Bab 3: Kakakku, Sholihin Fath

1195 Words
Fath   Namaku Sholihin Fath. Aku salah seorang mahasiswa dari Universitas 1 Januari di kotaku. Aku tinggal bersama dengan adikku Rizky Furqan dan ayahku Herman Abdullah. Ibuku wafat 3 tahun yang lalu karena sakit. Aku mempunyai prestasi yang banyak di luar sekolah dan cukup terkenal di kalangan para penulis di kota dengan kemampuan menulisku. Aku dulu ikut beberapa ekskul saat SMP dan SMA, serta pernah menjadi ketua dari sebuah tim pengawas moral di SMA ku.   Tubuhku mempunyai postur yang cukup bagus. Di tambah dengan kemampuan ku dalam bela diri, aku sangatlah tangguh. Fisikku mempunyai ketahanan yang melebihi orang rata-rata.   Hanya saja, tidak seperti orang lain, aku mempunyai semacam 'kutukan' di mataku. Aku tidak tahu asal muasal kekuatan aneh ini. Mata kiri ku bisa melihat masa lalu dan mata kanan bisa melihat masa depan, yang berjarak maksimal 5 menit dari saat aktivasi. Mataku juga bisa mempengaruhi orang yang ku tatap secara mental dan psikis, dan juga melihat sesuatu yang terhalang oleh benda padat yang tebal seperti kayu, semen dan semacamnya, menjadi tanpa penghalang. Jika tidak bisa dikendalikan, bisa menguasai sebagian, bahkan seluruh tubuh. Aku tidak ingat kapan aku mengetahui hal ini, namun aku sudah bisa menguasainya agar tidak mengancam orang lain dan mengatur intensitas kekuatan dan periode dari serangan mataku. Setidaknya, itu yang bisa ku lakukan sementara ini. Satu-satunya waktu aku akan memakai kekuatan ini adalah jika terpaksa, dan sangat terpaksa. Aku orang yang membenci permusuhan dan perkelahian, dan jika bisa di hindarkan, maka aku akan menggunakannya dengan sangat terpaksa. Lebih baik daripada bertarung fisik, setidaknya menurutku. Buruknya, sorotan mata tajam ku juga bisa, terkadang-kadang, mengaktivasi kekuatan ini tanpa peringatan, dan itulah kenapa aku berusaha menghindari menyorot mata berlebihan.   Kalau membahas mata ku, aku berharap aku buta saja. Kekuatan ini seperti sebuah kekuatan yang melanggar hukum alam, dan bisa dikatakan, kontrak dengan jin. Ini karena garis leluhur keluarga ku yang dulunya menyembah para arwah, dan mata ini, katanya adalah kontrak leluhur ku. Tidak ada yang tahu, berapa lama kekuatan itu akan bersemayam, dan aku berdo'a, semoga saja segera menghilang, meskipun aku tahu ada manfaatnya, tapi kalau di banding mudhoratnya, jauh lebih banyak mudhoratnya. Aku tidak mau berdosa karena kesalahan leluhur ku.   Soal kontrak leluhur ku, kata ibuku, anak laki-laki pertama dari setiap garis keturunan leluhur ku dulu akan memiliki mata khusus mulai menjelang remaja, dan berakhir pada saat yang di tentukan. Pertanyaannya, saat yang di tentukan itu kapan? Dan berarti, aku anak laki-laki pertama dari garis keturunan ibu ku?   Semenjak sebuah kecelakaan menimpa Ahya yang menghilangkan sebagian besar ingatannya, dan juga mata kirinya buta, aku mendonorkan mata kiri ku, yang ku usahakan untuk selalu tertutup agar tidak aktif, karena takutnya mengikat Ahya dalam kontrak leluhur ku. Aku berusaha untuk selalu melindungi Ahya semenjak itu.   Setelah kecelakaan itu, aku berusaha agar Ahya tidak mengingat apapun dari masa lalunya, karena aku tidak mau teman-temannya tidak siap jika dia melawan realita dan juga dia sendiri tidak siap dengan kebenaran. Aku tahu, perlahan semua akan terbuka, semua rahasia akan hancur. Tapi sebelum itu, aku akan mengusahakan agar dia bisa menerima kebenaran yang sesungguhnya.   Aku tiba-tiba menahan serangan siswa nakal itu, tepat di depan perut Ahya, dengan tangan kiriku. Semua yang ada di sana tentu saja terkejut, karena memang, aku baru saja datang. "Siapa kau?" Tanya siswa nakal itu ke arahku. Dia sepertinya melihat ke arah topi pedora putihku. "Kau..." Ucapnya terbata-bata. Aku langsung 'mendorong' (baca : memukul) perutnya menggunakan tangan kananku dengan keras. Tentu saja yang dipukul langsung termundur dan melepas genggaman tangannya dari Ahya. Dia langsung batukan. Memang, aku berusaha selembut mungkin memukulnya, tapi cukup untuk membuatnya mundur.   "Dengarkan aku baik-baik, kalian berani mengganggu adikku, kalian akan ku pastikan dapat konsekuensi separah kalian berbuat kepada adikku, bahkan jauh lebih buruk," ucapku dengan nada datar, tapi dengan tatapan tajam ke arah mereka, anak-anak nakal. Tatapan yang membuat mereka semua menggigil merasakan aura mataku di tubuh mereka, aura yang sebenarnya ku benci.   "Pergi!" Teriakku. Mereka langsung kalang kabut lari, berusaha untuk menjauh dari tempat itu.   Setelah mereka pergi, aku bertanya pada Ahya. "Kau baik-baik saja?" "Ya kak," jawab Ahya polos. "Oke, ayo kita pulang," ucapku sambil mengambil sepeda motor yang ku bawa untuk menjemputnya.   "Kak," ucap salah satu temannya. "Kami izin ke rumah kakak, ngerjakan tugas bareng Ahya," ucapnya menyelesaikan kalimatnya.   Aku berpikir sejenak. Aku melihat mereka bertiga. Ya, dua dari mereka adalah kawanan Zakaria Ahya. Sepupuku yang tidak terselamatkan saat kecelakaan itu, kecelakaan yang sangat tragis. Kalau aku terkadang menganggap itu pembunuhan terencana, karena pelakunya, Aliyah, mengakui bahwa berencana menyingkirkan Amalia, orang yang mencintai Ahya dan dicintai oleh Ahya. Pengakuan itu ku dengar dari Khalid, yang menghadiri sidang Aliyah.   "Baiklah," ucapku. "Yes! Makasih kak!" Balas siswa itu. Aku hanya tersenyum. Mereka bertiga lalu menggunakan 2 kendaraan, satu siswa yang sendiri, dan 2 siswi yang berboncengan. Aku memimpin jalan sambil membawa Ahya di belakang ke arah rumah.   Sampai disana, mereka parkir di halaman depan. "Selamat datang," ucapku datar. Aku membuka pintu dan mengatakan, "Assalamu'alaikum!"   "Wa'alaikumussalam kaka!" Balas Rizky yang keluar dari kamar dengan mobil mainan. Aku masuk ke dalam dan mereka semua mengikuti ku ke dalam.   "Anggap saja rumah sendiri," ucapku santai. "Oke kak!" Balas siswa yang bertanya di sekolah Ahya tadi. "Ok, kakak mau ke kamar dulu. Ahya, jaga Rizky baik-baik," ucapku seraya naik ke lantai 2 untuk mengerjakan tugas kuliahku.   Aku mulai menaiki tangga. "Oh ya, Rizky jangan nakal, nanti gak kaka beri es krim!" Ucapku dengan nada sedikit mengancam. "Ok ka!" Ucap Rizky dengan celotehannya.   Aku masuk ke kamar. Di kamar, terpampang foto-foto, salah satunya adalah foto Zakaria dengan teman-temannya juga. Ya, aku menyimpan mereka semua di kamarku agar tidak bisa dicari siapapun, karena tidak akan ada berani masuk ke kamarku tanpa seizin ku. Ayah saja biasanya minta izin sebelum masuk kamar orang, kalau Ahya ama Rizky? Mereka tak akan coba.   Satu jam berlalu, aku masih sibuk dengan menulis laporan yang harus tuntas minggu depan. Memang tidak terlalu panjang, karena masih awal semester, tapi cukup menantang karena kalau ketahuan copas bakal keras hukumannya. Lagipula, dosenku adalah ahli IPTEK selain ahli prodi yang ku jalani. Beliau terkenal di kalangan senior ku dengan gelar 'dosen anti-copas'.   Ya, prodi yang memang cukup susah, tapi harus di jalani dan di usahakan karena ini memang keputusanku. Aku memutuskan untuk memilih prodi ini dan aku harus konsisten serta istiqamah dalam pilihanku. Aku tidak akan mundur selangkah pun!   Tiba-tiba, ada SMS dari temanku. Ku lihat namanya, Sulaiman di handphone ku.   Dari : Sulaiman   Assalamu'alaikum.   Apa kabar Sholihin Fath kawanku ini? Aku ingin mendengar bagaimana keberhasilan temanku di kampusnya. Oh ya, aku ingin mendengar kabar soal Zakaria, apakah ada kabarnya?   Sulaiman, bagaimana kabarnya ya? Sudah cukup lama kami tidak memberi kabar sejak kelulusan.   Aku mengetikkan kalimat di handphone ku.   Kepada : Sulaiman   Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.   Aku baik-baik saja. Belum lagi lah, baru masuk gak bisa langsung nampil gitu. Soal Zakaria... Maaf, aku tidak bisa berkata apapun soal itu.   Dan setelah itu ku tekan "Send Message".   Aku melihat ke jam yang menunjukkan waktu Ashar telah tiba. Aku berharap mereka sudah sholat Zuhur sebelumnya. Aku berhenti sejenak untuk sholat Ashar, setelah itu terus mengerjakan tugasku.   Aku tidak peduli dengan yang terjadi di bawah. Yang pasti, aku hanya melihat ke arah komputer dengan fokusnya. Sulit juga nih tugas! Batinku kesal.   Handphone ku berdering. Ada balasan dari Sulaiman. Aku pun membacanya.   Dari : Sulaiman   Syukurlah kabar mu masih baik. Ku tunggu ya, jangan gak bagi-bagi hadiahnya ya :P   Soal Ahya, aku minta maaf gak bisa bantu. Maaf menyinggung soalnya.   Aku mengetikkan pesan balasan.   Kepada : Sulaiman   Sip ok banget. Makasih banyak Sulaiman.   Aku menekan tombol "Send Message", dan tiba-tiba, ada kegaduhan di bawah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD