Bab 1

1474 Words
Jangan mau mendengar kata cinta kalau tubuhmu hanya untuk didaki bukan dinikahi.. Ora hampir menyemprotkan minumannya dari mulut. Dia melotot tajam menatap undangan pertemuan berupa pesan dari seseorang yang membuat kehidupannya tidak karuan. Segala sumpah serapah langsung terlontar dari hatinya. Dia sudah berjanji tidak akan pernah mau bertemu orang ini lagi. Tapi dengan kurang ajarnya dia meminta Ora untuk datang ke tempatnya. "Berasa paling WOW!!" semburnya kesal.Emosinya tengah memuncah. Dan dia butuh pelepasan emosi. Setelah memasukkan beberapa perlengkapan yang dia bawa kedalam ransel, Ora mengambil langkah seribu. Menyelusuri trotoar menuju tempat favoritnya. Di sepanjang perjalanannya ke sana, berkali-kali Ora mengeyahkan pikirannya. Dia tidak butuh dikasihani. Karena memang bukan itu yang Ora butuhkan. Dia butuh suami!! Tolong bantu catat dan beritahu Tuhan. Untuk usia Ora yang terbilang sudah sangat dewasa, kehidupan percintaannya tidak pernah bertambah dewasa. Dia selalu gagal membina suatu hubungan dengan laki-laki. Dan terakhir kemarin yang begitu menyakitkan. Ora ditinggal kawin dengan pasangannya. Sial kan? Tentu saja sial untuk pasangannya. Bukan untuk Ora. Karena dia harus menikahi perempuan yang sudah mengaku hamil dengannya. Bagi Ora sih biasa-biasa saja. Walau hatinya cukup sakit. Tapi bukannya hidup itu harus berjalan maju. Saat Ora sampai di tempat yang bisa membuatnya nyaman, tas ransel hitam kusam miliknya langsung dia lempar begitu saja. Kedua kakinya yang memakai sepatu convers butut langsung dia lepaskan. Dan memilih berlari-lari kecil mengejar deburan ombak yang terlihat begitu bahagia. Ya. Ora sangat suka ombak. Dia bisa berlama-lama di tepi pantai sambil menyelesaikan pekerjaannya. Dia butuh alam untuk membuatnya nyaman dalam berpikir, dan pantai menjadi tujuannya. Selain letaknya tidak begitu jauh dari rumah yang Ora tempati, pantai juga bisa membuatnya semangat. Semangat menonton body-body perempuan yang begitu sempurna. Eits, jangan pikir Ora menyimpang. Tidak. Dia tidak seperti itu. Ora sehat lahir batin. Hanya saja dia suka sekali mengagumi tubuh perempuan yang sexy dan terpahat sempurna. Coba bandingkan dengan tubuhnya. JAUUUUHHH !!! Ora bukan tipe perempuan seperti yang dinovel-novel. Cantik, imut, sexy dan memikat saat pertama kali dilihat. Tidak. Dia ini tipikal perempuan yang didekati karena bisa membuat nyaman. Jadi hilangkan bentuk fisik sempurna untuk Ora. Hatinya menjerit senang kala kejaran ombak mengenai kedua kakinya. Dia berlari-lari saling mengejar ombak yang tak kalah hebohnya dengan wajah bahagia Ora. Mungkin bagi orang yang melihat, Ora seperti anak kecil yang terkurung dalam tubuh dewasa. Tapi Ora tidak mementingkan pikiran orang lain. Dia sedih atau bahagia tidak berpengaruh pada orang lain. Setelah puas bermain ombak, Ora mulai kembali ke tempatnya semula. Memungut barang-barang yang dia bawa kemudian menyampirkan tas ransel tersebut di pundaknya. Ternyata rasa bahagia yang tadi dia rasakan tidak bertahan lama. Kini pikiran kesal bercampur sedih hadir kembali. Mengingat bagaimana undangan pertemuan tidak menyenangkan tadi yang dia terima. "Aarrggghhhhh," teriaknya kesal. Tanpa bisa dihindari besok dia harus bersiap juga untuk menemui orang itu. *** Suara berdebum disambut langkah kaki yang terdengar terburu-buru mengisi kekosongan rumah mungil tempat tinggal Ora. Perempuan itu nampak terburu-buru melangkah menuju kamar mandi. Menabrak satu demi satu barang-barang yang berserakan di lantai. Sampai tak sengaja dia menginjak sebuah tube cat minyak berwarna merah, hingga jemari kakinya penuh dengan warna merah tersebut. "Akhh.. Sial banget!! Ini semua gara-gara itu orang. Awas ketemu gue begal dia. Berani macem-macem sama gue!" makinya seorang diri. Dia kembali berjalan namun kali ini memilih lebih berhati-hati. Sampai akhirnya tubuh Ora menghilang dibalik pintu kamar mandi. Ora harus bersiap sebelum kalimat cemooh biasa orang itu lontarkan kepadanya. Dia memang tidak sempurna. Tapi bukan berarti orang bisa mencatat semua kekurangannya untuk menyerangnya balik. Karena sebenarnya orang sempurna terlihat bila disekitarnya ada orang tidak sempurna. Lepas dari membersihkan diri, tubuh Ora sudah lebih segar. Rambutnya yang basah dibingkai oleh sebuah handuk kecil. Lalu tubuhnya yang .. hm .. jauh dari kesan sempurna terbungkus nyaman dalam balutan tshirt putih serta celana jeans robek khas anak muda jaman sekarang. Jangan salah jeans yang Ora pakai ini harganya bisa membuat napas orang terputus-putus. Walau terlihat gembel tapi merk yang melekat pada celana itu membuat harganya selangit. "Perfect," ucapnya sambil menatap cermin. Rambut blonde yang Ora miliki sudah dia ikat kuda kebelakang. Warna rambutnya ini bukan karena Ora mewarnainya. Tapi karena memang gen yang diturunkan aneh dari kedua orang tuanya membuat tampilan Ora berbeda. Warna rambutnya terlihat seperti orang bule padahal dia asli penduduk pribumi. Ora melakukan sapuan make up sederhana diwajahnya. Bibirnya bergerak ke kiri dan ke kanan kala pewarna merah pipi dia bubuhkan di kedua pipinya. Kemudian setelahnya Ora tersenyum manis ke arah pantulan dirinya di cermin. Setidaknya dia tidak seburuk yang orang lain katakan untuknya. Baru Ora ingin menyampirkan tas ransel yang selalu menemaninya, tangannya terhenti. Keningnya berkerut dalam melihat tas tersebut. Tidak seharusnya dia menyandang tas ini sekarang, begitulah ungkapan batinnya. Bisa-bisa dia semakin diinjak sadis oleh orang ini. Untuk itu Ora menyingkirkan tas tersebut dan meraih tas kecil yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Done. Saatnya menyiapkan hati. *** "Ra ..... " seorang perempuan bertubuh sedikit berisi memanggil namanya. Satu tangan perempuan tersebut melambai pada Ora yang memasang tampang setengah kesal. Bibirnya mendumel tidak suka kala kedua matanya menangkap sosok lain yang duduk di samping perempuan itu. Ini dia masalahnya, batin Ora. Dia yakin perempuan itu akan melakukan aksi pamer kembali kepadanya. Entah apa kali ini. Dan Ora rasanya jengah walau hanya sekedar mendengarkannya. Terlebih setelah pertengkaran cukup panas beberapa bulan lalu, membuat hubungan keduanya merenggang. "Sorry, gue lama," ucap Ora basa basi busuk. "Nggak kok. Kita juga baru sampai. Iya kan mas," Bolehkah Ora muntah melihat mimik wajah Ela sekarang? Ela adalah sahabat Ora. Tapi DULU!!!! Sebelum keributan beberapa bulan lalu terjadi. Dan kini hubungan mereka merenggang. Namun baik Ora atau Ela tidak ada yang mau berusaha untuk membuatnya kembali baik. "Gini Ra, gue sengaja undang lo ke sini mau minta bantuan." "Sama gue?" tunjuk Ora pada dirinya. "Iya, lo. Gue yakin lo mampu." "Bantuan apaan?" tanya Ora mulai curiga. Dari gerak-gerik yang muncul pada Ela memang sangat mencurigakan. Jangan bilang perempuan ini membuat rencana busuk untuknya. "Gue sama mas Jack mau nikah. Lo tolong jadi bridesmaid ya....!!" tutup Ela dengan senyuman mematikan. Jack? Ulang Ora dalam hatinya. Namanya Jaka Widodo saja bergaya dipanggil Jack. Ini sih sama halnya seperti makan singkong tapi disebut roti sumbu. Mau terlihat keren tapi kenyataannya tidak mendukung. Ucap Ora membatin. Tapi tunggu dulu, tadi Ela bilang apa? Dia mau menikah dan memintanya untuk menjadi bridesmaid? Kurang ajar !!!! Ela memang perempuan iblis yang bergaya seperti manusia. Dia memang sengaja meminta Ora untuk menjadi bridesmaid dalam pernikahannya. Agar semua sahabatnya dulu tahu bila Ora adalah perempuan tua yang tidak laku. "Gue sibuk," putusnya cepat. "Yah Ora. Jangan gitulah. Anak-anak alumni SMA kita juga pada mau kumpul. Kan sayang kalau lo nggak." "LO SENGAJA KAN, LA!!!" tuduhnya langsung. "Kalau lo mau jatuhin harga diri gue, nggak perlu basa basi busuk!!! Bilang terus terang aja. Gue bakalan dateng buat jadi bridesmaid lo sama si KACANG IJO lo ini," tekan Ora pada bagian akhirnya. Dia melirik benci pada sosok laki-laki hitam di samping Ela yang masih memakai seragam kebanggaannya. Apa bagusnya laki-laki yang dibanggakan oleh mantan sahabatnya ini? Apa hanya karena dia adalah angkatan sampai Ela membanggakannya begitu tinggi. Bukannya Ora menutup mata dengan keadaan sekarang ini. Tapi ... HELLO.... ada apa sih sama laki-laki yang berpangkat? Kenapa semua perempuan JONES berharap sangat dinikahi sama laki-laki yang berpangkat? Memang pangkat dibahu itu sekarang menjadi harga mati untuk memilih calon suami. Ora sampai sekarang bingung atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya ini. Sungguh sudah gila perempuan jaman sekarang. Berpikir hanya demi harga diri bukan demi cinta mati. Ketika Ora melihat sudut bibir Ela tersenyum licik, dia segera bergegas pergi dari hadapan dua krucil-krucil ini agar membuatnya tenang.Namun karena terburu-buru, tak sengaja Ora menabrak tubuh seseorang di depannya hingga menumpahkan sesuatu. "Ochh... Maaf," cicit Ora tidak enak. Ketika melihat siapa yang dia tabrak, Ora segera bergerak. Membantu tubuh kecil itu berdiri tegak kembali. "Duh, maaf ya dek. Aku nggak lihat," ucap Ora penuh permohonan. Tapi nyatanya wajah yang tidak bersahabat ditampilkan oleh sosok gadis kecil didepannya. "Cuma minta maaf?" sahutnya pelan namun terdengar sangat tidak enak. Dia membalas tatapan Ora begitu dingin sampai tubuh Ora mati kutu dibuatnya. Dalam hati Ora mendumal kesal. Andai dia bisa lebih berhati-hati lagi, kejadian seperti ini rasanya tidak perlu terjadi. "Terus kakak harus apa dong?" balas Ora lagi karena merasa benar-benar tidak enak melihat pakaian gadis kecil itu basah akibat dari minuman yang tumpah. "Kakak? Tante lebih pantes!!" celetuknya tajam. "Cuci sampai bersih!!" sambungnya dengan sikap memerintah. Tubuh Ora yang tadinya sengaja membungkuk, kini kembali tegak. Menengok ke kanan dan kiri mencari kemana perginya orang tua anak ini. Anaknya siapa ya? Batin Ora. "Oke. Sini biar gue cuci!!" wajah Ora mulai tidak santai. Dia menggerakan tangannya meminta jaket kecil gadis itu untuk dia bersihkan. Mungkin bukan Ora yang membersihkan. Tapi tukang laundry yang akan membantunya. Enak saja gadis ini memerintah dia. Memangnya Ora pembantu? "Nanti kalau sudah kirim ke mana?" "Ke sini," jawabnya masih dengan mimik yang sama. Gadis itu menyerahkan sebuah kartu nama bergambar kupu-kupu kepada Ora. Kemudian tanpa pamit ia pergi berlalu begitu saja. Meninggalkan Ora yang masih terbengong-bengong. "Nggak ada sopan santun," Desis Ora kesal. "Gue pengen tau kayak apa model orang tuanya. Kok bisa punya anak macem begitu. Butuh di kremasi itu bocah," dumelnya berturut-turut. Dia membalik kartu nama itu dan membaca nama yang tertera di atasnya. "Afsheen Ganendra," ___ Continue.. Jangan lupa taplove guys.. gratis kok taplovenya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD