Bab 3: An Accident

1047 Words
"Kau baik-baik saja?" tanya mama Bulan. Bulan sempat tercekat. Ia hampir saja terbawa suasana ketika mengingat kejadian malam itu antara dirinya dan Bian. "Tolong bantu Mama ambil alat make up di ruang depan ..." pinta Mamanya. Bulan masuk kembali ke rumahnya yang kini sudah terasa sepi. Ia memandang setiap sudut rumahnya, hampir seluruh hidupnya ia habiskan di rumah itu. Dan akhir-akhir ini entah kenapa setiap sudut rumahnya ada Bian. Bian yang menemaninya belajar. Bian yang menemaninya main catur. Bian yang menemaninya memasak. Bian yang menemaninya membersihkan rumah. Tapi setiap ada Bian di rumahnya, di sana juga pasti ada Siska. "Bulan!" teriakan itu menyadarkan Bulan, ia buru-buru menyambar kotak make-up Mamanya dan menghapus air matanya lalu berlari kecil ke luar rumah. Dilihatnya Mamanya sedang tersenyum ke arah Siska yang menggandeng erat tangan Bian. Entah apa yang dibicarakan antara Mamanya dan Siska, Bulan tak paham dan sebenarnya tak ingin melihat pemandangan seperti itu saat mau pergi. Semuanya seolah tak terdengar di telinga Bulan. Ia hanya menatap lurus-lurus Bian yang balas menatap matanya sangat dalam. Seolah semua orang di sekelilingnya yang sibuk memasukkan barang bawaan ke dalam mobil tak pernah ada di dunia. Hanya ada dia dan Bian. Bulan dan Bian berharap dunia berhenti berputar saat ini. Mereka ingin mengingat setiap inci wajah masing-masing orang terkasihnya yang tak pernah bisa mereka miliki. "Kak Bulan!" Satria menarik-narik rok Bulan. Adiknya yang berusia empat tahun itu sedang kesusahan membawa mobil mainannya. Bulan meletakkan alat make up mamanya di bagasi mobil dan mengambil mobil mainan adiknya yang tersangkut pot tanaman. Satria tersenyum ketika menerima mobil tersebut dari Bulan dan mengecup pipi kiri Bulan dengan manis lalu berlari ke arah Papanya yang sedang memanasi mobil. "Hati-hati ya, Om!" kata Siska lantang kepada papa Bulan. "Kalau ke Malang harus mampir, ya, Sis!" kata kak Maya sesaat setelah melakukan sedikit perpisahan manis dengan mencium pipi kanan dan kiri Siska sebelum masuk ke dalam mobil. Siska mengangguk pasti. Siska menghampiri Bulan yang masih mematung di hadapannya sesaat setelah Mama Bulan juga masuk ke dalam mobil karena Satria terus saja memanggilnya. Siska memeluk Bulan sangat erat seolah tak ingin pisah. Sedangkan mata Bulan masih memandang lekat-lekat ke arah Bian yang tak mengucapkan apapun padanya juga pada keluarganya. "Kabari gue kalau dah nyampek, ya! Terus keep contact ya, dan gue pasti sering-sering main ke sana kalau liburan semester tiba!" kata Siska dengan senyum manisnya. Entah mengapa Bulan merasa Siska bahagia dengan kepergiannya. Bukankah sejatinya sahabat sedih ketika sahabatnya menjauh darinya? Tapi Siska? Ah, entahlah... Bulan tak ingin berpikiran apa-apa untuk saat ini jadi ia hanya menggangguk saja atas semua ucapan Siska yang lebih banyak masuk telinga kanan keluar telinga kiri karena perhatiannya fokus ke Bian. "Kalian gak mau ngomong satu sama lain?" kata Siska kemudian kepada Bulan dan Bian. "Hati-hati di jalan, lan..." Bulan mengangguk pelan setelah mendengar Bian mengatakan itu dengan pelan, bukan pelan, malah terdengar berat, seolah Bian menahan sesuatu yang besar. Apakah itu kesedihan? Apakah sama dengan yang dirasakan oleh Bulan saat ini? "Ayok!" Papanya berteriak dari dalam mobil. Bulan bergegas masuk mobil. Mama, Papa, kak Daru, Satria dan mbak Maya semuanya perlahan mengucapkan salam perpisahan kepada Bian dan Siska sembari membunyikan klakson saat mobil perlahan jalan dan melambai dari balik jendela mobil. Mata Bulan masih tertuju pada Bian. Seolah ia tak ingin melewatkan perpisahan ini sama sekali dan sejujurnya Bulan tak yakin apakah ia akan mampu kembali kelak? "Sudah. nanti Siska curiga." kata Mbak Maya. Bulan menarik kepalanya dari jendela mobil dan menutupnya kemudian. Ia terdiam, semuanya mendadak diam di dalam mobil kecuali Satria yang rewel dengan posisi duduknya. "Nanti mbakmu bisa kenalik cowok yang lebih baik di sana..." kata mama Bulan. "Paan sih, Ma! emang jaman Siti Nurbaya!" "Ya kalee lo gak bisa ngelupain Bian, lah pilihan terakhir harus dijodohin donk." kata mbak Maya, Papanya terkekeh begitupun dengan Mamanya. Kakak lekakinya memilih tidur dengan penutup mata. Ia tak paham dengan dunia perempuan, yang ia tahu, pacarnya satu dan anti ribet gak kayak kedua adik perempuannya. Yang satu terjebak cinta segitiga dengan sahabatnya yang satu terjebak cinta jarak jauh dengan pacarnya yang masih pendidikan militer. Dua-duanya dilanda galau tiap hari. "Apa mbak kenalin sama temen tentaranya mas Danu?" "Gak mau!" "Iya bener, jangan mau, kamu bakalan galau terus saat ditinggal tugas!" kata Mamanya setuju. Perjalanan panjang ke Malang mereka habiskan dengan bercengkrama dan bercanda satu sama lain di dalam mobil. Ketika Papanya kelelahan menyetir, kakaknya menggantikannya, begitu terus bergantian. Mama, Mbak Maya dan Bulan lelah bercerita dan akhirnya mereka tertidur. Di dalam mimpi Bulan melihat Bian dari jauh berlari ke arahnya. Dilihatnya Bian dengan cemas mencoba mengatakan sesuatu kepada Bulan, Bulan tak paham maksud Bian karena suara Bian tak terdengar sama sekali. Mata bulan masih terpejam dan keringat dingin terus mengucur di dahinya karena mimpinya. Bian berusaha mengatakan sesuatu kepada Bulan tapi tak terdengar apapun oleh Bulan hingga Bulan kesal dan pergi meninggalkan Bian di tengah-tengah hutan. Bian berlari, menarik tangan Bulan dan mencoba mengatakan sesuatu kembali. Bulan mengerutkan keningnya kala dilihatnya Siska tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Bulan dan merebut tangan Bian paksa sembari tersenyum jahat pada Bulan. Perasaan Bulan tak enak. Ia terpaku saat Siska menarik paksa tangan Bian dan membawanya pergi bersama Bulan. Bulan ingin berlari mengejar Bian, tapi entah mengapa kakinya tiba-tiba tak bisa digerakkan. Bulan cemas dan takut. Hari sudah semakin gelap, kabut telah meliputih hutan tempat Bulan berada. Bulan menangis lalu menatap langit yang tiba-tiba saja berwana gelap dan hanya ada cahaya rembulan yang menyinarinya… "Remnya! Remnya blong!" kata Papa Bulan berteriak yang membangunkan Bulan seketika. Napas Bulan masih terengah-engah. Perlahan ia menyadari sesuatu yang ganjil saat dilihatnya sekeliling yang penuh dengan pohon-pohon besar di kanan kiri dan kabut di luar. Ia panik dan mengerti keadaan ketika Papanya berseru lagi bahwa rem mobilnya telah blong! "Apa?" tanya Bulan. "Remnya!" Terlihat Papanya mulai khawatir. Hari sudah sangat gelap, dan Bulan tak tahu tepatnya mereka sudah sampai mana, yang terlihat hanya pohon-pohon besar yang tertangkap matanya. "Papa tenang, Pa!" kata mbak Maya berusaha menenangkan papanya. "Di depan sebentar lagi tikungan!" seru Papanya! Mereka semua panik. Mobil melaju semakin cepat. Bulan menarik Satria yang tertidur di pangkuan Mamanya untuk beralih ke pangkuannya di tengah. Ia memeluk Satria erat-erat ketika dilihatnya turunan tajam beserta tikungan semakin dekat. Bulan memejamkan matanya, ia tak ingat apa-apa setelahnya. Yang ia rasakan kepalanya terbentur kemana-mana, kakinya entah tertindih apa, tapi ditengah semua jeritan Mama, Papa, dan kakaknya, tangannya masih kuat melindungi dan memeluk Satria dalam dirinya. Ia berharap jika seluruh keluarganya termasuk dirinya tewas, tak masalah, ia hanya ingin Satria selamat itu saja. Ya, itu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD