Jebakan

2051 Words
"Kalau kamu mau melakukannya jangan setengah-setengah.Tapi maaf---Saya gak tertarik sama kamu," bisik Rei sambil menyunggingkan senyumanya. Julia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan Rei. Baru kali ini seumur hidupnya seorang pria yang tidak tertarik padanya, dan itu sangat melukai harga dirinya sebagai wanita, tetapi ia tidak begitu saja mempercayai ucapan Rei, ia meyakini bahwa Rei hanya sedang nervous bersamanya sekarang. Berdua di dalam kontrakan dua petak, menghirup udara yang sama di satu ruangan dan Rei berhadapan dengan cewek sexy dan cantik. Itu yang ada di pikiran Julia sekarang. Rei terdiam melihat Julia menertawainya, karena yang ia ucapkan itu adalah kenyataan yang ia rasakan sekarang, bukan sejenis jebakan agar dirinya lebih digandrungi oleh kaum hawa terutama oleh Julia. Julia mendekatkan wajahnya ke wajah Rei, sehingga posisinya kini terbalik. Rei tersudut seperti seekor kancil yang siap ditangkap oleh seorang petani. "Saya akan membuat kamu tertarik, Rei. Kamu belum mengenal siapa saya yang sebenarnya!" ucap Julia dengan nada tegas. Rei tersenyum lebar, karena kalimat itu bukan pertama kalinya ia mendengarnya dari mulut seorang perempuan, mungkin sudah belasan kali, tetapi yang sudah-sudah mereka semua menyerah untuk mendapatkan hatinya, dan dia berpikir bahwa Julia akan menjadi perempuan yang selanjutnya kecewa pada dirinya. Julia tersenyum, ia masih melihat Rei yang menatapnya. Ia bangkit, mengambil tas lalu membuka pintu kontrakan itu. Ia berbalik melihat Rei sekali lagi. "Urusan kita belum selesai, Rei. Mulai sekarang kita bakalan sering ketemu. Bye!" Julia menutup pintu, menunggangi motor dan melajukannya menuju ke rumah. Rei masih terdiam, gadis itu hampir membuat hatinya goyah. Ia hampir masuk jebakan yang ia tidak sukai dalam hidupnya dan tidak menginginkan keluar dari zona nyamannya sekarang. Baginya itu adalah sebuah mimpi buruk yang sewaktu-waktu mengingatkannya pada kisah masa lampaunya. Masa dimana ia sudah berusaha mengubur dan takkan ia menggalinya lagi. Julia merebahkan tubuh di atas kasur yang tidak memakai ranjang. Ia kembali tertawa mengingat kejadian yang baru saja ia alami bersama Rei. "Apaan, dia gak tertarik sama gue? Heh, dia gak tau aja siapa gue! Jangan panggil nama gue Julia kalau gue belum bisa ngedapetin elu, Rei!" Julia setengah berteriak di dalam kamar. Julia memegang bibirnya, hampir ... hampir saja ia merasakan kembali hangatnya bibir seorang cowok. Seandainya Rei tidak membisikkan sebuah bualan padanya mungkin sekulum atau dua kulum bisa ia dapatkan tadi atau mungkin berlanjut ke bawah, ya ke dadanya. Julia menepuk pelan dahinya. "Ah sialan! Gue jadi on mikirin dia!" Ia bangkit dari kasur itu lalu beranjak menuju kamar mandi. ❤❤❤ Tiada yang berubah di hari Selasa. Lalu lintas yang macet, jutaan orang yang sibuk bekerja, bahkan hal monoton yang harus dikerjakan. Sama seperti halnya dengan hidup Julia selama 4 tahun. Ia harus bekerja di counter, jam kerja dan rute yang sama setiap hari yang harus ia jalani. Jenuh, ya, itu yang ia rasakan kini. Ia jenuh dengan semua dan ia butuh suasana dan tantangan baru dalam hidupnya, tetapi ia belum mendapatkan tempat hatinya nyaman untuk mengais rezeki. Masih ada 18 bulan cicilan motor yang harus ia bayar, belum lagi harus membeli make up dan baju baru setiap bulannya. Satu-satunya obat dalam kejenuhan hanyalah menjalin sebuah hubungan. Pacaran. Julia merasa tenang jika ia menjalin hubungan dengan seseorang. Baginya pacaran itu memberi sejuta warna dalam waktu bersamaan di hidupnya. Jika ia menyukai seseorang ia pasti akan mengejarnya sampai ia mendapatkan hati cowok itu, dan jika ia bosan, ia akan mencampakkannya begitu saja. Sama seperti yang ia lakukan terakhir kalinya dengan Erik. Julia mencampakkan Erik begitu saja karena cowok itu selalu memintanya untuk bercinta. Baginya oral s*x sudah lebih dari cukup untuk ia lakukan. Ia menyadari bahwa ia nakal dan liar tapi sampai saat ini ia masih bisa menjaga keperawanannya dari mantan-mantannya yang b******n. Julia menyadari bahwa Rei berbeda dengan para mantannya, cowok itu terlalu kaku dan dingin padanya. Rei memang berhasil membuatnya penasaran dan dia benci itu. Lima ratus meter lagi Julia akan melewati tempat Rei bekerja, dan sekali lagi Julia mempunyai ide untuk menemuinya kali ini. Ia menghentikan motornya di bahu jalan lalu berjalan ke belakang dan mengempiskan sedikit angin di ban itu. Dengan cara itulah ia bisa menemui Rei. Senyum Julia mengembang, kali ini rencananya pasti berhasil, dan ia mulai melajukan pelan motor ke arah bengkel. Sesampai bengkel Julia celingak-celinguk mencari sosok Rei tapi ia tidak menemukannya. Hanya terlihat seorang montir tua yang seumuran dengan ayahnya. "Pak, tambah angin dong,” pinta Julia, setengah berteriak karena tempat itu bising dengan suara kompresor yang memekakkan telinga. Pria separuh baya itu menghampirinya lalu membuka p****l ban itu. "Ehm ... Rei mana, Pak?" tanya Julia. Ia tidak mau penasaran karena Rei tak terlihat di matanya sekarang. Pria itu menutup p****l ban, ia sudah mengisi angin di dalamnya lalu menatap Julia yang sudah melorotkan masker hingga dagu. "Dia gak masuk, Mbak. Izin karena sakit maagnya kambuh," jawab pria itu. Tertulis nama Kasmin di seragamnya. Julia tertegun, ia menjadi iba memikirkan Rei karena tahu pria itu hidup seorang diri di kontrakan dan sudah tentu tidak ada orang yang merawatnya. Julia memberi uang dua ribu pada Kasmin dan mulai melanjutkan perjalanannya menuju parkiran motor dekat halte bus. Selama menanti bus Transjakarta ia berpikir bahwa harus bertemu Rei hari ini juga dan menjenguk adalah alasan yang tepat untuk bertemu dengannya malam ini. Sepuluh menit kemudian Julia menaiki bus yang akan menuju rute yang biasa ia lalui selama empat tahun terakhir. Ia hanya berharap untuk cepat sampai dan pulang hari ini. Ia tak sabar untuk menunggu jam 7 malam, waktu biasanya ia sudah tiba di bekasi. Tepat jam 7.15 malam, Julia singgah di sebuah gerobak yang menjual bubur ayam. Ia membeli dua porsi bubur untuk ia makan bersama Rei nanti. Setelah ia membayar, ia melanjutkan kembali perjalanannya. Hanya 500 meter lagi ia akan tiba di kontrakan Rei. Hatinya tidak sabar untuk menemui Rei hari ini, pria itu sudah terlanjur menaruh racun di benaknya dan dia benci dengan kata kangen. Ya, Julia kangen pada Rei. Kangen melihat wajah, suara bahkan embusan napasnya yang kemarin sempat mampir di telinganya. Rasa kangen itu berhasil membuatnya tersenyum terus seperti orang t***l selama mengendarai motor Beatnya. Kali ini Julia akan menemui dan menghapus rasa kangennya itu. Julia menaruh motor di depan kontrakan, ia melangkah mendekati pintu lalu mengetuknya. 'Tok tok tok’ Tak lama ia mendengar sahutan dari dalam kontrakan. "Masuk, pintunya gak dikunci," sahut pemilik suara itu. Suara Rei. Julia membuka pintu, ia melihat Rei terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Wanita itu mengangkat plastik yang ia tenteng. "Saya bawa bubur, kita makan bareng yuk," ajaknya lalu duduk mendekati Rei. Rei yang tadinya berbaring, segera duduk melihat Julia mendekat. "Tau dari mana saya---" "Kamu sakit? Jangan panggil gue Julia kalau gue gak tau tentang kamu!" potong Julia sambil menepuk dadanya. Ucapan Julia membuat Rei tersenyum sambil menggeleng. Julia membuka dua porsi bubur ayam yang dikemas dengan styrofoam lalu menaruh sendok dan memberikannya pada Rei. "Nih makan dulu. Biar kamu cepat sembuh." Ia menyuruh, seperti seorang suster yang sedang merawat pasiennya. Rei tersenyum menerimanya, ia tidak menyangka hari ini kedatangan tamu cantik dan sedikit bawel, gadis kemarin yang memintanya untuk menjadikan sebagai pacarnya. Sebenarnya kedatangan Julia, Rei sudah bisa menebaknya. Pak Kasmin, partner kerja di bengkel memberitahu bahwa ada seorang gadis yang menanyakannya. Seorang gadis cantik, seksi dan sedikit bawel. Tak ada gadis seperti itu selain Julia, tapi ia tak menduga jika Julia sungguh-sungguh menemuinya untuk membesuk. "Makasih ya," ujar Rei, ia menyantap bubur yang masih mengepulkan uap. Julia tersenyum, ia juga makan bersama dengannya. Ia juga memberi sebotol air mineral untuk Rei karena kemarin melihat air galon milik Rei kosong, jadi ia sempat singgah juga di sebuah minimarket untuk membeli air mineral dan sebungkus tisu. Julia menyeka mulutnya dengan tisu setelah menghabiskan bubur. Ia melihat di sekitar Rei tidak ada penampakan obat maag di situ, dan membuatnya berpikir bagaimana Rei bisa sembuh jika ia tidak minum obat sama sekali? Hatinya menjadi semakin iba, ia jadi berpikir ingin tinggal bersamanya agar Rei tidak terlantar seperti ini setidaknya ia bisa tinggal berdekatan dengannya. "Kamu gak minum obat?" tanyanya, masih celingak-celinguk mencari obat maag. Rei tersenyum. "Sudah, tadi siang," jawab Rei. "Kan tadi siang, malam gak minum lagi? Obatnya mana? Kok gak ada?" Julia bertanya seperti layaknya seorang polisi yang sedang mengintrogasi tersangka. Rei tertawa kecil, baru kali ini ia menemui wanita yang terlalu mengkhawatirkannya. "Ada di atas lemari." Rei menunjuk ke arah lemari plastik di dekatnya. Julia bangkit dan berjalan mendekati lemari pakaian berbahan plastik itu, tapi tidak menemukan obat yang Rei katakan di sana. Jangankan obat, bungkus bekas plastiknya juga tidak tampak. Julia menoleh melihat Rei di bawahnya. "Gak ada," jawabnya ia sudah memastikan memang tak ada obat di atasnya, hanya sebuah Pomade, sisir dan beberapa anak kunci. Rei menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Berarti sudah habis," jawabnya santai, karena obat itu memang tak ada atau ia tak pernah meminum bahkan membelinya. Julia kembali duduk. Kali ini ia duduk di samping Rei, bukan di depannya.Ia membuka sling bag-nya lalu memberinya obat maag cair. “Ini, minumlah.” Julia menyodori obat cair itu. Rei tersenyum lagi, "Kamu gak perlu repot-repot, saya bisa beli nanti. Tapi makasih ya, Mbak," ucap Rei, ia merasa segan kepada Juli yang sudah membantunya hari ini. Ia tak menyangka wanita yang baru ia kenal dan tolak, berbuat kebajikan kepadanya. Julia menggoyangkan telunjuknya. "No, no, no. Panggil saya Julia. Lagi pula umur saya di bawah kamu, kalau dipanggil Mbak, ketua-an." Ia menolak. Julia merebut obat maag dari tangan Rei, ia mengocok botol itu dan menuang di atas sendok yang ada di dekat Rei lalu menyodori di depan mulutnya. "Nih minum, biar besok bisa kerja lagi." Ia menyuruh Rei lagi lebih tepatnya memaksa untuk meminumnya. Rei membuka mulutnya lalu meminum obat itu. Ia melihat julia tersenyum karena menuruti ucapannya. Rei mengambil selembar tisu dan menyeka sisa obat yang menempel di mulut. Lagi-lagi Julia beradu pandang dalam jarak dekat dengan Rei. Jantungnya menjadi dag dig dug der melihat tatapan mata Rei, lebih tegang daripada naik rollercoaster atau menerima hasil kelulusan saat SMA dulu. Bibirnya menjadi gatal lagi melihat bibir Rei yang menantang. Hasrat liarnya juga bangkit dari imajinasinya yang kotor. Kali ini dia harus mengobati gatal di bibirnya itu dan hanya satu obatnya. Julia tidak ingin berpikir panjang lagi, kali ini dia membiarkan bibirnya hinggap di atas bibir Rei lalu mengecup lembut bibirnya. Mata Julia terpejam dan ia sempat mengintip Rei juga memejamkan mata menikmati kecupannya. Namun, kecupan itu berubah menjadi kuluman penuh hasrat. Tiga detik Julia mengulum bibir Rei dan membuatnya terdiam menerima kuluman lembut bibirnya. Rei tidak menolak atau meresponnya, ia hanya pasrah diperlakukan seperti itu oleh Julia. Tapi Rei merasakan hal yang belum ia pernah rasakan. Hasratnya bergejolak hebat. Turn on karena Julia berhasil membangkitkan hasrat lelakinya yang sudah lama ia kubur. Mau tak mau ia harus membangkitkannya lagi daripada harus merasakan sakit kepala. Detik kelima Rei membalas ciuman Julia, wanita itu tak menyangka Rei merespon ciumannya. Karena ia merasa tak nyaman, Julia segera bangkit dan menutup pintu serta jendela itu dengan cepat. Ia kembali mendekati Rei dan menciumnya lagi, ia duduk di atas pangkuan dan menghadap ke arah Rei. Pria itu memegang punggung Juli sehingga membuat d**a Julia yang montok menempel erat di dadanya. Sementara bibir Rei masih tarik menarik dengan bibir Juli yang sexy. Rei merasakan rasa manis di bibir Julia. Julia memegang kedua d**a Rei yang bidang dan berotot, ia mencoba menggigit sayang telinga Rei. Embusan napas Julia membuat Rei kembali naik ke level berikutnya, atau hasrat tingkat dua. Kedua tangan Juli sudah pindah ke rambut Rei yang mulai basah karena keringat, ia seakan membimbing wajah Rei untuk mencium lehernya yang jenjang. Rei mencoba untuk melakukannya tapi yang ada keluar desahan dari mulut Julia yang mendongakkan kepalanya. Rei kembali mengulum bibir Julia, ia nyaman di bibir itu karena merasakan rasa manis di sana. Mungkin karena Julia seorang perokok, zat manis itu melekat di bibirnya. Julia menarik lidah Rei di mulutnya, ia mengajak Rei untuk adu lidah di dalamnya. Rei memang belum pernah melakukannya tapi ia merasakan kenikmatan yang berbeda ketika lidah itu bersentuhan. Terasa licin dan nikmat. Julia menatap Rei tersenyum puas, ia tertawa kecil lalu mendekapnya lagi. Rei juga tersenyum, ini pertama kalinya ia mencium seorang wanita. Mahluk yang harus ia hindari seumur hidupnya, tapi kini makhluk yang bernama Julia itu berhasil merubahnya. Merubah tentang pola pikirnya terhadap wanita. Dan, ia mulai menyukainya kini bukan karena jebakan tetapi karena ia berusaha untuk hidup secara normal seperti pria pada umumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD