Bab 1: Gadis Itu Rembulan

1124 Words
Matahari masih nampak jelas dan sangat terika ketika seorang gadis bernama Bulan bercengkrama dengan seorang laki-laki di hadapannya. Ia tak menyadari bahwa sedari tadi sepasang mata coklat telah memerhatikannya dari jauh dengan membawa bekal makanan untuknya. Lelaki itu sudah berdiri di tempatnya kurang lebih dua jam karena tak mendapatkan tempat duduk di tribun. Demi melihat Bulan bertanding, ia rela datang jauh dari Bandung ke Jakarta. Ia bahkan membuat bekal makanan untuk Bulan. Tapi sayang ia terlambat memberikannya, karena gadis yang dipandanginya itu kini tengah menyantap makan siang yang dibawakan oleh lelaki yang duduk di sebelahnnya.   Bulan menegak minumannya dan berlari untuk kembali bersiap bertanding di lapangan bola basket. Tribun riuh karena pertandingan antar sekolah akan dimulai. Beberapa diantara mereka saling meneriakkan nama masing-masing jagoan mereka. Banyak sekali yang menyebut nama Bulan. Bulan memang tak hanya cantik dengan mata indah dan lesung pipit manis di pipi kirinya, tapi ia juga pintar dan selalu ramah kepada siapapun. Tak heran jika ia menjadi gadis idola sekolah. Pemuda mana yang tak jatuh cinta kepada perempuan seperti itu? Pintar, ramah, pebasket handal,  fisik yang sempurna ditambah latar belakang keluarga yang tak ada cacat. Bulan nampak sempurna dimata para teman-temannya satu sekolah.   Bahkan di usia Bulan yang baru menginjak angka 18 tahun, beberapa lamaran sudah datang ke orang tua Bulan, mereka berniat meminang gadis itu untuk anak mereka. Sudah tak dapat dihitung berapa kali Papa Bulan harus menolak lamaran untuk putrinya dengan alasan kakak Bulan belum menikah, atau Bulan masih kecil dan harus sekolah, atau Bulan belum mau pacaran, dan masih banyak lagi.   Area Basket riuh oleh tawa dan sorakan penonton setelah Bulan berhasil memasukkan bola ke dalam ring setelah mendriblenya cukup lama. Bulan tersenyum manis ke arah tim-nya yang bersorak senang.   "Gue makan, ya!" Seorang gadis dengan rambut ikal menyambar bekal lelaki yang berdiri dengan wajah bangga dan senang melihat Bulan memasukan bola ke ring. Lelaki itu hanya tersenyum melihat tingkah gadis yang menyambar bekal yang khusus ia buatkan untuk Bulan. Dilihatnya baik-baik gadis itu melahapnya dengan bahagia dan tersenyum senang. Gadis itu sangat lapar sekali. Dia Siska. Demi pertandingan hari ini, Siska seharian menemani Bulan keliling komplek dekat sekolah mereka hanya karena Bulan yang terlalu nerveos menghadapi pertandingan terakhir di sekolahnya.   "Enak banget sandwichnya!" ujar Siska. Bian- lelaki pembawa bekal- ia hanya tersenym saat Siska melahap habis sandwich buatan Bian untuk Bulan. "Siska! Ambilkan minum gue!" Teriak Bulan dari tribun. Siska buru-buru meletakkan kotak makanan yang berisi sandwich dan menyambar tasnya lalu berlari ke arah Bulan yang mendekat ke tribun sebelah kanan. Bulan menegak botol minuman yang diberikan oleh sahabatnya dan menyaka keringatnya yang bercucuran di dahi dengan handuk yang juga sudah disediakan oleh Siska. Seluruh sekolah tahu apa hubungan antara Siska dan Bulan. Keduanya sahabat dan saling menyanyangi.   Bulan yang akhirnya menyadari kehadiran Bian di lorong sedikit terkejut oleh kedatangan Bian di pertandingannya. Bulan tahu pasti Bian orang yang sibuk dan tak mudah datang untuk acara seperti ini. Bulan sedikit terharu karena Bian datang tanpa ia undang. Buan dan Bian saling pandang cukup lama sebelum Bulan tersadar suara peluit dan tersenyum garing ke arah Siska yang menatap dan menunggunya mengembalikan handuk yang dipakai Bulan.               Bian menunduk dan hendak berlalu pergi saat ia melihat Bulan berlari ke tengah lapangan basket, siap bertanding kembali.   "Bian! Tungguin gue selesai main, kita makan di luar bareng-bareng!" Bulan berteriak. Bian menoleh cepat lalu tersenyum ke arah Bulan karena senang bahwa ia akan makan bersama Bulan, suatu hal yang sangat dirindukannya. Riuhan kecewa dan cemburu penonton atas teriakan Bulan kepada Bian berangsur hilang ketika dilihatnya Siska kembali ke arah Bian lalu menggandeng lengan lelaki itu dengan lengan kirinya.   Seorang lelaki yang berbicara dan membawa bekal makanan untuk  Bulan di tribun tadi beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan ke arah Bian dan Siska berada. Pintu keluar tribun.   "Ntar anterin adik gue pulang, ya!" katanya dengan menepuk bahu Bian. Bian mengangguk, dan lelaki itu pergi setelah mengangguk ke arah Siska.   Bian mulai berandai-andai dan mulai membayangkan kenangan-kenangan indahnya dahulu dengan Bulan dahulu serta kesalahan-kesalahan yang tak pernah bisa ia maafkan ataupun dimaafkan oleh Bulan juga oleh gadis lain, terlebih ia sangat paham bahwa Bulan sangat merasa bersalah. Mereka sama-sama tahu baik Bian dan Bulan, keduanya tak mungkin bisa bersama lagi seperti dulu, meski Bian sangat menginginkanya. Kesalahan-kesalahan mereka dahulu bagi Bulan sudah cukup dan ia tak ingin membuat kesalahan lagi, karena Bulan tak yakin Tuhan akan memaafkan mereka lagi.   "Sayang, duduk yuk, gue capek." Ajak Siska menja pada Bian. Bian menuruti langkah Siska yang bergelayut manja di lengannya. Ia membayangkan Bulan yang bersikap manja kepadanya dan bukan Siksa, tapi kenyataan berkata lain.   Gadis berambut ikal itu melanjutkan makan sandwichnya dan menikmati pertandingan Bulan dengan wajah bahagia. Diperhatikannya baik-baik Siska oleh Bian, tentang bagaimana awal mereka dulu menjalin hubungan. Bian mencoba menciptakan kenangangan-kenangan indah bersama Siska, tapi hasillnya kenanagannya bersama Bulan yang muncul. Tuhan mungkin memaafkan perselingkuhan Bulan dengan Bian dibelakang Siska dengan membuat Siska kecelakaan dan hilang ingatan yang menghapus semua memori kenangan antara Bulan dan Bian di otak Siska. Oleh karena kecelakaan itu mereka sama-sama (baik Bulan dan Bian) tak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi.   Seharusnya mereka tak berteman, atau tetap berteman tapi hanya saling tahu. Karena setiap kali mereka bertemu hanya ada luka dan rasa bersalah terhadap Siska, juga perasaan rindu yang harus terpatri rapat-rapat tanpa boleh terbuka sedikitpun, karena mereka sadar mereka sudah cukup terpukul dengan kondisi Siska dan mereka tak ingin melukai Siska lagi. Bulan, Bian dan Siska makan di sebuah cafe dekat dengan sekolah mereka usai pertandingan. Bulan puas sekali dengan skor kemenangan pertandingan basketnya  barusan. Ia tak menyangka bakalan menang dengan skor yang tinggi. Ia terus menerus tersenyum dengan bahagia. Dengan skor ini, ia yakin ia bisa mengembalikan kepercayaan keluarganya kepadanya bahwa ia bersungguh-sungguh ingin melupakan Bian dan memulai hidup baru.   Untuk itu semua ia bersyukur bahwa ia dan keluarganya akan pindah dan menetap di Malang. Hari ini rencananya ia akan pamitan secara resmi kepada Siska dan Bian. Ia sudah mempersiapkan kalimat yang pas untuk Bian dan sahabatnya, Siska. Ia tak ingin merasa tak nyaman terus menerus diantara Siska dan Bian. Ia sudah cukup bersalah dengan kejadian yang menimpa Siska meski ia juga terluka karena kehilangan Bian dan tak sanggup setiap kali melihat Bian dan Siska bersama di hadapannya. Ia tak kuasa menahan rasa cemburu terus menerus, seperti sekarang ini ketika dilihatnya Siska menyuapi Bian dengan bahagia.   Gue harus pergi, itu jalan terbaik untuk saat ini. Kata itu yang selalu diucapkan Bulan di telinganya.   "Gaes... gue mau ngomong ..." kata Bulan yang membuat aktivitas Siska manyuapi Bian mesra terganggu.   "Ngomong aja" kata Siska   "Hmmm... gue mau..." Telepon Siska berdering, Siska menyambar ponselnya di atas meja dan menjauh dari Bian dan Bulan setelah menunjuk arah kamar mandi sembari menempelkan ponsel di telinganya dan berucap-ucap dengan si penelepon.   "Bian... Gue... gue dan keluarga berencana pindah ke Malang ..." lirih Bulan dengan ragu-ragu. Bian terkejut hingga tanpa sengaja menjatuhkan sendoknya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD