong ya jangan selalu mengaitkan apa yang aku lakuin dengan hubungan kita. Aku nggak pernah benci kamu. Kamu mungkin yang benci aku. Jadi untuk apa aku numpahin kekesalan ke temenmu. Aku bicara apa adanya. Temenmu emang terlalu manja. Kalau dia profesional dia mau dipasangkan dengan siapapun tanpa melihat siapa orang itu di kehidupan realnya."
Angela mencelos. Baru pertama kali ini Kris yang irit bicara sedari tadi selalu mengemukakan pendapatnya panjang lebar. Dia tak menyangka Kris akan menanggapi perkataan Aluna dengan frontal. Dan sekarang membalas ucapannya dengan kata-kata yang cukup tajam. Entah kenapa mendengar perkataan Kris, ada rasa sakit yang menjalar di seluruh ruang hatinya.
"Kayaknya aku harus berhenti ngarepin kamu. Hati kamu udah tertutup buat aku." Ucap Kris lagi sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan Angela dan teman-temannya.
Angela diam mematung. Ucapan Kris barusan benar-benar membuatnya sakit. Jauh di dalam hatinya dia ingin Kris tetap memperjuangkannya. Dia berharap bisa kembali bersama Kris setelah Kris berubah lebih baik. Tapi harapannya seketika pupus melihat perlakuan dingin Kris terhadapnya. Setitik air mata mengalir dari sudut matanya.
Seno mendekat kepada Angela, "kalau lo emang-emang benar mencintai Kris, harusnya lo beri dia kesempatan. Dia bener-bener jatuh cinta sama lo. Tapi sekarang Kris mungkin bener-bener sakit hati. Sekali dia sakit hati, susah sembuhnya." Sehun segera berbalik kembali dan bersama dua temannya melangkah menuju bangku penonton.
"Angela kejar dia. Lo nggak mau kehilangan dia kan? Kejar Kris. Bilang lo masih sayang sama dia." Satria menepuk bahu Angela. Dia memang mencintai Angela, tapi dia tahu hati Angela tidak pernah sedikitpun terbuka untuknya. Bagi dia kebahagiaan Angela adalah segalanya. Tak mengapa jika ia harus terluka setiap melihat kebersamaan Angela dengan Kris, tapi luka itu akan perlahan terobati setiap melihat senyum menghiasi wajah Angela. Tak mengapa jika mencintai Angela dalam diam ia pilih agar Angela menemukan kebahagiaannya.
Angela hanya terpekur. Teman-teman girl squad memeluk dan memberi support untuknya.
"Aduh kenapa jadi kacau gini ya. Bentar lagi tampil tapi teman-teman kita bersitegang seperti ini." Liam menatap Ami datar. Ami membalas tatapan Liam dengan datar juga.
"Ayo teman-teman semangat. Gue aja yang jadi pengawal merangkap tukang gosip aja semangat, lo yang meranin ratu dan putri bangsawan harus lebih semangat." Liam berusaha memberi semangat.
Teman-teman girl squad mengulas senyum dan tertawa. L selalu bisa menghidupkan suasana.
Satu per satu kelompok teater naik ke panggung menampilkan performa terbaik mereka. Kak Sagha, kak Andini dan Bu Syifa mendekat ke arah anak didiknya.
"Siap-siap ya semua, bentar lagi tampil. Kris kemana?" Bu Syifa mengedarkan pandangannya ke segala arah. Anggota tim teater Cakrawala ikut mencari-cari.
"Liam tolong kamu cari Kris ya, bilang sebentar lagi kita pentas." Ujar kak Sagha.
Liam mau tak mau menuruti perintah dari kak Sagha meski dia begitu enggan untuk mencari musuh bebuyutannya itu. Mau mengirim WA rasanya gengsi.
"Gue ikut ya Liam, gue bantu cari." Ami menyusul Liam.
"Nggak usah Mi. Lo balik aja. Gue bisa cari sendiri." Liam mengulas senyum dan mengelus pipi Ami.
"Ya udah kalau gitu. Tadi anak-anak lain udah ada yang WA Kris. Ternyata hpnya Kris lagi dipegang Chan. Nggak tahu ngilang kemana tuh anak."
Liam tersenyum, "paling dia ke depan. Ntar juga ketemu. Ya udah gue pergi dulu ya." Liam melangkah, perlahan berlalu dari tatapan mata Ami yang terus memandangnya sampai Liam menghilang dari pandangannya.
***
Kris duduk di halte depan gedung dengan pikiran tak menentu. Diisapnya rokok dalam genggamannya lalu ia menghembuskan asapnya, mengepul ke udara. Suasana hatinya begitu buruk. Hatinya patah, tercabik, dan sakit. Image playboynya memang begitu kuat tapi Kris belum pernah terikat secara emosional sedemikian kuat pada perempuan manapun seperti perasaannya pada Angela. Di satu sisi Kris tahu benar, hatinya telah tertambat pada Angela, di sisi lain dia masih menggenggam egonya untuk menyangkal bahwa dia memang benar-benar jatuh cinta pada Angela. Melepaskan Angela sebenarnya bukan pilihan terdalam dari lubuk hatinya. Tapi dia tak ingin terlihat mengemis pada gadis cantik itu.
Liam melangkah keluar gerbang. Dia menengok ke kanan dan ke kiri. Perasaannya lega tatkala dia melihat Kris duduk seorang diri di halte.
"Kriissss...." Panggilan Liam bersamaan dengan gerak cekatan dua orang berperawakan besar yang turun dari mobil dan mencengkeram lengan Kris. Salah seorang lainnya menatap Liam. Dia menodongkan senjata pada Liam, "lo ke sini. Ayo cepat. Kalau nggak gue bakal nembak lo."
Liam kaget bukan kepalang. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat mulai bercucuran. Dia tak punya pilihan lain selain mendekat kepada dua orang berperawakan besar dan bersenjata tersebut.
Kris dan L dipaksa masuk ke dalam mobil. Mereka berdua duduk bersebelahan dan diapit dua orang yang menodongkan senjata ke arah mereka. Mobil segera melaju dengan cepat. Suasana jalan sedang lengang. Sebenarnya ada dua orang yang duduk di warung pinggir jalan di seberang halte, tapi mereka tak memperhatikan apa yang barusan terjadi.
Perasaan Kris dan Liam begitu bergemuruh. Ada rasa takut, panik, cemas, dan gelisah disekap seperti ini di dalam mobil dengan ujung pistol yang siap meledakkan kepala mereka kapan saja jika mereka bersuara dan melawan.
"Kenapa cecunguk satu ini ikut ditangkap?" Gertak seorang pria bertato di lengan yang sibuk menyetir mobil. Ada empat orang berperawakan besar yang menyekap Kris dan Liam. Dua duduk di depan, dua lagi mengapit Kris dan Liam di belakang, membuat Kris dan Liam tak bisa bergerak.
"Dia udah terlanjur lihat makanya gue tangkap juga." Balas seorang yang duduk di sebelah supir.
Bunyi smartphone dari saku celana Liam memecah ketegangan.
"Hp siapa itu?" Tanya pria bertampang garang di sebelah supir.
"Hp saya." Jawab Liam singkat dan takut.
"Sini hpnya." Ujar pria sangar itu lagi.
Liam mengeluarkan smartphonenya dan menyerahkannya pada pria tersebut. Hpnya langsung dimatikan.
"Lo bawa hp nggak? Tanya pria yang duduk di sebelah Kris sambil menodongkan pistol. Dari wajahnya pria ini masih terlihat muda tapi sepertinya sudah sangat berpengalaman di dunia preman.
"Gue nggak bawa hp." Jawab Kris setenang mungkin.
"Jangan bohong lo. Coba geledah," pemuda tadi menyuruh temannya yang duduk di sebelah Liam menggeledah baju dan celana Kris. Tak ada hp yang ditemukan. Hp milik Kris memang sedang dipegang Chandra.
"Kalian berdua jangan berteriak, jangan bicara sebelum kami tanya. Kami nggak segan-segan bunuh kalian kalau kalian melawan. Tutup mata mereka. Mereka nggak boleh tahu rute jalannya." Pria bertampang sangar yang duduk di sebelah supir mengintruksi dua pemuda yang duduk di sebelah Kris dan Liam untuk menutup mata dua cowok itu dengan kain hitam.
Kini kedua mata Kris dan Liam benar-tertutup. Atmosfer dalam mobil terasa begitu menegangkan. Kris dan Liam hanya bisa pasrah dengan segala kecemasan dan ketakutan. Mereka tak tahu hendak dibawa kemana. Ada doa yang menggema dari dalam hati Liam agar dia dan Kris diberikan jalan untuk lolos dari cengkeraman empat pria misterius yang tengah menyandera mereka.