BAB 1

2973 Words
Fifteen Years Later Isabelle Thompson POV Los Angeles, California “Belle! Sarapannya sudah siap!” Aku hanya mengerang mendengar ibu angkatku, Diana. Berteriak dari bawah. Aku mengecek semua barang bawaanku. Jas lab, cek. Kacamata, cek. Ponsel, cek. Dompet, cek. Aku rasa sudah semua. Untuk terakhir kalinya aku menatap diriku di cermin. Sudah lima belas tahun berlalu. Awalnya aku tidak mau meninggalkan panti asuhan, tapi Diana dan Robert adalah orang tua angkat yang baik juga perhatian. Mereka tidak suka melihatku bersedih. Jadi mereka melakukan segala cara agar aku bisa tersenyum. Mereka sudah membiayaiku pendidikan, baju, semuanya. jadi aku berterima kasih dengan bersyukur karena mereka sudah merawatku layaknya anak mereka sendiri. Diana dan Robert sudah kehilangan anak mereka di usia yang sangat muda. Mungkin umurnya sekitar dua belas tahun. Anak mereka meninggal karena penyakit. Saat itu Diana sangat sedih. Lalu mereka berdua memutuskan untuk mengadopsi anak karena umur mereka sudah tidak muda lagi saat kejadian itu terjadi. Lalu jadilah aku. Diangkat sebagai anak mereka. Aku penasaran bagaimana keadaan Xavier sekarang. Aku sama sekali tidak pernah melupakannya. Dia adalah sahabatku, cinta pertamaku. Sayang sekali dia hanya menganggapku sebagai sahabat dan adik. Aku pernah mencoba mencari Xavier, namun seperti menghilang ditelan bumi baik jejak maupun keberadaannya sama-sama tidak ada. Beda halnya dengan Luna. Dia diangkat menjadi anak dari pasangan keluarga Landon. Bisa dibilang keluarga itu cukup kaya. Keluarga angkatku memiliki rumah sakit sedangkan keluarga angkat Luna memiliki hotel dan resort di berbagai tempat. Walaupun begitu, Luna ingin sekali menjadi dokter dan sekarang dia bekerja di rumah sakit keluargaku. Jadi aku selalu bertemu dengannya. Awalnya kami berdua bertemu saat kuliah. Aku dan Luna sama-sama masuk jurusan kedokteran. Saat aku dan Luna bertemu untuk pertama kalinya, aku tidak bisa membendung rasa rinduku. Kami tidak peduli dengan orang-orang karena di detik itu juga kami berpelukan dan menangis bersama. Setelah itu hanyalah cerita. Kami selalu bersama. Belanja bersama. Ke club bersama. Semuanya bersama. Hanya satu yang kurang, Xavier. Aku menghela napas keras kemudian melirik arloji Gucci yang melingkar manis di tangan kiriku. Astaga! Aku sudah telat! Dengan langkah cepat aku menuruni tangga dan berlari menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, aku melihat Diana dan Robert sedang sarapan sambil sesekali berbicara juga Luna! Senyumku langsung mengembang melihat sahabatku berada disini. “Good morning. Sorry I’m late,” gumamku dengan cengiran lebar. Diana hanya menggeleng pelan lalu tersenyum sedangkan Robert mencium pipiku dan menyuruhku duduk. Luna hanya memutar bola matanya dan menatapku menuduh. Ada apa lagi dengan wanita itu? “Bukan Isabelle namanya kalau tidak telat,” ujar Luna mengejek. “Hei bukan salahku kalau aku tidak mendengar alarm tadi!” elakku sambil meraih sepotong roti dari piring yang disediakan oleh Diana. “Lalu salah siapa?” Tanya Luna seolah itu adalah hal yang penting. “Sudah…sudah…” potong Diana. “Habiskan makanan kalian.” Aku hanya menjulurkan lidah ke arah Luna lalu mulai menyantap roti dan selai cokelat dengan lahap. Suasana sarapan diisi dengan keheningan. Tidak ada yang berbicara sedikitpun. Sesekali aku melirik ke arah Luna dan melihat sahabatku itu sedang sibuk meminum kopi yang dibuatkan oleh Diana. Aku menghela pelan dan seketika keheningan terputus ketika Diana meletakkan alat makannya dan bertanya kepadaku, “Jadi Isabelle, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa semuanya lancar? Aku dengar dari ayahmu kalau kau mendapat reputasi baik di rumah sakit, walauoun kau belum lama bekerja disana.” Aku tersenyum lebar dan mengangukkan kepala. Robert terkekeh pelan dan meletakkan cangkir the yang digenggamnya. “tentu saja, aku adalah ayahnya jadi sudah pasti dia akan menurun dariku.” Diana memutar bola matanya, namun tidak mengindahkan komentar suaminya itu. “Aku sungguh bangga padamu Isabelle, aku bersyukur kau hadir didalam hidup kami.” Tiba-tiba Luna menyela, “bagaimana denganku bibi?” Diana tersenyum kecil. “terima kasih juga padamu Luna, karena sudah menemani Isabelle.” Aku tertawa dan meraih tangan Diana yang selama ini merawatku dengan penuh kasih sayang. “Aku juga sangat beruntun memiliki orang tua sepertimu mom,” bisikku haru. Robart berdehem pelan dan melirik arlojinya. “Bukankah seharusnya kalian berangkat sekarang? Sebaiknya kalian pergi atau nanti terlambat.” Aku juga langsung mengecek arloji, dan benar saja kalau waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku segera menyelesaikan sarapanku dan langsung bangkit dari kursi. Aku meraih semua perlengkapanku dan berjalan mencium Diana dan Robert dan memberi tanda pada Luna agar kita dapat segera berangkat. Sesaat sebelum kami menutup pintu, samar-samar aku mendengar Diana berkata, “hati-hati kalian dijalan dan Isabelle, jangan pulang larut!” “Oke mom!” itu yang aku ucapkan terakhir kali sebelum pintu tertutup dan aku berjalan ke arah mobil Luna yang terparkir di pelataran rumah. *** “Kau tahu tidak Belle, hari ini kita kedatangan tamu VIP,” ujar Luna saat kami sudah tiba di gedung rumah sakit. Thompson Medical Hospital. Rumah sakit yang bertempat di jantung kota Los Angeles dan merupakan salah satu rumah sakit dengan fasilitas terlengkap. Tantu saja reputasi ini dibangun oleh Robert dengan susah payah. Selaku pemilik dan direktur utama rumah sakit. “Tamu VIP? Memangnya kau pikir ini apa? Hotel? Ini rumah sakit Luna,” ujarku dengan sarkatis. Aku mengeluarkan ID Card dari dalam tas jinjing dan meletakkannya di scanner. Setelah terdeteksi, aku masuk ke dalam ruang kerjaku selama satu tahun. “Baiklah … baiklah … jadi kau mau aku mengatakan apa?” Luna bertanya padaku. “lagipula itu memag benar adanya…” tambahnya dengan gumaman pelan. Dia duduk di kursi yang ada di depanku. Mata birunya menatapku dengan penuh tanya. “Entahlah, asalkan jangan VIP. Itu terdengar begitu…aneh,” jawabku sambil merogoh isi tas mencari ponsel yang aku sendiri tidak tahu ada di sebelah mana. Heran, aku selalu membawa tas yang kebanyakan isinya adalah sampah. Aku membuang napas frustasi ketika apa yang aku cari tidak ditemukan. “Maaf saja, aku terlalu sering mendengar istilah itu dari dad—Hei apa yang sedang kamu cari Belle?” “Ponselku,” gumamku sambil terus merogoh tas. “Astaga, apa kau tidak bisa meletakkan ponselmu di tempat lain selain tempat sampah yang kau bilang tas itu?” tanya Luna sambil menatap tasku dengan pandangan aneh. “Hei! ini tas Dior kesayanganku. Jangan samakan tasku dengan tempat sampah!” protesku pada Luna. “Bukannya kau sendiri yang bilang? Lagipula aku berani bertaruh isi tasmu itu banyak barang yang tidak penting.” “Apa kau seyakin itu?” tanyaku penasaran sambil menatap Luna penuh selidik. “Tentu sa—“ perkataan Luna terhenti ketika pintu ruang kerjaku diketuk. Beberapa saat kemudian Robert masuk didampingi oleh asistennya, John. “Ada apa dad?” tanyaku pada Robert. Robert tersenyum padaku. “Aku ingin kamu menyambut Mr. Knight saat dia datang nanti.” “Mr. Knight?” tanyaku bingung. “Maksudmu Mr. Knight dari keluarga Knight? Salah satu keluarga terkaya di dunia?” tanyaku sekali lagi mencoba mengkofirmasi apakah aku salah dengar atau tidak.. “Uhh Belle, kau tidak perlu tanya soal itu,” timpal Luna. “Keluarga berpengaruh yang memiliki nama Knight hanya satu, tidak ada lagi selain itu.” Aku hanya mendelik ke arah Luna. Sedangkan Robert tertawa. “Iya benar sekali. Mr. Knight ingin menginvestasikan dananya di rumah sakit kita, dan hari ini dia akan kesini untuk penanda tanganan kontrak. Ibunya juga salah satu pasien tetap disini. jadi aku mau kamu menyambutnya dan mengantarnya ke ruang meeting.” Aku mengerutkan kening. Salah satu pasien tetap rumah sakit ini adalah keluarga Knight? Kenapa aku baru tahu akan informasi itu? “Kalau kamu setuju aku akan mengijinkanmu pergi ke pantai selama seminggu. Itu yang kamu mau bukan?” WHAT THE HELL! “Tentu!” jawabku tanpa pikir panjang. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran itu? lagipula itu bukanlah hal yang rumit, jadi aku tidak akan komplain dengan permintann ayah angkatku. Robert dan asistennya John hanya tertawa. Aku berlari ke pelukan ayah angkatku. “Thank you so much dad!” “Yes darling.” Setelah Robert pergi aku menoleh ke arah Luna. Dia tahu aku merencanakan sesuatu karena dia menyipitkan matanya. Aku hanya menyeringai lebar dan berkata. “Kau temani aku.” Awalnya Luna tidak mengerti dengan ucapanku. Dia menatapku dengan tatapan bingun, namun sesaat kemudian matanya melebar. Mulutnya menutup dan terbuka seperti seekor ikan, kemudian dia langsumg mendelik tajam dan menujuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya. “Aku?” “ya, apa kau tidak mengerti apa yang baru saja aku ucapkan?” “tapi…” Aku langsumg melambaikan tang di udara dan mulai menyibukkan diri dengan mmebaca laporan mengenai pasien yang akan aku tangani hari ini. “kau harus temani aku, kita harus elalu bersama di kala susah dan senang bukan?” Luna mendengus mendengar kalimatku. “Susah? Bilang saja kau tidak mau tersiksa sendirian,” gerutunya pelan yang sontak membuatku tertawa. *** Setelah itu, kami berdua manjalani kesibukan masing-masing sebagai seorang dokter. Pagi itu tidak ada kejadian yang istimewa. Paling hanya ketika kakiku tersandung benda gaib dan aku terjatuh tepat di lobby. Untung saja hanya ada suster dan beberapa pasien yang ada disana, tapi tetap saja mukaku merah padam dan menunduk malu. Sikap cerobohku sama sekali tidak menguntungkan di waktu yang tepat. Terkadang aku kesal dengan diriku sendiri. Luna sampai menjulukiku dengan ‘manusia unik’ hanya untuk membuatku kesal. Tetap saja sekesal apapun aku kepada Luna, dia tetaplah sahabatku. Suara ketukan membuatku berhenti dari aktivitasku menulis laporan salah satu pasien. Saat aku menyuruh siapapun diluar untuk masuk, seorang suster muncul dan memberitahuku kalau Mr. Knight akan tiba. Dengan anggukan sekali aku berdiri dan berjalan ke lobby. Langkahku penuh dengan percaya diri. Aku adalah anak dari pemilik rumah sakit ini, jadi aku harus menunjukkan sikap professional kepada siapapun tamu yang datang ke rumah sakit ini. Luna selalu mengatakan kalau aku adalah wanita yang cantik. Bahkan lebih cantik dari model di majalah. Dengan rambut cokelat yang bergelombang dan mata cokelat hazel, Luna bilang kalau banyak pria yang mengincarku. Aku selalu menepis komentarnya. Karena menurutku Luna yang lebih pantas dibilang seperti itu. dia memiliki rambut lurus pirang dengan mata berwarna biru laut. dengan tubuh yang langsing juga tinggi. Dia lebih pantas dibilang cantik. Aku menghela napas saat melihat Luna sudah berdiri di lobby bersama staff lain. dia sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Aku yakin dia sedang sibuk mengirim pesan dengan kekasihnya, Vincent. Kadang aku bingung apa yang bagus dari Vincent. Dia terlihat biasa saja dan sudah terlihat jelas Vincent mau bersama Luna karena sahabatku itu cantik dan kaya. “Hei Luna!” panggilku yang membuatnya berteriak kaget dan hampir menjatuhkan ponselnya. “Astaga Belle! Jangan membuatku terkejut seperti itu! Untung saja ponselku tidak hancur,” ujarnya mendramatisir. Aku hanya memutar bola mata dan memutuskan untuk mengabaikan komentarnya. “Apa kau sudah tahu siapa yang kesini?” “Mr. Knight bukan?” “Bukan the old Knight Belle! Tapi pewaris keluarga Knight. Xavier James Knight. Dia masih muda. Baru berumur 27 tahun dan sudah mampu menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO di Knight House Enterprises. Hebat bukan?” Xavier. Pikiranku langsung kembali ke masa lalu. Aku menggeleng pelan. “Lalu? Apa hubungannya dengan kita berdua?” “Astaga aku hanya memberikan penjelasan. Kalau kau melihatnya aku tidak mau kau terkejut,” jawab Luna santai. “Luna, apa kau tidak penasaran. Jangan-jangan Xavier Knight adalah Xavier di masa lalu kita,” gumamku dengan penuh harap. “Oh ayolah Belle! Kau selalu berkata seperti itu setiap kali mendengar nama ‘Xavier’. Jika benar iya, pasti dia sudah mendatangi kita. Buktinya sampai sekarang dia tidak pernah menemui kita. Ingat nama Xavier bukanlah nama yang langka Belle. Banyak penduduk Amerika memiliki nama Xavier. Jadi berhentilah berharap.” Aku hanya diam tidak menanggapi apa yang dikatakan Luna. Perkataan sahabatku ini memang benar, yang mempunyai nama Xavier bukan hanya dia, tapi masih banyak lagi. Dengan perasaan yang sedih aku menatap pelataran dengan pandangan kosong. Beberapa menit kemudian sebuah mobil mewah diikuti oleh dua buah mobil SUV yang yang tak kalah mewah, memasuki area rumah sakit dan berhenti tepat di depan pintu utama. Semua staff menunduk hormat sedangkan aku dan Luna tetap berdiri tegak. Aku memasang wajah datar begitupun Luna. “Kau berhutang liburan padaku Belle!” desis Luna saat beberapa orang keluar dari mobil SUV. Salah satunya berjalan menghampiri pintu belakang mobil mewah tersebut. aku tidak tahu merek mobil itu, tapi yang pasti sangat mahal karena begitu elegan. “Tenang saja, kalau kau bilang dia masih muda, pasti dia tampan. Setidaknya ada pemandangan gratis Luna. Jadi jangan protes!” bisikku di telinganya. Luna hanya memutar bola mata dan memukul lenganku pelan. aku hanya meringis dan memelototinya sebal. aktivitas kami langsung terhenti ketika seorang pria mengenakan setelan jas lengkap keluar dari mobil. Rambut hitamnya di tata rapih dan matanya tertutup kacamata RayBan. Dia berjalan ke arah kami dan berhenti tepat di depanku. Luna, yang mengaku sebagai sahabatku itu sudah melangkah mundur dan berdiri di belakangku sebelum pria ini tepat berdiri di depanku. Dia bilang kalau dia merasa terintimidasi oleh pria ini. aku hanya mendengus mendengar alasannya. “Selamat siang sir, nama saya Isabelle Thompson selaku staff bagian Humas di rumah sakit ini. Senang sekali anda mau datang kesini di jam anda yang sibuk Mr …” “Xavier. Xavier Knight,” ujar pria itu dengan aksen yang kentara sekali. Aku berani bertaruh semua staff wanita di belakangku termasuk Luna saat mendengarnya berbicara langsung meleleh. Kalau saja bukan karena sifat profesionalku, mungkin aku juga akan sama seperti mereka. Saat tanganku menyentuh tangan Mr. Knight untuk berjabat tangan. Aku merasa seperti déjà vu. Entah apa itu aku pun tidak tahu. Saat kulitku menyentuh kulitnya, aku merasakan seperti ada setruman yang menjalar langsung ke hatiku. aku langsung melepaskan tangannya yang menggenggamku dengan erat. “My father, Robert Thompson already waiting for you. Come this way sir,” gumamku sambil menunjukkan jalan. Tidak lupa menarik lengan Luna agar mengikutiku. Aku tahu dia berniat untuk kabur dan membuatku sengsara sendirian. Aku dan Luna berjalan di depan Mr.Knight dan anak buahnya beberapa meter. “kenapa kau malah berdiri di belakangku Luna! Apa kau lupa best friend stick together? seharusnya kau berdiri di sampingku Luna!” desisku pelan. Luna hanya mengedikkan bahunya dan menjawab. “Bukankah tadi aku sudah bilang kalau pria itu mengintimidasiku. Aku tidak suka pria terlalu mendominasi. Lagipula aku hanya menemanimu bukan membantumu. Jadi aku hanya akan menjadi supportmu saja.” “Astaga Luna! Hanya sebentar saja. Lagipula kau langsung fan girling bersama staff yang lain saat mendengar pria itu berbicara bukan?” “Sudahlah jangan dibahas! Sebentar lagi sampai di lift, kau mau dia tahu kita sedang membicarakannya?” desis Luna mengingatkanku. “awas saja! Aku tidak mau mentraktirmu nonton lagi” “WHAT?!” teriak Luna tiba-tiba. “Tapi itu tidak ada di perjanjian kita tadi Belle! Belle!” aku meninggalkan Luna yang berdiri memanggil namaku. Mr. Knight dan anak buahnya tidak berkomentar apapun dan tetap terus mengikutiku. Mereka sepertinya tidak mempedulikan sikap Luna yang terlihat tidak professional, karena mereka hanya diam dan sama sekali tidak bicara. “Kita sudah sampai, semuanya sudah menunggu anda di dalam,” gumamku sambil membuka pintu dan mempersilahkan Mr. Knight masuk. Aku sama sekali belum melihat matanya karena kacamata RayBan yang dikenakannya belum juga dia lepas. Aku jadi penasaran dengan warna matanya. Apakah sama seperti dia? Warna abu-abu? Atau berbeda? Aku menghela napas dan menutup pintu ruang meeting pelan. tugasku sudah selesai. Sekarang waktunya makan siang. Saat aku kembali ke ruang kerja, aku melihat Luna sedang duduk di atas mejaku sambil bersedekap dengan muka cemberut. Astaga ada apa lagi dengan teman kekanak-kanakanku yang satu ini? “Belle! Kau tega! Kau sudah janji akan mentraktirku nonton selama kita liburan nanti!” “Well, aku menarik kata-kataku lagi.” “Kau keterlaluan!” “Lupakan, ayolah kita ke kantin. Aku sudah lapar.” “Kenapa tidak ke restoran yang ada di seberang jalan?” “Sudah tidak ada waktu! Ayo buru aku lapar!” Aku menarik lengan Luna dan menyeretnya ke kantin. *** Aku dan Luna sedang sibuk berbicara di meja resepsionis bersama dua orang suster penjaga dan Daniel, seorang asisten dokter bedah. Ketika rombongan orang-orang mengenakan jas formal keluar dari lift. Termasuk Robert. “Hei kalian tahu tidak. Mr. Xavier Knight itu pria yang sangat tampan! Sayangnya dia bukan tipe pria yang suka berkomitmen. Kalau saja iya aku mau menjadi kekasihnya,” ujar Jane, salah satu suster penjaga. Dia mengipas wajahnya dengan penuh semangat. Matanya menerawang seolah membayangkan sesuatu. Suster yang lain menatapnya geli dan hanya menggeleng pelan. “Maksudmu?” tanyaku bingung. “Astaga, kau polos atau bodoh sih Belle? Maksud Jane itu no strings attached. Seperti semacam one night stand, friend with benefit, s*x buddies atau apapun itu asalkan tidak ada status.” “Kalau itu aku juga tahu,” jawabku sewot. “Lihat! astaga tampan sekali! Aku mau jadi istrinya dan punya anaknya,” gumam Vivi, suster lainnya. Dia menatap sesuatu---bukan melainkan seseorang di balik punggungku dengan penuh minat. Aku mengerutkan kening lalu menoleh ke belakang. Namun seketika aku tertegun. Benar saja, pria itu sangat tampan. Bahkan lebih dari pria yang pernah aku temui di gala---yang sebagian besar semuanya tampan. Pria itu bukan manusia. Pasti dia adalah turunan dari Dewa Yunani. Aku baru sadar kalau pria yang aku tatap adalah Mr. Knight. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Mungkin karena sekarang dia melepaskan kacamata yang tadi digunakannya. Seolah merasakan dia sedang diawasi matanya menatap seluruh isi ruangan dan berhenti tepat padaku. Lalu napasku tercekat. Mata itu! mata abu-abu! Mata abu-abu milik Xavier. Mata unik Xavier teman masa kecilku dan Luna. Dia juga menatapku dengan intens. seolah menunggu reaksiku. “Lu-Luna…” panggilku. “Apa Belle?” “Kau lihat mata itu? itu mata Xavier! Xavier teman kita!” pekikku kaget. “Apa maksu—Oh s**t! It’s him!“ bisik Luna dengan mulut yang terbuka lebar. “Tapi kenapa dia tidak menemui atau menghampiri kita?” Tanya Luna. Xavier masih menatapku dengan intens. matanya tidak beralih sedikitpun walaupun orang di sekelilingnya sedang mengajaknya bicara. “Entahlah. dan dia tidak berhenti menatapku. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus kita lakukan?” “Entahlah,” ujar Luna juga tidak kalah bingungnya denganku. Aku merasakan ponselku bergetar dan aku langung menunduk. Aku menatap layar ponsel yang ada ditanganku dengan malas. 1 massage. Aku menyentuh pesan tersebut dan nama Juliet muncul dilayar. Hi Girls! It’s been a long time. U want to hang out tonight? The whole gang are going there. Say yes to this. Pleaseeee *puppy dog eyes*  Juliet- Aku mendengus dan menoleh ke arah Luna yang masih menatap ke arah Xavier. Aku berusaha tidak menghiraukannya dan mengguncang tubuh Luna. “Apa?” tanyanya. “Apa kau mendapat pesan dari Juliet?” “Iya tentu. Kau ikutkan?” “Aku tidak bisa menolak bukan?” “Tentu saja! Kau harus lihat apa yang akan dia kenakan nanti malam. Dia menunjukkannya padaku.” Lalu Luna meraih tanganku dan menarikku pergi dari meja resepsionis. “Kita mau kemana?” “Tentu saja ke ruanganku. Duh. Ponselku ada di sana. Kita juga harus belanja untuk nanti malam.” Ujar Luna sambil menarikku menuju ruangannya yang ada di lantai dua rumah sakit. “Tapi—“ aku menoleh kembali ke arah dimana Xavier berada dan pria itu masih menatap kami, atau lebih tepatnya aku. Kali ini dengan tatapan datar tanpa ekspresi bukan seperti tadi, dia menatapku dengan tatapan lembut sama seperti lima belas tahun yang lalu. Namun sekarang… Ada apa dengannya? “Lupakan Xavier. Kalau dia tidak melupakan kita sudah dari dulu dia menemui kita. Kita tidak susah untuk dicari Belle. Apalagi dengan statusnya sekarang sebagai keluarga Knight.” Aku hanya diam. Apa yang dikatakan Luna benar, tapi harusnya kami, setidaknya aku juga berusaha lebih keras untuk mencari dimana Xavier. Secara tidak langsung perkataan Luna berbalik untuk dirinya sendiri juga untukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD