Masa lalu yang kelam

2992 Words
"Tuk..tuk...tuk...tuk.." Suara sepasang sepatu heels berwarna merah, pemilik pemakai sepatu itu juga mengenakan mini dress dengan warna senada. Rambutnya panjang sebahu, berwajah cantik dan memiliki bibir sexy yang dibaluti dengan lipstik merah cabe mencolok. Wanita itu berdiri dihadapan Rei kecil yang berusia enam tahun. "Kau duduk disini! Jangan kemana-mana!" Pinta wanita cantik itu, kasar. Tak lama datanglah seorang pria paruh baya dengan tubuh tambun hanya mengenakan kaos singlet dan celana dalam mendekati wanita itu lalu memeluk dan menciumnya. Wanita itu menikmati dan melirik ke arah Rei kecil yang sedang menutupi wajahnya. "Tidak hentikan! Tidak hentikan!! Tidak!!!" "Tidak!!" Rei terbangun. Ia terduduk di kasur busa. Tubuhnya dipenuhi keringat karena baru saja bermimpi buruk. Mimpi yang sudah lama tidak menghinggapinya. Ia bangkit dari kasur lalu berjalan ke arah dapur dan menyalakan lampu. Ia tersadar bahwa air galonnya sudah habis, selintas ia teringat jika Julia membelikan sebotol air mineral tadi untuknya. Rei kembali ke kasur dan mendekati lemari plastik pakaiannya, ia yakin Julia menaruhnya di atas lemari dan akhirnya mendapati botol itu lalu membuka dan meminumnya. Rei teringat mimpi buruk tadi, sudah lama ia tidak memimpikan ibunya, sosok yang paling ia benci didunia ini. Ibu Rei seorang p*****r yang kerap membawa pria yang berbeda tiap hari. Bahkan karena profesi ibunya sebagai p*****r, Rei tidak mengenal sosok ayah kandungnya. Ada beberapa orang yang memberitahunya bahwa ia hasil dari pekerjaan kotor ibunya karena pelanggannya tidak memakai pengaman. Kelahiran Rei memang sangat tidak diharapkan oleh ibunya, ia selalu bersikap kasar padanya. Ia menduga bahwa ibunya memang sedikit tidak waras karena perbuatan itu tidak selayaknya seorang ibu lakukan terhadap anaknya. Bahkan ia sengaja mempertontonkan pada Rei adegan mesumnya saat bersama para hidung belang walau Rei saat itu masih terlalu kecil untuk melihat hal vulgar seperti itu. Rei sangat beruntung ketika adik dari ibunya, Bibi Tina berhasil membawa pergi dirinya dari tempat lokalisasi itu. Tempat dimana ia dan ibunya tinggal dan bekerja disana. Bibi Tina berhasil membesarkannya sampai di bangku sekolah SMA, walaupun Bi Tina mempunyai seorang anak perempuan, ia tidak pernah membedakan anak kandung dan keponakan. Ia menganggap Rei sebagai anaknya bahkan ia membuatkan akte kelahiran menerangkan bahwa mereka adalah orang tua kandungnya. Tak lama setelah Rei lulus SMA, Bi Tina meninggal karena menderita penyakit kanker p******a stadium 4. Sementara suami Bi Tina,  Mang Maman sudah menikah lagi kini dengan janda dari kampung sebelah, ia juga membawa serta anak perempuannya. Pak Kasmin adalah orang yang membawa Rei merantau ke Jakarta, setahun bekerja dibengkel besar di Jakarta tidak membuat mereka puas. Tepat usia Rei 20 tahun, Pak Kasmin mengajak Rei bekerja pada sebuah bengkel milik adik iparnya di Bekasi, dan dari penghasilan bekerja di situlah Rei bisa meneruskan pendidikannya ke bangku perkuliahan. Karena rasa kagumnya sangat besar pada negara jepang, ia mengambil sastra Jepang dan berharap kelak ia bisa bekerja di negeri sakura tersebut. Tak terasa hampir 4 tahun lamanya Rei kuliah, ia kini di  semester akhir dan sedang menyusun skripsi.gelar sarjana sastra Jepang pun akan ia dapatkan tak lama lagi. Rei melihat handphone yang tergeletak di samping kepalanya, hari masih terlalu pagi untuk terjaga hari ini. Ia melanjutkan tidurnya dan akan bangun satu jam kemudian dan berharap bermimpi indah kali ini. ❤❤❤ Julia mengklakson kan motornya tepat di depan bengkel tempat Rei bekerja. Rei yang sedang membersihkan bengkel menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat seorang gadis cantik bergincu pink sedang tersenyum dan melambaikan tangan pertanda Rei harus menghampirinya. "Kamu sudah mendingan?" Tanya Julia begitu Rei menghampirinya di depan bengkel. Rei mengangguk sambil tersenyum. "Sudah, berkat obat dari kamu, July." Jawabnya. Julia mengangguk bahagia, "Syukurlah, lain kali makannya tepat waktu ya, biar gak kambuh lagi." Ujar Julia sambil mengenakan lagi helm bogo di kepalanya. "Oke, saya berangkat dulu. Takut telat nih." Julia mulai meng-gas motornya pelan setelah melambaikan tangan kepada Rei. Rei membalas lambaian tangannya."Oke, hati-hati, July." Serunya sambil mengikuti arah Julia membawa motornya berlalu. Julia kembali melajukan motor Beatnya, hanya berjarak 500 meter ia sudah tiba di sebuah parkiran motor. Setelah menaruh motor,  menyebrangi zebra cross lalu menanti bus di halte Transjakarta. Sepanjang perjalanannya menuju ke Jakarta, tiada henti Julia tersenyum mengingat kejadian yang baru ia alami tadi malam bersama Rei. Itu adalah malam yang menggairahkan bersamanya, semua yang berbau Rei, ia menyukainya. Wajahnya yang tampan, tubuh berotot, lugu, ciuman dan pelukannya masih bisa ia rasakan sampai saat ini. Karena Rei, Julia mengharapkan ia cepat pulang dari tempat kerjanya. Ia tidak sabar untuk menemuinya, rasanya ia ingin mengulangi kejadian tadi malam, tapi ia harus bersabar karena masih ada 12 jam yang harus ia jalani hari ini. Jam 12.10 wib Julia sudah menghabiskan seporsi nasi Padang dengan lauk ikan bakar bawal, tak perlu ia mengeluarkan uang banyak hanya membayar dua belas ribu ia sudah bisa makan enak dan mengenyangkan. Seperti hari yang biasanya, setelah makan ia bergegas menuju tangga darurat, mengambil rokok sebatang, menyulutnya lalu menghisap rokok secara perlahan. Julia memperhatikan rokok itu, Rei mengatakan jika bibirnya manis saat ia menciumnya. Ia bisa menduga penyebabnya pastilah rokok ini yang membuat Rei begitu antusias mencium bibirnya. "Gara-gara elu, Si Rei jadi ketagihan nyipok gue! Hahahaha-- " Ia bicara dan tertawa sendiri memandang rokoknya. Tak lama datang seorang gadis berambut sebahu mendekati dan duduk disampingnya. Elis, sahabat sekaligus saudara pemilik konter tempat Julia bekerja. Ia menengadahkan tangannya. "Gue minta rokok lu dong, Jul. Gue lagi stress nih." Ucapnya, dengan wajah memelas. Julia menyodorkan sebungkus rokok. "Kusut amat tuh muka, dah kayak pakaian lecek?!" Guraunya tapi tak merubah raut wajah sahabatnya. Elis mulai menghisap rokok, ia tatap Julia disampingnya. "Gue baru aja putus sama Lucky." Jawabnya membuat Julia tercengang. Julia terkejut mendengar ucapan Elis karena beberapa hari yang lalu Elis berencana akan tunangan dengan lucky bulan depan, tapi hari ini ia mendapat kabar yang tak menyenangkan untuk ia dengar. Ia menjadi penasaran penyebab dari putusnya hubungan mereka. Setidaknya ia harus mengetahui dari cerita versi Elis. "Kok bisa putus, Lis? Lucky selingkuhin lu?" Elis mengangguk lemah, air matanya mulai mengembang. "Ya, Jul. Dia selingkuhin gue." Akhirnya Elis menangis, ia tak bisa lagi membendung air matanya dan menumpahkannya didepan Julia. Julia memeluk dan menepuk punggungnya, "Sabar, Lis--Sabar-- "  Julia berusaha menguatkannya, karena ia yakin Elis bisa melewati cobaannya kali ini. "Siapa selingkuhannya? Biar gue labrak tuh cewek!!" Julia mulai emosi tingkat dewa mendengar tangis Elis semakin besar. Elis menggeleng. "Bukan cewek, Jul. Tapi cowok." Mendengar jawaban Elis membuat mata Julia melotot tak menduga jika Lucky yang bertubuh macho lebih doyan cowok dari pada Elis. "Cowok?!" Ia masih tak percaya dengan jawaban Elis. Ia usap-usap telinganya, berharap salah mendengar. Elis menatapnya. "Iya, dia selingkuh sama Dimas, personal trainernya di gym. Gue dapat info dari teman dia di gym. Pas gue tanya eh ternyata dia ngaku kalau selama 5 bulan ini dia gay, Jul!" Terangnya sambil  menghapus ingus dengan selembar tissue. Julia menggaruk kepalanya, dia bingung memberi solusi pada Elis, karena dia tidak terlalu banyak mengenai gay. Yang Julia tahu, gay itu hanya mencintai sesama jenis, walaupun mereka bisa menikahi seorang wanita tapi tetap dihati mereka hanya seorang pria yang menjadi obsesinya. "Waduh gue bingung kalau masalahnya kayak gini, Lis. Tapi kalau Lucky emang sudah gak cinta sama elu dan dia emang gay, mau gak mau lu harus lepasin dia”. “Cowok ini banyak, Cyin. Tenang, lagipula lu juga cakep, kalau bule mah bisa lu dapat!" Julia berusaha menghiburnya. Elis menghentikan tangisnya. "Bule? Kayak Si Reni sama Albert?" Ia mencoba mengingat temannya yang sudah menikahi bule dan tinggal di Australia. Julia mengangguk setuju. " Iya, kalau lu bosan yang lokal cari yang bule aja. Lagi pula--" Julia membisikkan sesuatu ke telinga Elis yang seketika wajahnya merah padam. "Ah takut, gedong banget! Hahaha--" Akhirnya Julia berhasil membuat  Elis tertawa setelah tiga hari lamanya ia menangisi Lucky. Elis menepuk pelan lengan Juli, Ia merasa Julia  cengengesan terus seakan baru memenangkan lotre 1 milyar. "Gue perhatiin lu kayaknya lagi seneng banget, Cyin. Cerita-ceritalah ke eyke." Ujar Elis. Julia membisikkan ke telinganya. "Gue punya cowok baru, Lis!!" Ia antusias memberitahu. Elis terkejut mendengarnya, masalahnya Julia terlalu pemilih kalau masalah cowok dan dia juga tipe cewek yang bosanan, paling lama ia pacaran hanya mendapat rekor 1 tahun !! Itupun putus nyambung, seperti halnya hubungan dengan Erik beberapa waktu yang lalu. "Siapa cowok baru, Lu?" Ia mulai kepo sambil melihat Julia yang masih cengengesan. "Ada, namanya Rei." Jawab Julia, dia menggigit bibir bawahnya. "Tadi malam gue dah kissing sama dia, Lis." Jawabnya lagi sambil tertawa kecil. Elis memicingkan matanya tanda tak percaya. "Yakin cuma kissing doang?" Ia meledeknya, karena ia tahu jika Julia sedikit nakal kalau berpacaran. Julia mengangguk, senyumnya masih mengembang. "He eh. Untuk sementara ini." Jawabnya sambil mengedipkan mata. "a***y!!"  Sahut Elis. ❤❤❤ Julia tiba di kampus Rei tepat jam sembilan malam. Ia menunggu di Pos satpam dan duduk di dekat parkiran motor depan gedung kuliah berlantai tiga itu. Ia sudah tiba di Bekasi sejak dua jam lalu, setelah pulang kerumah dan mandi ia pun keluar untuk menemui Rei,  yang memintanya untuk bertemu di kampus. Julia mengenakan sweater biru motif dan dipadukan celana jeans panjang, ia menguncir kuda rambutnya yang panjang. Ia menjadi pusat perhatian di kampus itu karena wajahnya yang cantik dan sexy. Banyak yang menduga jika ia mahasiswi pindahan karena memang seumuran ia pada umumnya masih masih menjadi seorang mahasiswa. Beberapa mahasiswa telah menggodanya tapi ia tidak menggubris dan bersikap seakan tidak mengetahuinya. Rei melambaikan tangan tepat di pintu keluar gedung, ia tersenyum dan menghampiri Julia. "Maaf lama ya, saya harus menemui dosen pembimbing dulu tadi."  Ia memberitahu. Julia menarik tangannya lalu bangkit dari kursi. "Ayo kita pergi dari sini, Rei. Teman kamu banyak yang genit!" Pintanya, beberapa dari mereka masih melambaikan tangan ke arah Julia. Rei menggenggam tangannya, tapi ia melepaskannya ketika temannya bernama Anton mendekati. Cowok tinggi kurus itu merangkulnya lalu membisikkan sesuatu padanya. "Besok ada acara gak? Udah lama kita gak jalan." Bisiknya. Julia menatap curiga pada teman Rei, sikapnya agak mencurigakan. Rei menatap Julia sebentar lalu membalas ajakan Anton tadi. "Entar gue WA lu aja deh. Gue lagi ada urusan." Jawabnya. Rei kembali menggenggam tangan Julia dan berjalan mendekati motornya yang tidak jauh dari tempat dia berdiri. Julia memberinya helm, ia juga memakai helm bogo kesayangannya. Rei memboncengnya membuat Julia mengeratkan dadanya berada dengan punggung Rei yang bidang. Pemandangan itu menjadi obrolan beberapa teman Rei yang melihatnya, terlebih kaum mahasiswi di kampus itu. Beberapa mahasiswi yang pernah di potekkan hatinya oleh Rei, karena Rei adalah salah satu senpai terganteng di kampus itu. Ia juga kalem dan dingin terhadap cewek di kampusnya baik satu angkatan ataupun dibawah angkatannya karena itulah dia lebih populer dibandingkan dengan cowok ganteng lainnya di kampus itu. Rei mulai meng-gas motor, ia membawa Julia menuju suatu tempat kuliner lesehan yang berada di pusat kota Bekasi. Hanya 3 kilometer jaraknya dari tempat kampus Rei. Walaupun hari sudah jam setengah sepuluh tapi di tempat itu semakin malam semakin ramai, karena letaknya tepat berada di sebuah Rumah sakit umum daerah. Rata-rata pengunjung disitu adalah anak muda seperti mereka, walaupun ada banyak juga pasangan suami-istri membawa keluarga mereka. Rei sudah memesan dua gelas bajigur dan roti bakar. Ditempat itu berjejer puluhan gerobak yang menjajakan makanan dari yang makanan berat sampai yang ringan tapi saat ini hanya bajigur dan roti bakar-lah yang menjadi pilihan mereka. Julia menatap Rei yang memakan roti, "Siapa teman kamu tadi?" Tanyanya, penasaran karena Julia menangkap bahwa teman Rei tadi sedikit aneh. Rei membalas tatapan Juli. "Anton, maksud kamu? Teman satu angkatan tapi beda kelas." Jawab Rei. Kemudian ia balik bertanya. "Kenapa?" Juli menggeleng. "Gak apa-apa, cuma aneh aja." Jawabnya. Rei menyodori roti bakar. "Habisin dulu ya, habis itu kita pulang." Ujarnya sambil bangkit dan berjalan menuju penjual bajigur dan roti untuk membayarnya. Rei kembali membonceng Julia dan kembali melanjutkan perjalanan menuju pulang. Julia memeluknya erat sehingga dadanya beradu dengan punggungnya. Rei merasa aneh pada punggungnya karena benda yang kenyal dan empuk itu ia rasakan kini. Sudah lama ia tidak membonceng perempuan selain Bi Tina, itupun tidak sekenyal milik Julia. Tanpa terasa perjalanan mereka berakhir. Rei memarkirkan motor di depan kontrakan karena julia memaksanya untuk sampai bisa kesana. Rei membuka pintu kontrakan itu, Julia mengikuti dari belakang dan bergegas menuju kamar mandi, ia sudah menahannya dari tadi kali ini ia gak sanggup menahannya. Rei duduk di atas kasur sambil membalas pesan dari Anton. Julia mendekatinya lalu merebahkan kepalanya di pangkuan paha Rei. Ia taruh handphone itu dan mulai membelai wajah cantik Juli, ia terheran dengan pesona gadis itu. Dari sekian banyak wanita yang menyukainya hanya dengan Julia ia menyerah. Ia menyukai perhatian dan ketulusan Julia walaupun agak sedikit bawel. Julia mendongak menatapnya. "Gimana rasanya hidup sendiri, Rei?" Tanyanya. Ia penasaran karena tak pernah hidup seperti yang Rei alami. Rei mengangguk. "Enak, bebas. Bebas gak ada yang ngatur, gak ada yang ngelarang, pokoknya suka-suka gue-lah." Jawabnya, ia masih membelai rambut Julia. "Tapi kalau sakit gak ada yang ngurus." Sambung Julia, lalu tertawa. Rei tersenyum lebar dan setuju. "Memang iya!" Serunya. Rei menunduk menatap mata indah Julia. "Ada bulu mata yang jatuh."  Ia mengambilnya. Juli membalas tatapannya. "Ada yang kangen." Jawab Julia memberitahu. Rei tersenyum. "Iya, aku!" Timpalnya. Julia bangkit dari pangkuannya, ia kalungkan kedua lengannya di leher Rei. Ia tahu Rei menanti aksinya tapi Rei terlalu lugu untuk memulainya. Juli mengulum bibirnya yang hangat, dua detik pertama Rei belum meresponnya, detik ketiga dia mulai membalasnya, bahkan saking antusiasnya bibir mereka mengeluarkan bunyi. Juli menghentikan kecupannya, ia lihat wajah Rei memerah karena hasratnya memuncak. Rei bangkit dan berjalan menuju pintu, ia menutupnya. Ia tidak mau tetangganya melihat aksi mereka, walaupun di kontrakan itu menganut apatisme, tetap ia merasa malu. Ketika Rei sudah menutupnya, ia membalikkan badannya, Julia sudah mendekati dan menyerbunya dengan ciuman lagi. Ia peluk Julia dan membalas semua ciuman sampai kepala mereka berpagutan karena tarik-menarik bibir. Julia menarik badan Rei menuju kasur busa, ia jatuhkan Rei disitu. Bibirnya masih saling mengulum. Wajah Rei masih memerah, deru nafasnya menjadi cepat dan bertambah cepat ketika dadanya beradu lagi dengan d**a montok Julia. Kali ini bulatan payudaranya berada tepat di d**a bukan di punggungnya. Rei mengganti posisinya, kini ia berada di atas tubuh julia. Ia melihat gadis itu tersenyum dan mulai tertawa kecil. Ia merasa terheran, karena tidak ada hal lucu saat ini. "Ada apa?" Tanya Rei, ia menghentikan ciumannya. Julia masih tertawa, ia mengusap bibir Rei. "Lipstik aku pindah ke bibir kamu, celemotan lagi." Ujarnya sambil menyeka bibir Rei. Rei tertawa mendengarnya, pantas saja lipstik yang Julia pakai terhapus semua ternyata menempel di bibirnya. Julia duduk di kasur, di samping Rei. Ia buka sling bag-nya lalu mengambil rokok dari dalam. Ia menghisapnya setelah menyulut dengan sebuah korek api gas. Rei memperhatikannya ia sebetulnya membenci wanita yang merokok tapi entah mengapa Julia terlihat lebih sexy ketika ia sedang merokok. Julia menatap Rei yang sedari tadi memperhatikannya, ia menyodori rokok yang ada di sela jarinya, Rei menggeleng menolak. “Aku gak merokok." Jawabnya. Dia memegang pipi Juli sebelah kanan. "Tapi aku suka bibir kamu." Jawabnya lagi sambil mendekati bibir Julia dan mengulumnya. Rasa manis itu tidak hilang dari bibirnya justru semakin manis Rei rasakan. Julia tersenyum sambil membalas kuluman bibir Rei. "Ah nih cowok bikin gue h***y aja, kacau!!" Bisiknya dalam hati. Julia mendorong pelan tubuh Rei dengan kanan kirinya, Rei terpaksa menghentikan aksinya itu. "Ada apa, July?" Tanyanya, terheran. Ia masih berhasrat untuk mencumbunya kali ini. Julia mematikan rokok di piring kecil, ia menunjukkan jam tangannya ke arah Rei. "Sudah jam segini, aku harus pulang dulu, Rei. " Jawabnya, ia bangkit lalu mengambil sling bagnya. Wajah Rei menampakkan kekecewaannya karena ia belum puas menciumnya hari ini, tapi ia tak berhak untuk menahan Julia. Ia membukakan pintu, julia mencium pipi kirinya. " Aku pulang dulu, Rei. " Pamitnya. Rei mengangguk lalu duduk di teras melihat Julia menunggangi motor Beat dan meninggalkannya. "Hati-hati." ujarnya sambil ia melambaikan tangannya. Ia masuk kedalam kontrakan lalu menguncinya. Rei berbaring di atas kasur. Aroma parfum Julia masih tertinggal disana, bahkan bau asap rokok itu juga masih tercium samar-samar. Ia tersenyum mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, jikalau ia tahu pacaran seindah itu mungkin sedari dulu ia mencobanya, tapi ia merasa dunianya sudah berubah dan hanya Julia lah yang bisa merubahnya. Julia membuka baju sweater dan celana jeans-nya, ia menggantinya dengan setelan baju tidur. Setelah membasuh wajahnya ia kembali kekamar dan berbaring di kasur. Ia  tersenyum sendiri ketika mengingat Rei mulai menyosor bibirnya tadi, terlebih lagi saat ia menghentikan ciuman Rei. Ia tahu saat yang tepat untuk bertindak, dan ia merasa telah berhasil membuat Rei penasaran dan kecanduan akan bibir dan ciumannya. Jika Rei menginginkannya lagi maka hari selanjutnya akan lebih mudah untuk bertemu dengannya. ❤❤❤ Jam enam pagi Rei tiba dibengkel, Pak Kasmin sudah membuka bengkel terlebih dahulu. Ia menyapa pria paruh baya yang sudah ia anggap ayahnya itu. "Pagi, Pak. Sehat hari ini?" Sapa Rei sambil menaruh tas ransel yang berisi beberapa bahan skripsinya didalam loker. Pak Kasmin mengangguk, tapi wajahnya serius menatap Rei. Ia menyodori sebuah surat padanya. "Si Dedi ngasih ini tadi ke bapak, katanya dari orang kampung." Ujarnya. Rei terheran, ia tidak menduga bahwa seseorang dari kampung menitipkan sebuah surat ke Dedi, tukang gorengan yang berjualan di sebelah bengkel. Rei mulai membaca nama pengirim itu. Tertulis nama Maman, suami Bi Tina pengirimnya. Ia mulai membuka dan membaca isi surat itu. ‘Assalamualaikum Rei, kamu sebaiknya pulang kampung sekarang. Ibu kamu sakit keras, dia dirawat di rumah nenek kamu. Mamang cuma menyampaikan pesan saja. Wassalamu'alaikum.’ Begitu isi dari surat itu. Rei merobeknya dan tidak mempedulikan ajakan dari Maman. Ia sungguh tidak peduli dengan keadaan ibunya, seperti saat ibunya tak mempedulikan sewaktu ia masih kecil. Dan ia berpikir bahwa saat ini Tuhan sedang memberi azab padanya karena sudah menjadi seorang p*****r. Karena dialah, Rei harus menanggung malu seumur hidupnya. Ia bahkan tidak pernah mengetahui ayah kandungnya dan itu membuat Rei membencinya. Rei berpikir, jika bukan karena Julia mungkin dia tidak akan pernah merasakan cinta seperti pasangan normal lainnya. Bagi Rei dia sudah menganggap ibunya sudah mati dan saat ini Rei hanya ingin hidup bahagia dan melupakan masa lalu yang kelam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD