Bisikan Lelembut

1109 Words
Mentari menyongsong dari ufuk timur. Sinarnya mulai meninggi dan menerangi alam semesta. Imam Zubair dan Fatimah telah sampai di rumahnya. Rumah yang lumayan besar dan tampak indah. Halaman depannya pun sangat asri, menandakan kalau Umi Fatimah selalu membersihkan dan merawat bunga-bunganya dengan baik. Di sebuah kamar, terlihat seorang wanita tengah asyik memakai jilbab di depan cermin. Gadis itu merapikan dandannya. Terlihat begitu cantik. Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu kamar dari luar. Gadis itu menghentikan dandanannya dan menoleh ke arah pintu. "Siapa?" Tak ada sahutan. Hanya ada suara ketukan pintu yang selalu berbunyi. Gadis itu berdiri, dan berjalan ke arah pintu. Tiba di depan pintu, sang gadis membuka pintu itu dengan perlahan. Dilihatnya keadaan luar yang sepi. Lorong kamar masih tampak sunyi. Hanya ada satu lampu yang menerangi. "Umi? Abah?" panggil gadis itu, sembari keluar dan menengok ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa pun. Gadis itu menghela napas. Lalu masuk lagi ke dalam kamar. Aneh! Kamar yang tadinya terang dengan lampu, kini gelap gulita. Wajah gadis itu begitu ketakutan. Ia terus melangkah ke dalam kamar. Dilihatnya di atas kasur, terdapat sesuatu yang menonjol dan terus bergerak. Terdengar pula tawa cekikikan. Gadis itu memberanikan diri melangkah menuju kasur, dan hendak menyibak selimut yang menutupi sesuatu yang terus bergerak itu. Tangannya ia ulurkan dengan gemetar. "S-siapa yang di sana?" ucapnya dengan gemetar. Tiba-tiba, selimut itu membuka dengan sendirinya. Dan ... Baaaaaa!! "Aaaaa!" teriak gadis itu. "Haha!" Lampu menyala, memperlihat dua anak kecil lucu dengan gelak tawa tak berdosa, yang berada di atas kasur. "Ada apa ini? Kenapa kalian ribut?" Umi yang menyalakan lampu, heran dengan kelakuan anak-anaknya. "Tidak ada kok, Umi. Kami hanya mengerjai Kak Maria saja. Hehe," ucap gadis kecil yang ada di atas kasur, ditambah dengan anggukan anak laki-laki yang seumurannya, namun sepertinya lebih tua darinya. "Zara! Ziddan! Kalian bikin Kakak kaget tau!" bentak gadis yang bernama Maria itu. "Zara ... Ziddan, kenapa kalian sangat jahil? Kasihan tuh Kakak kamu mukanya pucat," tegur Umi. "Maaf, Umi." Kedua anak lucu itu menunduk meminta maaf. "Lain kali jangan diulangi lagi. Kalian bangun subuh, kenapa tidak ikut ke masjid?" tanya Umi. "Tau tuh. Malah ngerjain orang. Kecil-kecil pandai jahil," sahut Maria. "Ya sudah. Buruan kalian sholat subuh. Dan kamu Maria, buka jendela kamar, dah pagi nih. Habis itu tolong Umi memasak." Setelah memberi nasihat pada semua anaknya, Fatimah beranjak keluar kamar. Mereka bertiga adalah anak-anak Imam Zubair dan Fatimah. Maria adalah kakak tertua. Umurnya sekitar 20 tahun. Ia baru saja menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren. Sedangkan Zara dan Ziddan berumur 8 dan 10 tahun. Dan masih duduk di bangku SD. Maria membuka semua tirai yang menutupi jendela kamar, dan juga membuka sebagian jendelanya. Hawa sejuk dan sinar sang mentari langsung masuk ke dalam kamar. "Kakak tadi takut 'kan?" tanya Zara. "Nggak. Kakak hanya kaget saja. Kalian jangan suka jahil ya. Kalau jahilin kakak, nanti aku nggak mau belikan es krim." "Bohong. Tadi Kak Maria wajahnya pucat banget. Coba ada hantu benaran, pasti Kakak senam jantung. Hahaha." Ziddan ikut mengejek. "Hei, hantu, setan, itu tidak ada. Semua itu adalah jin yang menyamar," kata Maria. "Memang ada kok. Buktinya, aku sering lihat!" sahut Ziddan. Ziddan adalah anak yang berbeda dari saudarinya. Dia memiliki mata batin yang terbuka. Indra ke enamnya telah berfungsi. Bahkan ia sering melihat mereka-mereka dari dunia lain yang nyasar ke dunia nyata. "Oh ya, di mana?" tanya Maria. "Di kamar Kakak!" ucap Ziddan, lalu tertawa bersamaan dengan Zara. "Dasar. Sudah sholat sana!" perintah Maria. "Kok Kakak tadi nggak ke masjid?" tanya Zara. "Kakak lagi halangan. Semua wanita mengalaminya. Nanti kamu juga mengalaminya," ucap Maria pada Zara. "Apa aku juga akan mengalaminya?" Giliran Ziddan yang bertanya. Maria tertawa melihat kekonyolan adiknya itu. "Hanya perempuan saja yang mengalaminya. Perempuan itu unik." "Ya sudah, aku mau jadi perempuan saja," ucap Ziddan begitu polos, disahut gelak tawa Maria dan Zara. "Kamu ini ada-ada saja. Sudah sana sholat, atau harus aku panggil Umi?" "Nggak usah Kak. Kami akan sholat kok." Mereka serempak mengatakan itu, lalu berjalan keluar kamar. Maria menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Ia menata lagi jilbabnya yang berantakan di depan cermin. Maria ... Maria ... Terdengar suara samar-samar yang terlintas masuk ke gendang telinga Maria. Seperti suara bisikan yang memanggil nama Maria. "Zara ... Ziddan ... Nggak lucu." Maria berpikir itu adalah suara kedua adiknya. Ketika ia menengokkan kepalanya, tak ada siapa pun di kamarnya. Ia tak ambil pusing. Lalu ia keluar dengan memainkan senandung lagu dalam hatinya. Ketika ia hendak menutup pintu kamar, ia melihat sesuatu di atas kasurnya. Ia sempat terkejut. Sesuatu yang ia lihat seperti sesosok tubuh manusia yang duduk menunduk dengan wajah tertutup rambut panjang. Lalu ia buka lagi kamarnya lebar-lebar. Tak ada apapun. Mungkin tadi hanya perasaannya. Maria turun ke ruang bawah. Terlihat Imam Zubair tengah duduk santai sembari membaca kitab. Maria mendekat ke arah ayahnya itu. "Abi, aku buatkan teh hangat, ya?" Imam Zubair tersenyum ke arahnya dan mengangguk. "Assalamualaikum." Seorang laki-laki mengucap salam dan masuk ke ruang tamu. "Waalaikum salam, Paman Ibrahim. Ayo sini masuk!" seru Maria ketika melihat laki-laki setengah baya itu. "Aku buatkan teh ya?" lanjutnya lagi, lalu pergi ke dapur. "Assalamualaikum, Kak," seru Ibrahim pada Zubair. "Wa'alaikum salam. Ibrahim? Kapan kau datang? Kenapa nggak memberi kabar?" Imam Zubair tampak senang melihat adiknya berkunjung. "Aku baru pulang dari luar kota, Kak. Dan aku langsung mampir ke sini. Bagaimana kabarmu dan keluarga?" "Alhamdulillah, kami baik semua. Kamu sendiri bagaimana? Ibadahnya? Lancar 'kan?" "Alhamdulillah." Ibrahim duduk di sofa berhadapan dengan Imam Zubair. "Kak, bagaimana? Apa Maria sudah siap? Aku punya kenalan. Anaknya baru selesai kuliah di Arab. Mungkin dia akan cocok dengan Maria." Imam Zubair meletakkan kitabnya di atas meja kecil. Ia membuka kaca matanya dan menaruhnya. "Kau tanyakan saja pada Maria. Apa dia sudah siap menikah atau belum. Tuh orangnya datang," seru Imam Zubair melihat putrinya yang membawa nampan berisi dua cangkir teh. "Kenapa, Abi?" tanya Maria. "Begini Maria. Paman punya kenalan, pemuda tampan. Agamanya juga bagus. Dia juga sopan. Bagaimana? Kamu mau tidak dipersunting olehnya?" kata Ibrahim berterus terang. "Terserah Abi saja deh," balas Maria malu-malu. Wajahnya menjadi merah begitu ia mendengar tentang pernikahannya. "Kalau kau cocok, aku bisa mengajaknya ke sini besok," kata Ibrahim. "Kau ajak saja lah, Ibrahim. Kita lihat sama-sama, apakah pemuda itu pantas untuk putri kita atau tidak," sahut Fatimah yang datang membawa camilan. "Cieee... Yang mau nikah." Zara dan Ziddan serempak mengejek kakaknya yang senyum-senyum sendiri. Semua orang ikut tertawa melihat kekonyolan mereka. Maria beranjak menuju kamarnya. Dengan senyuman yang mengembang, ia membuka kamarnya. Kau tidak akan menikah! Suara bisikan terdengar menggema dalam kamar Maria. Kini lebih jelas dan keras. Membuat Maria mematung tak berkutik. TO BE CONTINUED!!! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD