Pagi ini Haura sengaja berangkat lebih siang agar sampai ketika anak-anak yang lain Sudah sampai terlebih dahulu. Sudah dikatakan bukan kalau dirinya memang tidka pernah mau sendirian di sekolah.
Richo bisa saja mendatanginya dan melakukan tindakan yang membuat dirinya frustasi.
“Hali, Pak!” sapa Haura dengan senang hati.
“Neng Haura, keluatannya seneng banget, Neng??” tanya Satpam sekolahnya.
“Iya dong, Pak,” kata Haura.
Haura pun masuk ke dalam kelasnya. Waktu masih menit lagi untuk bel jadi dia masih bia menyantai.
Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Haura. Orang itu adalah Albie. Haura yang merasa masih snagta kesal pada Albie pun memutuskan untuk berjalan saja tanpa menoleh.
Di tempatnya, Albie merasa maklum dengan apa yang dilakukan oleh Haura. Namun, dia memiliki hal yang penting, yang harus dia bicarakan kepada Haura jadi dia pun langsung mengatakannya.
“Haura …” kata Albie.
“Kenapa?” tanya Haura yang merasa sedikit terkejut karena seorang Albie menegurnya.
Albie menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencoa memastikan kalau tdaka ada yang melihat mereka. Saat membaca gelagat dari Albie, Haura hanya bisa berdecak sebal.
Haura pun memutuskan untuk pergi karena Albie tidak juga bicara.
“Nggak jelas banget sih.” Gumam Haura.
“Tunggu, Ra! Nanti pulang sekolah saya tunggu di Masjid,” kata Albie.
“Ih, ngapain? Kan gue udah bilang kemarin, kalau gue udah nggak mau lagi ikut ekskul rohis,” kata Haura.
“Datang saja. Selebihnya kita bicarakan nanti,” kata Albie.
“Gue nggak mau dateng,” kata Haura.
“Saya tunggu di Masjid,” kata Albir.
“Sakit ya?” tanya Haura yang langsung memutuskan untuk pergi dari Albei.
Di tengah perjalana menuju kelasnya, ini kepada Harua memikirkan mengenai apa yang akan dikatakan oleh Albie di Masjid. Memang ini hari apa? Apa hari ini ada jawal ekskul rohis?
“DORRR!”
Indah datang mengagetkan Haura.
“Astaganagabnarjadidua!” Haura terkejut.
Indah pun terkekeh di tempatnya.
“Ih, elo ngapain sih pake ngaget-ngagetin seala? Nggak kaget tau gue kalo lo mau tau mah,” kata Haura.
“Ck, pakai ngeles lagi. Tadi itu si naga bonar kenapa bisa langsung muncul kalo nggak bisa dikagetin?” tanya Indah.
“Itu cuma refleks aja. Nggak kenapa-kenapa,” kata Haura berkilah.
“Ah, bisa aja. Eh, tadi gue liat lo lagi ngobrol sama Bang Albie. Ngomongin apa deh?” tanya Indah yang memiliki tingkat rasa penasaran yang sepertinya sudah dangat akut.
“Astaga, ini haari apa deh, Ndah?” tanya Haura.
Haura hampir saja melupakan kalau dirinya tengah memikirkan hari.
“Hari selasa. Kenapa?” tanya Indah.
“Loh, bukannya hari selasa itu nggak ada rohis ya? kenapa gue disuruh ketemu sama Kak Albie nanti?” tanya Haura.
“Eh, dia ngajakin lo ketemuan? Cieee … cie …” goda Indah.
“Bukan begitu, Malih. Katanya yang mau diomongin. Dia nggak mungkin mau nembak gue kan?” tanya Haura.
Seketika Indah pun tertawa terbahak-bahak emndengar apa yang dikatakan oleh Haura.
“Lo kalo mimpi jangan ketinggian ya. dia uh ibarat kata malaikat, gak mungkin lah nyatai perasaan ke bangsa jin kayak elo,” kata Indah mencibir.
“Sialan lo,” kata Haura.
Indah pun terkekeh.
“Trus-trus … lo mau datang?” tanya Indah.
“Ya nggak tau lihat nanti aja,,” kata Haura.
“Nggak usah lah … lo jual mahal aja. Kan kemarin dia yang bikin lo keluar kan?” tanya Indah.
Apa yang dikatakan oleh indah memang benar adanya. Seharusnya dia tidak datang untuk menemui Albie. Lagi pula untuk apa lagi? Bukankah kemarin Albie sendiri yang mencampakkan dirinya?
***
“Ra, gue pulang duluan ya?” kata Indah.
“Oh, udah dijemput ya?” tanya Haura.
“Iyaa nih hahaha byeeee~” kata Indah sambil melambaikan tangannaya ke arah Haura.
“Byeee~ tiati lo!” kata Haura yang seikit berteriak.
Indah pun mengacungkan jempol dan trus berlalu.
Kini, Haua pun langsung merasa sangat ngung id satu sisi, Haura tidak mau pergi menemui Albie, di sisi lain, dia merasa penasaran dengan apa sebenarnya yang akan dikatakan oleh Albie kepada Haura.
Apakah itu memang hal yang pentng? Dan sepenting apa?
Pertanyaan itu begitu saja berputar-putar di kepalanya.
Haura pun berjalaan menuju Masjid,dan emncobaa megecek keberadaan orang-orang. Masjid begitu ramai karena semuanya tengah bersiap untuk melaksanakan salat.
Lalu, Haura pun memutuskan untuk mengambil air wudhu dan langsung melaksakan salat berjamaah.
Setelahnya dia memiih untuk pulang saja. Lagi pula saat dia melihat Albie, Albie terlihat tengah mengobrol denagn seorang teman laki-laki Albie. Sehingga sepertinya, Albie bukan hanya ingin menunggunya saja.
“Mending gue pulang.” Gumam Haura. Dadanya panas.
Seketika dia pun langsung berjalan menuju ke parkiran namun saat dia melewati sebuah ruangan yang memang sangat seram dan tidak orang di dalamnya, dia mendengar suara tangisan.
Bulu kudug Haura pun seketika merinding dengan sangat. “Anjirrr!” pekiknya.
Haura pun langsung berlari beitu saja ke parkiran dan di sana dia langsung masuk ke mobilnya.
Mobil Haura pun langsung pergi begitu saja.
Namun, di perjalanan, Haura merasa sangat tidak tenang karena dia merasa kalau Albie memang tengah menunggu dirinya.
“Ishhh … ngapain sih gue sampe mikirin dia sampe sebegitunya?” tanya Haura merasa sangat kesal. “dia pasti udah pulang,” kata haura.
Setelah perjalanan macet-macet Haura pun akhirnya hendak sampai di dekat rumahnya, namun rasa bersalah itu kini terus menghampirinya begitu saja.
Semakin dia dekat dengan rumahnya, Haura seperti ingin kembali saja ke sekolahnya dan menemui Albie.
Tak lama kemduian, ketikaa baru sampai di depan gerbang, ponsel Haura berdering singkat, menandakan ada pesan masuk.
Saya masih menunggu kamu di Masjid.
Sebuah pesan yang datang dari Albie. Ntah dari mana Albie mendapatkan nomor teleponnya.
“Ck!” Haura pun langsung membanting ponselnya ke tempat duduk di sampingnya dengan snagat kesal.
“Pak kita muter balik ke sekolah ya!” seru Haura.
“Eh, ada yang ketiggalan, Non?” tanya Supirnya.
“Udah, cepertan, Pak! Ayo balik lagi ke sekolah.” Pinta Haura.
“Baik, Non,” kata supirnya.
Katakanlah Haura gila namun untuk saat ini, dia meamng hanya bisa melakukan ini saja. Dia tidak bisa berbuat lebih.
Haaura pun akhirnya kambali ke sekolahnya.
Sesampainya di ssekolah, Haur pun langsung turun dari mobilna.
“Non, saya tunggu atau bagaimana?” tanya supirnya.
“Yaudah tunggu aja!” teriak Haura.
Supirnya pun menurut.
Haura pun berjalan dengan jantung yang terus berdegub dengan sangat cepat. Haura membayangkan suara tangisan di sekolahnya lagi namun dia tidak berani utuk mengatakannya.
Haura pun berjalan sedikit berlari ke arah Masjid sekolah.
Sesampainya di depan Masjid, Haura pun langsung melihat ada Albie yang tengah duduk, sepertinya tengah mengaji.
Haura menghembuskan nafasnya.
“Bodoh. Keenapa nggak pulang aja sih? Kenapa coba nungguin di sini sampe jam segini?” gumam Haura.