Bab 2: Namaku Ahya Sholihin

932 Words
Ahya Namaku Ahya Sholihin. Aku berusia 17 tahun, dan sebagian besar ingatanku hilang entah kenapa. Keluargaku adalah kak Sholihin Fath, Adik Rizky Furqan, dan Pak Herman Abdullah. Entahlah, tapi aku tidak bisa mengingat tentang ibuku. Aku tidak tahu mengapa demikian.   Mata sebelah kiriku buta saat kecil. Jadi, kakakku memberikan matanya, entah kapan, karena dia sendiri tak ingat kapan. Aku selalu memakai sebuah penutup mata untuk mata kiriku. Kakakku selalu memarahiku jika aku mencoba melepasnya, entahlah alasannya. Dia juga menegurku bahwa tak ada yang boleh membuka penutup itu.   Sementara itu, mata kanan ku mempunyai minus 50, dan aku memakai kacamata, membuatku terlihat aneh. Mungkin seperti profesor atau apa gitu deh. Kalau nerd bisa lebih pada nerd udah, orang aneh adalah cap.   Aku sekarang bersekolah di SMA Januari. Aku tidak ingat sama sekali tentang SD maupun SMP ku. Tapi kakakku dan ayahku menegaskan kalau aku harus jalani ini. Kata kakakku, aku sebelumnya dari SMA Maret.   ***   "Ahya! Hari ini hari pertama kamu sekolah! Jangan lambat!" teriak ayahku. "Ya Ayah, aku hampir siap," balasku.   Aku berangkat bersama ayahku dengan motor andalannya. Motor yang biasa-biasa saja sebenarnya. Ayahku memang seorang pengusaha, tapi dia hidup sederhana.   Aku akhirnya sampai di sekolah ku dan melihat ke sekeliling. Aku berjalan menuju ke dalam sekolah.   "Hey, ada murid baru.!" suara bisik-bisik itu terdengar saat aku berjalan di koridor sekolah. Ada yang mengatakan aku aneh, nerd dan sebagainya. Aku acuhkan saja. Kak Fath sudah memberikan peta dan informasi di mana letak kelas ku, jadi aku ikuti saja petanya, mudah ‘kan?   Aku sampai di depan kelas. Aku pun masuk ke kelas ku, XII IPA 5. Di sana, ada beberapa siswa yang melihatku heran, sebagian yang lain melihatku lalu tertawa dan seterusnya. Aku tidak peduli.   Aku duduk di kursi barisan ke tiga kolom ke dua, ah, matematis banget. Memang sih, aku juga acak aja sebenarnya tuh menghitungnya, terserah aja.   "Hey murid baru, gak usah sok baru ya, disini cuma kami bertiga yang boleh duduk!" Tukas seorang siswa. Di bajunya tertera namanya Hola Light Shield. Namanya Hola, batinku.   Aku menjauh dan mencari kursi di tepi. Disana, ada beberapa orang siswi yang lagi berbicara tentang sesuatu. Aku duduk di kursi tepat di belakang kursi-kursi mereka. Mereka sepertinya tak acuh. Aku juga tak acuh dengan mereka, lagian yang di bicarakan juga gak penting, toh mereka juga gak peduli.   Jam pertama pun di mulai. Seorang siswa lari dengan terengah-engah, "Ibu wali kelas datang!" teriaknya. Semua siswa-siswi yang sibuk tiba-tiba langsung merapikan diri dan bersikap sesopan mungkin.   Sang guru pun masuk. "Baiklah anak-anak, ibu ada rapat, jadi-" "Yay!" teriak para siswa siswi kegirangan. "Tunggu! Ibu belum selesai!" bentak sang guru. Kelas menjadi hening kembali.   "Hari ini ada murid baru, silahkan maju ke depan," ucap beliau sambil menunjukku. Aku langsung berjalan ke depan.   "Nama saya Ahya Sholihin dan saya awalnya berasal dari SMA Maret. Senang bertemu dengan kalian," ucapku dengan senyum. Mereka langsung berbisik-bisik. Sepertinya tentang diriku.   "Oke, silahkan duduk kembali," ucap ibu guru. Aku duduk ke kursiku.   "Jadi namamu Ahya Sholihin ya? Nama yang bagus. Perkenalkan, namaku Hafiz Akbar. Panggil aja Hafiz," ucap teman sebangku seraya menyalamiku. "Terima kasih," balasku. Tadi perasaan pas baru masuk di kacangin.   Aku menjalani semua pelajaran dengan baik pada hari itu. Pada saat jam pelajaran terakhir selesai. Akbar membawaku ke meja teman-temannya. Aku tak tahu apa sebenarnya keinginan Akbar.   "Hey, Lia, Luna, gimana kalo si Ahya ini ikutan aja ama kelompok Fisika kita?" Tanya Hafiz kepada dua siswi yang duduk bersampingan. Satu berkacamata dan satu tidak memakai kacamata. "Kamu yang murid baru itu ya?" tanya siswi yang tidak berkacamata. "Yoi, dia si murid baru Lun. Lo pelupa apa b**o?" tanya Hafiz. "Oh, maaf. Gimana Li?" tanya Luna, siswa tak berkacamata itu ke teman di sampingnya yang berkacamata. Orang yang di tanya tidak menjawab.   "Woi, bumi kepada Annisa Amalia!" ucap Luna dengan lantang. "Eh, maaf maaf," jawab siswi itu, terkejut. "Ini si murid baru ikut kelompok kita aja ya?" tanya Luna ke siswi itu. "Oke...," jawabnya pelan. Dia sepertinya tidak fokus. "Sip!" balas Hafiz, dia lalu berpikir.   "Jadi, kerjain tugasnya di rumah siapa?" tanya Hafiz. "Jangan rumahku, kau baru ngebuat ibuku marah kemarin!" ucap Luna ketus. "Eh, maaf maaf, antai dikit," jawab Hafiz, nadanya tampak takut. "Rumahku, bagaimana kalau rumahku saja?" tanyaku dengan datar. Mereka sepertinya terkejut. "Kau yakin ortu lo gak bakal marah?" tanya Hafiz. "Gak apa-apa, ayah ada urusan keluar negeri, jadi cuma aku, kakak ama adikku dirumah," balasku. "Mantap!" balas Hafiz. Kedua siswi itu hanya geleng-geleng. Sepertinya mereka mengisyaratkan sesuatu.   Kami berempat pun pergi ke muka pagar sekolah. Tiba-tiba, sekelompok siswa berpakaian tak rapi mendekati kami, sepertinya geng sekolah ini. Aku hanya tersenyum kecut melihat mereka datang. "Lo murid baru itu kan?" tanya salah satu dari mereka. "Ya." Jawabku datar, “mau berantem atau apa sih?” batinku. "Apa mau kalian?" tanya Hafiz ke arah mereka ketus. "Lo diam aja Fiz, gak usah so tangguh, nyuri cewe lagi!" balas siswa itu. Hafiz memberi tanda dengan tangannya agar Luna dan Amalia mundur. Mereka langsung mundur, sesuai isyarat Hafiz.   Salah satu dari mereka langsung memukul Hafiz dan Hafiz langsung kesakitan. Pukulan itu memang mendarat mulus di perutnya, dan pastinya darah merah segar keluar dari mulutnya. "Tuh, udah gue bilang!" ejek siswa yang memukul itu. Dia sepertinya bersiap untuk memukul Hafiz sekali lagi. Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. "Kamu..,." ucap Hafiz kesal. Siswa yang lain mendekatiku dan langsung mengangkatku. Aku tidak mengadakan perlawanan, karena menurutku pertengkaran itu tidak menyelesaikan masalah.   "Lo berani juga ya deketin gebetan gue," ucap siswa itu. Dia menaikkan tubuhku yang memang lebih ringan daripada tubuhnya yang lebih kekar. “Gebetan? Baru hari pertama udah punya masalah! Tahu nggak apa nggak!” batinku dalam hati bingung. "Aku tidak tahu," balasku. "Gak usah sok gak tau. Luna itu gebetan gue!" teriaknya lantang. "Gue benci lo!" balas Luna kesal di belakang ku. Kalimatnya justru membuat dia memperkencang cekikannya. “Sial!” batinku kesakitan. Tiba-tiba, dia mengarahkan tangannya yang dikepal ke arah perutku. Aku menutup mata tak ingin melihat apa yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD