Chapter 1. Si—Ratu jalanan

1592 Words
Deru knalpot motor saling bersahutan diiringi sorak sorai sekumpulan orang yang membentuk kerumunan di atas trotoar. Di antaranya terdapat wanita berbaju minim yang tidak takut masuk angin padahal suhu udara begitu dingin dan pria-pria mata keranjang yang mencari kesempatan dalam kesempitan atau pria dan wanita yang asik b******u mesra pada malam gelap gulita serta pria yang terus mengepulkan asap rokok sambil sesekali menenggak minuman beralkohol. Di tengah jalanan beraspal yang dijadikan arena balapan liar, terlihat seorang wanita dengan boots merah memegang bendera di kedua lengannya, pertanda balapan liar siap di mulai. “SIAP ...,” teriak wanita itu dengan membentangkan bendera di kedua lengannya, diikuti gemuruh knalpot motor yang saling bersahutan. BRUMM BRUMM “MULAI!” Setelah bendera di angkat, beberapa orang yang berada di depan garis start langsung melajukan motor yang dikendarainya dengan kecepatan di atas rata-rata diiringi sorak sorai kerumunan orang-orang yang berada di pinggir trotoar, menyaksikan balapan liar yang semakin larut justru semakin ramai. Tak lama kemudian, sorak sorai kerumunan orang-orang itu semakin bertambah ramai disertai dengan gemuruh tepuk tangan ketika sebuah motor ninja merah mendekati garis finish diikuti motor ninja berwarna hitam. Si Pengendara motor ninja hitam membuka helm, lalu meletakkan di atas motor. Pria berparas rupawan dengan tubuh tegap yang dibalut jaket kulit hitam itu mendekati pengendara motor ninja merah yang masih setia duduk di atas motor dengan helm yang juga masih melekat di kepalanya. “Ternyata apa yang gue denger kalo lo itu penguasa jalanan dan nggak terkalahkan, itu beneran realita bukan hoax doang.” “Nggak usah lebay!” ucap si pengendara motor ninja merah seraya membuka helm di kepalanya, lalu merapikan rambutnya yang berantakan akibat dicepol secara asal. “Dhea, harusnya lo bangga dipuji raja jalanan.” Dhea Nathalia Bramantha si pengendara motor ninja merah—yang ternyata seorang gadis berparas cantik—memutar bola matanya malas. “Raja jalanan nggak mungkin kalah balapan dari cewek, malu kali! Mending lo bantuin tukang sapu jalanan, lebih bermanfaat.” Lelaki itu mendengus kesal, bisa-bisa muka gantengnya luntur jika harus menyapu jalanan. Apalagi jika di siang bolong, saat matahari sedang terik-teriknya, membayangkan nya saja membuat ia bergidik ngeri. “Lo emang sepupu gue yang paling gue sayang! Saking sayangnya pengen gue cabein tuh mulut.” Gadis itu langsung melotot galak, “Sebelum lo cabein mulut gue, gue patahin tangan lo.” Pria itu langsung meringis membayangkan bagaimana nyerinya jika tangannya dipatahkan kembali, ia harus memakai gips selama berminggu-minggu. OH NO! Ia tidak akan membiarkan kejadian itu terulang kembali, nanti cewek-cewek pada ilfeel. Sepupunya itu memang tidak tanggung-tanggung dalam menyiksa orang, kejam, urakan, cewek tapi kelakuan kayak laki, bahkan laki pun kalah. Tidak bisa diharapkan jadi perempuan! “Sepupu kejam! Nggak tau terima kasih, padahal gue rela ngalah.” Gadis itu mendengus, sepupunya itu memang tak tahu malu, oh salah! Urat malunya sudah putus. Jelas-jelas sudah kalah, tapi tidak mau mengakui kekalahan, kerjaannya ngeles terus kayak bajaj. Padahal baginya menang kalah itu sudah biasa dalam sebuah pertandingan, tidak terlalu penting sekalipun menjadi pihak yang kalah, karena yang terpenting itu jiwa sportifitas nya. Jika menang tentu bahagia, kalau kalah harus bisa menerima. “Eh, Varel sepupu gue yang g****k dari lahir! Ngalah tuh sekali, mana ada sampe lima kali? Udah deh, nggak usah gengsi ngakuin kekalahan, lo laki bukan sih?” “Bully aja terus! Apa perlu gue tunjukin keperkasaan gue?” Dhea kembali memutar bola mata malas mendengar ucapan sepupunya itu yang lebay plus dramanya kumat. Lalu ia mengulurkan tangannya ke arah pria yang dipanggil Varel yang langsung pura-pura bingung, minta dijitak nih orang. “Apa? Minta duit jajan lo? Sejak kapan gue jadi emak lo?” “Nggak usah pura-pura b**o, b**o beneran tau rasa lo! Sini kunci motor lo!” Varel menatap sinis gadis di depannya, enggan memberikan kunci motor miliknya. Namun, ia juga tidak ingin tangannya kembali menjadi korban kekejaman Dhea. Jadi, dengan sangat terpaksa ia memberikan kunci motornya. Dhea tersenyum puas saat melihat kunci motor Varel yang sudah berpindah ke tangannya, lalu ia menjentikkan dan tak lama seorang pria menghampirinya. “Rey, bawa motor Varel ke markas!” ucap Dhea seraya memberikan kunci motor pada pria itu. “Siap bu bos! Varel kalah lagi?” tanya pria itu sambil terkekeh pelan. Varel langsung melotot saat ditertawakan oleh Reynan—temannya sekaligus patner Dhea di arena balapan, bisa dibilang raja jalanan yang real bukan abal-abal macam Varel. “Temen durhaka!” umpat Varel. “Dhea, gue cabut duluan,” pamit Rey menghiraukan ucapan Varel bahkan keberadaannya yang seperti tak kasat mata. “Yups, hati-hati bawa motor baru gue,” ucap Dhea setelah bertos ria dengan Rey. “Siap bu bos, dadah raja abal-abal,” ucap Rey seraya melajukan motor dengan kecepatan tinggi sebelum Varel mengamuk. “Rey k*****t!” teriak Varel murka. Dhea terkekeh pelan melihat wajah sepupunya yang seperti ingin memakan orang hidup-hidup. Hingga suara Ed sheeran—perfect mengalun pelan dari ponsel miliknya yang berada di saku jaket. “Hal—“ “Dhea, pulang sekarang juga! Atau Mama jual semua motor kamu!” “Tap—“ Dhea langsung membelalakkan kedua matanya dengan panik saat sambungan telepon diputuskan secara sepihak. SIAL! Gadis itu langsung menatap Varel—yang kini menunjukkan deretan giginya dan mengangkat jari membentuk huruf V—dengan tajam. Rupanya ia dijebak oleh Varel yang mengajaknya balapan motor di tempat yang sama sekali bukan tempat balapan elit, bahkan sangat menjijikan baginya, tempat yang bisa saja membawanya ke kantor polisi, dan memberitahu mamanya. Dasar licik! “Ampun Ndoro ratu! Bukan salah gue sepenuhnya, abang lo yang kasih ide.” Dhea menggeram kesal, lalu menancap gas dan melajukkan motor ninjanya, menghiraukan Varel yang berteriak kesal karena di tinggalkan begitu saja. “Dhea, masa gue ditinggal? Woy! Terus gue pulang pake apa?! Tega yah lo sama gue! Kalau gue kenapa-kenapa gimana? Gue pecat lo jadi sepupu! Dasar sepupu durhaka!” teriak Varel dengan wajah frustasi, memikirkan bagaimana caranya ia pulang, sedangkan motornya tak ada, ditinggalkan Dhea begitu saja, juga jalanan yang semakin sepi. Kalau ada yang menculiknya bagaimana? *** Dhea langsung menghentikan motor ninja merah miliknya setelah memasuki gerbang utama sebuah rumah mewah yang di desain klasik juga elegan—yang tak lain rumahnya, oh ralat! Rumah milik orang tuanya. Gadis itu menghembuskan nafas lega saat melihat lampu rumah yang sudah dipadamkan, itu artinya seluruh penghuni rumah sudah terlelap dalam mimpi karena jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Untunglah ia pulang tepat waktu, jika tidak dapat dipastikan sihir ibu peri yang merubahnya menjadi Cinderella akan menghilang. Tidak tidak! Semenjak kapan ia menjadi Cinderella dengan ibu tiri yang kejam—meskipun jauh lebih kejam Mama nya dan jangan lupakan bahwa motor ninja merahnya lebih keren, dibandingkan kereta labu milik cinderella. Realitanya jauh lebih menyeramkan melihat gerbang pagar beserta pintu rumah terkunci dari dalam, sebenarnya Dhea tak masalah jika pintu gerbang di kunci, ia masih bisa memanjat pagar setinggi 3 meter itu dengan mudah, tapi jika pintu rumah yang di kunci, nanti masuk lewat mana? Lewat jendela? Sangat mustahil ia bisa masuk melalui celah tralis besi, memangnya ia nyamuk yang bisa menyelinap masuk jika kaca jendela terbuka. “Hah! Aman,” ujarnya pelan saat melihat pak Mul—satpam rumahnya tengah terlelap dalam mimpi di pos satpam. Kepalanya berpendar melihat sekeliling rumah yang sudah sepi, nampaknya satpam kompleks yang biasa ronda keliling sudah melewati rumahnya. Benar-benar situasi yang sudah sangat aman. Kan berabe jika ada yang memergoki ia memanjat pagar rumah, bisa-bisa di teriaki maling. Dengan gerakan cepat Dhea berpegangan dan menginjakkan kakinya pada pagar besi setinggi tiga meter itu, lalu mendarat di halaman rumahnya dengan sempurna. Benar-benar persis maling profesional. “Bagus! Tidur aja, Pak. Kalau perlu sampai pagi sekalian! Untung gue lagi kepepet, kalau nggak udah gue lempar pake petasan, biar tau rasa! Enak aja makan gaji buta,” omel Dhea dalam hati seraya mengambil kunci gerbang yang menggantung di saku baju bagian depan milik satpam di rumahnya. Jika bukan karena kunci gerbang diganti oleh sang Mama, pasti saat ini ia tidak perlu bersusah payah mencurinya dari pak Mul. Wanita paruh baya itu selalu tahu apa yang dilakukan anak gadisnya yang bar-bar itu, bahkan hal sepele seperti menduplikat kunci rumah. Jadi, sia-sia saja Dhea menduplikat kunci rumahnya. Pada akhirnya sang Mama pasti langsung mengetahuinya juga menggantinya dengan yang baru. Dhea licik, tetapi Mamanya jauh lebih licik. Dhea membuka pintu rumah, lalu menutupnya dengan gerakan pelan. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan pelan melewati ruang utama menuju tangga yang mengarah ke lantai dua di mana kamarnya berada. Hingga terdengar suara saklar lampu yang dinyalakan bersamaan dengan langkah kaki yang mendekatinya. Seketika tubuhnya mendadak kaku diiringi aura mencekam yang membuat bulu kuduknya merinding. Dhea membalikkan tubuhnya lalu menujukkan cengiran tanpa dosa saat melihat wanita paruh yang sedang berkacak pinggang dengan pelototan galaknya. Gadis itu meringis dalam hati melihat kobaran api yang siap di semburkan Mamanya. Daripada terkena semburan api, lebih baik ia segera ancang-ancang untuk mengambil langkah kaki seribu. Dhea menghitung dalam hati. Satu ... dua ... ti— "Aduh ... awshh ... sakit, Ma ...," ringis Dhea saat tangan sang Mama yang sudah mendarat di telinganya dan menjewer telinganya dengan kencang. "Suruh siapa jadi perempuan bandel banget? Syukurin! Biar kamu tau rasa!" Dhea memelas, "Ampun, Ma. Kalau telinga aku putus gimana? Beneran sakit banget. Aku janji deh nggak akan bandel lagi." Mama Dhea memicingkan mata menatap putrinya yang sudah menampilkan wajah kesakitan sekaligus meyakinkan, "Janji?" Dhea mengangguk pelan dan langsung menghela nafas lega saat sang Mama yang kelewat s***s itu melepaskan jeweran di telinganya. "Dhea janji, Ma. Tapi bohong." “Dhea, jangan kabur kamu!?” teriak Mamanya murka saat melihat Dhea yang berlari secepat kilat menaiki anak tangga menuju kamarnya. “Dhea, uang jajan kamu Mama potong!” “Bisa minta sama Papa,” teriak Dhea di lantai dua sebelum akhirnya masuk kamar, meninggalkan Mamanya yang menggeram kesal. “Dhea! Mama masukin kamu lagi ke dalam perut!" teriak Mama Dhea murka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD