Bab 3

1934 Words
PERNIKAHAN BUKANLAH AKHIR   " Ya Fatah Al Kahfi bin Hadi Al Kahfi uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin, ya Fatah al Kahfi bin Hadi al Kahfi (jawab: na'am/labbaik) anakahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Sabrina Sakhi Hamid binti Daud Hamid bi mahri mushaf alquran wa alatil 'ibadah haalan " Dengan lantang jawaban dari kesanggupan pertanyaan ayah Sabrin pun dijawab oleh Fatah. "Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan" ucapan satu napas itu dengan lancar terucap dari mulut Fatah. Setelah kalimat sakti itu terucap dari bibirnya barulah ia bisa bernapas lega. Terdengar ratusan saksi mengucapkan kata sah secara bersamaan. Jika ditanya bagaimana perasaan Fatah saat ini, sudah pasti gugup dan senang bercampur menjadi satu. Ini adalah hal pertama dan harus jadi yang terakhir olehnya. Walau ini merupakan pernikahan karena perjodohan. Tetapi Fatah akan berusaha semaksimal mungkin mempertahankan perasaannya. Setelah ijab kabul selesai, barulah Sabrin di bawa keluar dari kamar. Dibantu oleh Maminya dan Mama mertuanya. Kedua Mama sibuk memuji kecantikan Sabrin hari ini. Walau sejak tadi Sabrin hanya sibuk menunjukkan wajah tak sukanya. Setelah Sabrin dan Fatah dipertemukan, didudukanlah Sabrin disebelah Fatah. Hari ini Sabrin begitu memukau ratusan mata yang menjadi saksi pernikahannya. Badannya yang tinggi semampai terbalut oleh kebaya putih. Walau kebaya itu bermodel sederhana namun tidak menutupi kecantikan dari Sabrin. Dan yang lebih membuatnya semakin menarik hati, hijab putih yang menutupi rambut hitamnya sangat pas dipakai. Banyak dari saudara-saudara serta teman-teman terdekatnya yang tidak menyangka jika Sabrin mengenakan hijab begitu cantik. Eheem... Fatah menyodorkan tangannya didepan Sabrin. Walau dengan malas, Sabrin tetap mencium punggung tangan itu. Kemudian Fatah mencium kening Sabrin, membuat para tamu bersorak menggoda Fatah dan Sabrin. "Cantik..." bisik Fatah ditelinga Sabrin. Tetapi Sabrin bukan menunjukkan kesenangan, dia terlihat kesal kepada Fatah yang menggodanya. Satu demi satu para tamu memberikan selamat kepada Sabrin dan Fatah. Memang tidak ada pesta mewah yang di lakukan, namun seperti ini sudah cukup untuk Sabrin. Karena dia juga tidak ingin menikah dengan membuat pesta mewah. "Selamat ya Rin" ucap Sendi. "Makasih Sen," jawab Sabrin dengan mata yang ingin menangis. "Kamu cantik banget loh pakai hijab begini. Diterusin ya, jangan dilepas lagi" Sabrin hanya menggelengkan kepalanya. Dia memang belum siap memakai hijab yang memang kewajiban bagi wanita muslimah. "Kapan lagi kamu mau nutup diri kamu? Jangan cuma nunggu sampai siap. Tapi kamu yang harus siapin hati kamu," Sendi terus memberikan ceramah kepada Sabrin. Lalu Sendi berbisik kepada Sabrin "Jangan nangis. Ada kak Darwan. Kamu mau dia lihat kamu nangis begitu? Malu tahu. Harusnya kamu bahagia" Sabrin mengedarkan pandangannya ke arah ratusan tamu undangan. Dan pandangannya berhenti pada sosok pria yang tengah mengantri bersama sahabatnya untuk bersalaman. Mata pria itu tak henti menatap ke arah Sabrin dengan pandangan sulit diartikan. "Dia masa lalu kamu Rin, dan di sebelahmu ini masa depanmu" Sabrin hanya diam saja mendengar ucapan Sendi. Tiba waktunya rombongan kak Darwan menyalami Sabrin. "Dek Sabrina, abang keduluan terus. Tapi kapan-kapan abang boleh kan imam’in dek Sabrin" goda bang Catur. Fatah yang awalnya tidak peduli, mulai melirik gerombolan pemuda yang menggoda istrinya itu. "Iya bang boleh" jawab Sabrin dengan pelan. "Wah, bakalan susah nih deketin dek Sabrin lagi. Ada pengawalnya sekarang" "Bang Catur apaan sih," Sabrin hanya menundukkan kepalanya karena dia sadar, kak Darwan terus melihatnya. "Selamat ya, semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah" seperti berbisik, kak Darwan mengucapkan selamat pada Sabrin. Detik itu juga, Sabrin menitikan air matanya. "Dek Sabrin senangnya sampai nangis gitu" ledek bang Catur. Tetapi Sabrin terus semakin terisak dalam tangisannya. Kak Darwan sadar betul apa yang membuat dia menangis. Rasa menyesal karena pernah mengabaikan Sabrin sedikit banyak merasuki hati kak Darwan. Namun semua sudah terlambat, Sabrin sudah menjadi milik orang lain. Jika saja waktu itu dia berani melamar Sabrin pada orang tuanya mungkin dia lah yang berdiri disamping Sabrin saat ini. Akhirnya rombongan kak Darwan selesai mengucapkan selamat kepada Sabrin, barulah Fatah berani bertanya kepada wanita disebelahnya itu. "Kamu kenapa?" Fatah menatap wajah pucat Sabrin. "Nggak apa-apa mas. Cuma itu senior sukanya ngeledekin terus," Sabrin lebih memilih berbohong. Dia takut menyakiti hati pria ini jika tahu yang sebenarnya.   ****   Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, di dalam kamar pengantinnya Sabrin sedang membuka kebaya yang dikenakannya bersama Mami dan Mama mertuanya. "Gimana? Udah lega kan? Dari tadi ngeluh panas terus" Maminya kesal pada Sabrin, putrinya itu terus merengek minta dilepaskan hijab yang menutupi kepalanya. "Aahh.. lega.. " "Sudah sana cuci muka terus istirahat," perintah sang Mama mertuanya. Kedua ibu itu pergi setelah Fatah masuk ke dalam kamar. "Pelan-pelan ya nak," goda sang Mama ditelinga Fatah. Namun Fatah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak menanggapi perkataan Mamanya. Lalu dia menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya yang sangat lelah. "Mau ke mana?" Tanya Fatah pada Sabrin. Wanita itu beranjak dari kursi riasnya. "Mau mandi. Emang mau kemana lagi?" Jawab Sabrin ketus. "Mandilah. Lalu sholat isya" perintah Fatah sambil memejamkan matanya. "Iya.. bawel banget" gerutu Sabrin. Sabrin sengaja berlama-lama di dalam kamar mandi. Dia berusaha menghindari suami nya itu. Walau ini pernikahan karena perjodohan, namun perasaan gugup tidak bisa dia bohongi. Apalagi suaminya itu memang begitu memikat. Tubuh tinggi dan badan yang tegap serta wajah Arab yang kental memang sangat sempurna. Jika dibandingkan dengan Darwan, pria itu memiliki wajah Indonesia asli. Tubuhnya tidak setinggi Fatah, tetapi tetap saja hati Sabrin memilih Darwan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Bukan saatnya membandingkan dua pria yang sudah masuk kedalam kehidupannya. Setelah satu jam lamanya berendam, Sabrin akhirnya keluar dengan menggunakan piyama bergambar beruang. Dia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil, lalu duduk kembali didepan meja rias. "Lama banget, kamu ngapain aja didalam?" kesal Fatah. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dia ingin membasuh tubuhnya lalu melakukan sholat isya. Sabrin masih menyisir rambutnya saat Fatah telah usai membersihkan diri. Dilihatnya Fatah yang hanya menggunakan celana pendek hitam dan kaos tipis dengan santai berjalan di depan Sabrin. Semaksimal mungkin Sabrin menormalkan detak jatungnya yang sedang berpacu dengan cepat. Dia menundukkan kepala tak berani memandang tubuh suaminya. Fatah sedang memakai baju kokonya dan sarung, dia bersiap untuk sholat. Setelah memakai peci putihnya, Fatah mulai bersuara.. "Ayo, pakai mukenamu" ajak Fatah pada Sabrin. Dengan salah tingkah, Sabrin memakai mukena nya. Dan menggelar sajadahnya satu shaf dibelakang Fatah. "Allahu akbar..." dengan lantang Fatah mengumandangkan takbirnya. Sabrin mengikuti setiap gerakan dari sang imam. Baru kali ini Sabrin merasa sangat sempurna sholatnya. Biasanya Sabrin sholat sangat cepat, gerakannya sangat kaku. Tidak ada keikhlasan dalam dirinya mengerjakan sholat. Namun kali ini, hatinya bergetar mengumandangkan nama Allah. Bulu romanya sampai berdiri saat mendengar setiap ayat yang dibaca oleh Fatah. Jika dulu dia begitu mengagumi sosok kak Darwan yang memiliki suara sangat indah saat melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Saat ini, Sabrin seakan lupa dengan sosok Darwan. Dia begitu terhanyut dalam lantunan ayat Al-Qur'an yang dibaca suami nya. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..." ucapan salam dari Fatah mengakhiri rangkaian sholat mereka. Kembali Fatah mengulurkan tangannya kepada sang istri. Lalu Sabrin menyambut uluran tangan itu, kemudian menciumnya dengan ikhlas. Saat Fatah mulai membaca rangkaian doa, Sabrin membuka mukena nya dengan cepat. Sadar istrinya sudah berdiri dari shafnya, membuat Fatah mengucapkan istigfar.. "Kenapa dibuka?" Tanya Fatah "Panas tahu," Sabrin melipat mukena dan sajadahnya lalu merangkak naik ke atas tempat tidur. "Aku belum selesai doanya" "Ya udah kamu lanjut aja doanya. Aku udah doa dalam hati," dia menarik selimutnya hingga menutup kepalanya. Fatah kembali mengucap istigfar, dia tidak menyangka akan seperti ini wanita yang dinikahinya. Setelah selesai memanjatkan doa, Fatah membuka baju koko nya dan bergerak kearah nakas dimana dia menyimpan ponselnya. Beberapa pesan dari sahabatnya yang mendominasi notif dari ponsel Fatah. Kadang dia tertawa membaca pesan-pesan dari sahabatnya. Ada yang menggodanya, ada juga yang serius memberikan wejangan tentang pernikahannya. Hingga sebuah pesan masuk kedalam ponselnya membuat Fatah diam membisu. Alhamdulillah, hari ini engkau berdua telah menjadi satu dalam sebuah ikatan perjanjian yang kuat, hiduplah rukun serta berkasih sayang, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya, selamat menempuh hidup baru. Fatah geram membaca pesan singkat itu. Ingin rasanya memaki dia yang telah dengan santainya mengucap selamat kepadanya. Apa orang itu tidak menyadari, semua karena dia Fatah menjadi seperti ini. Jika dia tidak menolak pinangannya dulu, mungkin Fatah akan bahagia menikahi gadis yang memang dia idamkan untuk menjadi bidadari hatinya. Dia hanya seorang gadis biasa yang Fatah temui pertama kali di rumah sakit miliknya. Seorang gadis yang tengah menyelesaikan masa koasnya, tetapi gadis polos itu berhasil mencuri hati seorang Fatah Al Kahfi. Memang gadis itu merupakan tipe semua pria muslim. Parasnya yang sederhana dibalik kerudung syar'i nya membuat Fatah bertekuk lutut didepannya. Pada suatu ketika Fatah memintanya menjadi istrinya, gadis itu menolak Fatah. Dia beralasan masih ingin melanjutkan pendidikannya. Sesungguhnya Fatah bukan seorang pria yang akan mengekang istrinya dalam melakukan aktifitas. Fatah akan memberikan istrinya ruang untuk melakukan kesenangannya. Tetapi gadis itu tetap tidak ingin terikat oleh Fatah. Fatah mengusap wajahnya. Sudah cukup dia mengingat-ingat masa kelam itu. Semua sudah berlalu, biarlah berlalu. Karena dia berjalan selalu untuk melihat ke depan bukan ke belakang. Dia berbaring disebelah Sabrin yang sudah tertidur pulas karena terlalu lelah. Lalu dia ikut memejamkan matanya. Sadar Fatah sudah ikut tertidur disebelahnya Sabrin bernapas lega karena sedari tadi Sabrin berpura-pura tidur. Dia senang suaminya itu tidak meminta sesuatu yang menjadi kewajibannya. Sabrin tidak mau melakukan kewajibannya itu. Walau berarti dia harus berdosa kepada Allah. Karena hatinya belum sepenuhnya bisa terhapus dari cinta menyakitkannya itu. Pernikahan bukanlah sebuah akhir, namun ini awal segalanya.... Itu yang Sabrin selalu tanamkan dalam pikiran dan hatinya. Dia tidak ingin terus terikat pada sosok itu. Bahkan kak Darwan pun telah mengucapkan selamat kepadanya. Itu berarti pria itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali kepadanya. Hembusan kuat napas Sabrin terdengar di telinga Fatah. "Belum tidur?" DEG... Sabrin berpura-pura tidak mendengar dan terus memejamkan matanya. "Kenapa diam saja" lagi-lagi Fatah bersuara. "Kamu takut sama aku?" Sabrin cukup kesal mendengar Fatah yang terus mengoceh tanpa henti. "Bisa diam nggak sih?" Ketus Sabrin sambil membalik tubuhnya ke arah Fatah. "Aku diam aja dari tadi. Yang gerak-gerak kamu. Gelisah banget tidurnya" jawab Fatah santai sambil menutup matanya. Ya Allah, pemandangan di depan Sabrin begitu indah. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. Bulu-bulu halus di rahangnya seperti disisir rapi. Hidung mancungnya dan bibirnya seperti menghipnotis Sabrin. "Kenapa lagi?" Kali ini Fatah membuka matanya. Melihat ke arah Sabrin yang salah tingkah. "Nggak ada," Sabrin menarik lagi selimutnya hingga menutupi wajahnya yang sudah memerah. "Tidurlah. Besok aku ada operasi pagi hari" "Mas besok kerja?" Tanya Sabrin seperti tidak ikhlas. Sabrin tanpa sadar sudah memanggil Fatah dengan panggilan ‘mas’. Saat Fatah mendengar Sabrin memanggilnya dengan sayang, dia membalikan tubuhnya menghadap Sabrin. Ditatapnya lekat wajah istrinya itu. Sabrin tahu kabar dari Maminya bahwa suaminya itu sudah mengambil cuti 3 hari. Tetapi baru hari ini dia libur, besok suaminya harus bertugas lagi. "Iya, dokter Iwan tadi memberitahu bahwa anaknya sakit. Aku terpaksa menggantikannya" "Tapi kan..." Sabrin menutup mulutnya cepat dengan kedua tangannya. Dia takut Fatah menyadari jika dia tidak ingin suaminya bekerja besok. "Kamu bisa temani aku di rumah sakit" pinta Fatah. "Sekalian ada beberapa temanku ingin bertemu denganmu" "Yang benar?" Tanya Sabrin sangat tertarik dengan ajakan Fatah. "Iya. Sehabis operasi aku tidak ada jadwal lagi. Jadi kita bisa..." Sabrin mencubit lengan suaminya itu. Dia merasa malu mendengar ucapan Fatah. "Kenapa?" Fatah bingung melihat reaksi Sabrin. "Maksudku, nanti kita bisa makan siang bersama" sambungnya. Karena semakin malu dengan pikirannya yang salah. Sabrin menenggelamkan wajahnya pada bantal. Fatah yang melihat tingkah aneh istrinya hanya bisa tertawa. "Tidurlah, nanti subuh aku bangunkan," ucap Fatah sebelum dia terlelap dialam mimpi. Mimpi yang indah bersama wanitanya... Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. 36 : 36) ---- Continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD