Bab 1

2768 Words
1. MENCARI POROSNYA   Beberapa minggu sebelumnya...   Langkah kaki Umi berjalan cepat menuju seorang pria yang berdiri memandangi dia dari kejauhan. Pria itu adalah kakak laki-lakinya, Fatah. Saat ini Fatah sedang menjemput Umi di bandara. Sepulang Umi dari Korea karena pekerjaannya, membuat tampilan Umi begitu berbeda. Umi sangat beruntung karena perusahaan retail raksasa yang dimiliki oleh Korea itu mau merekrutnya. Pakaian modisnya masih melekat indah ditubuh wanita yang memiliki tinggi badan tidak sampai 160cm. Walau tampilannya begitu fresh dilihat, tapi tetap hijab indah melekat pada kepalanya. Umi memang perempuan berhijab, namun tak menuntup kemungkinan dia bisa berbaur dengan baik di korea. "Assalamu'alaikum mas..." dipeluknya tubuh Fatah yang tinggi dan tegap. "Wa'alaikum salam. Ya Allah mi, hampir 2 tahun kamu gak pulang, rasanya mas kangen" "Mas Fatah bisa aja. Dulu Umi disamping mas Fatah terus tapi mas gak suka.." cibir Umi. Di peluknya erat lengan Fatah sambil berjalan menuju mobil Fatah yang terparkir di parkiran bandara. "Gimana kabar kak Sabrin mas?" "Alhamdulillah baik" "Lalu Syafiq? Keponakan tampan ku" "Masih tampan seperti ayahnya.." "Wuh tampan dari mana?" Cibir Umi. "Kamu gak bisa lihat mas masih tampan?” ucap Fatah sambil merentangkan kedua tangannya menghadap Umi. Namun Umi hanya mampu mencibir kakak laki-lakinya itu yang terlewat percaya diri. “Mi, gimana kerjaan mu disana? Orang korea asik-asik dalam pekerjaan?" Tanya Fatah. "Mas, kerja dibawah perusahaan Samsung Corporate sangat mengagumkan. Mereka semua gak kenal lelah untuk mengembangkan terus produk-produk baru. Dan kebetulan kan aku dibagian ponsel pintarnya sebagai salah satu dari R n D ( Research n Development )" jelas Umi. "Dulu aja gak mau terima kerjaan itu, katanya lebih suka mengajar anak-anak TK. Sekarang bahagia banget bisa gabung dalam perusahaan hebat" sindir Fatah. "Ih, mas kok gitu. Mana ada yang nolak gabung di chaebol nya Korea Selatan" Umi kembali mencibir Fatah yang hanya bisa tersenyum melihat tingkah adiknya itu. "Terus sekarang kamu resmi dipindahin ke cabang sini?" "Iya mas, sebenarnya bos Umi gak ngebolehin Umi balik kesini. Tapi Umi udah mohon-mohon akhirnya dikabulin juga. Umi gak mau ninggalin mama kelamaan. Rasanya kangen juga gak digodain mama" ucap Umi diikuti senyum manisnya. Pikirannya sudah menerawang bagaimana wajah bahagia mama saat melihatnya kembali pulang. Saat mereka sampai dirumah, mama menyambut Umi dengan sebuah pelukan hangat. Dilanjutkan oleh Sabrin yang sedang menggendong Syafiq dalam pelukannya. "Ponakan ammah udah besar. Sini Umi gendong kak, udah lama banget gak gendong Syafiq" namun Syafiq menolak untuk digendong Umi, dia menangis kencang tidak mau didekatkan dengan Umi. "Yah kok nangis" keluh Umi. "Kamu bau kali nduk, bersih-bersih dulu sana baru gendong Syafiq" sindir mama. "Yaelah ma, Umi walau bau tetep cantik kok.." Umi tetap berusaha membela dirinya didepan mama. Dulu memang Umi suka sekali beradu argument dengan mama. Mungkin hingga saat ini, semua masih sama. Hanya umur mereka saja yang sudah berbeda. "Kalau cantik kok gak ada yang mau nikah sama kamu?" Pertanyaan mama sontak membuat Umi diam. Bukannya Umi tidak mau menikah, tapi menikah itu bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh proses. Umi tidak ingin salah memilih pasangan hidupnya. "Sudahlah ma, mungkin Umi sudah punya jodohnya sekarang" jelas Sabrin. "Belum kok kak, Umi masih sendiri. Umi lagi menunggu calon imam Umi datang untuk meminta Umi jadi kekasih halalnya.." "Memang ada yang mau sama kamu?" Kali ini Fatah yang mulai memojokkan Umi. "Mas, gak boleh begitu" kesal Sabrin. Umi hanya tersenyum miris. Dia dengan cepat melangkahkan kaki menuju kamarnya. Kamar yang hampir 2tahun ini dia tinggalkan hanya untuk mengejar karir di negeri orang. Selepas mandi, Umi menggelar sajadahnya. Dia belum menyelesaikan sholat asharnya. Dengan khusyuk dan ikhlas dia menunaikan sholat ashar itu. Bagi Umi sholat merupakan yang pertama. Seperti layaknya oksigen yang dibutuhkan manusia untuk melanjutkan hidupnya. Sholat pun sama seperti itu. Bahkan Umi merasa takut jika dia mengingat apa yang dulu guru mengajinya pernah mengajarkan tentang hukum-hukum sholat. Jika seseorang meninggalkan sholat shubuh, maka diceritakan bahwa mereka nanti akan masuk ke neraka selama 30 tahun, dimana 30 tahun itu setara dengan 60 ribu tahun di dunia kita. Hukuman ini bisa berlipat mengingat penjeblosan ke neraka selama 30 tahun berlaku untuk satu kali saja melewatkan sholat shubuh. Innalillahi, satu kali meninggalkan sholat subuh seberat itu. Apalagi banyak dari umat muslim yang lebih memilih tidur dibandingkan sholat subuh. Asholatu khairum minannaum.. Lalu sholat dzuhur, bagi mereka yang meninggalkan sholat dzuhur dosanya sangat besar. Tentu saja besar, karena setiap kali kita tidak menjalankan sholat dzuhur maka kita dianggap seperti sudah membunuh 1000 jiwa umat muslim di dunia. membunuh 1000 jiwa? Membunuh satu jiwa saja dosanya sudah sangat banyak, apalagi seribu jiwa? Kemudiaan bagi mereka yang tidak menunaikan sholat ashar, maka dosa yang akan kita terima juga luar biasa besar. Dikatakan bahwa jika kita tidak melakukan sholat ashar satu kali saja, maka dosa yang kita terima setara dengan jika kita menghancurkan atau menutup Ka'bah di Mekkah. Ya Allah? Menghancurkan ka'bah sebagai arah kiblat kita. Apa itu bukan tindakan keji namanya? Setelah itu sholat magrib, bagi mereka yang meninggalkan sholat magrib, maka dosa yang kita tanggung bisa jadi cukup besar, karena setiap kali kita meninggalkannya kita akan diberikan dosa yang setara dengan jika kita berzina dengan orang tua. Pernah kah kalian berpikir bagaimana jika berzina dengan orang tua kita sendiri? Orang tua yang sudah susah payah berusaha agar kita bisa melihat indahnya dunia. Namun setelah lahir kedunia kita melakukan tindakan yang tidak bermoral. Seperti berzina dengan orang tua kita. Dan yang terakhir, sholat isya. Bagi mereka yang meninggalkan sholat isya yang notabene waktu pengerjaannya sangat panjang. Jika hal ini terjadi, maka dipastikan kita akan kehilangan ridho dari Allah SWT untuk tinggal di bUmi, serta untuk mengkonsumsi makanan dan minuman-Nya. Jika Allah saja sudah tidak meridhoi kita untuk tinggal dibUmi? Apa kita tidak malu masih mengemis padanya. 'Maunya ngemis, tapi sholat saja tidak' Mungkin kata-kata itu begitu menyakitkan. Tapi itulah yang terjadi saat ini. Ibadah seperti hanya sebuah camilan yang tidak berarti. Jika tidak dimakan juga tidak akan mati. Tetapi jika sudah menyesal, baru mengemis-ngemis minta ampun. Tokk.. Tokk.. Tok.. "Mi, udah selesai sholat nya?" Panggil mama. "Iya ma..." dengan cepat Umi membuka mukenanya dan berjalan membuka pintu agar mamanya bisa masuk. "Kamu bisa kan temeni Sabrin kerumah maminya sebentar" pinta mama. "Memangnya mas Fatah kemana ma?" Tangan Umi sibuk mengikat rambutnya yang sudah sangat panjang. "Mas mu kerumah sakit, ada hal penting. Kamu temani dia. Walau diantar pak Kardi, tapi mama kasian ngeliat Sabrin menggendong Syafiq sendirian" "Kenapa bukan mama yang temani?" Keluhnya. Sebenarnya tubuh Umi masih sangat lelah. Dia baru saja sampai dari perjalanan dari Korea. Tubuhnya sudah berdemo minta untuk diistirahatkan. "Mama ada pengajian nduk, ayolah tolong mama" Walau rasanya sangat malas untuk dilakukan Umi, tetapi dia tetap menerima permintaan mama untuk menemani Sabrin pulang kerumah maminya. "Sini kak, biar Umi aja yang gendong Syafiq" alih-alih ingin menggendong Syafiq, namun bayi laki-laki itu memilih menangis saat Umi mendekatinya. "Eh kok nangis, udah lupa ya sama ammah?" Ucap Umi. Wajah polos Syafiq hanya meneliti wajah Umi. Bayi ini berusaha mengenali sosok Umi yang tidak pernah dilihatnya. "Lupa lah dia, waktu kamu pergi kan dia masih hitungan minggu" ucap Sabrin "Yah Syafiq gak seru nih. Nanti ammah beliin mainan buat Syafiq" "Wus, jangan ngomong begitu. Apalagi kalau didepan mas Fatah. Bisa habis kamu diceramahin" jelas Sabrin. Umi tertawa mengejek, ternyata selama 2 tahun dia pergi tidak ada yang berubah dari kakak laki-lakinya itu. Masih saja suka menceramahi orang lain dengan panjang lebar. Mungkin bagi orang yang baru mengenal Fatah, begitu jengah mendengarkan nasihat panjangnya. Bagaikan dongeng sebelum tidur. "Masih gak berubah ternyata mas Fatah" "Ya gak lah, kamu pikir mas mu power ranger" ketus Sabrin. Saat tiba dihalaman rumah mami Sabrin, terparkir sebuah mobil nissan juke hitam dihalaman rumah. Mobil itu tidak familiar bagi Umi maupun Sabrin. Keduanya saling berpandangan setelah menatap plat mobil itu. "Mobil siapa kak?" Tanya Umi. "Gak tau, yang jelas bukan mobilnya mas Imam" ucap Sabrin sambil menggendong Syafiq. Umi masih sibuk mengambil tas-tas milik Syafiq didalam mobil sedangkan Sabrin sudah melangkah masuk terlebih dahulu. "Assalamu'alaikum" salam Umi. "Wa'alaikumsalam.." jawab beberapa orang yang tengah duduk didalam ruang tamu. "Eh ada Umi juga. Kirain Sabrin tadi sendirian" ucap mami. "Kamu bukannya dikorea?" "Iya mi, aku baru..." "Umi..." panggil seorang pria yang duduk bersama mami dan seorang wanita paruh baya lain. Wajah pria itu nampak kaget melihat kehadiran Umi dirumah ini. Ada hubungan apa Umi dengan si pemilik rumah? "Hans..." ucap Umi merasa tak yakin jika yang berada didepannya adalah Hans. Pria yang dulu merupakan teman kampusnya dan juga menjadi musuhnya untuk mengeluarkan pendapat. Sosok pria yang begitu disegani dikampus karena pernah menjabat menjadi ketua BEM. Bukan hanya karena kedudukannya saja Hans begitu disegani, namun karena kecerdasan otaknya untuk memberikan ide-ide briliant untuk kemajuan kampus mereka dulu. "Menghilang 2 tahun ketemunya disini" sindir Hans. "Kalian saling kenal?" Tanya mami yang mulai penasaran. "Iya mi, dia itu dulu satu kampus sama aku" jelas Umi sambil mengambil posisi duduk disamping mami Sabrin. "Ini anak mu jeng?" Tanya Rima -mama Hans-. "Maksud mu, Umi? Alah bukan. Dia itu anaknya besan ku. Adiknya Fatah, suami Sabrin" jelas mami. "Tapi sudah seperti anakku sendiri ya" sambung mami. Hans mengangguk-anggukan kepalanya, semua pertanyaan yang tadi ada dikepalanya telah terjawab dengan baik. Kemudian dia tersenyum manis kearah Umi sambil mengerlingkan matanya. "Hans masih saja gila" teriak batin Umi. "Umi... bantu aku dong" suara teriakan Sabrin terdengar hingga ruang tamu dimana Umi berada. Dengan berat hati, Umi ijin untuk kedalam. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan kepada Hans. Mungkin lain waktu akan dia tanyakan. "Kenapa kak?" Tanya Umi saat sudah masuk kedalam kamar Sabrin. "Nih, penggangin Syafiq. Aku abis ganti pempersnya, tapi dia gak mau diem" keluh Sabrin. "Ya ampun kak, aku pikir kenapa" dengan telaten Umi membantu Sabrin memakaikan pempers pada Syafiq. "Kamu jago juga ya, kayaknya udah siap punya anak nih" "Siaplah, tapi jodohnya aja yang belum ada" keluh Umi. Jangan heran mengapa Umi begitu terbiasa memakaikan pempers pada Syafiq. Dulu saat masih kuliah mengambil program masternya, Umi sempat bekerja paruh waktu di TK dekat rumah. Bahkan Umi juga pernah menjadi sukarelawan di salah satu panti asuhan. "Mudah-mudahan segera dipertemukan dengan jodohnya ya. Emang gak ada pria yang kamu taksir gitu?" Goda Sabrin. "Ada..." "Siapa?" Tanya Sabrin antusias. "Adam levine..." jawab Umi. Dengan refleks sebuah bantal melayang mengenai kepala Umi. "Aduh kak, sakit tau" "Lagian aku tanya yang bener juga" kesal Sabrin. Dia pikir Umi memang sudah memiliki kekasih hati seperti dulu dia dengan kak Darwan. Walau pada akhirnya, kak Darwan bukanlah jodohnya. "Itu jawaban aku paling bener kak" "Terserah mu lah" jawab Sabrin malas. Digendongnya Syafiq keluar dari kamar. Dibelakang langkah Sabrin, Umi mengikuti terus hingga mereka kembali keruang tamu dimana Hans dan mama nya masih berada disana. "Kenapa tadi rin? Ada masalah sama Syafiq?" "Itu mi, kak Sabrin... awwww...." ucapan Umi terhenti waktu paha kirinya dicubit Sabrin dengan kuat. "Sakit kak" keluh Umi. "Hus, udah besar juga masih aja ribut" mami benar-benar malu pada sahabatnya Rima. Apalagi Sabrin putrinya sudah memiliki anak namun tingkahnya masih saja seperti anak kecil. Mereka bahkan tidak sadar Hans sejak tadi memperhatikannya dengan senyum tak lepas-lepas dari bibir. "Kalau mau ketawa, ya ketawa aja kali. Jangan ditahan. Nanti keluar dari bawah bisa jadi polusi udara" sindir Umi.  "Eh, Umi. Jangan gak sopan gitu" tegas mami. "Maaf ya rim, anak-anak memang begini kalau udah kumpul ada aja yang dilakuin kayak gak sadar umur” "Iya aku paham. Senang banget ya kamu, sudah punya cucu. Aku gak tahu nih Hans kapan bisa kasih cucu?" Mama rima melirik Hans yang tiba-tiba saja diam. Wajah yang tadi begitu ceria mendadak menjadi lesu hanya karena kata-katanya. "Loh kamu udah nikah Hans?" Wajah kaget Umi tidak bisa ditutupi. Dia tidak menyangka Hans sudah menikah tanpa ada undangan untuknya. "Kamu sih mi, kelamaan dikorea" cibir mami. "Bagaimana kabar istri mu Hans? Belum ada tanda-tanda hamil? Bisa tuh kamu ikut konsultasi ke Fatah. Siapa tau dia bisa bantu" "Bener tuh, buktinya mas Imam konsultasi juga. Dan alhamdulillah istrinya sedang hamil sekarang" sahut Sabrin. Tangan mama Mira meraih tangan Hans yang sejak tadi bergetar. Dia berusaha menguatkan putranya, walau dia sendiri juga merasa sedih melihat banyak duka didalam pancaran mata Hans. "Hans..." panggil Umi. Dari penglihatan Umi, ada yang tidak beres dengan raut wajah Hans dan mamanya. "Istrinya Hans sudah meninggal" "Innalillahi wa’innailaihi rojiun" ucap mami, Sabrin dan Umi secara bersamaan. Tak ada yang menyangka satu pun dari mereka akan mendengar kabar buruk ini. "Meninggal kenapa rim?" Tanya mami hati-hati. "Bukannya waktu aku datang kepernikahan Hans, istrinya nampak sehat-sehat saja" "Iya, malam sehabis resepsi tubuhnya mendadak panas. Lalu kami membawanya kerumah sakit, 2 hari dirawat dirumah sakit tapi tidak menolongnya" Umi hanya bisa diam mendengar kisah itu. Jujur saja dia bingung harus berkata apa pada Hans. Dia mau menghibur Hans, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Menurut Umi, Hans sosok pria yang murah senyum. Bahkan masalah hidup tak ada yang betah-betah berlama-lama dengannya. Tapi kali ini, mengapa Hans belum bisa bangkit dari keterpurukannya. "Maaf ya Hans, aku gak tahu" lirih Umi. "Kamu kenal kok siapa dia. Wanita itu teman mu juga" senyum pahit Hans tergambar jelas dibibir tipisnya. "Siapa?" Kening Umi bertaut. Dia berusaha memutar memorinya akan kenangan dikampusnya dulu. "Dia ..." "LARA?" Ucap Umi sambil menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia pikirkan. "Iya, Lara Evelyn" Dengan cepat Umi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jujur saja dia tidak menyangka sama sekali. Hal buruk akan menimpa Hans, yang merupakan sahabatnya sejak pertama kuliah. Lebih tepatnya saat Hans dan Umi terjun kedalam dunia sosial bersama-sama. "Maaf Hans, aku sungguh gak tau. Aku.. aku benar-benar berduka akan hal ini" ucap Umi tulus. "Yang kuat ya Hans, walau aku gak kenal siapa Lara. Tapi dilihat dari sedih mu, aku paham seperti apa posisinya dihatimu" ucap Sabrin. "Hans, kematian bukanlah akhir segalanya. Melainkan awal dari kehidupan yang hakiki dialam sana. Doakanlah istri mu itu memiliki amal yang cukup ketika didunia, maka jalannya menuju surga akan lebih mudah" nasihat mami. "Iya, saya sudah bilang sama Hans. Mungkin memang sampai disini saja Lara menemaninya. Pasti Allah sudah menyiapkan wanita lain yang lebih baik amal ibadahnya dari Lara" ucap mama Rima. Hans hanya tersenyum miris. Walaupun sudah 2 tahun yang lalu kejadian itu. Tetapi rasa sedih tidak mudah dihilangkan. Apalagi Lara pergi untuk selama-lamanya. Ketika hari semakin sore, Hans dan mamanya pamit untuk pulang. Perbincangan hari ini cukup menguras pikiran dan hati Hans. Saat mobil Hans sudah pergi dari halaman rumah mami, Umi mendesah sedih. Perasaan kasihan pada sosok sahabatnya itu kembali menghinggapinya. "Kenapa kamu?" Tanya mami. "Gak papa kok mi, Umi cuma kasihan aja sama Hans. Umi tau gimana waktu mereka pacaran dulu" ucap Umi. "Mungkin sudah jalan hidupnya seperti ini. Lagi juga mereka sudah salah, pacaran dulu baru menikah. Memang sih mami akui Rima dan mami tidak jauh beda. Apalagi Rima menikah sama pria asing itu. Beruntung deh mami menikah sama papi" "Ye mami banggain diri nih. Emangnya papa Hans bule ya mi? Selama berteman dengan Hans, Umi gak kenal orang tuanya. Baru tadi Umi liat mama nya" "Iya, papa nya Hans itu pria kewarganegaraan australia yang pindah agama jadi mualaf" ucap mami "Oh, pantes Hans ada tampang bule nya..." "Bule apaan? Bulepotan?" Cibir Sabrin yang ikut menguping pembicaraan mami dan Umi. "Ih kak Sabrin, apaan tuh bulepotan? Mas Fatah tuh yang bulepotan bulu" "Eh.. berani-berani ya.. mas Fatah itu cakep, beribawa, pinter, imam yang baik, ayah yang baik.. pokoknya segalanya deh" puji Sabrin yang diberikan tatapan malas oleh mami dan Umi. "Mas Fatah udah buat kak Sabrin jadi gila" "Biarin, dia suami ku ini. Aku doain biar si Hans itu buat kamu mati tergila-gila baru tau rasa" goda Sabrin yang langsung kabur menghilang dari hadapan Umi. "KAK SABRIN....!! Gak mungkin Umi sama dia.. gak banget tau orangnya" "Hus gak boleh gitu. Inget, Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang kau cintai" jelas mami. "Kayak pernah denger, kata siapa ya itu mi?" Otak Umi mendadak lambat mendengar nasihat mami. "Kata bang Hans" Goda mami. "Ih, mami apa-apaan sih. Mana pernah Hans bijak begitu" Umi bergejit ngeri memikirkan jika Hans mendadak bijak seperti Fatah. Bisa-bisa semua orang yang mendengar nasihat bijak dari Hans akan muntah-muntah dibuatnya. "Gak boleh begitu loh. Mana ada yang tau kehidupan manusia kedepannya. Siapa tau nanti dia jadi suami mu loh. Berarti semua nasihatnya bakalan kamu dengar setiap hari" sindir mami. "Gak akan. Dan gak mungkin" ucap Umi kesal. Rasanya berlama-lama dirumah mami membuatnya mendapatkan penyakit darah tinggi. Apalagi jika mami, Sabrin dan mas Imam dijadikan satu. Ditambah dengan nasihat panjang mas Fatah, bisa mati berdiri Umi mendengarnya. ----- Continue.. pernah baca? Atau udah punya bukunya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD