Warga Kampung

1011 Words
Allahuakbar ... Allahuakbar ... Seruan adzan subuh berkumandang dari menara masjid. Sebuah masjid lumayan besar yang terletak di tengah desa. Fajar shadiq menyongsong dari ufuk timur. Namun langit masih agak gelap. Ayam pun hanya beberapa yang berkokok bersahutan. Terlihat berbagai orang berbondong-bondong memasuki masjid, untuk sembahyang subuh. Imam masjid pun sudah naik. Sholat segera dilaksanakan dan tak lama kemudian telah usai. Setelah membaca wirid, semua orang berbondong-bondong meninggalkan masjid untuk menuju rumahnya lagi. Terlihat seorang wanita paruh baya yang baru keluar dari masjid. Namanya Fatimah. Dia adalah orang terpandang di desa. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Umi'. Pantas saja, karena beliau adalah istri dari kiai yang merupakan imam masjid. "Nak Farhan. Kok sendirian?" ucap Umi Fatimah begitu melihat pria berkopyah yang hendak meninggalkan masjid. "Di mana istrinya? Biasanya Renatha ikut sholat subuh loh," serunya lagi. Pria yang bernama Farhan itu tersenyum. "Dia lagi sakit, Umi. Maklum, orang hamil selalu sakit tiba-tiba." "Sakit? Apa Nak Farhan sudah bawa istrinya periksa ke dokter?" "Nggak, Umi. Hanya demam saja kok." "Oh. Iya ... Wanita hamil memang sering demam. Apalagi hamil pertama," ucap Umi Fatimah. "Kau harus jaga baik-baik tuh istri kau Farhan. Apalagi hamil tua seperti itu. Banyak yang ingin mengambilnya." Seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja putih ikut menyahut. "Ustadz Azam? Maksudnya gangguan apa, ya?" tanya Farhan pada pria yang bernama Azam itu, dan merupakan seorang ustadz. "Bangsa jin dan setan suka mengincar wanita yang sedang hamil tua. Biasanya mereka ingin menjadikan santapan bayi yang baru lahir," jelas ustadz Azam. "Astaghfirullah. Ustadz, jangan menakut-nakuti Nak Farhan. Lihat tuh, mukanya jadi pucat," tegur Fatimah. "Umi ... Aku hanya berbicara fakta, berdasarkan ilmu yang aku pelajari." Azam adalah pemuda yang sudah lama menikah. Namun dia dan istrinya belum juga dikaruniai keturunan. Karena ilmu yang dipelajarinya, lekas dari pondok pesantren, orang-orang menyebutnya sebagai ustadz. "Sesungguhnya hanya Allah yang maha tahu dan maha melindungi. Mintalah perlindungan pada Allah, agar istri Nak Farhan baik-baik saja." Seorang pria tua berjubah putih dan berkopyah keluar dari masjid dan ikut andil dalam pembicaraan. "Abah." Farhan memberikan salam dan menundukkan kepala padanya. Beliau adalah kiai sekaligus imam masjid. Beliau juga merupakan suami dari Fatimah. Namanya Imam Zubair. Namun, semua warga desa memanggilnya dengan Abah. "Tapi Abah, aku berkata benar. Itu ilmu yang aku pelajari saat di pesantren. Agar kita terus selalu berhati-hati ...." "... Agar kita selalu berhati-hati dan meminta perlindungan kepada Allah SWT," sela Imam Zubair. "Ingat, Nak Azam. Kau adalah ustadz di kampung ini, jadi sebarkan agama yang damai. Jangan dengan ketakutan. Allah yang maha segalanya. Allah mengajarkan kita apa yang tidak kita ketahui." Azam tertunduk malu. "Maaf Abah. Aku hanya khawatir dengan saudara Farhan dan istrinya. Aku takut mereka kenapa-kenapa." "Sesungguhnya Allah maha melindungi. Dia yang memberi sakit dan juga obat," kata Imam Zubair. "Abah. Kau benar. Hanya orang yang selalu dekat dengan Allah yang selalu sehat. Buktinya, Abah sampai saat ini masih sehat dan selalu membimbing kami," seru Farhan. Ustadz Azam menyahut, "Manusia adalah hamba Allah, Farhan. Bukan malaikat. Kadang, mereka yang tak pernah merasakan sakit, justru sekali sakit akan langsung dipanggil Allah." Farhan dan Umi Fatimah hanya terdiam mendengar kata-kata Azam. Sedangkan Imam Zubair hanya tersenyum padanya. "Ya sudah. Abah, Umi, Ustadz, aku permisi dulu," pamit Farhan kemudian undur diri. "Aku tidak bermaksud menyinggung Abah. Tapi itu yang aku pelajari di ...." Ucapan Azam terpotong ketika melihat istrinya yang langsung mengajak pulang. "Bang, ayo pulang! Aku sudah lama menunggumu dari tadi," ucap istri Azam sembari meremas-remas mukenanya yang dibungkus sajadah. "Iya bentar." Azam menuju ke arah istrinya setelah memberi salam pada Imam Zubair dan Fatimah. Sedangkan Imam Zubair dan Fatimah beranjak menuju rumahnya bersamaan. "Apa yang Abang bicarakan dari tadi?" tanya istri Azam. "Kami tadi hanya bicara pasal agama." "Bohong! Tuh tadi ada juga si Farhan. Abang pasti bicara tentang Renatha. Iya 'kan?" "Safira ... Aku hanya khawatir keadaannya yang hamil. Sebagai manusia kita harus saling mengasihi." Safira adalah istri Azam. Entah kenapa dia selalu marah dan emosi jika suaminya membicarakan tentang Renatha. Apalagi dekat dengan Renatha. Saat tak sengaja bertemu saja, Safira sudah marah besar pada Azam. Seolah Safira punya masalah pribadi sama Renatha, istri Farhan. "Sudahlah. Aku tak mau membicarakannya lagi. Kita pulang saja." Safira langsung melangkah meninggalkan Azam yang berjalan di belakangnya.  Setiba di rumah, Safira membuka pintu dengan keras dan menuju ke kamarnya. Ia menaruh mukenanya di dalam lemari. Azam juga masuk ke kamar. "Apa kamu masih marah? Sudah kubilang, aku tuh tidak ada apa-apa ...." Ucapan Azam terpotong ketika terdengar suara pecahan piring dari kamar sebelah. "Lihat tuh, istri Abang yang pertama aja marah," kata Safira. Azam hanya menghela napas. Ia berbalik dan keluar pintu, untuk mengecek sumber suara jatuhan piring tadi. Azam membuka kamar sebelah. Kamar itu begitu gelap. Sepertinya tak ada lampu yang dipasang atau lampunya memang sudah rusak. Decitan pintu membuat cahaya masuk ke kamar yang gelap itu. Azam melangkah lebih dalam. Terlihat seorang wanita yang terbaring di atas ranjang tua. Wanita itu hanya terdiam. Wajahnya begitu pucat. Sepucat mayat. Azam mendekat ke arahnya. Di atas lantai tercecer pecahan piring yang jatuh tadi. Azam membersihkan pecahan piring itu dan membawanya keluar kamar. Di depan pintu, Azam dikejutkan Safira yang tiba-tiba nongol. Dia memasang wajah kesal dan manyun. "Apa lagi yang wanita itu lakukan?" Safira melirik ke arah tangan Azam yang membawa pecahan piring. "Berapa lagi piring kita yang harus pecah, Bang? Apa perlu semua perabotan rumah ini dia pecahkan?" ketus Safira. "Astaghfirullah ... Safira. Jangan begitu, dia kan juga istri abang. Dan dia lebih tua darimu, kau harus menghormatinya," tegur Azam. "Hanya karena dia istri pertama Abang, Abang belain dia, iya? Bang, dia tuh dah sakit-sakitan. Aku capek ngurusnya, kenapa Allah masih membiarkannya hidup?" "Safira!" bentak Azam. "Dia harus tetap hidup! Dan dia tidak boleh mati! Dia istri pertamaku, dan kau harus menghormatinya!" Safira kesal terhadap Azam. Ia pergi ke dapur dengan emosi. Azam hanya bisa menggelengkan kepalanya, dan menghela napas berat. Memiliki dua istri membuat Azam seakan stres. Yang satu sakit-sakitan, dan satunya lagi sering marah-marah. Tapi Azam tidak akan membiarkan istri pertamanya pergi. Dia selalu merawatnya. TO BE CONTINUED...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD