2. Penyesalan dan Kenyataan

3501 Words
Kesan pertama yang dirasakan Aqueena saat tiba-tiba pandangannya berubah dari tebing yang dipenuhi bunga Dandelion menjadi hutan belantara adalah takut. Aqueena seperti berteleportasi ke tempat yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Hutan itu gelap dan sulit ditembus matahari sehingga penglihatan Aqueena sedikit meremang. Pohon-pohon terlihat sudah tua dan memiliki akar menjuntai ke bawah. Tidak ada suara apapun di hutan itu selain suara gesekan kaki Aqueena yang terperangah karena hal aneh ini. Tubuhnya bergetar, dadanya terasa sesak, ini tidak masuk akal menurutnya. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan beruntun di kepala Aqueena. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bukit dandelion berubah menjadi hutan? Apa mungkin dirinya berpindah tempat? Atau mungkinkah fatamorgana? Atau yang lebih parahnya, dia diculik dan disembunyikan oleh orang tak kasat mata yang disebut orang bunian. Aqueena dengan segera menepis pikiran parnonya. Gadis itu cepat-cepat tersadar bahwa ini bukanlah dunia fantasi anak-anak. Aqueena memang menyukai kartun, tetapi dia bukan anak kecil lagi yang masih percaya dengan adanya hal yang berbau mistis. Itu hanya cerita pengantar tidurnya saat kecil, karena cerita Cinderella dan Snow White tak mampu membuatnya tertidur. Aqueena bergeming. Dia tanpa sadar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Untuk saat ini dia tidak bisa berpikir jernih, pikirannya dipenuhi dengan mistis dan juga hewan buas yang mungkin menerjangnya karena ini adalah hutan. Tanpa beranjak dari posisinya, Aqueena mengusap kasar wajahnya, dia lagi-lagi menggaruk tengkuknya, dan tanpa sadar dia bergumam, “aku takut... Aku ingin pulang!” Tiba-tiba saja keadaan seperti tadi terulang lagi. Penglihatannya menjadi gelap lagi. Entah apa lagi yang terjadi sekarang, dia sama sekali tak tahu. Aqueena merasakan kepalanya berputar lagi seperti tersedot ke lubang waktu. Lagi-lagi Aqueena merasa mual, perutnya meronta ingin mengeluarkan segala isinya. Tak tahan dengan keadaan seperti ini, Aqueena memilih memejamkan matanya tak ingin menyaksikan hal aneh lainnya yang mungkin saja terjadi lagi. Mencoba membuka mata adalah hal yang ditakuti Aqueena setelah kejadian tadi. Tetapi dia tidak bisa terus saja bergeming sambil meram. Akhirnya, dengan perlahan Aqueena membuka mata setelah merasakan adanya cahaya yang sedikit menusuk matanya. Dan benar! Keanehan itu terjadi lagi, bedanya sekarang dia berada di tebing yang dipenuhi bunga dandelion yang bertebaran di udara—seperti kapas yang sengaja dihamburkan. Alangkah bahagianya Aqueena saat menyadari bahwa dirinya berada di tempat semula. Gadis itu tersenyum lebar, lalu detik berikutnya senyuman itu pudar karena masih memikirkan sesuatu. Dia merasa kondisi kejiwaannya sedang tidak baik. Setelah ini apa seharusnya dia menemui Psikiater? Sesungguhnya Aqueena tidak ingin gila di usia muda. “Aqueena!!” Suara femiliar memanggilnya. Refleks, Aqueena berbalik dan menatap pada si empunya suara yang berlari menghampirinya. Evelyn berlari sembari memegangi gaut putih yang dikenakannya. Mamanya itu tak sendiri, melainkan bersama seorang pria bertubuh tegap yang rahangnya terlihat sangat kokoh. Aqueena yakin pria itu adalah calon suami mamanya. “Pergi!!” hanya kata itu yang dapat dia ucapkan. Aqueena menghapus kasar air matanya yang sedaritadi masih menempel di pipinya. “Pergi!! Aku nggak mau lihat Mama lagi.” Evelyn tak mengindahkan pengusiran. Wanita setengah baya itu berjalan ke arah Aqueena dan berusaha menangkap tubuh Aqueena agar bisa dipeluknya. Dengan kasar ditepisnya tangan mamanya, dia merasa tak sudi disentuh oleh orang yang telah menyia-nyiakannya dan mengkhianatinya, meskipun orang itu adalah mamanya. “Maafin Mama. Mama hanya nggak tahu gimana caranya beritahu Nana. Mama sungguh nyesal.” Kini giliran Evelyn yang meneteskan air mata. “Mama selalu sayang sama Nana, Mama nggak mau nyakitin kamu dengan rencana pernikahan Mama. Mama nggak mau Nana benci sama Mama. Mama mohon, maafin Mama!" “Mama sadar nggak sih kalo sikap Mama bikin aku lebih benci sama Mama sampai aku ngerasa bukan anak kandung Mama?!” Mata Evelyn membulat, lalu detik berikutnya wanita itu menundukkan kepala. Bulir-bulir air mata menetes di sudut mata Evelyn. Aqueena benar-benar tidak tega melihat mamanya seperti ini. Mamanya benar-benar rapuh, tetapi tetap saja mamanya bersalah. “Kenapa Mama seperti ini?! Kenapa Ma?!” Aqueena menaikkan nada suaranya hingga terdengar seperti membentak. “Apa Mama nggak mau Nana ikut bahagia sama pernikahan Mama? Apa Nana nggak penting bagi Mama?! Jawab, Ma!!” “Nggak, Sayang, bukan gitu. Mama juga ingin berbagi kebahagiaan sama Nana. Mama hanya takut kamu nggak menginginkan pernikahan Mama!” “Ma, Nana bukan anak egois. Nana juga ngerti kalo Mama butuh pendamping. Nana akan senang hati menerima orang lain jika caranya benar. Kenapa Mama seakan merahasiakan semua dari Nana?! Kalau Mama ingin Nana nerima pernikahan Mama, cukup beritahu Nana. Bukan gini caranya, Ma!!” “Mama nggak mungkin bisa beritahu kamu kalau kamu masih mikirin Papamu,” jawab Evelyn dengan suara tertahan. “Dulu Mama pernah membawa rekan kerja ke rumah dan itu mengundang kebencian kamu, padahal orang itu hanyalah rekan kerja nggak lebih. Sejak saat itu Mama nggak mau kamu merasa terusik,” Evelyn menjelaskan. Sesaat kemudian, ada rasa bersalah menghantui pikiran Aqueena. Selama ini Aqueena berusaha untuk tidak menjadi anak egois, nyatanya dia memang egois. Semua yang terjadi memang bukan salah siapa-siapa, melainkan kesalahannya. Aqueena memang bersalah atas apa yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Aqueena bergeming. Selama ini dia berusaha untuk tidak membuat mamanya bersedih, karena dia belum mampu membuat mamanya bahagia. Namun, saat ini Aqueena malah membentak dan membuat mamanya menangis. Tiba-tiba saja Evelyn terhenyak seraya berlutut pada Aqueena, “Maafin Mama. Mama janji nggak akan ngulangi kesalahan Mama.” Apa yang terjadi? Kenapa mamanya seperti ini. Aqueena sungguh seperti anak durhaka yang membiarkan mamanya berlutut dihadapannya. Sebagai seorang anak, Aqueena seharusnya tak membuat mamanya bersedih, apalagi sampai berlutut. Detik kemudian, Aqueena ikut menghenyakan dirinya. Gadis itu menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Maafin Nana, Ma. Nana nggak seharusnya membentak Mama. Nana nggak seharusnya bikin Mama nangis. Nana...” “Nggak, Sayang,” potong mamanya. Evelyn menangkup wajah Aqueena, lalu memeluk tubuh gadis itu. “Mama yang salah.” Selama beberapa menit mereka berpelukan layaknya ibu dan anak seutuhnya. Kejadian ini sepertinya dapat sedikit membuat Aqueena dan mamanya lebih dekat kembali. Memang seharusnya ada kesalahan dan penyelesaian agar hubungan dapat lebih erat dari sebelumnya. Aqueena tahu bahwa dirinya masih kecewa, tetapi dia juga menyesali perbuatannya. Jika waktu bisa diulang, dia tidak akan melakukan hal bodoh itu, dia tak ingin membuat mamanya bersedih. Sekarang Aqueena berusaha mengerti mamanya. Penyesalan memang dia rasakan, tetapi kenyataan harus diterima, karena waktu tidak akan bisa diulang. Sebelum waktunya berakhir, Aqueena harus berbaikan dengan mamanya dan melupakan masa lalu yang kelam. “Sekarang Mama pergi dan berhias. Hari ini seharusnya jadi hari bahagia, bukannya nagis,” kata Aqueena yang masih berada di dekapan mamanya. “Nana ikut Mama, ya, sayang. Nana harus berdiri di samping Mama.” Aqueena menagguk mengiakan. Tanpa mereka sadari, laki-laki berperawakan tegap menatap mereka dengan senyuman yang terkembang. Dia merasa sangat bahagia melihat ibu dan anak itu saling berpelukan melepaskan rasa yang terpendam selama ini. Tanpa ingin mengganggu, pria itu meninggalkan mereka yang masih berusaha mengerti satu sama lain. ψψψ   “Aqueena!!” Suara bass memanggil Aqueena. Saat ini dia berada di beranda villa. Kini dia telah kembali dari ladang dandelion. Sembari menunggu mamanya berhias, Aqueena memilih meredamkan emosinya dengan menyaksikan pemandangan alam yang langka serta menyejukkan mata. Refleks, gadis itu memutar tubuhnya. “Duduklah!” kata pria itu, pria yang sama, yang mencarinya ke ladang dandelion. Pria itu adalah calon suami mamanya. Dia menyodorkan sebotol s**u kepada Aqueena. “Minum ini agar kamu bisa lebih tenang.” “Ini bukan wine atau sejenisnya, kan?” Aqueena was-was, mana tahu dia diberi minuman keras karena pria itu berkata ‘agar kamu bisa lebih tenang’. Bukannya marah, pria itu malah tertawa. Matanya mengkerut membentuk bulan sabit sehingga membuat pria itu terlihat tampan, ya, tampan seusianya “Kamu ternyata lucu, ya.” Aqueena bingung. Apa mungkin s**u yang kelihatannya adalah minuman bagi anak kecil merupakan sejenis minuman keras? “Mana mungkin orang sebaik Om memberikan anak secantik kamu minum minuman keras. Om masih waras!” Aqueena menggaruk tengkuknya, kemudian meminum s**u yang diberikan pria itu. Aqueena memperhatikan pria yang berada beberapa senti di sebelahnya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya pria itu bukan orang sembarangan. Maksudnya, dengan penampilan wibawanya mungkin saja pria itu adalah seorang pejabat atau seorang pengusaha kaya raya. Tubuhnya kekar dan tinggi, suara bass-nya sangat keren. Sungguh serasi jika bersanding dengan mamanya yang cantik. Tentu saja secantik putrinya. Hening. Mereka sekarang duduk berdampingan di sebuah kursi rotan yang dipoles dengan cat berwarna putih. Dilihat dari sisi manapun, vila ini beserta furniturnya benar-benar mewah. “Aqueena!!” panggil pria itu. Suara merdunya memecah keheningan diantara mereka. “Semua ini bukan salah Mama kamu. Om yang minta Mama kamu untuk menikah. Om minta maaf. Seharusnya kami kasih tahu kamu dahulu jauh sebelum hari ini.” “Untuk sekarang, kita nggak usah bahas masalah ini,” gumam Aqueena. Hening lagi-lagi melanda mereka. Desiran angin terdengar jelas disertai suara bising para tamu di lantai bawah yang menunggu pengantin bersiap untuk pesta pernikahan. “Om pernah lihat kamu saat masih bayi,” ucap pria itu sedikit lebih pelan. Aqueena memutar kepalanya melihat ke samping, menatap pria itu yang juga menatapnya. “Om bahkan ada di sana saat kamu lahir. Om juga masih ingat tanggal kelahiran kamu. 1 Januari, bukan?” ujarnya yang membuat Aqueena sedikit mengganggukkan kepala. Lalu wajah pria itu tiba-tiba berubah muram, “Om juga ada saat pemakaman Papa kamu.” Aqueena membulatkan matanya seraya kening yang mengkerut, “Om kenal sama Papa?” Pria itu memutar kepalanya. Pandangannya mengarah pada langit biru dengan awan putih yang bergerak perlahan. “Bukan kenal lagi, kami sudah seperti saudara. Karena itu Om mohon sama kamu untuk memberikan restu atas pernikahan ini. Om hanya ingin menjaga kamu dan juga Mama kamu. Om tidak ingin menyesal lagi, seperti penyesalan Om karena tak bisa melindungi satu-satunya teman berharga yang Om miliki.” Mata Aqueena membulat. Dapat dilihatnya sebuah ekspresi yang begitu memilukan. Perasaan yang dirasakan calon suami mamanya itu persis seperti sebuah perasaan yang dirinya rasakan. “Oh, iya. Perkenalkan nama om Harry Tomblison Smith,” kata pria itu yang tiba-tiba saja memperkenalkan diri. “Kalau kamu mau, kamu bisa panggil Om dengan sebutan ‘Papa’. Atau kamu boleh kok panggil Om dengan sebutan Om Harry!” lagi, lengkungan bulan sabit tercipta di mata pria itu. Aqueena sedikit terkekeh. “Aku malah curiga, apa benar Om itu temannya Papa? Kenapa selama ini aku belum pernah lihat Om?” Harry tiba-tiba menggaruk tengkuknya. “Itu... karena... jangan bilang-bilang, ya! Sebenarnya Om berada di dunia sihir.” Aqueena tertawa mendengar leluconnya. Ternyata dia memiliki selera humor yang tinggi meskipun wajahnya menjelaskan identitasnya yang terlihat dingin dan kejam. Menurut Aqueena, Harry adalah orang yang sangat ramah, buktinya saja dia mampu membuat mood Aqueena yang memburuk menjadi sedikit lebih baik. Sepertinya Harry orang yang baik, mungkin dia adalah orang yang ditakdirkan melindungi mamanya setelah kepergian papa. “Aqueena, kamu tahu nggak kalau Om punya anak perempuan yang usianya sama dengan kamu?! Mungkin kamu sama dia bisa kenalan,” katanya. “Tapi dia sedikit... cerewet. Mungkin kamu mudah akrab dengan dia.” Aqueena tersenyum tipis. “Menurut Om kamu lebih cantik dari dia, sih.” Aqueena tersenyum lagi. Benar, kan, Harry memang mampu merubah suasana hati Aqueena. “Om kalo gombal jangan terang-terangan, ntar silau.” Harry terkekeh, “Ternyata kamu memang bisa lucu juga. Daritadi Om lihat wajah kamu datar terus, Om nggak nyangka kamu orangnya lucu. Persis seperti Papa kamu.” Tiba-tiba wajah Harry yang semula ceria berubah murung. Aqueena yang menyadari raut wajah Harry yang berubah memutar otak agar suasana tidak kembali tegang. “Om, Om, kalo gombalin Mama sebaiknya jangan terang-terangan, ya. Ntar Mama malah ilfil!” “Lah! Terus Om harus gimana?” Harry bertanya dengan bibir mengkerut, membuat baik Aqueena maupun Harry malah tertawa. “Om harusnya gini,” Aqueena mengajarkan. “Kaki aku sakit banget nih! Terus nanti Mama nanya, emang kaki kamu kenapa? Nanti om jawab, tiba-tiba aja sakit. Nanti Mama nanya lagi, kok bisa? Sakit banget ya? Nanti Om bilang... ekhemm!!” Aqueena sedikit menjeda ucapannya, menarik napas untuk mengucapkan kata selanjutnya yang akan meluncur. “Sakit banget. Tapi nggak papa kok, aku senang kalo kaki aku sakit, artinya kaki aku setia ngikutin kamu. Kaki aku aja setia sama kamu apalagi hati aku.” Harry tertawa mendengar ucapan Aqueena yang mengajarkannya cara menggombali Evelyn. Harry tahu bahwasannya Aqueena masih merasakan sakit hati lantaran pernikahan tak terduga yang membuat gadis kecil itu frustrasi. Tetapi Harry akan mencoba membuat Aqueena tertawa semampunya, karena dia tak ingin Aqueena tersakiti dalam pernikahan ini, meskipun sebenarnya Aqueena memang telah sakit hati. ψψψ “HEH! LO!” sepasang mata membulat terkejut ketika Aqueena memasuki ruang make up. Aqueena tersedak saat mendengar suara femiliar menembus indra pendengarannya. Aqueena memasuki ruang make up untuk menemui mamanya seraya menyaksikan bagaimana cantiknya wanita itu memakai gaun pengantin dengan wajah yang dihias. Tetapi suara itu sukses membuat Aqueena merinding. “LO!! CEWEK BRUTAL!!” Aqueena menoleh dan menatap si empunya suara dengan tatapan tak suka, tetapi dalam hati Aqueena bertanya-tanya. “Ngapain lo di sini?!” tanya gadis itu yang sedang duduk di sofa dengan gaun putih yang membalut tubuhnya. “Seharusnya aku yang tanya. Ngapain kamu di sini?” “Jangan membuat alasan, kamu pasti ngikutin aku, kan?” “Iblis mana yang masuk ke tubuh aku hingga mau-maunya ngikutin kamu. Nggak penting ngikutin kamu, buang-buang waktu.” Aqueena bergidik ngeri lantaran mendengar ucapan si kaki unta. Aqueena memberinya julukan ‘si kaki unta’ karena pada dasarnya gadis itu punya tinggi diatas gadis normal biasanya. “Sayang, kamu udah datang.” Suara Evelyn menghentikan aksi adu mulut antara Aqueena dengan si kaki unta. Dengan kompak kedua gadis itu menoleh pada Evelyn. “Bell! Kenalin, ini Aqueena, anak tante!” “A-anak tante?” suara Bella tergagap. “Dia siapa sih, Ma?! Ngapain Si Kaki Unta di sini?” tanya Aqueena kesal. Evelyn menelan susah salivanya. Mendengar julukan yang diberikan Aqueena pada Bella memperjelas bahwa antara kedua gadis itu tercipta hubungan yang tidak harmonis. “Dia... anaknya Harry, Na. Sebaiknya... kalian kenalan dulu. Sebentar lagi kalian akan jadi saudara!” Hening seketika. Aqueena dan Bella bergeming di tempat masing-masing, lalu detik berikutnya keduanya kompak berteriak. “WHAT!!!”   ψψψ   Aqueena berjalan gontai menyusuri koridor sekolah menuju ke kelasnya yang terletak di pojok lantai dua. Kemaren Aqueena sangat kelelahan dengan acara pernikahan mamanya. Kakinya terasa pegal karena dipaksa berdiri di samping mamanya untuk menyapa setiap tamu yang datang. Para kolega bisnis Harry selalu saja menatap Aqueena dengan tatapan aneh. Bahkan banyak diantara mereka yang mencium pipi Aqueena dan mengelus lembut kepalanya, disini maksudnya khusus bagi wanita saja. Aqueena benar-benar yakin jika diantara ibu-ibu yang datang banyak yang ingin mengajak Aqueena berkenalan dengan anak mereka. Contohnya saja keluarga Calesthane. Nyonya Calesthane mengatakan dia memiliki dua orang anak. Anak sulungnya perempuan, dan anak bungsunya laki-laki yang seumuran dengan Aqueena. Kedua putra-putri Calesthane tidak dapat hadir karena masih berada di sekolah. Nyonya Calesthane mengundang Aqueena untuk makan malam di rumah mereka jika Aqueena sempat. Tetapi Aqueena merasa bukan diundang, melainkan dipaksa. Tentu saja Aqueena tidak suka dan tidak berniat menerima undangan itu. Yang kedua adalah Mr. James. Katanya dia datang bersama anak kembarnya, putra-putrinya. Aqueena sempat mendengar Mr. James berbincang dengan mamanya dan Harry. Aqueena adalah anak yang cantik dan baik. Aqueena memang pantas menjadi menantu saya. Tidak hanya sampai di situ saja, Mr. James juga mengenalkan anak laki-lakinya pada Aqueena. Mr. James menunjuk anak laki-lakinya dengan dagu hingga Aqueena dengan refleks mengikuti arah yang ditunjuk Mr. James. Aqueena bergidik ngeri dengan saliva yang menyangkut di tenggorokannya. Pasalnya, anak laki-laki Mr. James yang dilihat Aqueena adalah laki-laki yang duduk di meja bersama temannya. Mr. James juga mengajak Aqueena untuk menghampiri anaknya, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Aqueena dengan alasan ingin menyapa tamu. Kalau saja handsome, Aqueena akan senang hati menerima tawaran Mr. James untuk menghampiri anaknya, sekalian cuci mata lihat yang ganteng, karena nikmat Tuhan tidak boleh disia-siakan. Tetapi laki-laki itu adalah laki-laki bertubuh kurus dan tinggi disertai tompel berwarna hitam yang menempel di pipi kirinya. Belum lagi saat tertawa, Aqueena melihat giginya yang menghilang di bagian kiri yang sangat jelas terlihat, alias ompong. Aqueena merasa risih saat berada di pesta karena dia memang tidak menyukai pesta sejak beberapa tahun yang lalu, karena pesta membuat Aqueena mengingat kejadian memilukan dalam hidupnya. Ditambah lagi tatapan si kaki unta yang selalu menatap tajam. Tetapi disisi lain Aqueena juga kasihan pada Bella. Saat di pesta Bella juga mengalami hal yang sama, yaitu dipaksa berkenalan dengan anak kolega bisnis Harry. Karena kecentilannya, Bella mengikuti kehendak salah satu kolega Harry untuk bertemu dengan putra mereka. Bukannya madu yang didapat Bella, melainkan lebahnya langsung. Aqueena menyaksikan sendiri bagaimana tatapan m***m laki-laki itu menatap Bella, seakan Bella adalah mangsa yang harus diterkamnya. GEDEBUK Dalam lamunannya, Aqueena ditabrak oleh seseorang yang membuat lamunan itu terpecah. Gadis itu meringis kesakitan lantaran bokongnya sukses mendarat di lantai. “Upppss.. sori. Aku nggak sengaja.” Satu masalah tercipta lagi. Bella tak hentinya membuat masalah dengan Aqueena. Kadang Aqueena heran dengan sikap Bella yang tak hentinya membully Aqueena yang berujung mempermalukan diri-sendiri. Aqueena bangkit dan membersihkan bagian belakang seragam sekolahnya yang mungkin saja terkena debu seraya matanya menatap tajam Bella dan ketiga temannya. Setelahnya, Aqueena berjalan dengan hentakan kaki yang keras. Saat melewati Bella, Aqueena dengan sengaja menabrakkan bahunya pada bahu Bella sebagai respon terhadap ketidaksukaannya pada Bella. Bukan Bella namanya jika dia berhenti mengganggu Aqueena. Kini gadis itu menarik lengan Aqueena hingga kembali ke posisi semula—yang berada tepat di depan Bella. Aqueena tahu bahwasanya Bella sangat kesal diperlakukan seperti itu. Lihat saja, Bella tidak akan menyerah. Bella bersedekap dengan tatapan meremehkan. “Kok buru-buru banget? Kelas kita ‘kan udah dekat, lagi pula bel belum bunyi tuh. Sebaiknya kita main dulu bentar. Iya kan girls!!” Pelayan-pelayan Bella mengangguk kompak sebagai respon dari ucapan Bella yang harus mereka turuti, karena jika tidak, mungkin saja mereka akan menjadi korban selanjutnya. “Aku nggak punya waktu main-main sama kamu, Isabella Rosella Smith,” kata Aqueena menekankan nama Bella, matanya menatap tajam Bella yang berusaha menahan kesal. “Kamu udah ngerjain PR belum?” tanya Aqueena sarkastis, “aku tahu kamu belum ngerjain PR, tadi pagi aja kamu buru-buru, bangun kesiangan, untung aja nggak telat. Kerjain sono! Jangan malas! Ntar Pak Udin marah lho,” tambah Aqueena. Dia menimbuk pelan bahu Bella mulai dari kiri, lalu kanan seraya membersihkan seragam Bella dari debu. Tetapi disini Bella merasa terhina. Setelah mengatakan itu, Aqueena melenggang pergi meninggalkan Bella bersama gengnya. Bella menggeram tertahan, kedua tangannya terkepal. Gadis bertubuh tinggi bak model itu naik pitam. “Heh! Pembawa sial!!” pekik Bella. Aqueena merasakan sakit kala mendengar kata itu. Pasalnya, setiap Aqueena mendengar kata itu dia selalu ditarik kembali pada kenyataan pilu akan kematian papanya dan juga Claryna. “Lo pikir lo hebat?! Lo pikir bisa ngalahin gue?! Jangan kira karena lo pintar lo bisa seenak jidat ngomong kek gitu sama gue. Lihat aja, semester ini gue bakal ngalahin lo! Lo nggak bakal menang. Gue pastiin,” kata Bella masuk perangkapnya sendiri. Mustahil seorang Bella bisa mengalahkan Aqueena. “Lo salah! Seharusnya lo ingat posisi, lo nggak lebih dari pembawa sial.” Aqueena mengepal tangannya erat-erat. Kata-kata itu begitu menyakitkan. Ingin rasanya Aqueena mencakar wajah Bella hingga menyisakan bekas luka yang tak akan pernah dilupakan Bella. Tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan, karena dia bukan tipe pembuat onar di sekolah. “Sebaiknya kamu jangan ikut campur masalah aku kalo nggak mau bernasib sama. Dan yang musti kamu ingat...” Aqueena menjeda, dia menarik napas sedalam-dalamnya. “Jika aku emang pembawa sial, maka bentar lagi kamu juga akan sial,” Aqueena menyeringai. Aqueena memutar kepalanya ke samping kiri, melirik Bella dari sudut matanya. “Karena kita akan tinggal di rumah yang sama.. saudari tiriku,” sambungnya dengan menekankan dua kata terakhir. Dua kata terakhir itu sukses membuat kehebohan detik itu juga. Bahkan mungkin dalam satu jam kedepan akan menjadi trending topic. “WHAT?!!” pekik salah satu teman Bella. “Seriously?” “What the hell, Bella?” “Lo berhutang penjelasan sama kita, Bell.” “Gue bakal jelasin, tapi nanti.” Aqueena dapat mendengar dengan jelas suara kekesalan Bella. Inilah akibatnya jika berani mengganggu seorang Aqueena. Ibarat bumerang, senjata itu sendiri bisa menyerang tuannya. Begitulah yang terjadi pada Bella setiap gadis itu mencoba membully Aqueena. ψψψ   Bel pertanda istirahat telah berbunyi sejak semenit yang lalu. Semua siswa meninggalkan kelas beramai-ramai menuju kantin untuk melaksanakan aktivitas rutin, makan siang. Kebisingan kantin membuat Aqueena memilih pergi ke atap sekolah untuk menghabiskan bekal yang dia bawa dari rumah. Aqueena sudah terbiasa dengan hal seperti ini, sendiri menurutnya tidak jadi masalah selama bisa menciptakan kedamaian tersendiri. Masak sendiri, makan sendiri, belajar sendiri, tidur sendiri, tinggal pun juga sendiri. Aqueena kehilangan nafsu makannya. Dia hanya mengaduk-aduk makanannya ketimbang memakannya. Pikirannya dipenuhi dengan ucapan Bella yang sukses membuat Aqueena merasakan bagaimana rasanya ditusuk jarum, ckit ckit ckit ckit. Bunyi dentingan benda membuyarkan lamunan Aqueena. Dia memutar kepalanya ke kiri dan kanan, ke belakang dan ke depan. Tak ada siapapun selain dirinya. Aqueena mengabaikan suara itu, anggap saja karena ulah angin. Saat hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tanpa sadar mata Aqueena menangkap sesuatu yang bersinar. Gadis itu meletakkan makanannya lalu berusaha meraih sesuatu yang berkilau tersebut—yang berasal dari bawah bangku—dengan susah payah. Dia barus berjongkok jika ingin mendapatkannya. Sebuah liontin berhasil ditemukan Aqueena. Gadis itu memperhatikan setiap inci liontin tersebut. Menurutnya, liontin tersebut sangat indah, berkilau jingga saat diterpa sinar matahari. Lalu berikutnya, Aqueena berinisiatif ingin menjadikan liontin tersebut sebagai pengganti liontin kalungnya yang telah hilang. Aqueena sedikit membersihkan liontin tersebut dengan mengusapnya dengan ujung seragamnya, lalu memakaikan di lehernya. Pikiran Aqueena kembali terlintas masalah hidupnya yang tak kunjung hilang. Dia selalu murung kala mengingat kejadian itu. Hingga suatu hari saat berada di toko buku, dia sengaja mencari buku yang menjelaskan tentang cara mengatasi beban pikiran dan juga masalah. Dalam buku itu dijelaskan berbagai cara menghilangkan beban pikiran. Mulai dari refreshing, bermain bersama teman, bernyanyi, menyibukkan diri, melakukan pekerjaan sulit, hingga yang terakhir diingat Aqueena yaitu melepaskan masalah dengan berteriak. Katanya, hal itu sedikit banyak akan berhasil, akan membuat perasaan sedikit lega. Dengan kepercayaan yang tinggi, Aqueena mencoba saran dari buku itu yaitu melepaskan beban dengan berteriak, dan beruntungnya sekarang sepi, tidak ada siapapun yang akan mendengarkannya. “MASALAH SIAL!!!” “AKU INGIN LUPA!!!” "AKU INGIN PERGI DARI DUNIA INI!!!" Teriakan Aqueena menggema, dia merasa sedikit lega. Lalu gadis itu mengeraskan lagi suaranya karena menurutnya cara itu sedikit berhasil. “AKU BUKAN PEMBAWA SIAL!!!” "AKU INGIN PERGI!!!" “PERGI DARI DUNIA INI!!!!” Keanehan itu terjadi lagi. Perlahan, cahaya yang menyinari bumi seakan menghilang ditelan kegelapan. Aqueena tak dapat melihat apa-apa meskipun dia membuka mata ataupun menutup mata. Kepalanya serasa berputar-putar hingga rasa mual mulai dia rasakan. Perlahan cahaya terang-benderang datang dari kejauhan yang perlahan mendekati Aqueena. Dia merasa silau hingga menutup mata. Merasa tak lagi adanya kegelapan, Aqueena membuka matanya lebar-lebar. Ini seperti apa yang pernah dilihatnya kemaren saat berada di ladang dandelion.   >> To be continued <<
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD