Sara - Lucky Girl

1454 Words
Hidup sebatang kara sejak kedua orangtuanya meninggal saat umurnya baru sepuluh tahun membuat Sara terbiasa melakukan apa-apa sendirian terutama dalam mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebenarnya dulu saat orangtuanya meninggal dalam kecelakaan maut, orangtua Sara meninggalkan harta warisan yang cukup untuk Sara sampai dewasa. Hanya saja, ketamakan dan sikap rakus keluarga ayahnya membuat Sara terpaksa harus kehilangan semua warisan miliknya. Sara pun ditinggalkan di panti asuhan bernama 'Kasih Ibu' sejak saat itu hingga usianya menginjak 20 tahun. Setelah dianggap mampu dan dewasa, Sara dipaksa meninggalkan panti asuhan agar bisa hidup mandiri. Sara tidak melawan atau mencoba membela diri, baginya panti asuhan tersebut hanyalah rumah sementara tempatnya berteduh. Sejak itu Sara bertekad akan membangun rumah baru untuknya agar bisa berteduh dari hujan dan panas. Ini kisah Sara Jean Parker, karena kesalahannya membuatnya terpaksa hidup di penjara selama bertahun-tahun. Sara pikir setelah lima tahun berlalu ia bisa hidup normal lagi meski statusnya sebagai mantan narapidana akan selalu mengikutinya tapi nyatanya baru selangkah ia keluar dari penjara pemerintah, ia masuk lagi ke penjara yang diciptakan seseorang yang menyimpan amarah padanya. Kisah ini dimulai lima tahun yang lalu. **** Lima tahun yang lalu. Aku merogoh sakuku beberapa kali, hanya ada dua lembar uang lima puluh ribu rupiah sisa dari gaji yang baru saja aku terima hari ini. Ya, gaji yang habis dipotong atasan karena sikap lalaiku membuat perusahaan tempatku rugi besar. Andai hari itu aku teliti saat menerima konsumen yang ternyata penipu mungkin gajiku tidak akan habis untuk membayar kerugian besar itu. "Sara," aku menoleh ke arah suara yang memanggilku barusan. Dewi Arestya, teman kerjaku yang juga teman satu kos yang datang dari arah ruang kasir. Wajahnya berseri, pertanda ia tidak sesial diriku saat menerima amplop gaji bulan ini. Raut wajahku jutek, pengen marah tapi ini memang kesalahanku. Murni kebodohan yang aku sebabkan sendiri. "Pak Okta potong gaji lo lagi?" Tanya Dewi. Okta Gunawan, pemilik perusahaan yang tidak segan-segan memotong gaji karyawannya yang lalai dalam bekerja. "Ya gimana lagi, kali ini memang gue yang salah. Tidak dipecat saja sudah syukur," balasku lesu. 15 juta rupiah jumlah kerugian yang diderita perusahaan karena ulah penipu itu. Setiap ingat wajahnya, darahku rasanya mendidih sampai ke ujung kepala. Andai kejadisn itu tidak terjadi mungkin aku bisa nabung untuk membeli rumah impianku. Rasanya aku sudah malu selalu menumpang di kos Dewi walau selama ini aku ikut membantunya membayar iuran bulanan tapi sejak Pak Okta memotong gajiku hingga hanya tersisa seratus ribu membuatku terpaksa menumpang gratis di kos Dewi. "Sabar ya, Sara." Dewi memukul pelan bahuku. "Sepertinya gue harus cari pekerjaan sampingan, Wi. Mengharapkan gaji bulanan untuk.membayar uang kerugian itu hanya akan membuat gue semakin menyusahkan elo." Dewi memegang bahuku pelan. "Santuy, gue paham kok kondisi lo," balas Dewi dengan ramah. Aku menggeleng pelan. "Gue harus cari pekerjaan sampingan, gue nggak mau nyusahin lo terus." sepertinya aku sudah bertekad untuk melakukan pekerjaan sampingan. Dewi pun mengangguk pelan dan kami meninggalkan parkiran dengan motor Dewi. Satu hal yang jadi pertanyaan ... Di mana kerja sampingan yang menghasilkan uang dalam kondisi ekonomi seperti ini? Semoga aku bisa menemukannya dalam waktu dekat ini. **** Ternyata mencari pekerjaan sampingan sama sulitnya dengan mencari pekerjaan biasa. Semua usaha sekarang dalam kondisi menurun dan banyak pelaku usaha tidak menggunakan karyawan shift malam demi menghemat pengeluaran. "Belum ada?" Tanya Mario saat aku sedang membuka website berisi pengumuman  lowongan pekerjaan di sebuah situs ternama. Aku menggeleng pelan lalu menatap Mario sendu. "Susah, bro." Mario yang tadinya dalam posisi berdiri lalu duduk di depanku, ia melirik ke kiri dan ke kanan seperti tidak ingin ada yang mendengar pembicaran kami. "Lo mau pekerjaan sampingan tapi menghasilkan uang?" Tanya Mario pelan. Aku langsung mengangguk pelan. Mario semakin mendekatkan wajahnya ke arahku lalu berbisik pelan. "Mau jadi hostes?" Aku melebarkan bola mata mendengar ucapannya barusan. "Gila lo! Gue memang butuh uang tapi gue nggak akan jual diri dengan jadi p*****r," ucapku dengan nada lumayan tinggi. Mario langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Stttssss, ya ampun! Bukan itu maksud gue, gini ... Hostes itu perempuan yang menemani pelanggan VVIP sebuah cafe, mereka bernyanyi ... Memandu lagu ... Menyiapkan minuman ... Menemani mereka selama mungkin di malam hari tapi aturannya tidak boleh ada kontak fisik bahkan hubungan seksual," lanjutnya. Amarahku perlahan hilang mendengar penjelasan Mario. "Bayarannya tinggi ... Belum tips yang diberi pelanggan kalau mereka suka dengan layanan lo. Gue bisa beli ponsel mahal karena itu loh," ujarnya dengan bangga sambil memperlihatkan ponsel terbaru yang aku yakin tidak akan bisa dibelinya dengan gaji di perusahaan ini. "Serius nggak ada kontak fisik dan hubungan seksual?" Tanyaku penasaran. Mario mengangguk dengan cepat. "Nggak akan nyesel lo, gue jamin hidup susah lo bakalan hilang dan berganti dengan hidup mewah, apalagi lo cantik dan punya raut wajah indo hmmmm gue jamin pelanggan VVIP pasti akan rebutan menjadikan lo hostes utama," bujuk Mario lagi. Bujukan Mario sedikit membuatku tertarik mencoba menjadi hostes seperti yang dijabarkannya. Apa salahnya bekerja menemani pelanggan VVIP asal tidak ada kontak fisik dan hubungan seksual "Gue pikirkan dulu malam ini, besok gue kasih jawabannya." Mario menggeleng dengan cepat. "Kelamaan! Harus malam ini, soalnya nanti malam ada pelanggan VVIP tetap akan datang, dia sukanya hostes baru dan lo tau? Siapapun yang dipilihnya akan menjadi hostes nomor satu," balas Mario. Aku masih ragu menerima ajakan Mario tapi tawaran itu sangat menggiurkan, aku butuh uang untuk membayar hutang dan biaya kos serta biaya hidup lainnya. Walau Dewi tidak pernah membahas masalah uang tapi aku yakin dia juga butuh untuk keluarganya. "Oke, malam ini gue ikut." **** Untuk sementara aku menyembunyikan pekerjaan sampingan yang ditawarkan Mario dari Dewi, aku tidak mau Dewi menganggapku menjual diri dengan menjadi hostes. "Mau ke mana, rapi amat." Dewi meletakkan sepiring buah potong di atas meja rias tempatku memoles diri. "Malam ini gue mulai kerja sampingan," balasku. Wajah Dewi langsung berbinar. "Oh ya? Di mana?" "Cafe, gue jadi pelayan shift malam. Mungkin pulangnya agak malaman atau mungkin juga gue nggak pulang, langsung ke perusahaan saja," balasku. Dewi mengangguk tanda mengerti dan ia tidak banyak bertanya lagi. Syukurlah. Selesai merias diri aku pun pergi ke tempat yang ditunjukkan Mario. Butuh waktu satu jam sampai di pelataran parkir cafe 'Lucky Girl' tempat aku buat janji dengan Mario, semoga aku benar-benar punya lucky setelah bekerja di cafe ini. Tidak lama Mario datang dengan penampilan berbeda dibandingkan saat kami kerja di perusahaan, penampilannya glamour selayaknya orang yang memiliki uang banyak. "Siap?" Tanya Mario. "Lo jadi hostes juga?" Tanyaku. "Mucikari," balasnya singkat. Wajahku langsung menegang. "Hahahaha, serius amat wajah lo ... Ya nggaklah, gue hostes tapi khusus untuk tante-tante kesepian," balasnya. Aku membuat huruf O dengan mulutku, setelah itu kami melangkah menuju cafe dan melewati lorong kecil yang ada di belakang cafe. Kami berhenti tepat di depan pintu bertuliskan 'Madam Seroja' "Lo masuk dan ikuti arahan madam, gue ada klien dulu." Aku mengangguk dan mengetuk pintu itu setelah Mario pergi. Pintu dibuka dan seorang wanita dengan penampilan menor membuka pintu. "Sara?" Tanyanya langsung sebelum aku memperkenalkan diri. Sepertinya Mario sudah memberitahunya kalau aku adalah hostes baru. "Iya," balasku. Madam Seroja langsung menarikku masuk ke dalam ruangan itu dan mengunci pintu dengan wajah tegasnya. Aura wajahnya membuat bulu kudukku berdiri. "Sudah tau tugas kamu apa?" Tanya Madam Seroja. Aku mengangguk. "Bagus, jadi saya tidak akan membuang waktu menjelaskan tugas kamu apa saja malam ini. Sekarang kamu ganti baju lusuh itu dan bersiaplah menunggu kedatangan tamu VVIP penting kita malam ini, ingat jangan buat saya malu di depan pelanggan itu," balasnya. Aku mengangguk lagi. Seorang wanita membawaku ke ruang sebelah dan ternyata di dalam ruangan itu penuh dengan baju-baju serta peralatan makeup lainnya. Wanita itu langsung menarikku ke arah tumpukan gaun yang digantung lalu mencari gaun yang pas. "Hmmmm tuan El nggak suka gaun pink," wanita itu bergumam sendiri sedangkan aku diam di tempat menunggu pilihannya. "Nah ini dia." Aku melihat sebuah gaun berwarna tosca dengan belahan cukup rendah. "Saya pakai itu?" Tanyaku. Wanita itu mengangguk dan mendorong tubuhku ke ruang ganti. "Buruan!" Perintahnya. Aku bergegas mengganti gaun itu dan ternyata pas sekali di tubuhku walau belahannya cukup rendah hingga menampakkan belahan payudaraku. "Sudah?" Wanita itu membuka tirai penutup. Aku keluar dan matanya melihatku dari atas sampai bawah. "Perfect!" Setelah itu ia mulai memoles sedikit makeup di wajahku. Merapikan rambutku agar lebih rapi dengan sengaja menggeraikan rambutku yang biasa dikuncir kuda. "Madam, sudah selesai!" Teriak wanita itu. Madam Seroja muncul dari ruang sebelah dan matanya menilaiku dari atas sampai bawah. "Bagus, lumayan juga." Madam memberi kode dan tidak lama pintu terbuka, dua pria berbadan tegap muncul lalu berjalan ke arahku. "Ayo ikut nona ..." "Sara." "No, jangan pakai nama asli di sini ... mulai sekarang nama kamu Caroline." Caroline? "Baik, madam." Aku mengikuti dua pria itu dan menuju lantai dua cafe, aku melihat beberapa wanita sedang duduk dan penampilan mereka hampir mirip dengan penampilanku. "Mereka hostes juga?" Tanyaku. Dua pria itu memilih diam dan baru berhenti di depan sebuah ruang VVIP. "Silakan masuk nona Caroline," pintu terbuka dan aku masuk ke ruangan itu. Ada sofa berbentuk L. Meja yang di atasnya banyak tersaji minuman ringan maupun keras. Televisi yang sedang memutar lagu. Mataku tertuju ke sebuah tempat di sudut ruangan ini. Setelah yakin dua pria itu tidak melihatku, aku menuju tempat itu dan menghidupkan lampunya. Mataku langsung membesar saat melihat ada sebuah ranjang bersih di atasnya tersusun rapi kimono handuk. Di nakas samping ranjang ada sebuah benda bertuliskan sebuah merek k****m ternama. "Apa-apaan ini!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD