Bab 2

3096 Words
2. YANG TIDAK DIDUGA  Kehidupan adalah dimana Tuhan yang menentukan, lalu kita yang menjalani. Kemudian orang lain lah yang mengomentari.   "Pagi semua" sapa Umi pada mama, papa, Fatah dan Sabrin yang sedang berkumpul diruang makan. Walau hari ini adalah senin pagi pertama dimana Umi mulai melakukan aktifitas bekerjanya, tapi tidak ada raut wajah malas sedikitpun. "Masuk jam berapa memangnya mi? Jam segini udah rapi?" Tanya Fatah, dia melirik arlogi jam nya sekilas, waktu masih menunjukkan pukul 6.30 pagi. "Masuk jam 8 mas, tapi kan takut jalanan macet" dengan tangannya, Umi mencomot sepotong roti dari atas meja. Tanpa dioleskan selai terlebih dahulu, roti itu langsung saja masuk kedalam mulutnya. "Hus, cuci tangan dulu nduk..." ucap mama. "Tangan Umi bersih kok ma, kan baru abis mandi" Papa yang awalnya sibuk membaca koran, akhirnya melipat koran tersebut lalu memperhatikan pemandangan pagi yang sudah 2 tahun ini tak dilihatnya. Umi putri kecilnya, walau sudah tumbuh menjadi dewasa tetapi tetap putri kebanggaan dan kesayangannya. Bahkan papa merasa moment seperti ini nantinya tidak akan dia lihat lagi. Apalagi jika Umi sudah memutuskan untuk menikah. "Mi, kapan papa bertemu pria yang mau melamar mu?" Tanya papa. Uhuukk... roti yang tadi dia makan tiba-tiba saja terasa tersangkut di tenggorokannya. Sebenarnya pertanyaan seperti ini yang selalu dihindarinya. Menikah? Satu kata yang sangat menyeramkan menurut Umi. Karena menikah adalah ibadah terakhir tetapi terberat yang harus dilakukan. "Kamu itu loh, cuma ditanya begitu aja udah gak bisa jawab" keluh mama sambil menuangkan air putih kegelas Umi. "Kamu tahu kan mi, pernikahan itu apa?" Kali ini Fatah yang mulai membuka pembicaraan. Umi yang tadinya diam saja, saat ini menjadi malas. Dia tahu benar jika Fatah sudah mulai ceramahnya entah kapan akan berakhir. Sedangkan dia terburu-buru ingin datang tepat waktu kekantor. "Mas Fatah ceramahnya nanti aja deh, Umi buru-buru" ketus Umi sambil menatap tajam kearah Fatah. "Mi, dengerin dulu mas mu mau ngomong" ucapan tegas papa tak mampu terbantahkan kali ini oleh Umi. "Dengerin mas, mendengarkan hal baik itu ibadah loh mi. Apalagi hal baik itu bisa kita terapkan dalam hidup kita" ucapnya. "Sekarang gini mas tanya. Kenapa kamu gak mau menikah?" "Eh mas Fatah, siapa yang bilang Umi gak mau nikah. Umi mau nikah kok" "Lantas, mengapa masih ditunda-tunda? Kalau kamu gak mampu mencari sosok yang bisa jadi imam mu biar mas atau mami yang mencarikan" tegas Fatah. "Aku juga bisa bantu cariin" sahut Sabrin. "Ih pada kenapa sih? Mas Fatah juga, kenapa jadi mas Fatah yang ngebet nikah. Kalau mas Fatah yang mau nikah, ya nikah lagi aja" "Umi !!" Bentak papa. "Pa, nanti juga kalau sudah waktunya, Umi pasti nikah kok. Gak usah dipikirin" ucapnya. Tanpa mencium tangan kedua orang tua nya, Umi sudah melesat pergi dari ruang makan itu. Kepalanya menjadi pusing jika terus-terus saja masalah ini yang dibahas. Apa salahnya diumur 26 tahun perempuan belum menikah? Diluar sana bahkan ada yang sudah berumur 30 tahun masih single, dan tidak ada salahnya. Umi merasa keluarganya memang masih hidup dijaman siti nurbaya. Jika perempuan diatas umur 21 tahun belum menikah bisa menjadi perawan tua. Sambil menghidupkan motornya untuk dipanaskan, Umi memakai jaket, sarung tangan serta helm. Dia memang lebih terbiasa membawa motor dibandingkan mobil. Dengan naik motor, Umi bisa mengefisienkan waktu. Sedangkan jika dia naik mobil, sudah habis waktu habis juga uang untuk membeli bensin yang isinya bisa 3 kali lipat dari motor. Jalanan kota jakarta pada pukul 7 memang sudah mulai ramai. Biasanya yang memenuhi jalanan adalah anak sekolah yang hendak berangkat kesekolah. Atau masyarakat yang bekerja dikantor. Dari rumah Umi yang berada dikawasan pondok indah, dia mengarahkan motornya menuju kawasan sudirman. Motor matic yang dikendarai Umi berjalan dengan santai. Tak ada nyalip-menyalip yang biasanya dilakukan oleh pengendara motor lain. Sesampai dikantor barunya, Umi langsung bisa berbaur dengan yang lain. Tidak ada kecanggungan sama sekali. Memang inilah salah satu kelebihan mahasiswi lulusan psikologi, cara pembawaan diri mereka dimana pun mereka berada langsung bisa diterima. Karena sarjana psikologi bisa menjadi pengamat yang ada dilingkungan sekitarnya namun bisa juga berada pada posisi korban akan lingkungan sekitarnya. Pekerjaan yang Umi lakukan, masihlah sama. Dia masih melakukan riset kira-kira hal-hal apa saja yang masyarakat butuhkan untuk melengkapi manfaat dari ponsel pintar yang akhir-akhir ini banyak peminatnya. Bagi masyakat saat ini, ponsel bagaikan udara yang dibutuhkan. Saat mau tidur, bangun tidur, bekerja, makan, belajar, hingga sedang ditoilet pun ponsel tidak bisa lepas dalam diri manusia. Oleh karena itu, posisi Umi disini sangat besar pengaruhnya. Perusahaannya menunggu rincian data dari Umi tentang riset yang dia lakukan. Agar kedepannya dapat mengembangkan produknya menjadi lebih baik lagi. Saat jam makan siang, Umi keluar dari gedung perkantorannya. Lalu menyebrangi jalanan menuju pusat pembelanjaan yang tepat berada didepan gedung kantornya. Dia berjalan santai sambil melihat-lihat koleksi pakaian dan sepatu koleksi terbaru. Walau Umi berhijab, namun semua koleksi pakaian dan sepatu yang dia kenakan tidak pernah ketinggalan model. Dia selalu memakai yang terbaik dan tentunya yang ternyaman bagi tubuhnya. "Heh, Umi" Umi tersentak kaget saat pundaknya ditepuk seseorang. Saat Umi berbalik melihat siapa gerangan orang itu, mulutnya tercekat. Wajah yang beberapa hari lalu dia lihat kini tepat berada didepannya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, dagu nya yang terbelah dua, alis matanya yang tebal dan hitam, kulitnya yang putih benar-benar sangat sempurna. "Diem aja lagi. Ngapain disini?" Tegur pria itu. "Ih, apa-apaan sih. Pegang-pegang lagi" ketus Umi. "Ditanya apa, jawabnya apa. Lagi ngapain disini?" "Mau makan siang Hans" jawab Umi kesal. Pandangannya kembali menilai sepatu yang sedang terpajang di etalase kaca didepannya. "Lihat doang gak beli. Buang waktu aja, kalau mau beli masuk dong. Kalau didepan kayak begini kamu kayak rojali" "Apaan tuh rojali? Aku taunya bajaj bajuri" "Rojali itu, Rombongan Jarang Beli" didorongnya bahu Umi memasuki sebuah toko yang tadi memajang sepatu itu. "Mba tolong sepatu yang dipajang didepan" ucap Hans pada salah satu penjaga toko itu. Hans melipat kedua tangannya didada, dia terus saja memperhatikan Umi yang sedang mencoba sepatu itu. "Gimana?" Tanya Umi. Kedua kaki nya yang putih sudah mengenakan sepatu itu. "Jadi tinggi kamu" ucap Hans jujur. "Ih, komentarnya kenapa jadi ketinggi badan" kesal Umi. Dia berjalan mendekat kearah cermin yang ada didalam toko itu. Digerak-gerakan kedua kakinya. Sepatu yang sedang dicoba Umi hanya sebuah wedges berbahan beludru dengan tali kecil yang melingkar dipergelangan kakinya. "Kenapa harus warna cokelat?" Tanya Hans yang sudah berdiri dibelakang tubuh Umi. Kedua tangannya dimasukkan kedalam suka celananya. Sekarang posisi tinggi Umi sudah jauh lebih tinggi dari sebelumnya. "Aku suka warna cokelat" ketus Umi. "Padahal warna merah cocok buat cewek kayak kamu" cibir Hans. Umi menatap pantulan wajah Hans dari cermin didepannya, dia bingung kenapa Hans harus memilih warna merah untuknya. "Kenapa harus merah? Tau gak kamu warna merah itu simbol api neraka" ucap Umi tegas. Hans tersenyum mencibir kearah Umi, dia memang selalu kalah jika sudah berdebat agama dengan Umi. Tetapi jika berdebat hal diluar agama, maka Hans lah yang akan memenangkannya. "Gimana mba? Jadi diambil yang warna cokelat?" Tanya penjaga itu. "Bungkus satu mba warna cokelat" ucap Hans. "Dih, aku kan gak mau beli" ketus Umi. "Siapa yang bilang kamu mau beli. Kan aku yang mau beli" Hans berjalan menuju kasir untuk membayar. Setelah melakukan pembayaran, Hans memberikan tas plastik yang berisikan sepatu itu kepada Umi. "Eh, apa-apaan sih? Kenapa dikasih ke aku, kan aku bilang aku gak mau beli" marah Umi. Dia tidak suka jika Hans sudah mulai memaksakan kehendak yang Umi tidak suka. "Anggap aja hadiah dari ku. Temani aku makan ya bawel, belum makan siang nih" rengek Hans. "Gak berubah deh, masih aja panggil bawel" kesal Umi namun tetap melangkah mengikuti Hans memasuki restaurant jepang. "Kamu mau makan apa?" Tanya Hans yang sibuk melihat daftar menu yang ditawarkan. "Apa aja deh. Yang penting makan." Hans memanggil pelayan dan memesan hampir semua menu andalan dari restaurant ini. Karena melihat banyaknya menu yang dipesan, Umi hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Sebanyak itu kah? Masih aja ya makannya kayak karung. Inget loh Hans, ini direstaurant bukan rumah makan padang yang sering tempat kita makan. Aku gak mau bayar loh kalau uang mu gak cukup" "Dasar bawelnya gak bisa direm. Pantes umur 26 tapi belum ada yang mau sama kamu" "Eh denger ya, jangan bawa-bawa umur deh. Kenapa emang umur 26 belum nikah? Salah?" Telunjuk Umi mendorong-dorong d**a Hans yang terbalut kemeja hitam yang melekat ditubuhnya. "Dan satu hal yang perlu kamu tahu. Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah 'membeli kucing dalam karung' sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan 'coba dulu baru beli' kemudian 'habis manis sepah dibuang', sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang. Tapi dalam Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih" jelas Umi. "Berarti DP dulu sama kamu gak boleh ya " goda Hans sambil mengerlingkan matanya. "HANS.. genitnya gak ilang-ilang" kesal Umi. "Umi..." seorang pria tiba-tiba saja berhenti tepat didepan meja yang ditempati Umi dan Hans. "Eh.. mas Imam..." Umi kaget setengah mati melihat sosok Imam disana. Apalagi dia sedang dipergoki berduaan dengan seorang laki-laki saat ini. "Pak Imam" panggil Hans. "Pak Richard" Imam masih berusaha mengenali orang yang bersama Umi benar patner bisnisnya atau tidak. "Apa kabar? Lama tidak bertemu. Setelah proyek kerja sama kita waktu itu" tangan Hans menjabat tangan Imam dengan erat. "Kabar baik" jawab Imam. "Kamu dan Umi saling kenal?" Imam memang tidak tahu jika Hans mengenal Umi yang notabene adalah adik dari Fatah, suami Sabrin. Yang Imam tahu tentang Richard Hans adalah putra dari seorang pengusaha otomotif yang begitu ternama di Jerman. Walau papa Hans merupakan warga negara Australia, namun dia bisa mendirikan perusahaan dinegara orang lain. Dan kebetulan perusahaan yang didirikannya maju pesat. Karena itu perusahaan Imam yang dijerman pernah melakukan kerja sama dengannya. "Kita satu kampus" jelas Hans sambil tertawa. Lalu pandangan Imam beralih pada Umi yang hanya diam menunduk. Menurut Imam ini adalah kesempatan emas untuk menggoda Umi yang sudah dia anggap adiknya juga. "Jadi benar kata Sabrin, kamu udah punya calon" goda Imam. "Mas Imam apaan sih" semburat merah dipipi Umi begitu jelas terlihat oleh Imam. Karena itu Imam semakin jadi untuk menggodanya. "Nikah kali mi udah dewasa, nikah enak loh.." "Iya, buktinya mas Imam sampai 2 kali ini. Pasti enak kan" sindir Umi. Imam yang tadinya masih tersenyum seketika membungkam. "Pak Imam kenal Umi dari mana?" "Kamu gak tau Hans, dia ini adiknya Fatah. Fatah kan suami adikku Sabrin" jelas Imam. Hans menatap tak percaya, ternyata dunia ini begitu sempit. Saat dia bekerja sama dengan Imam, dia tidak tahu seluk beluk keluarga Imam seperti apa. Karena perusahaan Imam yang berada di Jerman memang hasil usaha dan kerja keras dia sendiri. Tanpa embel-embel nama besar keluarganya. "Ya sudah kalian lanjutkan makan, mas mau balik kekantor dulu" ucap Imam. Dia langsung saja pamit dan pergi meninggalkan Umi dan Hans. "Ternyata dunia sempit banget ya" "Dunia tak selebar daun kelor Hans, dari mana sempitnya" ketus Umi. Saat makanan datang, Umi dan Hans langsung menyantap makanan yang mereka pesan. Kadang Hans meletakkan daging yang sudah Hans bakar terlebih dahulu kemangkuk nasi Umi. Begitu pun sebaliknya, Umi yang tahu Hans tidak suka sayuran memaksa Hans memakan sayuran itu. "Ahh kenyang" ucap Hans. "Eh, kalau kenyang itu bilang alhamdulillah. Bukan malahan 'ah kenyang'. Cepet ulangin" perintah Umi. "Alhamdulillah. Kenyang" ucap Hans dengan cengiran. "Ah, sudah jam 2. Aku telat" histeris Umi. Dia meraih tas dan plastiknya tadi. Lalu berlari keluar dari restaurant ini. "Dasar alasan aja. Bilang aja gak mau bayar" gumam Hans. Saat pikirannya kembali berputar tentang Umi, dia tersenyum kecil seorang diri. Rasanya sudah lama sekali dia tidak makan berdua dengan Umi. Dulu saat masih kuliah, mereka selalu menyempatkan waktu makan diwarung makan padang. Memang harga nasi diwarung makan padang tidak seberapa, tetapi kebersamaannya dengan Umi yang paling dia sukai. Drrrttt... ponsel disaku Hans berbunyi. Saat nomor yang sudah begitu dia kenal tertera dilayar, langsung saja ponselnya itu ditempelkan ditelinganya. "Ya sayang. Nanti sore aku datang ke apartement mu" ucap Hans langsung pada tujuannya.   *****   Sedangkan Umi yang sudah kembali keruang kerjanya tersenyum kecil melihat bungkusan plastik yang berisikan sepatu tadi. Perasaan bahagia merasuki hatinya. Rasa diam-diam yang sudah terkubur lama seperti tergali kembali. "Ya Allah. Kenapa didunia ini harus ada perasaan seperti ini" keluh Umi pada dirinya. Sebuah pesan masuk membuat Umi terburu-buru mencari dimana keberadaan ponselnya itu. Ketika bukan nama Hans yang tertera disana, dirinya merasa sedikit kecewa. "Iya del..." "Umi marifah al kahfi... udah pulang dari korea tapi gak bilang-bilang" maki Adel pada Umi. Umi menjauhkan ponselnya sejenak dari telinganya. Gendang telinganya bisa saja pecah jika terus mendengar makian dari Adel. "Ya ampun del, kamu yang kemana aja. Aku udah pulang dari beberapa hari yang lalu" jelas Umi. "Maaf ya mi, aku lagi di KL soalnya. Udah lama gak ketemu papa" lirih Adel. "Tapi hari ini aku udah pulang kok. Kita ketemu yuk.." "Boleh.. boleh.. ketemuan ditempat biasa aja" Setelah Adel setuju, Umi menutup ponselnya. Setelah hari mulai malam, Umi memacu motornya pulang. Sebenarnya tempat biasa yang dimaksud Adel dan Umi tadi itu adalah rumah mamanya sendiri. Karena sejak dulu rumah mama merupakan markas Adel dan Umi. Mereka bisa tertawa puas, makan puas, melakukan apapun sesuka hati tanpa harus malu dilihat orang. "Assalamu'alaikum..." salam Adel. "Wa'alaikumsalam.. Adel... kapan sampai?" Tanya mama. "Tadi siang ma, Adel sempet mampir ke apartement dulu" jelasnya. Sejak 2 tahun yang lalu, saat Adel tahu masalah yang terjadi antara Fatah dan Sabrin karena dirinya. Dia memutuskan untuk tinggal diapartement. Walau dia masih bekerja diperusahaan papa nya Fatah, tapi dia tidak ingin tinggal dirumah mama lagi. Bukannya dia tidak suka, tapi dia tidak mau Sabrin salah presepsi lagi. "Pasti janjian sama Umi" "Iya ma, emang Umi belum pulang?" "Belum. Sebentar lagi juga pulang" Tak lama berselang, Umi dengan motornya sudah masuk ke halaman parkir rumah mama. "Tumben non sore banget" tegur pak Kardi. "Iya pak, macet banget dari sudirman" jelas Umi. "Pak, Adel udah dateng ya?" "Udah tadi bapak liat. Dia naik taksi" jawab pak Kardi yang tengah sibuk mencuci mobil yang biasa digunakan untuk mengantar Sabrin. Mata Umi melihat mobil papa yang sudah terparkir disamping mobil jazz putih milik Sabrin. Dia merasa heran, biasanya papa yang pulang selalu larut malam mengapa hari ini pukul 6 sudah ada dirumah. "Assalamu'alaikum" "Wa'alaikumsalam.." jawab papa yang sibuk membaca koran sore di ruang tamu. "Tumben pa udah pulang" ucap Umi sambil mencium punggung tangan sang papa. "Duduk dulu mi, papa mau bicara" Dari nada suara papa yang tegas, Umi tahu pasti ada hal penting yang ingin papa ucapkan. "Papa mau tau, apa benar kamu sudah punya calon?" "Ah? Calon apa pa?" Mata tajam papa terus meneliti raut wajah Umi yang terlihat bingung. "Calon suami" jawabnya. "Calon suami dari Hongkong. Emangnya siapa yang bilang Umi punya calon..?" "Siapa pria yang bersama mu tadi direstaurant" Wajah kaget Umi tidak bisa ditutupi lagi. Awalnya dia mengira Imam yang menyebarkan gosip ini. Tapi Umi merasa papa melihat sendiri dirinya dan Hans di restaurant itu. "Papa lihat ada Imam juga disana. Apa dia teman imam?" Jemari tangan Umi memainkan kunci motor yang masih ditangannya. Jujur saja dia tidak tahu harus berkata apa pada papa. Papa pasti tidak akan percaya jika dia bilang Hans hanya temannya. "Dia teman kampus Umi pa dulu. Dan dia juga kenal sama mas Imam" lirih Umi. "Besok suruh dia kemari. Papa gak mau ada yang melihat kamu kemana-mana bukan dengan pria yang menjadi qawwam mu" "Papa.. Umi sama Hans gak melakukan hal aneh" "Tetap aja, jika pria dan wanita berdua. Maka yang ke 3 adalah setan. Kamu tahu kan setan ada dimana-mana. Papa gak mau ada kesalahan. Sebelum itu terjadi, lebih baik papa mengantisipasinya" jelas papa. "Besok papa tunggu dia dirumah. Sudah kamu sholat dulu sana. Magrib waktunya gak panjang" sambung papa. Oksigen yang seharusnya terisi penuh didalam paru-paru Umi. Kini seperti hilang tak tersisa. Pikiran Umi berputar, mengambil kesimpulan-kesimpulan apa yang harus dia lakukan. "ADEL...." teriak Umi setelah membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Adel sedang berbaring diatas ranjang tidurnya. "Help me..." lirih Umi. "Kamu kenapa toh mi, pulang kerja kayak abis dikejar setan" "Ini gara-gara papa, gara-gara mas Imam dan gara-gara Hans" "Hans? Pria yang dulu sempet kamu ceritain. Bener gak?" "Iya del, baru pulang dari Korea ini aku ketemu dia. Terus dia cerita kalau dia udah nikah" jelas Umi masih dengan histeris. "Terus? Kamu baper gitu. Kamu ngerasa kalah saing sama istrinya?" Tanya Adel bingung. "Ih, bukan itu del. Ngapain aku baper, ngapain aku ngerasa kalah saing. Orang istrinya udah meninggal" "Innalillahi wa'innaillahi rojiun, yang bener kamu? Terus kenapa galau begini" Adel menepuk-nepuk sisi ranjang sebelahnya untuk Umi duduk. "Tadi aku ketemu dia lagi, dan kita makan bareng. Tapi.. tapi papa ternyata liat aku sama dia" lirih Umi. "Kenapa dong kalau liat? Bagus lah. Papa kan jadi bisa kenal teman anaknya" raut wajah Adel masih terlihat bingung karena wajah Umi seperti ingin menangis saat ini. "Masalahnya, papa minta aku untuk bilang sama dia kalau besok dia disuruh kesini" "Buat apa?" "Aku gak tau. Jangan-jangan aku mau dijodohin sama dia.. Ya Allah, gak banget deh" keluh Umi. Dia merebahkan tubuhnya dikasur. Pandangannya menatap langit-langit kamarnya yang sudah tidak terlalu jelas. Karena hari sudah mulai malam dan lampu kamar belum dinyalakan. "Kenapa gak banget? Kan dia duda. Terus kamu janda..." goda Adel. "Jadi pas duda ketemu janda..." "Adel.. sejak kapan aku jadi janda?" "Becanda sayang. Aku tanya sama kamu, kamu cinta gak sama dia?" "Gak..." jawaban Umi yang singkat membuat Adel semakin geregetan dibuatnya. "Gak apa nih? Gak salah lagi? Begini deh mi, perempuan itu rajanya menjawab semua kebalikan. Contoh, saat perempuan lagi sakit hati. Kalau ditanya pasti dijawab gak papa. Padahal mah, jleb banget pasti hatinya. Dan satu lagi contohnya kamu ini, waktu ditanya kamu cinta gak sama dia. Kamu cuma jawab singkat 'gak'. Ini sama aja kamu lagi menerapkan prinsip kebalikan itu. Kalau emang kamu gak ada apa-apa. Seharusnya kamu jawab ya apa adanya" jelas Adel. "Sok tau. Males ah sama Adel yang sok tau" ketus Umi. saat dia berjalan menuju kamar mandi, Adel berteriak histeris menunjukkan ponselnya pada Umi. "Umi.. mi.. nih Hans telepon" "Mana.. mana..." dengan cepat tangan Umi sudah menyambar ponsel yang dipegang Adel. "Halo.. halo..." Karena merasa yang tidak beres, dilihatnya layar ponsel itu. Tapi ternyata gelap. Tidak ada panggilan apapun. Bahkan yang membuat Umi semakin shock, ponsel yang dia pegang merupakan ponsel Adel. Harusnya dia sadar tidak mungkin Hans menelepon kenomor Adel. "ADEEEELLLLLLLL" teriak Umi. Adel tertawa bahagia melihat kemarahan Umi. "Jika masih bisa jujur mengapa harus bohong. Karena sekali bohong kamu akan bohong terus untuk kedepannya" ujar Adel. Lalu berjalan pergi keluar kamar meninggalkan Umi sendiri. "Nilailah aku sesuka mu, selama kamu bahagia aku tidak peduli. Karena semua itu adalah hak mu, karena untuk ku jika ingin bahagia hanya perlu menutup kedua telinga" bisik hati Umi.. ---- Continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD