Bab 4

1690 Words
TERIMA AKU APA ADANYA   Matahari masih enggan menampakkan sinarnya ketika sebuah mobil fortuner putih melaju kencang menembus jalanan Ibu Kota yang sudah mulai ramai. Fatah mengusap wajahnya berkali-kali ketika rasa kantuk menyerangnya. Dia tak ingin rasa kantuk membuatnya tidak konsentrasi dalam mengemudi. Tetapi sebuah tugas lah yang mengharuskannya tetap bekerja disaat kondisi tubuhnya butuh istirahat. Rencana ingin membawa Sabrin ke rumah sakit dibatalkannya, karena tidak tega membangunkan Sabrin tengah pagi buta seperti ini. "Dok... sudah pembukaan terakhir..." ucap seorang suster kepada Fatah ketika dirinya baru saja tiba didalam ruangannya. Seperti yang kalian tahu, Fatah merupakan seorang dokter SpOG atau dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau sering kali disebut dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Secara bahasa, kata "Obstetri " (berasal dari bahasa Latin "obstare", yang berarti "siap siaga/ to stand by") adalah spesialisasi pembedahan yang menangani pelayanan kesehatan wanita selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan pengertian "Kebidanan" adalah pelayanan yang sama namun bukan merupakan tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. Hal ini yang membedakan profesi dokter kebidanan dengan bidan. Sedangkan Ginekologi berasal dari kata Gynaecology. Secara umum ginekologi adalah ilmu yang mempelajari kewanitaan. (science of women). Namun secara khusus adalah ilmu yang mempelajari dan menangani kesehatan alat reproduksi wanita (organ kandungan yang terdiri atas rahim, v****a dan indung telur). Entah mengapa Fatah begitu tertarik dengan spesialis ini. Tolong jangan salah paham, bukan berarti pikiran Fatah ke arah negatif karena memilih spesialis ini. Dia bisa saja menjadi dokter bedah atau yang lain. Namun hati kecil Fatah yang berbicara, karena dia sudah memiliki cita-cita sejak dulu. Jika nanti dia menikah dan istrinya melahirkan, maka dialah orang yang akan membantu anaknya sendiri untuk melihat dunia ini. Begitu mulia cita-cita Fatah. Butuh waktu yang cukup lama untuk persalinan kali ini, tetapi Fatah tidak pesimis. Dia terus memberi semangat kepada pasien. Fatah bukan dokter yang sedang marak saat ini. Dokter yang berlomba-lomba menyuruh pasiennya untuk melakukan operasi caesar ketimbang normal. Dokter-dokter itu hanya ingin meraup untung 2 kali lipat demi kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan kondisi sang ibu setelah melahirkan caesar. Ooeeekk.. oeeekk.. Dengan tangannya sendiri Fatah membawa bayi yang dia tolong untuk melihat dunia ini kedalam dekapan sang ibu. Terlihat pancaran kebahagiaan yang menyelimuti mata sang ibu itu. Fatah tersenyum senang, lagi-lagi dia telah berhasil dalam tugas mulianya. "Dokter..." sapa seorang pria yang cukup berumur dari depan pintu ruang kerjanya. "Silahkan masuk pak," Fatah mempersilahkan tamunya masuk dan duduk dikursi depannya. "Terima kasih dok, telah membantu istri saya. Karena istri saya melahirkan diusia yang tak lagi muda membuat saya takut. Untung saja ada dokter," jelas sang pria dengan senang. "Itu sudah kewajiban saya pak" "Saya dengar dokter baru menikah, saya ucapkan selamat. Karena istri saya, membuat dokter terganggu" "Tidak pak, saya tidak merasa terganggu" jawab Fatah dengan hangat. "Semoga anda dan istri anda cepat diberikan keturunan" "Amin ya rabbal alamin" Fatah mengantar pria itu keluar dari ruangannya. Namun Fatah tersenyum getir mengingat doa pria tadi. 'Semoga cepat dapat keturunan'. Bahkan dia tidak tahu akan seperti apa kehidupan rumah tangganya.   ****   "Maaf sus, saya mau tanya ruangan dokter Fatah di mana ya?" Tanya Sabrin kepada suster yang berjaga pendaftaran pasien. "Ibu sudah buat janji?" "Belum.." jawab Sabrin yang sedikit kecewa. Dia tak habis pikir, jika ingin menemui Fatah sesulit ini. "Mau saya antar bu?" "Boleh sus" Siang ini Sabrin menepati janjinya untuk bersama Fatah. Dia mengenakan blouse putih yang transparant sehingga dapat terlihat warna bra hitam yang dia pakai. Lalu skinny jeans yang membentuk kaki panjangnya. Terlihat sangat casual dan santai. Rambutnya yang lurus hitam, di ikat tinggi olehnya. "Ini ruangannya bu, tunggu saja di dalam" "Terima kasih ya sus" Sabrin masuk ke dalam ruangan Fatah, hal pertama yang Sabrin tangkap adalah ruangannya begitu rapi. Wangi feromon dari suaminya itu begitu mendominasi. Dia duduk disofa hitam disudut ruangan. Lalu pandangannya terus menyusuri ruangan yang cukup besar. Terdapat sebuah papan nama diatas meja sang suami. dr. Fatah Al Kahfi, sp. OG Bibir Sabrin tersenyum melihat nama pria yang sudah menjadi suaminya itu. Kleekk.. Suara decit pintu yang terbuka membuat Sabrin menengokkan kepalanya. Karena posisinya yang sedikit terpojok sehingga orang lain yang masuk ke dalam ruangan itu tidak menyadari akan kehadiran Sabrin. "Mas.. aku salah lagi ya memeriksa pasien tadi? Kok wajah mas langsung berubah gitu waktu tahu aku yang meriksa?" "Bukan begitu Sha.." "Lalu?" Fatah hanya diam tidak menjawab. Sedangkan Sabrin sendiri turut diam melihat pemandangan didepannya. Suaminya tengah bersama seorang dokter muda yang begitu cantik. Wanita itu berhijab syar'i sehingga membuatnya begitu anggun. Tetapi kemudian Sabrin seperti mengenal sosok wanita itu. Namun dia tidak ingat pernah bertemu dimana dengan wanita itu. "Ya Allah, Sabrin..." ucap Fatah kaget saat membalikkan tubuhnya. "Sejak kapan kamu ada disini?" Sambungnya. Wanita berhijab itu menatap Sabrin dari atas hingga bawah, seperti mencoba menilai Sabrin. "Kemarilah.." pinta Fatah pada Sabrin. "Rasha, kenalkan ini Sabrin.. dan Sabrin ini Rasha... dia..." Fatah memotong ucapannya. Lalu memandang Sabrin dan Rasha bergantian. Namun Sabrin menyadari sikap Fatah yang tidak ingin mengenalkan dirinya sebagai istri didepan wanita yang nyaris sempurna ini. "Sabrin..." walau memaksa untuk tersenyum tetapi tetap dia lakukan. "Rasha.." jawabnya singkat. "Sepertinya aku mengganggu waktu kalian. Aku keluar dulu," Sabrin melepaskan pegangan tangan dari Fatah dan segera keluar dari ruangan itu. Dia sedikit berlari hingga berkali-kali menabrak suster yang tengah berjaga. "Maaf..." ucap Sabrin. Dia berusaha menahan tangisnya, karena tak ingin orang mengasihaninya. Sekarang dia ingat siapa wanita yang bernama Rasha itu. Dia adalah wanita yang sama dengan yang dilihatnya waktu itu. Wanita berhijab syar'i yang dijemput oleh pria yang dicintainya.. Tapi lihatlah sekarang, wanita itu begitu dekatnya dengan suaminya, Fatah. Apa memang dia tidak pantas mendapatkan pria baik? Jika ingin mendapatkan sesuatu yang baik untukmu.. Maka yang kamu lakukan adalah, merubah kebiasaan burukmu menjadi hal yang baik.. Sabrin sadar betul dirinya memang tidak pantas mendapatkan pria seperti Darwan atau Fatah. Dan lihatlah sekarang, kedua pria itu seperti tenggelam pada wanita muslimah itu. Lalu, apa yang harus dia lakukan? Jujur jika harus langsung berubah seperti wanita itu dia tidak sanggup. Apalagi dia berubah karena ingin mendapatkan perhatian dari pria yang dia cintai. Sungguh, hati kecilnya tidak ingin itu terjadi. Jika memang suatu saat nanti dia berubah, dia ingin berubah karena Allah. Bukan karena keinginan duniawi nya saja. Sadar Sabrin sudah tidak ada diruangannya, Fatah merasa kesal. Entah apa yang membuatnya marah? Apa karena dia dipergoki istrinya sendiri tengah berdua dengan seorang wanita yang bukan mahramnya. Bahkan dulu sejak pertama melihat Sabrin, dia selalu menjaga jarak dengan gadis itu. Dimana ilmu agama yang selama ini dia amalkan? Seperti meluap begitu saja jika bersama Rasha. Wanita ini begitu menghipnotisnya.   ****   "Kamu kenapa Rin? Cerita sama aku. Jangan nangis terus. Aku kaget kamu tiba-tiba ada di kampus" Sendi berusaha menenangkan Sabrin yang terus menangis tanpa henti. "Sen.. apa nggak ada satu pria pun didunia ini yang bisa menerimaku apa adanya?" "Loh, kok kamu ngomong gitu? Bukannya suamimu sudah menerimamu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu?" Sendi bingung melihat sahabatnya itu. "Engga Sen, semua pria sama saja. Kak Darwan dan mas Fatah. Mereka lebih menyukai wanita muslimah. Bukan wanita sepertiku, yang jauh dari kata sempurna dimata Allah" "Hus, nggak boleh begitu. Yang bisa menilai itu hanya Allah. Kamu nggak bisa bilang kamu lebih buruk atau lebih baik. Semua sama dimata Allah, yang membedakan hanya akhlak dan amal mereka" "Itu yang aku takut Sen. Akhlak aku buruk dan amalku masih bisa kuhitung dengan jari," semakin lama Sabrin semakin terisak. "Jangan nangis. Toh kalau kamu semakin nangis nggak akan pengaruh sama akhlak dan amalmu. Coba untuk memperbaiki itu, bukan malah kamu menangis meraung-raung seperti ini" jelas Sendi pada Sabrin. Tetapi kembali lagi, jika tidak bebal bukan Sabrina namanya. Gadis itu seperti tak peduli dengan semua omong kosong Sendi. "Tapi setidaknya kamu sudah menjadi dirimu sendiri. Tidak menutupi kekurangan kamu didepan orang-orang terdekatmu. Buat apa terlihat sempurna dimata orang lain, jika pada kenyataannya buruk didalam," Sendi memberi semangat pada Sabrin agar sahabatnya itu berhenti untuk menangis. "Makasih ya Sen..." Sabrin memeluk Sendi erat. Dia bersyukur setidaknya ada sahabatnya ini yang mau menerima dirinya apa adanya. "Sama-sama. Udah jangan nangis lagi" ledek Sendi pada Sabrin. "Sen.. kamu ingatkan waktu itu aku pernah cerita sama kamu soal wanita berhijab yang dijemput kak Darwan?" "Iya, emangnya kenapa?" "Dia... dia..." Sabrin sulit sekali mengucapkan hal pahit ini kepada sahabatnya. "Dia adalah dokter baru di rumah sakit mas Fatah" "Yang benar kamu? Kok bisa ya?" Sabrin menggeleng-gelengkan kepala tanda tak mengerti mengapa bisa seperti ini. "Jadi karena ini kamu nangis?" "Iya, aku ngerasa mas Fatah ada hubungan sama dia" "Eh.. nggak boleh suudzon sama suami sendiri" "Tapi itu faktanya Sen" "Sebelum tahu latar belakangnya, jangan cepat mengambil kesimpulan. Karena setelah mendapatkan latar belakang, kamu harus merangkum isi masalahnya dulu jangan lupa disertai penjelasan mengapa terjadinya masalah. Lalu baru kamu bisa mengambil kesimpulan," jelas Sendi panjang lebar. "Sendi.. kita bukan di kelas bu Lusi. Aku tahu dia dosen favoritmu. Metode penelitian dan penulisan," ketus Sabrin dengan kesal. "Ya udah aku ganti. Misalkan kamu dalam sebuah alur flowchart, saat kamu memulai posisi start kamu akan berjalan terus hingga menemukan manual operation yang akan memberikanmu pilihan yes atau no. Sudah tentu dengan rumus boolean didalamnya. Jika kamu memilih yes, langkahmu akan semakin lebar karena akan memasuki decision. Dimana pada saat itu akan terjadi proses dalam pengolahan. Selama masa pengolahan, kamu akan berharap-harap cemas akan hasilnya apakah akan memuaskan dan mengantarkanmu pada garis finish, atau gagal dan harus mengulangi proses itu dari awal. Proses kamu mengulang langkahmu itu di sebut looping. Tetapi jika disamakan di real, itu namanya ujian. Mampu nggak kamu melewati ujian demi ujian yang Allah berikan." kembali lagi Sendi memberi ceramah Sabrin dengan mata kuliah yang berhubungan dengan masalah Sabrin kini. "Ingatlah, semua orang hidup butuh proses menjadi lebih baik. Nikmatilah proses perubahanmu itu" Seperti mendapat energi yang positif, Sabrin optimis kembali akan nasibnya. Jika memang orang lain tidak mampu melihat kelebihan dirinya. Karena sibuk menilai tampilan luar dari dirinya, maka dialah yang akan menunjukkan kepada semua orang. Jika Sabrina Sakhi Hamid bukan seorang gadis sembarangan yang bisa dinilai sebelah mata. Dia memang bukan gadis dengan hijab panjang, tetapi dia yakin memiliki hati yang jauh lebih baik dari gadis berhijab itu. Yang mampu menilai sanggupkah kita bukan orang lain, melainkan diri kita Sendiri... ---- continue.. Mau lagi? Komen dulu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD