Dewi baru keluar dari ruangan Pak Gibran. Ia baru saja menyerahkan surat permohonan maaf dan perjanjian untuk tidak lagi menggantikan siapapun dalam mengambilkan absen kuliahnya. Dengan langkah lemah dan tangannya yang belum lepas dari rasa pegal, Dewi berjalan melewati lorong bersamaan dengan ponselnya yang bergertar di dalam kantong celana. Memasukkan tangan kanannya ke dalam celana jeans boyfriend yang sedang ia gunakan, Dewi mengambil handphone-nya, lalu menghela napas. Makhluk yang tengah mengadakan panggilan ke ponselnya inilah yang membuat Dewi akhirnya memilih bolos tiga SKS mata kuliah demi untuk menulis permohonan maafnya. “Apa?” sahut Dewi malas. “Gue haus.” Langkah Dewi terhenti. Matanya mengerjap selama beberapa saat. Seolah tid