Chapter 2. Si—Pembuat Onar

2250 Words
Terlihat seorang gadis dengan kemeja dan celana jeans yang membungkus tubuh tinggi semampainya tengah berlari dengan kecepatan kilat, nafasnya terengah dengan buliran keringat yang menetes di dahi, tak lupa rambut panjangnya yang dikuncir kuda itu ikut terayun. Menghiraukan perempuan atau pemuda seusianya yang menatapnya dengan heran, gadis itu tetap berlari di sepanjang koridor kampus menuju gedung fakultasnya yang terasa bermil-mil jauhnya. The power of kepepet, penampilannya yang sudah pasti berantakan nyatanya lebih baik, daripada nilai mata kuliahnya yang menjadi taruhan. Sekarang bukan waktunya untuk bedakan apalagi gincuan, nyatanya mengulang mata kuliah di tahun depan itu lebih mengerikan. Matanya membulat seiring jarum panjang pada jam di pergelangan tangan kirinya yang perlahan mendekati angka dua belas, hanya tersisa beberapa detik sebelum ... BRAAKKK Gadis itu membuka pintu ruangan—oh, bukan—lebih tepatnya membanting pintu hingga menimbulkan suara yang berdentum keras juga memekik telinga. Hening. Ruangan itu seketika hening dengan perubahan suhu udara yang semakin dingin juga mencekam. Tatapan tajam langsung menghunus dari seorang pria yang tengah berdiri di depan papan tulis. Pria tampan yang merupakan dosen muda di Universitas favorit di mana Dhea menimba ilmu. Tampan, mapan, calon idaman tapi sangat killer dan bermulut pedas. “Hehe ... Bapak. Selamat pagi, Pak.” Pria itu memicingkan matanya menatap salah satu mahasiswanya yang sering terlambat masuk dan membuat onar. “Pagi? Kamu tidak melihat jam? Sekarang sudah jam 9 dan kamu terlambat 1 jam dari waktu yang saya tolerir! Sekali lagi kamu terlambat, berarti kamu tidak bisa mengikuti UAS di mata kuliah saya.” Dhea meringis dalam hati. Tidak lulus mata kuliah ini, berarti ia harus mengulang di semester depan. Syukur-syukur bisa ganti dosen, bagaimana jika tidak? Alamat bertemu dosen killer lagi. “Jadi, sekarang saya boleh ikut kelas Bapak?” Pria itu mengangguk, “Sekarang kamu tutup pintu—“ Dengan gembira Dhea langsung melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan yang terbuka lebar. Mungkin mood si Bapaknya sedang bagus, jadi ia harus memanfaatkan sebaik mungkin. Karena sesuatu hal yang mustahil jika keterlambatannya di tolerir. “—tutup pintu dari luar!” Dhea mengerjapkan matanya, “Tapi Pak—“ “Keluar dari kelas saya! Atau minggu depan kamu tidak saya perbolehkan mengikuti kelas saya.” “Baik, Pak.” BRAAKK Lagi-lagi Dhea membanting pintu ruangan dengan keras. Kali ini Dhea tidak perduli jika membuat dosennya mengamuk. Siapa pun yang mengidolakan dosen itu pastilah matanya bermasalah. Dosennya itu memang salah satu dosen muda di kampusnya yang menjadi incaran para mahasiswa perempuan terlebih lagi dosen wanita yang masih single, bahkan yang sudah bersuami saja masih kegenitan. Oke, sebagai perempuan normal Dhea mengakui bahwa dosennya itu tampan, berwibawa, tegas, disiplin dan cerdas. Akan tetapi, Dhea tidak buta seperti wanita-wanita yang lain yang tidak bisa melihat betapa minusnya dosennya itu. Laki-laki tapi bermulut perempuan! Selalu nyinyir hidup orang lain, padahal belum tentu hidupnya sudah benar. Yeah, daripada ia menggerutu dan terus memaki dosennya itu lebih baik ia pergi ke kantin. Terlebih lagi, tadi pagi ia tidak sempat sarapan karena terburu-buru. Tentang dosennya itu biarlah menjadi urusan nanti. Nanti setelah ia kenyang, nanti setelah ia memiliki tenaga, dan nanti ia akan kembali mengumpatinya. Dhea langsung duduk di meja kantin dan mengedarkan pandangannya di sekitar kantin yang nampak sepi. Mungkin kebanyakan mahasiswa memiliki jadwal kuliah pagi, pikirnya. Mata Dhea langsung terpaku pada sosok laki-laki yang tengah tertawa bersama teman-temannya di kursi kantin paling pojok. Dhea menyeringai lalu mengeluarkan handphonenya dari dalam tas, membuka fitur kamera dan mengarahkan kamera tersebut ke arah laki-laki itu. Gotcha! Pembalasan akan segera dimulai, jemarinya hanya perlu menekan tanda send pada kontak yang dinamainya ‘Ibunda Ratu’ dan menunggu handphone laki-laki itu berdering dengan mengeluarkan suara amukan sang ‘Ibunda Ratu’. Akhirnya ia bisa makan dengan tenang ... Dhea langsung tertawa senang melihat raut wajah panik juga ketakutan yang terpatri pada wajah tampan laki-laki itu—yang tak lain adalah kakaknya sendiri, Regan Bayu Bramantha. Oh tidak! sepertinya Dhea harus segera kabur saat melihat kakaknya yang nampak celingukan. Pastilah laki-laki itu mengetahui siapa dalang dibalik amukan yang dia peroleh dari sang ‘Ibunda Ratu’. Kejadian ini sudah mereka ulang berkali-kali dari kecil hingga saat ini, kejadian yang sering mereka sebut keributan kecil dengan skala yang terkadang tidak bisa dibilang kecil. Perbedaan usia yang hanya terpaut 2 tahun membuat keduanya sering terlibat keributan kecil. Entah itu hanya adu mulut, saling menjahili, saling melaporkan kenakalan yang diperbuat salah satunya dan masih banyak lagi keributan yang membuat ‘Ibunda Ratu’—yakni Mama mereka harus turun tangan. Namun, seperti saudara pada umumnya merekapun bisa menjadi sangat akur, saling support, menyayangi satu sama lain dan Regan sebagai kakak akan selalu menjadi pelindung untuk adiknya. Jangan lupakan juga sifat over-protektif Regan yang sering membuat Dhea memutar bola mata malas. Dhea langsung melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa menghindari keberadaan kakaknya, sedangkan di sisi lain seorang laki-laki berjalan berlainan arah dengan membawa semangkuk bakso seraya memainkan handphone. Naasnya, sebelum Dhea menyadari keberadaan laki-laki itu tubuhnya sudah bertubrukan dengan semangkuk bakso yang mengepul panas. PRANG Dengan bodohnya laki-laki itu menjatuhkan mangkuk bakso di atas sepatu Dhea. Benar-benar double s**l! Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga yang meski diganti menjadi sudah tersiram kuah bakso tertimpa mangkuknya pula. “Maaf ... maaf ...” Laki-laki itu panik melihat Dhea yang sibuk membersihkan kemejanya seraya meringis pelan merasakan kulitnya yang panas seperti terbakar. “Iyah nggak papa, salah gue juga jalannya nggak liat-liat,” ucap Dhea dengan tersenyum tipis saat melihat wajah laki-laki di hadapannya yang terlihat panik. Laki-laki itu merasa tidak enak saat Dhea dengan mudahnya memaafkan kesalahannya. Dengan ragu ia mengulurkan sapu tangannya berniat membantu membersihkan kemeja Dhea yang kotor dengan kuah bakso miliknya. Baru saja tangannya mendarat di kemeja bagian depan Dhea, sebuah tangan dengan tidak kalah cepat memelintir dan membanting tubuh laki-laki itu. BRUKK “HEH! Jangan mentang-mentang gue baik, terus lo bisa modus dan pegang-pegang gue seenaknya!” bentak Dhea kesal. Ia tidak terima saat tangan laki-laki itu mendarat di tubuhnya bahkan hampir mendekati aset berharganya walaupun itu hanya satu detik. Bahkan Dhea tidak perduli saat ia dan laki-laki itu sudah menjadi pusat perhatian orang-orang yang di kantin. Kebanyakan orang-orang  yang dibuat penasaran akan sosok Dhea—si pembuat onar, sedangkan selebihnya hanya ber-oh ria sudah terlalu hafal juga terbiasa melihat Dhea yang membuat onar. Entah itu membuat keributan di kelas dengan dosen, berkelahi, balapan, dan segala tingkah laku yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki. Meskipun dicap sebagai pembuat onar, Dhea merupakan salah satu dari jajaran primadona kampus. “Gu—gue nggak sengaja.” “Nggak sengaja biji mata lo! Makanya tuh biji mata jangan lo taro depan HP doang!” ujar Dhea sarkas seraya menginjak kaki laki-laki itu hingga terdengar bunyi ‘KRAK’ membuat orang yang mendengarnya bergidik ngilu. Bukan main! Dhea memang paling s***s jika menyiksa orang. “AKHH ...” Dhea mengeluarkan smirknya saat melihat laki-laki itu berteriak kesakitan. Hingga suara Ed Sheeran-perfect mengalun lembut dari saku celana jeansnya. Dhea mendengus saat lagu favoritenya kini terdengar menyebalkan di telinganya. Benar-benar cari mati orang yang menggangu kesenangannya. Dengan kesal Dhea mengangkat panggilan telepon itu tanpa melihat id caller. “s****n! Berani-beraninya ganggu gue, mau mati lo?” “Dhea, dasar anak durhaka! Beraninya mengancam Mama?!” Dhea langsung menjauhkan handphonenya saat sebuah teriakan langsung menyapa indra pendengarannya, sepertinya ia harus memeriksakan telinganya ke dokter THT jika tidak ingin gangguan telinga terlebih lagi suara si penelpon yang sama toanya dengan milik sang Mama. Wait! Dhea langsung panik dan melihat id caller yang menampilkan tulisan ‘Bunda Ratu’. Mampus ... “Ehh? Mama. Dhe—“ “Nggak usah basa basi busuk! Pulang sekarang! Atau Mama jual semua motor kamu dan Mama sita semua fasilitas kamu?!” OH MY GOD! INI BENCANA ... “Tap—“ Dhea memberengut saat Mamanya lagi-lagi memutuskan sambungan telepon. Benar-benar kejam! Semacam diputusin pas lagi sayang-sayangnya. Dhea berpikir sejenak. Mengapa sang Ibunda Ratu bisa langsung menelponnya dalam kurun waktu 1 kali 24 menit, wajib lapor saja mesti 1 kali 24 jam. Gadis itu langsung mengedarkan pandangannya dan terpaku pada sosok kakaknya yang menunjukkan handphonenya ke arah Dhea disertai tatapan mengejek. Lalu sang kakak menggerakan mulutnya tanpa suara. “Sampai ketemu di rumah.” Sepintar-pintarnya Dhea untuk mengerjai kakaknya pasti kakaknya akan berpikir jauh lebih pintar agar ia juga mendapat imbasnya bahkan hukuman yang sama. Benar-benar kakak yang baik hati!   *** “DHEA!” “Dhea, dengerin ucapan mama!” Bentak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan awet muda diusianya yang sudah menginjak setengah abad. Wanita paruh baya itu terlihat memijat kepalanya dengan frustasi saat melihat seorang gadis yang duduk dihadapannya seolah tak menghiraukan bentakannya dan nampak asik memainkan handphone. Benar-benar anak jaman sekarang! Lebih mengutamakan benda persegi itu di atas segalanya, seolah tak bisa hidup tanpa benda itu. Dhea menatap mamanya sekilas dan kembali fokus pada layar handphone miliknya. “Dari tadi Dhea dengarin mama.” Lagi, wanita paruh baya itu memijat pelipisnya seraya menghela nafas kasar dengan emosi yang sudah berada diujung kepala. Ia sudah lelah menghadapi kenakalan dan tingkah semaunya putri bungsunya—Dhea Nathalia Bramantha—gadis berambut hitam kecokelatan dengan netra biru pucat nyaris abu-abu keturunan neneknya. Dibandingkan dengan kedua kakaknya yang notabene seorang laki-laki, justru Dhea sebagai seorang anak perempuan lebih sering membuat onar. “Yah mati ... s**l—“ Dhea langsung menutup mulutnya saat mamanya melotot galak. Dhea hanya bisa mendesah kecewa saat handphonenya sudah berpindah ke tangan mamanya, padahal ia sedang asik mabar bersama teman-temannya dan ia harus mati padahal sedang push rank. “Astagfirullah... Mama capek ngomong sama kamu!” “Yaudah, mama nggak usah ngomong. Liatin Dhea push rank aja.” Mama Dhea hanya bisa beristighfar dalam hati melihat kelakuan anaknya, lama-lama tobat punya anak macam Dhea. Apa mungkin saat proses membuat Dhea, ia dan suaminya lupa membaca do’a hingga anaknya lahir memiliki kelakuan sebelas dua belas dengan setan. Apa perlu ia membawa Dhea ke Ustadz untuk dirukyah, siapa tahu setannya pada keluar. “Mama harus ngomong bahasa apa sih biar kamu paham? Bahasa alien?” “Mama bisa bahasa alien? Ajarin Dhea dong, Ma” ujar Dhea raut wajah polos dan antusias membuat mamanya semakin sakit kepala. “Ppfttt ...” “Diam! Kamu juga sama aja, bolos kuliah terus.” Wanita paruh baya itu melotot galak pada sosok pemuda di samping Dhea yang sedari tadi menahan tawa. Sontak pemuda yang tak lain adalah Regan—kakak laki-laki Dhea itu terdiam dengan wajah menunduk takut, yang tentu saja mendapat senyum mengejek dari Dhea. “Dhea, mimpi apa mama punya anak seperti kamu! Kamu itu perempuan, tapi kelakuannya macam laki-laki. Balapan, berantem, terus apa lagi? Nggak ada anggun-anggunnya jadi perempuan!” “Mungkin mama mimpi ketemu fairy, makanya Dhea jadi cantik gini.” “Fairy kepalamu! Nggak ada peri yang hobi berantem sama balapan.” “Fairyman kali,” celetuk Regan. “Itu preman, Bang!” seru Dhea kesal, enak saja yang cantiknya seperti bidadari disamakan dengan preman. “STOP KALIAN BERDUA!” geram sang mama yang melihat kedua anaknya justru saling menatap dengan aura permusuhan. “Dhea, mama belum maafin kamu yah! Mama nggak suka kamu balapan liar di tengah malam, kamu ini perempuan. Gimana kalau kamu kenapa-napa? Dan tadi, mama langsung mendapat telepon dari Dekan kemahasiswaan kalau kamu kembali melukai temanmu hingga masuk rumah sakit” Dhea meringis dalam hati. Memang sangat merepotkan jika Mamanya kenal dengan jajaran Dekan di fakultasnya, terlebih Dekan di bidang kemahasiswaan yang merupakan suami dari teman arisan sang Mama. Semua tingkah lakunya di kampus dalam sekejap bisa diketahui Mamanya. Akan tetapi, jika tidak ada orang dalam pasti ia sudah di drop out dari awal semester mengingat bahwa perkelahian di kampus itu sudah masuk kategori pelanggaran berat. “Ma, laki-laki itu yang duluan kurang ajar. Berani pegang-pegang Dhea! Sebagai seorang korban, Dhea cuma membela diri.” “Korban? Membela diri? Tapi anehnya justru laki-laki itu yang sekarat di rumah sakit.” “Laki-laki itu masuk rumah sakit?” tanya Dhea yang mendapat anggukan pelan dari mamanya. Wanita paruh baya itu berharap bahwa Dhea bisa menyesali perbuatannya yang untuk ke sekian kalinya membuat temannya hampir sekarat dan masuk rumah sakit. Namun, Dhea tetaplah Dhea. Bukannya menyesal tapi justru raut wajah gadis itu terlihat senang. “Baguslah kalau masuk rumah sakit,” ujarnya dengan santai. “Lohh ada apa kumpul siang-siang begini? Pantas saja Dy mengucapkan salam tapi tidak ada yang menyahut” Wanita paruh baya itu langsung berbinar cerah menatap kedatangan seorang pria berwajah tampan lengkap dengan stelan jas kerja yang melekat di tubuh tegapnya, Dylan Arga Bramantha. Berbeda dengan kedua anaknya terutama anak bungsunya yang sering membuat Mamanya sakit kepala, maka si sulung Dylan bagaikan ubin masjid yang ademnya sampai ke hati. Dari kecil Dylan adalah sosok yang pendiam jarang membuat ulah dan menjadi sosok kakak tertua membuatnya sangat dewasa juga penyayang terutama kepada keluarganya. Benar-benar incaran para mertua yang mencari calon menantu potensial, tentunya didukung dengan wajah tampan juga jabatannya sebagai CEO dan pemegang alih perusahaan raksasa milik keluarganya di usia yang masih terbilang muda 26 tahun. “Dylan ... Mama cape ngadepin kelakuan adik-adik kamu dan blablabla” Baik Dhea maupun Regan keduanya sama-sama memutar bola mata, sudah hafal di luar kepala bagaimana sang Mama yang akan mengadu pada Kak Dylan dan berbicara panjang lebar. Tentunya mereka berdua akan tutup telinga tak ingin mendengar ucapan Mama yang terkadang membuat telinga panas, berbeda halnya dengan Kak Dylan yang akan meladeni Mama. Benar-benar sesabar itu sosok Kak Dylan. Dan entah apa yang dilakukan Kak Dylan hingga sang Mama langsung pergi dengan wajah secerah matahari dan seolah melupakan kemarahannya kepada Dhea juga Regan. “Kak Dy, love you so much. You’re my hero.” Cup Dhea langsung berlari ke arah Dylan dan memeluk laki-laki itu tak lupa disertai ciuman di pipi yang dibalas senyuman dan kecupan di pucuk kepala Dhea. “Huh! Jangan mau dipanggil hero, Kak. Basi! Kemarin-kemarin juga gitu ke gue” Dhea mendelik, “Iri? Bilang aja kali.” Regan langsung melotot sedangkan Dhea menjulurkan lidahnya dengan masih bergelayut manja di lengan kekar kak Dylan. “Sudah ... sudah, adik kakak nggak boleh berantem terus. Kalian harus akur!” tegur Dylan dengan lembut. “Nggak akan!” ujar Regan dan Dhea kompak seraya membuang muka. Dylan hanya menggelengkan kepalanya melihat kedua adiknya yang tidak pernah akur, entah itu bertengkar atau saling ejek. Tidak hari tanpa membuat keributan. Kalau kata papa mereka, dua anak saja ramainya sudah seperti memiliki anak sepuluh. Tapi, lebih menyeramkan jika Dhea dan Regan adem ayem karena semua orang yang berada di rumah tahu bahwa keributan di antara keduanya merupakan salah satu bukti bahwa mereka saling menyayangi dan perduli satu sama lain. Bukankah saudara memang begitu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD