Bab 2: PAMIT

1242 Words
"Gue berencana kuliah di Universitas Negeri Malang, dan Papa menyetujuinya begitupun dengan mas Daru dan mbak Maya yang suka sekali dengan kota Malang..." kata Bulan baik-baik. Bian seolah kehilangan kesadaran saat ia mendengarkan dengan seksama penuturan Bulan. Ia yang masih shock bahkan tak menyala apapun yang dikatakan oleh Bulan.  Menjauh dari Bulan adalah hal yang paling menyakitkan untuk Bian. Bulan mengatur napas dan deru jantungnya yang berdetak cepat karena tatapan tajam Bian. Ia tahu bahwa hal ini adalah bagian tersulit.   Bian sudah cukup merasa bahagia dengan melihat Bulan sekali dalam seminggu, itupun dari jauh dan di rumah Siksa juga. Bian sudah menjaga hatinya dengan menjaga jarak jauh dengan memilih tinggal di Bandung dan hanya berjumpa sesekali dengan Bulan. Ia memilih terluka dan tersembunyi seperti itu.Untuk tak melihat Bulan sama sekali setelah kepergian Bulan ia tak yakin mampu untuk itu.   "Jangan bercanda lan..." Bian berusaha mengatur ritme suaranya. Sedangkan Bulan berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tak tumpah. Kesakitan ini bukan hanya kesakitan Bian saja, ia pun merasakannya.   "Ini yang terbaik, Bi..."   "Tak ada yang baik dengan begini! Tak ada perjumpaan apapun diantara kita! Gue sudah cukup tersiksa dengan tinggal di Bandung sesuai permintaanmu!" Bian mulai marah yang membuat Bulan sedikit terkejut.   Air mata Bulan tumpah juga. Ia selama ini juga tersiksa dengan kondisi seperti ini.   "Dan sekarang lo nyiksa gue dengan pergi?"   "Kita harus seperti ini, Bian! Kita harus lupakan perasaan kita masing-masing!"   "Akan kukatakan semuanya kepada Siska bahwa aku tak mencintainya!"   "Lalu apalagi yang akan menimpanya?"   "Dia harus tahu bahwa orang yang selama ini yang gue cintai adalah lo, dan bukan dia!" Bian mengatakan itu dengan menggenggam tangan Bulan sebelah kanan. Bulan masih menangis.   "Gue sudah cukup bersalah dengan kondisi Siska yang seperti itu Bian..." kata Bulan menangis seraya menarik tangannya dari tangan Bian. "gue gak ingin melukai Siska lebih jauh..."   "Tapi gue juga butuh lo! Tinggal di Bandung bikin gue tersiksa! Apalagi sekarang? Pergi? Lo pengen lihat gue mati?” kata Bian yang membuat Bulan semakin terisak.   "Ingatlah... Bahwa hubungan yang kita bangun semua sudah salah dari awal." kata Bulan memohon. Bulan berharap Bian mengerti dan memaklumi keadaan ini.   Tanpa mereka berdua sadari, dari balik dinding toilet yang tak jauh dari mereka, Siska berdiri dan mendengarkan semuanya. Semua yang mereka bicarakan. Dua tahun ini ia berusaha sabar dan menerima kenyataan dengan berpura-pura kehilangan ingatan, tapi ia tak menyangka bahwa ia tak mampu mengubah perasaan Bian padanya meski ia berpura-pura tak pernah menyaksikan apapun antara kekasih dan sahabatnya. Luka di hatinya menganga besar.   Siska merasa tekhianati. Ia benci Bulan dan juga Bian. Terlebih hubungan yang mereka bangun di balik ketulusannya. Siska mengepalkan tangannya dan menangis terluka diam-diam. Hari itu ia bersumpah tak akan melepaskan Bian dan tak akan memaafkan Bulan... Apapun yang terjadi ia tak akan meninggalkan Bian dan tak akan membiarkan mereka (Bulan dan Bian) bersama.     Bulan dan Keluarga memutuskan untuk mengendarai mobil pribadi ke Malang. Rumah beserta isinya telah resmi terjual hari ini, bahkan Papa Bulan juga sudah membeli rumah di Malang. Mereka sekeluarga hanya tinggal menempatinya saja. Jika harus dipikirkan kembali, sebenarnya apa yang terjadi antara Bulan dan Bian juga kesalahan Siska, dia yang berniat menjodohkan Bian dan Bulan, meminta mereka dekat dan jalan, tapi ternyata ketika perasaan mereka muncul dan mulai merekah, tiba-tiba saja Siska menyatakan cintanya pada Bian di pesta ulang tahunnya dan meminta maaf pada Bulan secara langsung di depan teman-teman mereka bahwa sebenarnya selama ini ia dan Bian sudah saling mencintai, dan ia hanya ingin melihat bagaimana reaksi Bian saat Siska memintanya mendekati Bulan. Sungguh hari itu Bulan ingin marah kepada Bian dan Siska, tapi mengingat posisinya di ulang tahun Siska dan juga Papanya yang bekerja pada perusahaan keluarga Siska ia tak bisa marah sekenanya. Bulan memilih terluka diam-diam. Terlebih selama dekat dengan Bian, Bian belum pernah menyatakan perasaanya pada dirinya. Tepat seminggu setelah Bian dan Siska jadian di ulang tahun Siska, Bian datang ke rumah Bulan di tengah malam saat hujan deras. Bulan yang sedang tertidur mendadak bangun ketika telepon genggamnya tak mau berhenti berdering. Telepon masuk dari Bian yang membuatnya malas. Berulang kali ia menolak panggilan Bian dan tak membalas pesan Bian, tapi lelaki itu sepertinya pantang menyerah. Untuk kali ini Bulan memutuskan menerima panggilan Bian. "Halo ..." "Tolong jangan dimatikan Bulan, gue mau ngomong…” "Gue lagi gak ada urusan dan pembahasan buat diomongin sama lo, Bi, Sorry" kata Bulan malas. "Sekali saja, tolong dengerin gue..." "Oke, apa?" "Gue suka sama lo, lan…” Deg.  Jantung Bulan sempat menendang kencang ketika Bian mengatakan hal tersebut di telinganya. "Oke? itu saja? terima kasih dan gak lucu." jawab Bulan. "Bulan... Banyak hal yang ingin gue sampein ke lo…”kata Bian memelas. "Persingkat saja..." "Gue minta maaf ..." Bulan menoleh ke arah jendela kamarnya yang tak tertutup tirai dan diluar sedang hujan lebat bahkan sesekali kilat bertarung di langit. "Gue minta maaf karena bikin lo sakit hati ke gue…" Bulan mulai bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah jendela-berniat menutup tirainya. Tak ada suara, tapi Bulan jelas mendengar di telepon bahwa suara hujan terdengar lebih kencang dari suara Bian. Semula ia pikir itu karena hujan di luar yang deras, sebelum ia menyadari tanpa sengaja-saat tirainya hampir tertutup sempurna- Bian sedang berdiri di seberang rumahnya, di depan pagar rumah tetangga Bulan. Bulan tercekat. Di bawah lampu itu, Bulan benar-benar menyaksikan wajah pucat Bian telah kedinginan. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sana. Bulan melihat ponselnya, pukul 01.00 dini hari. Bulan berlari keluar kamarnya dan juga keluar rumahnya begitu saja. Ia bahkan tak mengambil payung dan membiarkan saja tubuhnya basah oleh hujan. Ia berlari seperti orang gila dan marah ketika ia kesusahan membuka pagar rumahnya, hingga ia nekat menaiki pagar rumahnya dan meloncat keluar. Bian tersentak dan buru-buru menghampiri Bian. "Bian, apa-apaan sih lo? lo bisa saja sakit!" Kata Bulan cemas. Bian terdiam. Hari itu ia tahu, sangat tahu bahwa Bulan juga memiliki perasaan yang sama sepertinya meski Bulan menyangkal ratusan kali saat Bian menanyakannya. "Ayok masuk rumah!" Bulan menyeret Bian masuk ke dalam rumahnya saat ia sudah berhasil membuka pagar rumahnya. Bian membalikkan badan Bulan, "Katakan kalau lo juga suka ke gue!" kata Bian tajam. Bulan terdiam, ia tak menyangka bahwa Bian akan memintanya mengatakan hal yang mustahil. "Bian! Paan sih lo! Sinting kali lo ya! Buruan masuk, keringin badan lo dari pada sakit! "Bulan!" Bian berteriak. Bulan terpanah. Tak pernah ia melihat Bian seperti ini sebelumnya. "Apa semuanya akan berubah? hah? jawab? Lo dan Siska udah jadian!" Kata Bulan tak kalah emosi. "Tapi yang gue cintai itu lo!" "Kenapa lo gak ngomong itu ke Siska?!” "Lo pikir gue gak ngomong?" kata Bian. Kali ini Bulan benar-benar shock.”Udah! jauh sebelum Siska bikin pengumuman ngayal itu!” "Lalu kenapa dia tetap ngomong bahwa lo dan dia dah jadian, di depan teman-temen gue dan Siska juga?!" Bulan mulai menangis. Tak bisa dipungkiri, hatinya terluka. "Lo pikir gue tahu kalau dia akan mengumumkan hal itu? Bahkan gue gak pernah ngomong kalau gue suka ke dia!" kata Bian tegas. Bian dan Bulan masih terlibat perdebatan sengit. Petir saling sahut menyahut di langit. Bulan menangis, tapi air matanya tak terlihat karena tersapu duluan oleh hujan. Perlahan Bulan ingat, Siska memang selalu seperti itu, barang-barang yang disukai oleh Siska tapi milik Bulan selalu ia ambil, entah itu secara paksa, atau terang-terangan atau dengan ijin Bulan. Yang jelas Siska selalu menyamai apa yang Bulan miliki, jika ia tak bisa memiliki hal yang sama dengan Bulan, ia akan mengambil milik Bulan. Bulan masih menangis... "Lalu bagaimana sekarang?" tanyanya lirih pada Bian. Bian tak tahu harus menjawab apa. Bian pun terikat kerja dengan keluarga Siska. Mereka berdua sama-sama bingung. Bian mendekat dan meraih tubuh Bulan. Bulan menangis di pelukan Bian. Sejak malam itu mereka berdua memutuskan menjalin hubungan diam-diam di belakang Siska hingga kecelakaan yang menimpa Siska terjadi dan meneror Bulan setiap hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD