Bab 3

2035 Words
Bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti kebahagiaan berubah menjadi tangis kesedihan. Namun percayalah Allah tidak akan pernah lupa menghadirkan kembali kebahagiaan. Jika yang kita lakukan adalah percaya kepadaNya. Sudah beberapa hari Wulan tidak menyingung sedikitpun permintaannya waktu itu. Kehidupan mereka kembali berjalan seperti biasa. Ia seakan sadar memaksakan kehendak kepada seseorang tidaklah mudah. Maka dari itu bila tiba-tiba keputusan Aji adalah menolak, Wulan tidak akan memaksakan kembali. Mungkin bukan dengan cara ini menolong sahabatnya, Nisa. Dan juga Wulan yakin, tidak hanya dengan ini ia bisa membantu Aji. Masih banyak jalan untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya. Apalagi ketika ia ceritakan keinginan anehnya itu kepada orangtua kandungnya, mereka semua menolak bahkan berkata suatu saat nanti Wulan akan menyesal telah meminta Aji menikah kembali. Namun anehnya Wulan hanya menanggapi dengan senyuman. Ia seakan tidak peduli bila nantinya akan timbul rasa kecewa ketika mungkin Aji akan lebih mencintai istri keduanya. Karena yang dia ingin, memberikan yang terbaik untuk Aji sebagai bekal hidupnya kelak diakhirat nanti. Lagi juga dia percaya Aji paham akan keadilan itu seperti apa ketika ia dihadapkan dengan dua orang perempuan dikedua sisinya. "Ma," tegur Aji. Didalam gendongannya ada Alan yang nampak tertidur. Wulan baru sadar sekarang ini mereka tengah berbelanja di supermarket bersama keluarga kecilnya. Ini memang kegiatan rutin yang mereka lakukan setiap bulannya. Mungkin hanya kegiatan biasa, tetapi jika terlewat dilakukan rasanya seperti ada yang hilang. "Alan tidur?" Tanya Wulan. Tangannya mengusap wajah anak lelakinya itu yang nampak nyaman di dalam pelukan Aji. Alan memang persis memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti Aji ketika masa kecil. Maka ketika keduanya dekat seperti ini dengan Wulan, ia seperti memiliki 2 Aji dalam hidupnya. Wulan berharap Alan bisa memiliki sikap seperti suaminya itu. Sosok lelaki yang begitu bertanggung jawab dan begitu mencintai keluarganya. "Iya, sudah semua belanjanya? Kalau belum, papa ke mobil duluan. Kasian Alan tidurnya enggak nyaman." Wulan nampak berpikir, kemudian tersenyum sebagai jawaban setujunya. Dia tahu pasti anaknya tidak nyaman tertidur dipelukan Aji seperti itu. Jika bisa ditidurkan di dalam mobil, tubuhnya pasti tidak akan sakit. Dan tubuh Aji juga tidak akan keram karena menggendong Alan yang sudah cukup besar. "Ambil dompet papa di kantong belakang," seru Aji. Dia membalik tubuhnya meminta Wulan untuk mengambilnya. "Pakai debit yang biasa aja. Papa belum ambil uang cash," jelas Aji setelah ia merasa dompetnya sudah ditangan Wulan. "Iya. Ya udah, papa bawa Alan ke mobil duluan," ucap Wulan. "Kamu jaga Lana, hati-hati." Aji kembali berkata sebelum mencium kening Wulan dan pergi berlalu. Wulan hanya menggelengkan kepala. Memang begitulah sifat Aji yang dia kenal. Terlalu protektif namun memang semua yang dia lakukan untuk kebaikkan keluarga kecilnya. Dapat Wulan lihat tak jauh darinya, Lana tengah bermain dengan pengasuhnya di bagian ikan-ikan hidup. Biasanya Lana akan cerewet berkata kepada pengasuhnya kapan ikan itu akan diberikan makan. Padahal ikan-ikan tersebut yang akan dijadikan makanan oleh manusia. "Kita jalan lagi Sus," ucap Wulan kepada salah satu pengasuhnya yang sejak tadi memang sibuk mendorong trolli. Jika orang lain yang melihat interaksi Wulan dan Aji kepada keluarga kecilnya, memang akan membuat iri. Apalagi bila orang tersebut memang masih dalam keadaan sendiri. Alias tidak memiliki siapa-siapa. Maka dari itu terkadang mengumbar keromantisan di depan umum itu memang kurang baik. Walau pada kenyataannya kegiatan yang dilakukan itu bersama sosok yang sudah halal, namun tetap saja. Bagi orang-orang yang masih sendiri terkadang pasti akan terselip rasa ingin seperti itu. Dan bertanya-tanya di dalam hati kapan akan bisa mengalaminya. Sama seperti yang dirasakan Nisa. Dia hanya bisa diam. Karena sejak tadi kedua matanya sangat tidak sopan memerhatikan kegiatan Wulan bersama Aji. Memang Nisa awalnya tidak sengaja melihat mereka. Tetapi ketika ia tahu siapa mereka, mata Nisa seakan tidak mau untuk berpaling sedetikpun. Yang bisa ia lakukan hanya diam. Memerhatikan. Dan berharap suatu saat nanti ia akan bisa seperti itu. Merasakan diposisi seperti Wulan. Dicintai dan disayangi oleh suami dan juga anak-anaknya. Tetapi mungkin harapan memang tinggal harapan. Umurnya yang sudah bisa dibilang tidak muda lagi, jarang sekali ada lelaki yang mendekatinya. Sekalinya ada yang mendekati, tidak pernah menjalin hubungan yang serius. Apalagi ketika lelaki itu tahu masa lalu Nisa seperti apa. Semua sudah menyerah sebelum berjuang. Hingga pada akhirnya Nisa kembali sendiri. Padahal mana ada perempuan yang berusia 29tahun masih ingin sendiri? Disaat semua perempuan seusianya sudah menimang anak, dia masih sibuk mencari siapa lelaki yang bersedia menjadi ayah dari anak-anaknya kelak. Kadang Nisa merasa dunia begitu kejam padanya. Membiarkan dia diposisi kesepian tanpa adanya kepastian akan datangnya kebahagiaan. Apalagi sindiran-sindiran tajam dari lingkungan sekitar membuat Nisa ingin sekali menjerit sedih. Mengapa yang orang lain tahu hanya kejelekannya saja sampai ia dihina tidak akan pernah menikah dengan segala latar belakangnya itu. Harusnya mereka semua mendoakan dirinya akan agar cepat menikah dan memiliki anak seperti anak-anak Wulan. Sahabat yang sejak dulu begitu dekat. Jika Nisa diperbolehkan flashback ke masa dia masih memakai seragam putih biru bersama Wulan, rasanya semua yang terjadi sekarang seakan tidak mungkin. Wulan yang dulu sangat berbeda dengan Wulan yang sekarang. Ia bukan tipe perempuan yang bisa bergaul dengan lelaki. Teman terdekatnya hanya Nisa. Bahkan Wulan takut bila ada teman lelaki yang mendekatinya. Biasanya jika sudah seperti itu, Nisa yang akan melindunginya. Memperingati laki-laki yang kurang ajar itu agar menjauh dari Wulan. Oleh karena itu, Wulan bersyukur bisa berteman bahkan bersahabat dengan Nisa. Lalu bagaimana kehidupan Nisa dimasa lalu? Nisa adalah sosok perempuan yang cukup populer. Dia cantik, jelas. Dia pintar. Dirinya dan Wulan memang hampir serupa dalam kepintaran dan kecantikan. Bahkan pernah ada yang berkata bila keduanya memiliki wajah yang mirip. Kecuali Nisa yang memiliki postur tubuh lebih berisi kala itu. Namun jika dibandingkan Wulan, Nisa lebih terbuka dalam urusan pertemanan. Banyak lelaki yang menjadi temannya tanpa dia ragukan. Apa lelaki itu tulus atau tidak. Setiap pulang sekolah dulu, Nisa lebih sering menghabiskan waktu bersama teman dekat lelakinya. Hingga terkadang Wulan sedikit takut bila ingin pulang bersama dengan Nisa. Karena mereka memang berbeda pergaulan. Tetapi mengapa sekarang semua seperti berubah? Wulan yang dulu takut dengan lelaki kini memiliki satu lelaki yang begitu mencintainya dan dia cintai begitu besar. Sedangkan Nisa? Hidupnya sudah tidak tentu arah. Tidak ada lelaki yang mencintainya dengan tulus, tidak ada keluarganya semenjak kejadian itu, dan tidak ada tujuan untuk apa dia hidup. Maka dari itu, sejak beberapa minggu lalu bertemu kembali dengan sahabat kecilnya, Wulan. Seperti membawa sedikit perubahan dalam diri Nisa. Apalagi ketika dia bercerita masalah hidupnya pada Wulan, perempuan itu sampai menangis mendengarnya. Hingga tercetuklah bahwa ia akan meminta suaminya untuk menikahi Nisa. Sahabat yang sudah sejak dulu menolong dirinya. Padahal Nisa sendiri tidak pernah meminta itu. Dia bercerita kepada Wulan hanya ingin mengurangi sedikit beban hidupnya. Namun bagai dihembuskan angin surga oleh Tuhan, Wulan memaksanya untuk menerima keputusan itu. Apalagi ketika ia melihat pertama kali suami dari Wulan. Ada perasaan aneh yang diam-diam menyelusup di hatinya. Anggaplah dia jahat kepada Wulan. Tapi sungguh dia tidak akan berani mengakui apa yang tengah dia rasakan. Biarkan semua ini berlalu dengan sendirinya. Dan kesakitan yang akan menemaninya lagi.   ***   Aji melihat sang istri tengah berjalan ke arah mobilnya bersama Lana dan dua pengasuh yang sibuk mendorong trolli belanja. Lelaki itu langsung turun dan mengambil alih belanjaan tersebut untuk dimasukkan kedalam mobil. "Alan enggak bangun, Pa?" Tanya Wulan. Aji menggeleng cepat. Ia masih sibuk memasukkan satu persatu belanjaannya ke dalam mobil. Sampai ia mendengar Wulan berteriak kencang memanggil nama Lana, kegiatannya langsung berhenti begitu saja. "Lanaaaaaa...." Gadis kecil berumur 5 tahun itu sedang asik bermain gelembung yang ditiupkan oleh pengasuhnya. Namun tak diduga sebuah mobil tiba-tiba muncul dan hampir mengenai Lana jika tidak dipeluk oleh seseorang dari arah berlawanan. Wulan yang melihat kejadian itu mendadak lemas. Jatungnya seakan ingin copot. Jika orang itu telat sedikit saja menolong Lana akan seperti apa nasib putri kecilnya. Dalam hati ia ingin memarahi pengasuh anaknya itu. Tetapi kembali lagi ia ingat. Disini dialah ibu dari Lana, mengapa harus orang lain yang ia salahkan. Harusnya Wulan yang salah dalam posisi ini. Dia harusnya lebih bisa menjaga Lana yang sedang aktifnya bermain. Tapi apa? Dia lalai menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. Memang sangat biasa sekali seorang ibu akan menyalahkan pengasuh anaknya bila hal-hal buruk terjadi kepada anaknya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, pekerjaan pengasuhnya yang menjadi jaminan. Tapi Wulan tidak boleh menjadi orang yang egois. Dia harus mengakui kesalahannya sendiri. Dan bukan orang lain yang ia jadikan kambing hitam atas kesalahannya itu. "Lana...." Suara Aji terdengar memanggil putrinya itu yang terjatuh didalam pelukan seseorang. Ketika langkah kaki Aji mendekati Lana, dia terlihat kaget siapa yang tengah memeluk putri kecilnya. "Nisa," panggil Wulan. Perempuan itu hanya meringis karena siku tangannya nampak terluka. Sedangkan Lana yang didalam pelukannya masih diam. Mungkin dia kaget akan kejadian cepat itu. Pengemudi mobil yang tadi begitu kencang, keluar dari mobilnya dan membantu Nisa berdiri. "Maaf ya bu, saya buru-buru tadi. Anaknya enggak papa kan, bu? Mau dibawa kerumah sakit?" ucap lelaki paruh baya yang terlihat seperti seorang supir. "Saya enggak papa Pak," jawab Nisa. Dia melihat Lana yang didalam pelukannya. Kemudian dengan kedua tangannya membersihkan beberapa kotoran yang menempel ditubuh Lana. Hebatnya Lana tidak terluka sedikitpun. Tetapi tidak dengan Nisa. Aji bisa melihat sendiri, dari siku perempuan itu mengalir darah segar yang sengaja Nisa tutupi. Ia tidak mau orang lain pedulikan jika dirinya terluka. "Alhamdulillah enggak papa. Sekali lagi saya mohon maaf ya bu," ucapnya penuh permohonan. "Lain kali hati-hati ya Pak" sahut Nisa. Lana yang sudah bisa mengendalikan kekagetannya, langsung berhamburan memeluk tubuh Wulan. Seorang pengasuh Lana, langsung meminumkan gadis kecil itu. Karena sudah pasti Lana kaget sekali tadi. "Terima kasih ya, Nis. Kalau enggak ada kamu tadi...." "Hust," Nisa tersenyum memotong kalimat Wulan. "Aku juga enggak sengaja lagi lewat tadi," jelasnya. Memang keadaan tepat sekali, ketika Nisa ingin pulang setelah menyelesaikan belanjanya, ia tidak sengaja melihat sebuah mobil melaju cukup kencang di parkiran. Lalu begitu melihat Lana hampir di tabrak oleh mobil, barang belanja yang Nisa pegang dilemparkan begitu saja. Dan perempuan itu langsung berlari secepat yang ia bisa menuju Lana. Untung saja semua yang dia lakukan tidak sia-sia. "Nis, mampir ke rumah yuk," ajak Wulan. Nisa menggeleng cepat, dia jelas tidak enak kepada Aji. Nanti lelaki itu pikir Nisa sengaja melakukannya. Menolong putri kecilnya agar Aji bisa menerima ia menjadi istrinya. Tidak, Nisa bukan perempuan jahat seperti yang sering terjadi di sinetron bahkan di novel. Dia tulus melakukannya. "Aku buru-buru Put, kapan-kapan aja," jawabnya cepat. Dia tersenyum sambil melambai pergi. Aji yang diam-diam memerhatikan Nisa menjauh, semakin sadar bila luka di siku Nisa bukan luka kecil biasa. 'Perempuan itu berdarah karena menolong anakku' begitu kurang lebih isi pikirannya. Maka dari itu, ketika Nisa belum berjalan terlalu jauh. Dia sontak mengejar Nisa. Mengeluarkan sesuatu dari saku celananya untuk membantu membersihkan luka yang dirasakan oleh Nisa. "Bukan hal penting, setidaknya bisa mengusap darah yang mengalir dari siku tanganmu," ucap Aji ketika menghadang langkah kaki Nisa. Perempuan itu kaget luar biasa. Dia tidak menyangka Aji melakukan ini. Apalagi pertemuan pertama mereka waktu itu tidak berakhir dalam keadaan baik-baik. Tetapi kini Aji terlihat begitu manis. "Enggak perlu Mas, saya enggak apa-apa," tolaknya halus. Dan membiarkan tangan Aji menggantung dengan sebuah sapu tangan. Kedua mata Aji membulat tidak percaya. Dia ditolak oleh seorang perempuan yang kemarin ini disodorkan istrinya untuk menjadi istri keduanya. Jadi bukan Nisa yang menginginkan ia menikahinya? Lalu untuk apa dia bergaya di depan Nisa jika kehidupan rumah tangganya adalah yang terbaik? Toh perempuan ini tidak peduli. Sedangkan Wulan yang melihat interaksi itu dari jauh, hanya tersenyum dalam mencibir. Dia memang tahu, Nisa akan menolak bantuan Aji. Harusnya Aji sadar Nisa bukan perempuan seperti yang dia pikirkan selama ini. Orang yang memandang Nisa pertama kali, pasti pikiran negatif yang mereka hasilkan. Bagaimana tidak, Nisa adalah sosok perempuan tangguh. Dia tidak keibuan seperti Wulan tapi bukan berarti dia perempuan sembarangan. Wulan tahu sangat bagaimana Nisa begitu menyukai anak-anak. Namun memang Tuhan belum mengijinkannya memiliki anak sendiri. Lalu dari pakaian yang ia kenakan, memang tidak ada gamis serta khimar yang menutupi tubuhnya. Tetapi Wulan yakin suatu saat pasti akan ada lelaki yang rela membantu Nisa untuk menutupi bagian tubuh indahnya. Dan Wulan yakin lelaki itu adalah Aji. Dulu Aji juga membantunya menjadi perempuan sholeha. Lalu kini Wulan mau Aji juga melakukannya untuk Nisa.   Sering kali aku terlena mencari teman hidup ke sana ke sini. Tetapi nyatanya aku sering kali melupakan Tuhan yang selalu setia di hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD