Bab 2

1709 Words
TA’ARUF   “Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan satu hati? karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah cinta.” Malam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sabrin baru tiba di rumahnya setelah seharian berlatih paduan suara. Karena kampusnya mendapatkan kehormatan untuk bernyanyi bagi salah satu partai politik yang sedang melakukan masa kampanye. Dilangkahkan kakinya memasuki rumah tanpa Sabrin sadari, ternyata rumahnya sedang kedatangan tamu. "Sabrin.." panggil Mami. Lalu Sabrin melihat ke arah Mami nya yang tengah bercengkrama dengan sebuah keluarga. "Kemari sayang," Mami menggeser duduknya agar Sabrin duduk disebelahnya. Tanpa Sabrin sadari ada sepasang mata yang terus menatapnya tanpa henti. Orang itu tampak terkesima dengan kehadiran Sabrin. "Ada apa sih Mi?" Tanya Sabrin bisik-bisik. "Hadi, kenalkan ini anak saya yang terakhir. Adiknya Imam," Papi mengenalkan Sabrin pada pria yang bernama Hadi. "Wah udah besar saja. Dulu ke sini masih pakai popok," ledek pria yang seumuran Papi Sabrin. "Nak, ini teman Papi waktu masih di gontor dulu. Dan dia baru kembali dari Amerika" jelas Papi. "Oh.." Sabrin hanya ber 'oh' ria menanggapi perkataan Papinya. "Sabrin kenalkan ini istri om, dan ini anak om yang paling tua. Namanya Fatah dan ini yang kecil namanya Umi." om Hadi berusaha mengenalkan keluarganya pada Sabrin tetapi gadis itu tidak terlalu memperdulikan. Dia hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Karena pikiran Sabrin terus dipenuhi oleh Darwan. Sedangkan pria yang bernama Fatah masih mencuri-curi pandang pada Sabrin. Walau wajah lelah Sabrin sangat terlihat, namun tak dipungkiri oleh Fatah bahwa gadis ini cukup memikat hati. "Gimana? Soal janji kita terdahulu? Jika anak kita sudah besar, kita akan menjodohkan mereka" "Jadilah. Karena janji harus ditepati. Sabrin juga sudah besar. Iya kan nak?" Tanya Papi. "Iya apa Pi?" Tanya Sabrin dengan muka polosnya. Sabrin tidak menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya. "Gini loh nak. Papi sama om Hadi dulu punya janji untuk menikahkan anak kita. Biar kita makin menjadi saudara" Sekali lagi Sabrin masih menjawab dengan 'oh' karena pikirannya entah hilang kemana. "Kamu mau kan nak?" Papi yang sedari tadi hanya melihat Sabrin ber oh ria membuat kesimpulan sendiri. Jika anaknya memang mau dijodohkan. “Emangnya mas Imam sudah pulang Pi?” mata Sabrin menatap Papinya. “Kok main dijodohin aja” "Sabrin. Bukan mas Imam yang Papi jodohin tapi kamu" Saat itu juga Sabrin baru menyadari yang ternyata jadi objek pembicaraan dari tadi adalah dirinya. Dia menatap Papi nya minta penjelasan. Karena setahu Sabrin Papinya melarang Sabrin dekat dengan seorang pria sampai kuliahnya selesai. "Kamu nggak keberatan kan nak?" Tanya Papi. "Pi.. bukannya..." "Papi ngelakuin itu supaya kamu tetap jaga hati kamu buat Fatah, calon suami kamu" potong Papi. Sekarang terjawab sudah teka teki mengapa Papi meminta Sabrin agar tidak dekat dengan pria mana pun. Ternyata ini sebabnya. Karena Sabrin akan dijodohkan. "Tapi Pi..." Sabrin sudah memasang wajah semelas mungkin agar Papi nya tidak tega menjodohkannya. "Kamu lihat nak Fatah, dia sudah sukses dengan menjadi dokter Obgyn. Padahal om Hadi punya perusahaan, tapi nak Fatah lebih memilih karir sendiri," jelas Papi pada Sabrin. Karena sepertinya tidak ada kata menolak lagi, akhirnya Sabrin mengiyakan permintaan Papi nya itu.   ****   Keesokkan malamnya. Di kediaman keluarga Al Kahfi.. "Mama nggak salah pilih jodoh buat Fatah kan? Dia masih kecil Ma. Umurnya saja masih dibawah Umi -adik Fatah- " Fatah yang awalnya setuju saja dengan perjodohan yang dibuat Papa nya tetapi saat melihat wanita yang dijodohkan kepadanya, dia seperti tidak mau melanjutkan perjodohan ini. "Dia gadis yang baik mas, walau memang dirinya belum sempurna tertutup. Tapi Mama yakin mas mampu membawa dia jadi lebih baik. Bukannya mas sendiri yang minta untuk dijodohkan?" "Tapi tidak sama anak kecil juga, Ma." Fatah terlihat kesal dengan kedua orang tuanya. Bagaimana pikiran orang luar jika melihat dirinya bersanding dengan seorang bocah ingusan. Mau ditaruh dimana mukanya? "Mas.. jangan pernah menilai seseorang dari umurnya" teriak sang Mama sebelum Fatah menghilang menuju kamarnya. Fatah merenungkan nasibnya, dia seperti ini karena dulu dia pernah ditolak oleh seorang wanita. Wanita yang begitu diidam-idamkan Fatah bisa bersanding bersamanya, namun wanita itu malah mengacuhkannya. Oleh karena itu, dia menerima usul perjodohan oleh orang tua nya. Tokk.. tokkk.. took.. "Mas Fatah.. masih marah sama Mama?" Mama nya masih berusaha membujuk Fatah agar tidak membatalkan perjodohan itu. "Mas kan udah dewasa, masa masih ngambek kayak anak kecil gini" Fatah membuka pintunya, dilihat oleh sang Mama ternyata anaknya tengah selesai mengerjakan sholat isya. Peci putih dan sarung masih melekat di tubuh Fatah. Membuat dirinya semakin tampan dimata Mamanya. "Ada apa lagi Ma?" Tanya Fatah sambil mencium tangan Mamanya. "Mama pikir kamu ngambek. Besok kamu sama Umi ke kampusnya Sabrin ya, ajak dia ketemu sama designer buat bikin baju pengantin kalian" bujuk Mama pada Fatah. "Ma, besok Fatah ada jadwal operasi" "Memangnya jam berapa operasinya? Nggak bisa ganti jadwal sama teman kamu? Mama minta sekali ini aja" Pada akhirnya Fatah menyanggupi permintaan Mamanya. Padahal dia begitu malas untuk menghadapi calon istrinya itu. Fatah masih bersyukur Umi masih disuruh Mamanya menemani dia.   ****   Keesokan harinya, Fatah dan Umi sudah sampai di depan kampus swasta di daerah Jakarta Selatan. Saat ini Fatah mengenakan polo tshirt putih dipadu padankan dengan jaket hitam. Tak lupa sebuah kacamata hitam bertengger dihidungnya yang mancung. Siapa pun kaum hawa yang melihat pasti akan jatuh hati padanya. "Mas disini aja ya. Umi saja yang cari dia ke dalam" "Kok mas Fatah gitu. Kan ini calon istrinya mas, bukan calonnya Umi," Umi terlihat kesal dengan Fatah. Dengan seenaknya Fatah meminta Umi yang mencari Sabrin di dalam kampus yang cukup luas itu. "Oke. Mas ikut" pada akhirnya Fatah mengalah kembali. Umi menggandeng tangan Fatah yang berjalan di sampingnya. Puluhan pasang mata melihat kearahnya. Bahkan ada yang tak segan-segan membicarakan mereka secara keras. Karena merasa bingung harus mencari kemana, akhirnya dengan inisiatif Umi dia mencoba bertanya dengan salah satu mahasiswa disana. "Assalamu’alaikum, kamu kenal Sabrin?" "Sabrin siapa?" Tanya pria itu kembali kepada Umi. Umi yang mulai bingung hanya bisa melihat ke arah kakaknya. "Namanya Sabrina Sakhi Hamid" jawab Fatah dengan lantang. "Anda siapanya ya?" "Saya ada urusan dengan dia," jawab Fatah yang berusaha menahan emosinya. Lalu dia kembali ber istigfar karena sudah tersulut emosi mendengar pertanyaan tidak penting dari pria dihadapannya. "Sabrin ada di kelasnya. Coba anda cari saja kelas 102 SI." jawab pria itu lalu berjalan pergi dengan emosi meninggalkan Fatah dan Umi. "Apa di kampus ini tidak diajarkan sopan santun? Lebih baik kita pulang saja," kembali lagi Fatah mulai emosi, lalu tangan halus Umi mengusap-usap d**a sang kakak. "Mas nggak boleh gitu. Kita kan ke sini niat baik. Dapat amanah dari Mama" Dari kejauhan Sabrin melihat kak Darwan dengan muka yang penuh dengan kemarahan berjalan menuju masjid. "Kak Darwan. Ada apa?" Namun pertanyaan Sabrin tidak digubrisnya sama sekali. "Sabrin.." panggil Sendi. "Kamu dari mana aja? Itu ada perempuan sama laki-laki cariin kamu," papar Sendi saat bertemu dengan Sabrin. Sabrin bingung, siapa yang mencarinya sampai ke kampus. Tidak mungkin mas Imam yang datang, karena Sendi pasti mengenali jika mas Imam yang mencarinya. Lantas siapa? "Assalamu'alaikum kak Sabrin," ucapan salam keluar dari mulut Umi saat dihadapannya sudah berada Sabrin dan Sendi. "Wa'alaikumsalam," jawab Sendi. Sabrin tidak menjawab salam dari Umi, dia masih mematung melihat sosok pria dihadapannya yang juga tengah menatapnya. Pandangan mereka saling beradu. Seperti mengikat satu sama lain. "Ada apa kemari?" Tanya Sabrin tanpa basa basi. Pria didepannya langsung membuang pandangannya ke arah lain. "Ini, aku sama mas Fatah disuruh mama jemput kak Sabrin," jelas Umi. Dia melirik sekilas ke arah kakak laki-lakinya itu. Namun tak ada reaksi sedikit pun dari Fatah. "Jangan panggil aku kakak dong. Aku kan lebih muda dari kamu" "Takut banget keliatan tua? Dia begitu karena menghormatimu." jelas Fatah pada Sabrin. Pria itu masih tidak melihat ke arah Sabrin. Sebenarnya Fatah sedang menjaga emosinya, agar tidak bertindak kasar pada Sabrin. "Mas ngomong sama siapa ya?" Tanya Sabrin sedikit emosi melihat Fatah yang terlihat dingin dan menyebalkan. "Saya bicara dengan anda" "Kalau bicara sama orang itu tatap matanya. Hargai dia lawan bicara anda" Oke saat ini Sabrin sudah benar-benar emosi menghadapi dua orang ini yang tiba-tiba datang ke kampusnya. Fatah pun juga tersulut emosinya kembali mendengar nada bicara Sabrin yang sedikit meninggi. "Saya melakukan ini menjaga pandangan saya dari zina mata. Dalam agama yang saya anut, dilarang menatap wanita yang bukan mahramnya" Setelah menjelaskan, Fatah berjalan meninggalkan Umi, Sabrin dan Sendi yang hanya bisa diam. Karena mendengar penjelasan dari Fatah, Sabrin mulai merasa bersalah. Mengapa Sabrin bisa sampai lupa dengan ajaran agamanya sendiri. Dengan segala upaya akhirnya Umi mampu mengajak Sabrin ikut bersama dengannya dan Fatah ke sebuah butik yang akan mendesign baju pengantin yang akan dipakai oleh Sabrin. Di dalam perjalanan, Fatah hanya sibuk mengemudi. Walau sekali-kali dia juga melihat ke arah kursi belakang melalui spionnya. Sedangkan Sabrin terus melihat ke arah luar jendela mobil. Merasa tak berguna karena harus ikut pergi ke butik yang dia tidak tahu dimana tempatnya.   ****   Sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan oleh orang tua kedua belah pihak, Sabrin dan Fatah akan menikah pada awal bulan depan. Dan selama sebulan ini kedua belah pihak keluarga sibuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan Sabrin dan Fatah. Walau memang para Mama sudah menggunakan jasa wedding organizer untuk mengatur semuanya, tetapi para Mama masih turun tangan untuk mengatur pernikahan anak-anak mereka. Sebelum pernikahan berlangsung, mereka berdua tidak diijinkan untuk bertemu berdua saja, karena menjaga agar tidak melakukan zina sebelum ada ikatan halal diantara mereka. Walau tak dilarang pun, Sabrin sungguh tak ingin bertemu dengan laki-laki seperti Fatah yang dingin dan suka mengatur. Gayanya saja sudah menggurui Sabrin. Tetapi lagi-lagi Sabrin memang tak mampu menolak acara pernikahan ini. Acara pingitan pun mereka jalani hingga membuat Fatah geram karena semua jadwal operasinya harus dialihkan kepada dokter senior lain. Fatah dilarang keras pergi keluar rumah oleh Mamanya. Karena menurut adat Jawa, sebelum pernikahan calon pengantin rentan terjadi sesuatu yang buruk. Untuk mengantisipasi itu, Mama menjalankan misi mengurung Fatah di rumah. Karena merasa sudah tidak ada pilihan lain, Sabrin dan Fatah akhirnya sama-sama pasrah dengan takdir dari Allah yang menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan. Selain itu juga masa lalu keduanya nyaris sama, itu yang membuat mereka menuruti kemauan orang tua mereka masing-masing. ----- Continue... Cie... Baca Cerita mas Fatah.. Yang masih mau beli bukunya, bisa dipesan sama aku ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD