MCKR 18 – Sebuah Pertemuan

1258 Kata
Ruangan kelas terlihat ramai karena semua orang terlihat tengah bergegas memasukkan alat tulis mereka ke dalam tas ransel mereka masing-masing. Tidak ada yang lebih memabahagiakan dari mendengar bel pulang bukan? “Sudah?” tanya Bu Lis selaku Guru Agama. “Sudah, Bu!” semua anak bersiap dan diam. Situasi begitu lengang sekarang. Bu Lis memanglah selalu meminta kepada murid-muridnya untuk khusyuk ketika berdoa jadi berdoa baru akan dimulai ketika situasi di sekolah sudah lengang. “Ketua Kelas! Silakan memimpin doa!” titah Bu Lis. Randy yang merupakan ketua kelas pun segera melaksanakan tugasnya dengan baik. “Bersiap! Berdoa dimulai!” pimpin Randy. Mereka pun berdoa dengan khusyuk. Seusai berdoa, selanjutnya Bu Lis pun mempersilakan murid-muridnya untuk pulang. Semua murid pun mulai mengantre untuk bersalaman dnegan Bu Lis karena agar bisa cepat pulang dan sebagaimana siswa yang berpendidikan, mereka mengedepankan kesopanannya terhadap guru. “Yuk, Ra!” Indah mengajak Haura untuk bersalaman dengan Bu Lis. Mereka antre paling belakang karena tidak mau berdesak-desakan dengan teman-temannya yang lain yang memang ingin cepat pulang. “Yuuuk!” Karena Indah tahu kalau Haura sudah keluar rohis jadi mulai hari ini dirinya akan pulang bersama dengan Haura meski pun kebersamaan mereka hanya sebatas bersama sampai gerbang saja. Karena keduanya sama-sama pulang dnegan jemputan yang berbeda dan pulang kea rah yang berbeda pula. “Haura, ibu ingin bicara sama kamu,” kata Bu Lis. Haura langsung melirik Indah, begitu juga Indah. “Ada apa ya, Bu” tanya Bu Lis. “Kata Albie kamu keluar dari Rohis?” tanya Bu Lis. Haura pun menganggukkan keepalanya dengan sopan, “Betul, Bu,’ jawabnya. “Kenapa kamu keluar, Haura? Padahal melihat kamu bsia memberikan materi sebaik kemarin ibu berharap ibu bisa mengandalkan kamu untuk kedepannya.” tanya Bu Lis. Ya, Bu Lis memang selalu mengawasi petugas Rohis yang menyampaikan materi saat keputrian berlangsung. Gunanya, selain memantau kegiatan dan mengontrol materi yang disampaikan, beliau juga dengan senang hati akan membantu petugas keputrian bila mendapatkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Dan … pada hari jumat yang lalu, beliau melihat bagaimana cara Haaura mempresentasikan materi yang ada. Haura bahka bukan hanya membaca teks yang tersaji di layar namun juga memberikan contoh berupa video dan juga penjelasan singkat yang cukup menarik perhatian peserta keputian. Selama ini, beliau tidak berharap banyak kepada petugas keputrian karena beliau merasa kalau anggota rohis kebanyakan membaca isi powerpoint yang lebih pantas disebut power teks. “Berharap bagaimana ya, Bu?” tanya Haura yang tidak mengerti. “Iya, ibu harap kedepannya kamu bisa mengajarkan teman-teman rohismu agar bisa menyampaikan materi dengan cara interaktif dengan audien seperti yang kamu lakukan. Ibu sangat berharap itu. Jadi, ibu tidak mengizinkanmu untuk keluar dari rohis,” kata Bu Lis. “Maaf, Bu. Saya tetap ingin keluar, kemarin ketika saya mengatakan kepada Kak Albie kalau saya mau keluar juga Kak Albie menyetujuinya, Bu,” kata Haura. “Saya akan bicara dengan Albie nanti. Jadi kamu tidak perlu khawatir. Senin besok silakan datang ikuti ekskulmu lagi. Mungkin untuk saat ini kamu maasih ingin izin jadi ibu mengizinkan namun untuk senin besok, kamu harus ikut kegiatan,” kata Bu Lis. Haura pun terdiam dan hanya bisa menganggukkan kepalanya. Kalau sudah gurunya yang meminta, dia tentu tidak bisa menolaknya, kalau Haura menolak tentulah Haura tahu apa akibatnya. Indah di tempatnya tidak bisa berkutik karena titah dari gurunya tersebut tidak bisa dibantah. Indah bahkan akan melkaukan hal yang sama dengan yang dilakukaan oleh Haaura kalau Indah merasaka hal yang sama. “Kalau begitu ibu ke kantor. Kalian hati-hati di jalan ya?” kata Bu Lis. Haura dan Indah pun menganggukkan kepalanya, “Baik, Bu,’ jawab mereka bersamaan. Selanjutnya Bu Lis pun meninggalkan Haura dengan Indah berdua di dalam ruangan setelah ekdua muridnya tersebut mencium tangannya lagi, ini kali yang kedua paada siang ini. Namun, biarlah. Mungkin mereka lupa. Haura menatap punggung Bu Lis dengan wajah frustasi. Dia benar-benar bingung saat ini. “Cieee … yang gak boleh keluar dari ekskulnya.” Goda Indah. “Udah ah … gue males tau,” kata Haura. “Jadi lo mau balik ke rohis?” tanya Indah. “Ya mau gimana lagi,’ jawab Indah dengan jawaban yang sangat lesu. “Lagian kalau lo nolak lo bakalan susah buat lulus.” Sambungnya. Karena terlalu lama mengobrol dengan Bu Lis. Akhirnya Haura dan ndah pulang ketika sekolah terasa seperti kuburan. Sebagian besar siswa-siswi sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Indah melambaikan tangan kepada Haura ketika irinya sudah berjalan mendekati jemputannya. Kaliini Indah dijemput oleh supirnya dengan menggunakan sepeda moor. Indah sendiri memang lebih suka dijemput denngan menggunakn motor ketimbang mobil. “Haura …” panggil Samantha yang tak jauh dari tempatnya. Belakangan, Samant+ha memang menghindari Haura. Mereka bahkan nyaris sulit bertemu, hanya kemarin saja sepulang seklah, itupun karena tidak sengaja. “Kenapa?” tanya Haura. “Udah dijemput?” tanya Samantha. “Ya … lo liatnya gimana?” tanya Haura dengan sangat ketus. “Belum,’ jawab Samantha. “Nah, itu tau,” kata Haura. Samantha terdim sebentar lalu dia pun mengedarkan pandangannya ke sekitar mencoba melihat situasi tempat parkir. Di tempat parkiran tersebut hanya menyisakan beberapa motor saja itu pun milik satpan, guru, dan beberapa siswa yang membawa kendaraan tersebut. “Boleh aku beertanya?” tanya Samantha. “Tanya tinggal tanya, ribet!” Haura benar-benar menunjukkan rasa bencinya kepada Samantha secara terang-terangan. “Belakangan kamu nggak diganggu lagi sama Richo kan?” tanya Samantha. Pertanyaan Samantha membuat Haura jadi teringat kalau belakangan Rico memang tiak mengganggunya lagi. Dia benar-benar merasa tidak sadar. Kenapa bisa begitu? Haura tidak memiliki jawaban untuk itu. “Iya, belakangan dia emang gak pernah keliatan. Kenapa?” tanya Haura. Samantha pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “Sykurlah kalau begitu,” kata Samantha. “Kenapa lo tiba-tiba nanyain dia?” tanya Haura penuh selidik. “Nggakpapa kan kalau aku tanyain? Aku khawatir aja sama kamu,” kata Samantha. Haura pun hanya bisa menghela nafas padahal dia merasa hangat hatinya mendengar Samantha mengatakannya dengan tulus. Namun, rasa gengsi Haura mengaburkan rasa hangat itu. “Kalau gitu aku duluan ya, Assalamualaikum.” Salam Samantha. “Waalaikumsalam,’ jawab Haaura. Samantha pun langsung pergi berjalan ke depan untuk naik angkutan umum. Haura mengedarkan pandangannya ke segala arah mencoba mencari jemputannya yang tak kunjung datang. Kemudian, Haura pun langsung mengambil ponselnya dan mencari nomor telepon supirnya. “Halo, Pak di mana?” tanya Haura. “MAaf, Non. Ttiba-tiba bannya bocor. Saya mau nyoba telpon Non dari tadi tapi hape saya nggak ada pulsanya, Non,” kata Supir Haura. Haura pun hanya bisa menghela nafas kesal. Dia tentulah sangat ingin pulang dan ingin marah namun kalau dia marah, apa yang dia dapatkan? Tentulah tidak ada. “Yaudah deh, Pak,” kata Haura. “Sekali lagi minta maaf ya, Non,” kata Supirnya. “Iya, Pak. Saya naik taksi online aja kalau gitu,” kata Haura. Lalu sambunganpun terputus. Tak lama kemudian, Haura pun melihat ada Albie yang sudah bersiap-siap meniki motornya. Di belakang Albie, Haura juga melihat ada Richo. Seketika tubuh Haura menegang. Kalau dia memesan taksi online tentulah dia aakan menunggu di depan jalan raya dan artinya dia bisa saja didekati oleh Richo. “Kak Albie, Kak Albie!” kata Haura yang mendekati Albie. “Kenapa?” tanya Albie. Albie meloloskan diri dari Haura yang tiba-tiba memegangi lengan Albie. “Eh, Maaf,” kata Haura. “G-gue nebeng ya, Kak?” taya Haura. “Kamu nggak dijemput?” taya Albie. Haura menggelengkan kepalanya, “Enggak. Jadi, nebeng ya, please?” kata Haura. “Kalo kamu masuk rohis lagi baru saya mau nebengin kamu,” kata Albie. “Ck … yaudah deal!” kata Haura.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN