Keadaan sekolah sudah tampak sepi. Murid-murid yang memang biasa berada di koridor sebbagian banyak sudah pulang ke rumah masing-masing. Suasana sekolah yang awalnya cenderung ramai oleh canda tawa semua murid menjadi sepi. Lengang.
Begitu juga dengan Masjid. Di Masjid itu hanya ada Albie.
“Dia beneran nungguin gue apa gue kegeeran doang ini? Ah, gengsi lagi gue buat samperin. Lagian dia juga kayaknya lagi sibu, mending gue pulang lagi aja kalau gitu.” Haura berbicara sendiri.
Haura pun membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempatnya.
Namun, seketika Albir yang melihat kedatangan Haura langsung memanggilnya, “Haura!” seru Albie.
Haura pun mengaduh dalam hati, dan langsung menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Kemudian, dia pun langsung menatap Albie dengan tatapan malas.
Haura melirik ke sekitar, hanya ada mereka berdua.
“Ada apa?” tanya Haura dengan jarak yang snagat jauh.
Albie pun bangkit berjalan menuju Haura. Haura merasa ketakutan. Ntah mengapa dia tidak bisa berada di sebuah tempat sepi dengan laki-laki yang dtanag menghampirinya. Dia teringat kejadian itu lagi.
Dia teringat bagaimana Richo mendekatinya dan melaukan tindakan tak senonoh kepada dirinya.
“Jangan deket-deket!” seru Haura.
Albie yang melihat Haura yang tiba-tiba histeris pun langsung menatap Haura tidak mengerti.
Kaku Haura seketika lemas dan dia bahkan langsung terduduk.
“Kamu tidka apa-apa?” tanya Albie.
Haura mencoba menenagkan diri, “Jangan deket-deket, gue mohon,” kata Haura.
Kali ini Albie tidka mau memaksaHaura untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.
Angin mulai berhembus dan mulai membelai rambut Haura dna juga Albie.
“Bangun, Ra! Ada hal yang ingin saya bicarakan,” kata Albie.
Haura kini bisa mengontrol dirinya sendiri.
Seketika Haura pun langsung mencoba merapikan rambutnya dan mulai bangkit berdiri. Kesadarannya kembali. Dia memang sudah berusaha untuk mengatakan kepada dirinya sendiri kalau Albe tidak jahat.
“Kenapa? Gue mau pulang,” kata Haura.
Bohong.
Kalau memang Haura ingin pulang, dia tentulah sudah berada di rumah, bukan justru meminta supirnya untuk baalik arah dan kembali ke sekolahnya.
“Saya minta maaf,” kata Albie.
“Maaf buat apa?” tanya Haura.
“Maaf karena saya sudah keterlaluan kemarin,” kata Albie. “Tapi saya melakukan itu bukan tanpa alasan. Saya hanya tidka suka kamu terlalu mendekati saya,” kata Albie.
Haura pun langsung menatap wajah Albie. Bagaimana mungkin laki-laki yang ada di depannnya bisa begitu jujur mengatakan hal tersebut? Apa yang dikatakan oleh Albie tentulah membuat Haura merasa malu.
“Ch, udha? Gue jauh-jauh Cuma disuruh dengarin ini?” tanya Haura.
“Saya mau kamu kembali ke rohis,” kata Albie.
“Kenapa? Bukannya Rohis nggak butuh gue?” tanya Haura.
Haura yang sudah sangat malas langsung melayangkan pandangannya ke arah lain.
“Tapi saya butuh kamu,” kata Albie.
Haura yang awalnya tengah mengedarkan pandangan ke taman dekat Masjid langsung menoleh ke arah Albie.
Apa maksud Albie?
Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Haura.
“B-butuh gue?” tanya Haura yang seakan tidak percaya dengan indra pendengarannya.
Albie menggelangkan kepalanya, sepertinya Haura salah tangkap. Dia harus meluruskannya.
“Iya, Saya memang membutuhkanmu, agar terbebas dari cecaran Bang Ali,” kata Albie.
Sakit.
Itulah yang Haura rasakan. Da benar-benar sudah tidak memiliki harapan lagi. Lagi pula apa yang bisa dia haarapkan saat ini?
“Ck, gue nggak mau. Gue gak mau ikut rohis lagi,” kata Haura.
“Kenapa?” tanya Albie.
“Karena ada Richo,” jawab Haura dengan jujur.
“Ra, dia cuma mau belajar, kenapa kamu sampai kayak gini?” tanya Albie.
“Ya, karena gue nggak mau kalau satu ekskul sama dia,” kata Haura.
“Ya kalau begitu, kasih saya alasan,” kata Albie.
Haura menatap Albie. Albie langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain. Apakah Haura harus jujur pada Albie?
Haura pun langsung menatap ke arah lain juga, da seketika matanya menangkap sesosok iswi yang snagat dia kenal. Siswi itu adalah Samantha. Kakak kelasnya yang belakangan memang tidak diketahui keberadaannyaa oleh Haura.
“Samantha?” gumam Haura.
Samantha terlihat berpakaian berantakan. Bajunya bahkan sudah dikeluarkan. Keadaan Samantha sebetulnya masih tetap memakai kerudung namun pakaian Samantha sudah tidak rapih. Baju sudah dikeluarkan dan terlihat sangat lecek.
Albie langsung menole ke arah pandangan Haura dan seketika dia menangkap sosok Smaantha. Salah satu anggotanya yang sudah bebeapa hari izin tidak ikut rohis karena alasan sedang tidak enak badan.
“Tha!” seru Albie.
Haura mendengus sebal. Ntah mengapa dirinya tidak mau melihat Albie seperti itu. Dia tidak ingin Albie memanggil Samantha.
Haura memanglah sadar kalau dirinya bukan siapa-siapa dalam hidup Albie namun ntah mengapa dirinya merasa kalau dadanya sesak.
Samantha yang awalnya berjalan dengan gontai sambil melamun langsung menoleh ke arah sumber suara. Dan di sana dia sudah melihat ada Haura dan Albie.
Seketika, Samantha langsung mengusap wajahnya dan berjalan perlahan mendekat.
“Abis ngapain lo?” tanya Haura penuh selidik.
Awalnya Samantha memucat saat dia mendapatkan pertanyaan itu dari Haura. Namun, dia memilih untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Habis dari kamar mandi. K-alian kenapa ada di sini?” tanya Samantha.
“Kepo,” kata Haura
“Saya meminta dia masuk rohis lagi,” kata Albie.
“Kamu keluar dari rohis?” tanya Samantha terkejut.
“Iya.” jawab Haura.
Haura merasa kalau Samantha akan mencegahnya. Dia juga merasa kalau Samantha akan menariknya kembali untuk mengikuti Rohis.
“Pilihanmu sudah tepat,” gumam Samantha dengan lirih.
Kini, baik Albie maupun Haura langsung menatap Samantha dengan tatapan terkejut. Samantha kali ini tidak mau ambil pusing, dia merasa harus pulang saat ini juga.
“Aku duluan,” kata Samantha.
Samantha kembali melanjutkan perjalanan menuju keluar dari sekolah.
“Tunggu, Tha!” seru Albie yang langsung mengejar Samantha.
Haura yang melihat hal tersebut langsung menghentak-hentakkan kaki di lantai. Dia merasa kesal kepada Albie karena awalnya Albie lah yang memanggilnya an memintanya untuk bicara. Kini lihatlah bagamana Albie yang terliat begitu mengkhawatirkan Samantha.
“Tadi dia sendiri yang mau gue ngobrol sama dia, sekarang gue ditinggal gitu aja,” kata Haura merasa kesal.
Haura pun memilih untuk pergi dari tempat tersebut. Dia sangat kesal saat ini. Haura meniup rambutnya yang tak sengaja ada yang menghalangi penglihatannya lalu pergi begitu saja.
Dia mulai melewati Albie dan Samantha tanpa berpamitan, tanpa menegur, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Ra! Tunggu!” seru Albie.
Albie belum selesai menjelaskan maksud dirinya bertemu dengan Haura.
Haura tidak mengindahkan seruan itu. Diai lebih memilih untuk pergi begitu saja, meninggalkan Samantha dan Albie yang kini berada di belakanganya.
Albie seketika berlari mengejar Haura.
“Ra, tunggu! Biar saya jelaskan dulu tujuan saya mengajak- … ” kata Albie.
“Basi,” kata Haura.
Haura pun memilih pergi begitu ssaja. Tidak mengindahkan Albie dan Samantha di belakangnya.