Bab 1

1498 Words
Percayalah, apapun yang kulakukan hanya untuk membuatmu bahagia...   Lovely Mas jangan lupa nanti ketemu di tempat yang aku bilang ya.   Aji hanya melirik sekilas notif diponselnya yang menampilkan pesan singkat dari sang istri. Setelah berhari-hari memikirkan yang terbaik, akhirnya tiba juga saatnya. Dimana Aji dengan berat hati menerima permintaan yang dianggap bodoh olehnya. Permintaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Seminggu yang lalu, ketika dirinya dan Wulan sedang melakukan kencan ala anak remaja zaman sekarang, tiba-tiba saja permintaan itu meluncur dari bibir Wulan. Aji yang pertama kali mendengarnya hanya tertawa. Mungkin dia pikir Wulan hanya bercanda dengan semua perkataannya. Namun ketika ibu dua anak itu mengulang permintaannya kembali, Aji baru sadar jika itu bukan bercandaan. "Aku serius Mas, aku ingin Mas menikah lagi." Kurang lebih seperti itu permintaannya. Karena tidak berani dan masih terlalu kaget mendengar permintaannya, Aji mematikan semua sistem pendengarannya. Dan berpura-pura sibuk dengan dunianya sendiri kala itu. Hingga empat hari yang lalu, Wulan mengulanginya kembali. Sampai terjadi perselisihan kecil di antara mereka. Namun itu hanya sementara, sampai akhirnya Aji mengalah dan bertanya baik-baik mengapa Wulan meminta semua itu. Lalu meluncurlah sebuah cerita di mana hampir dua minggu yang lalu, Wulan bertemu dengan teman lamanya semasa SMP dulu. Singkat cerita, teman karib yang tumbuh bersama Wulan itu belum kunjung menemukan lelaki yang pas untuk menjadi suaminya. Antara ingin percaya atau tidak, Aji hanya mendengarkan cerita sang istri saja. Kemudian tepat diakhir cerita, Wulan mengatakan bila hanya Aji yang tepat untuk membahagiakan Nisa, sahabat Wulan. Dan tepat hari ini, Wulan ingin mempertemukan Aji dan Nisa. Dia mengatakan, Aji akan suka ketika melihat Nisa nanti. Bahkan istrinya itu tidak menjelaskan ciri-ciri Nisa seperti apa. Foto terbaru Nisa pun tidak Wulan berikan. "Nanti Mas aja yang minta langsung ke orangnya." Begitu kalimat terakhirnya ketika menggoda Aji. Ingin rasanya Aji berkilat untuk tidak datang, agar semua permintaan konyol sang istri tidak kunjung terjadi. Namun ancaman kecil dari Wulan mencubit hatinya. "Ingatlah Mas, penyesalan selalu datang belakangan." Karena itulah, maka Aji akan menepati janjinya kali ini. Dan membiarkan sang istri mengenalkannya pada perempuan yang diminta untuk menjadi istri keduanya.   ***   Tepat pukul 5 sore langkah kaki Aji keluar dari ruangannya. Berjalan menuju lift yang akan membawanya ke basement di mana mobilnya terparkir. Selama perjalanan menuju lift, semua karyawan yang bertemu dengannya menyapa dengan hormat dan penuh kekaguman. Maklum saja, Aji adalah salah satu pimpinan cabang termuda saat ini. Sudah lima tahun dia bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan. Mulai dari pembiayaan pembelian mobil, motor bahkan kapal pesiar pun bisa dikabulkan oleh perusahaannya ini. Kebetulan pusat kantornya ini berada di Jakarta, namun Aji yang sudah begitu dipercaya oleh salah satu direktur utama kini berhasil memegang salah satu cabang terbesar di kota Tangerang. Cabang yang dipegang Aji memang sangat sukses bahkan masuk deretan 5 cabang terbesar se-Indonesia. Oleh karena itu, siapa yang tidak kenal dengan Satya Wiraji. Lelaki yang berusia 29 tahun, dengan karir pekerjaan yang cemerlang dan sikap leadership yang dimilikinya, membuat banyak orang ingin menjadi sepertinya. Beberapa perempuan di kantornya bahkan ada yang terang-terangan mengagumi Aji, tetapi dibalas oleh Aji dengan senyuman. Cukup itu saja. Karena selebihnya, dia sudah dimiliki oleh perempuan sholehah yang selalu setia menemaninya di rumah. "Tumben Pak sudah pulang?" ucap salah seorang pekerja yang cukup dikenal oleh Aji. Aji sekilas tersenyum, lalu melirik arloginya. "Saya ditunggu seseorang." "Pasti ditunggu bu Wulan ya, Pak?" celetuk salah seorang karyawan perempuan. Senyum yang sejak tadi terbit di bibir Aji semakin merekah. Memang benar yang menunggunya adalah bu Wulan, atau bisa dibilang istrinya, namun selain Wulan ada lagi sosok lain yang menunggunya. Sampai-sampai Aji ketakutan sendiri, takut dia tidak bisa mengkontrol emosinya nanti. Selama perjalanan ke sebuah restaurant yang sudah dijanjikan Wulan, Aji memasang play musiknya di mobil. Bukan musik sembarangan yang sering ia dengarkan ketika kemacetan menyapanya. Namun suara yang melantunkan ayat demi ayat Al-Qur'an. Hingga terkadang Aji terlarut sendiri mendengarkannya. Dia memang bukan lelaki yang lulus dari pondok pesantren. Karena pemikiran kedua orangtua Aji dulu, tidak perlu masuk ke sekolah Islami hanya untuk mendapatkan pendidikan agama lebih. Dimanapun, kapanpun dan diajarkan oleh siapapun, pendidikan agama akan selalu bisa diterima. Tinggal bagaimana kitanya untuk menerapkan saja. Bukan berarti semua orang yang lulus dari pondok pesantren akan menjadi manusia berakhlak baik dan tidak akan memiliki dosa. Dosa itu timbul dari pemikiran kita sendiri. Beribu-ribu kalipun kalian diajarkan agama di pesantren bila pemikirannya memang sudah tidak baik, maka semuanya akan menjadi percuma. Dan itu berlaku bagi pendidikan yang Aji jalani. Sejak sekolah dasar hingga kuliah, Aji masuk ke dalam sekolah biasa. Di mana semua agama berkumpul menjadi satu. Tidak membeda-bedakan satu sama lain. Semuanya sama. Namun dibalik itu, kedua orangtua Aji sendiri yang membekalinya dengan agama Islam. Sejak kecil, pendidikan agama selalu ada di sekitar Aji. Dari kebiasaan itulah yang membuatnya kadang merasa aneh bila tidak melakukannya. Dan itupula yang dia terapkan kepada kedua anaknya. Wulan pun setuju akan hal itu. Sejak menikah dengan Aji, semua pekerjaan yang dia miliki dilepaskannya. Wulan langsung fokus menjadi istri dan ibu yang baik. Sampai-sampai Aji sadar dia harus lebih giat lagi untuk bekerja karena setiap tetes keringat yang dikeluarkan oleh Wulan dalam mengasuh kedua anaknya, harus dia hitung dan dia kembalikan dengan kebahagiaan dan kecukupan akan semua kebutuhan Wulan. Sesungguhnya Wulan tidak pernah keberatan akan hal itu. Dia begitu menikmatinya tanpa pernah mengeluh sedikitpun kepada Aji. Karena itu, ketika mendengar Wulan meminta hal yang aneh ini, Aji memang tak habis pikir mengapa Wulan seperti ini?   ***   Dari kejauhan Aji sudah bisa melihat istrinya tengah duduk di sebuah meja dekat dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Hari ini Wulan nampak begitu bersinar dengan hijab biru yang dikenakannya. Wajahnya terlihat serius sekali berbicara dengan seseorang di hadapannya, yang Aji tahu pasti sahabatnya itu. Sampai ketika ujung sepatu Aji berhenti di meja yang Wulan tempati, wajah istrinya itu semakin bersinar. "Assalamu'alaikum, Mas Aji," sambutnya dengan ceria. Dia lekas mencium punggung tangan Aji dan menariknya duduk di sampingnya. Aji yang nampak kikuk, ragu-ragu melirik sosok perempuan di hadapannya. "Macet ya Mas? Mau Wulan pesani apa?" "Teh anget aja, Ma," ucap Aji dengan penuh penekanan diakhir. Wulan tidak terkejut mendengarnya. Memang kadang Aji suka memanggilnya seperti itu untuk membiasakan di depan anak-anak. Dan kini seharusnya Wulan tahu Aji sengaja melakukannya. Dia menekan kata 'Ma' agar sahabat Wulan sadar bila kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. "Sekalian pesan makan aja ya?" Nada suara Wulan terdengar begitu riang seakan tidak akan terjadi apa-apa kedepannya. Dia sibuk membolak balik menu yang ditawarkan oleh restaurant ini. Padahal di sekitarnya sedang ada hawa dingin antara Aji dan Nisa, sahabatnya. "Nis, kamu mau makan apa. Di sini yang enak satenya loh." "Ikut kamu aja, Put." Mendengar dia memanggil Wulan dengan sebutan lain, membuat Aji memfokuskan tatapannya pada sosok di hadapannya. Dan.... Dua kali kedua mata Aji berkedip. Dia tidak menyangka ternyata seperti ini sosok perempuan yang diminta untuk menjadi istri keduanya. Bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika Aji merasa sudah memiliki segalanya dan sekarang di hadapannya disodorkan oleh istrinya sendiri perempuan yang bahkan Aji bingung mulai menilainya dari mana. "Ya udah, kita makan sate aja ya. Biasanya Mas Aji pesen sop nya juga," kekeh Wulan berbicara seorang diri. Lalu dia memanggil seorang pelayan agar segera mengerjakan semua pesanan mereka. "Sekarang, kita mulai dari mana?" ucap Wulan. Dia sibuk melirik Nisa dan Aji yang saling menunduk. Membuatnya bingung apa tanggapan dari masing-masing setelah mereka bertemu. "Mas Aji, kenalin ini sahabat Wulan. Namanya Khairunissa Larasati. Biasanya Wulan panggil, Nisa." Aji yang tadinya menunduk setelah kaget melihat Nisa, kini kembali mendongakkan kepalanya. Menatap Nisa sekilas, kemudian menatap sang istri kembali. "Nis, kenalin ini Mas Aji yang sempat kita bicarakan." Nisa menarik tinggi alisnya sebelah sambil memandang Wulan penuh pertanyaan. "Anggap aja kalian sekarang ini lagi ta'aruf, nanti setelah saling oke. Aku mau kita bicarakan yang lebih inti lagi." "Ma," panggil Aji. Nisa turut melirik Aji saat Wulan dan suaminya sedang saling tatap. Dia tidak berani menyuarakan apapun sekarang. Pikirnya nanti pasti akan ada saatnya dia bicara. "Kenapa, Mas?" "Apa enggak bisa kita omongin lagi?" Bisiknya pelan. Wulan kembali menatap Aji yang penuh dengan tatapan permohonan. Hingga akhirnya Wulan menyerah. Dia mengangguk setuju dan tersenyum kepada Nisa yang masih saja diam. "Mungkin akan ada pertemuan sekali lagi kali ya, biar sama-sama enak." "Put, apa enggak...." "Nis," panggil Wulan. Kedua tangan Nisa yang berada atas meja langsung digenggamnya erat. "Aku akan sangat bahagia bila bisa menjadi saudaramu. Dan rasanya akan lebih lengkap lagi bila kamu bisa merasakan kebahagiaan yang kurasakan." Hati Aji terasa begitu sakit mendengarkan permohonan dari Wulan kepada Nisa. Dia tidak menyangka perempuan yang sudah dia nikahi hampir enam tahun lamanya bisa sebegitu baiknya. Hingga rela berbagi kebahagiaan dengan cara yang luar biasa. Karena tidak tahan mendengarnya, Aji mengambil langkah seribu. Berlari sejauh mungkin karena untuk saat ini hati dan pikirannya masih belum siap menerima semua permintaan aneh ini. Dan mungkin sampai nanti akan tidak siap. Baginya cintanya hanya satu, Wulan.   Hanya namamu yang selalu menjadi tulisanku. Sedangkan tulisan adalah napasku. Jika dirimu melarang aku untuk menulis kisah kita kembali, mana bisa aku hidup tanpa bernapas. ------ continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD