Bab 2

1650 Words
Akan tiba saatnya, mencintai bukanlah sebuah perasaan yang hanya untuk diungkapkan. Namun sebuah keputusan yang harus dipilih antara menuruti kata cinta atau membahagiakan orang yang dicinta.   Aji dan Wulan kembali terlibat adu mulut saat dalam perjalanan menuju rumah mereka. Aji menyayangkan sekali mengapa bisa istrinya memilih perempuan seperti Nisa untuk menjadi istri keduanya. Bahkan dalam diri Wulan sendiri lebih banyak memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan Nisa. Tapi tetap saja Wulan memaksa kehendaknya. "Mas cobalah lihat Nisa dari sisi yang lainnya. Jangan karena kamu terpaksa menerima permintaanku, kamu langsung menilai negatif Nisa. Dia sahabatku Mas, dia sahabat karibku sejak dulu," jerit Wulan kepada suaminya yang masih sibuk menyetir mobil mereka. Sekali-kali Wulan akan melirik Aji yang nampak lelah. Dia sering kali memijit pelipisnya dengan sebelah tangan sambil berusaha memfokuskan pikirannya dalam mengemudi. Jelas saja Aji pusing, apalagi setiap jeritan permintaan Wulan seperti sebuah pisau yang terus saja menghujam jantungnya. Wulan sekarang ini memang terlihat bukan seperti Wulan biasanya, melainkan layaknya seorang hakim adil untuk memutuskan apa Aji masih bisa hidup atau tidak. Dan Aji tidak suka itu. Dia benci Wulan begini. Mengenal Wulan sejak masa kuliah, dan menikahinya selama hampir enam tahun, seakan membuat Aji tidak mengenal Wulan saja. Wulan sangat jauh berubah ketika mendesak Aji. "Sayang, mas mohon diberikan waktu lagi. Mas harus berpikir dulu. Mas butuh sholat istikharah dulu. Tolong mengertilah. Menikahi dia bukan perkara ijab kabul saja. Tapi ke depannya mas masih belum yakin mampu untuk adil," ucap Aji berusaha menjelaskan maksud hatinya. Wulan pun terdiam. Dia juga mengerti semua kata-kata Aji. Biar bagaimanapun, suaminya pasti butuh waktu. Walau sering kali Wulan dengar di luaran sana, mana ada lelaki yang menolak seorang perempuan. Apalagi ini untuk menjadi istri keduanya. Namun Wulan tahu Aji berbeda. Hampir 10 tahun mengenalnya sungguh membuat Wulan yakin bila Aji mampu untuk bersikap adil. Aji adalah sosok lelaki sejati dimata Wulan. Dia bisa menempatkan segalanya dalam posisi yang tepat. Maka dari itu, cuma Aji yang Wulan pikir bisa membahagiakannya dan Nisa sekaligus. "Iya Mas, Wulan paham. Mungkin memang Mas butuh sholat lebih dulu. Mas butuh memantapkan hati dan pikiran Mas. Tapi ...." Wulan menggantung kalimatnya, menatap Aji dengan tatapan penuh cinta. "Tapi Mas itu adalah lelaki yang Wulan percaya mampu. Mas itu bukan lelaki sembarangan. Dan harusnya Mas paham, adil itu bukan membagikan segala sesuatunya sama rata. Melainkan membagikan segala sesuatunya sesuai kebutuhan. Mungkin saat ini perhatian untukku sudah sangat begitu cukup, maka alangkah lebih baiknya jika Mas nanti ketika sudah menikahi Nisa bisa memerhatikannya lebih." "Tapi, Yang?" Wulan dengan begitu inisiatif menggenggam sebelah tangan Aji. Mengusap punggung tangannya dengan lembut kemudian menciumnya. "Apapun keputusan Mas nantinya Wulan terima. Mas tahu kan seberapa besar perasaan cinta Wulan untuk Mas, maka dengan begini seharusnya Mas semakin tahu seperti apa Wulan sebenarnya. Semua perempuan di dunia ini pastinya ingin mendapatkan ridho dari suaminya serta mendapatkan kunci surga dari setiap tindakannya untuk suami. Wulan juga begitu Mas, jangan berpikir Wulan adalah malaikat. Karena malaikat itu tidak ada yang begitu cinta mati kepada manusia." Setelah mengucapkan kalimat begitu panjang, Aji hanya mampu menatap penuh haru istrinya. Wulan akan tetap menjadi Wulan, seorang istri dan seorang ibu untuk kedua anaknya.   ***   Setibanya di rumah, suara gelak tawa kedua anak Aji serta Wulan menyambut kedatangan mereka. Si kecil yang sering dipanggil Alan nampak berlari dengan begitu lincahnya. Menghampiri Wulan yang baru saja tiba di pintu rumah. Sedangkan si kakak yang sudah masuk sekolah taman kanak-kanak hanya mencibir kelakuan adiknya. Dia sibuk mewarnai huruf-huruf hijaiyah yang berada di dalam sebuah buku mewarnai. "Assalamu'alaikum," "Ikumsalam ...." Teriak Alan riang. Wulan yang sudah merindukan bayi kecilnya ini langsung saja menggendong Alan ke dalam pelukannya. Kemudian hujan ciuman tidak henti-hentinya meneror kedua pipi tembam Alan hingga bocah kecil itu merasa geli sekali. "Aduh mama kangen banget nih sama baby Alan," ucap Wulan ditengah-tengah ciumannya. Wangi tubuh bayi usia tiga tahun itu seakan menjadi kecanduan sendiri untuknya. Tadi semasa dia pergi untuk melancarkan aksi permintaannya, kedua anaknya itu memang sengaja dititipkan kepada sang nenek yang kebetulan memiliki rumah tak jauh dari rumah mereka. Lagi pula di rumah Wulan dan Aji ada 2 orang pengasuh yang memang sengaja Aji pekerjakan untuk membantu Wulan. Namun kedua orang pengasuh tersebut tidak terlalu memiliki peran besar dalam mendidik Alan dan juga Lana, sang kakak. Biasanya Wulan sendiri yang akan mendidik mereka di rumah. Dan kedua pengasuh tersebut hanya sekali-kali saja membantu mengurus Alan dan Lana jika diminta oleh Wulan. Lalu untuk bibi yang bertugas bersih-bersih, Aji juga mempekerjakan seorang perempuan paruh baya yang kebetulan sudah sejak kecil turut hadir dalam masa tumbuh kembang Aji bersama kedua saudaranya. Sehingga bisa dipastikan rumah Aji dan Wulan tidak akan pernah sepi. "Kak Lana lagi buat apa sayang?" Tanya Wulan masih menggendong Alan dengan kedua tangannya. "Tugas sekolah Lana, Ma," ucapnya begitu jelas. Di samping Lana ada sang pengasuh turut membantu memilihkan warna yang bagus untuk digunakan Lana dalam mewarnai. "Kok sore banget Lan, Aji lama datengnya?" Tegur mama mertuanya. Alias sang ibu dari suaminya, Aji. Wulan menggeleng pelan, kemudian mengambil posisi duduk di samping ibu mertuanya. Masih dengan Alan dalam pelukannya, Wulan mendesah lelah. "Enggak kok Ma, tadi cuma agak lama aja makannya," kekeh Wulan. "Assalamu'alaikum," ucap Aji saat memasuki rumahnya. Wajah lelahnya setelah bekerja ditambah kusutnya pikiran akibat pertemuan tadi seketika langsung hilang. Ketika dengan kedua matanya dia melihat anak perempuannya yang begitu cantik sedang sibuk belajar dan sang adik terlihat begitu manja kepada Wulan. Dalam hati Aji terus bertanya apa yang kurang dari semua ini? Mengapa ujian dari Tuhan seakan enggan untuk berhenti. Ketika ia sudah merasakan segalanya ada di tangan, tetapi hadir kembali sebuah masalah atau lebih tepatnya sebuah keputusan yang harus dia ambil. Keputusan yang kelak akan berpengaruh juga kepada tumbuh kembang kedua buah hatinya. Jika suatu saat baik Lana atau Alan menanyakan mengapa dia mengambil keputusan itu, maka penjelasan apa yang harus dia berikan. Apa dia mampu? Kalimat itu yang sering kali muncul belakangan ini. Tapi mengapa Wulan begitu percaya dan yakin dia bisa memberikan yang terbaik. "Mas," tegur Wulan sekali lagi karena sejak tadi suaminya hanya melamun. "Astagfirullah al'adzim," ucap Aji sesaat setelahnya. Sambil mengusap wajahnya dia melirik Wulan. "Kenapa, Ma?" "Mandi dulu sana, terus sholat. Mama siapin makanan dulu untuk anak-anak," jelas Wulan yang seakan tahu apa yang Aji pikirkan. Tanpa berpikir kembali, Aji menurutinya. Melakukan segala rutinitas yang biasa ia kerjakan di rumah sebelum pada akhirnya berkumpul dengan anak-anak dimalam hari. Tepat setelah ia selesai mandi, di kamarnya terlihat Wulan yang tengah sibuk meletakkan pakaian ganti untuk Aji. Sesekali istrinya itu akan menyahuti putra kecilnya, Alan, yang sekarang sedang hobby berceloteh kencang sambil memainkan mainannya. "Tadi bibi masak sayur sama lauk ikan aja, Mas mau makan lagi apa gimana?" Tegur Wulan sambil menyerahkan pakaian untuk Aji. "Mas masih kenyang," ucapnya sembari mengambil pakaian itu. Kedua matanya masih memerhatikan Wulan yang sibuk membuka hijab di depan sebuah meja rias. Wulan nampak sibuk sendiri sembari terkadang ia bersenandung dengan ringan. Tanpa memperdulikan tatapan Aji yang begitu intens. Ketika hijab itu terlepas, rambut hitam panjang milik Wulan tergerai indah. Ini yang Aji selalu puji dari Wulan, rambut indahnya itu memang selalu memikat kedua mata Aji. Sejak menikah dengannya, Aji memang meminta Wulan memanjangkan rambut tersebut semaksimal mungkin. Bahkan ia memaksa Wulan untuk perawatan ke salon agar rambutnya tetap indah. Namun istrinya itu tidak pernah melakukannya. Pernah Aji bertanya bagaimana bisa rambut Wulan tetap indah tanpa perawatan seperti perempuan lainnya, dan hanya satu jawabannya yaitu minyak kelapa. Hanya dari Wulan ia belajar segalanya bila cantik itu tidaklah mahal. Apalagi memiliki istri cantik adalah idaman setiap laki-laki. Namun terkadang lelaki sudah lebih dulu merasa tidak mampu bila untuk membiayai agar istrinya tetap cantik. Uang untuk makan saja masih susah, lantas harus ada uang ke salon dan ke tempat fitnes agar bisa mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. Tetapi nyatanya Aji tidak pernah pusing masalah itu. Dari mulai gajinya yang standar sampai kini bisa dibilang lebih dari cukup, Wulan sang istri tetap terlihat cantik dengan budget yang sangat minimal. Istrinya itu bahkan bisa membiayai beberapa anak yatim untuk tetap bersekolah dari uang lebih yang Aji berikan untuknya ke salon. Sungguh mana rela Aji meninggalkan istri sesempurna Wulan. Meninggalkan? Bukankah Wulan tidak meminta untuk ditinggalkan. Dia hanya ingin Aji bisa berbagi perhatiannya dengan perempuan lain yang kelak akan menjadi istrinya juga. "Mas, pakai bajunya dong," ucapan Wulan membuyarkan lamunan Aji. Perempuan itu tertawa sambil menggelengkan kepala. Sudah dua kali dia mempergoki Aji melamun setelah pertemuan itu. Ia begitu bisa membaca raut wajah Aji yang penuh dengan pikiran kusut setelah permintaannya itu diajukan. Kadang Wulan bingung, apalagi yang Aji pikirkan? Ia sungguh ikhlas sepenuh hati berbagi Aji dengan sahabatnya. Namun Aji masih saja bilang tidak yakin akan mampu untuk adil, "Masuk angin nanti kamu Mas," sambungnya kembali. Alan yang masih berbaring di atas ranjang turut memerhatikan kedua orangtuanya. Mungkin bocah tiga tahun itu tengah merekam segala keromatisan papa dan mamanya. Apalagi cara Wulan melayani Aji begitu baik dan penuh perhatian. Hingga terkadang Alan turut cemburu melihat kedekatan papanya itu dengan sang mama. "Sholat dulu ya," ucap Aji sambil mengecup kening Wulan. Dia tahu istrinya tengah berhalangan, maka dia tidak mengajak sang istri. "Alan, ikut papa Allahu akbar yuk," panggil Aji kepada Alan. Dengan segera Alan turun dan mengikuti Aji untuk sholat ke mushola di bagian belakang rumahnya. Biasanya bila Wulan tidak sedang halangan, maka ia akan bertadarus bersama di sana. Sedangkan Wulan yang melihat interaksi Aji dengan Alan, tersenyum bahagia. Tidak ada raut wajah sedih di sana. Yang ada hanya sebuah senyum penuh harapan. Dia memang memohon pada Tuhan agar kelak jika Lana dan Alan telah dewasa, mereka akan mengerti mengapa Wulan begitu ikhlas melakukan permintaan ini. "Suatu saat nanti kamu akan mengerti Mas kenapa aku melakukan semua ini," ucap Wulan.   Teori ekonomi telah meracuni pikiran kita bila dengan berbagi membuat sesuatu yang menjadi milik kita terkurangi. Tetapi cobalah tatap matahari, selalu memberi cahaya pada seisi bumi tanpa berharap untuk dibeli. ------ continue... Yang mau pesan versi buku, bisa langsung hubungi aku. Shisakatya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD