3. Keindahan Iris Biru

3756 Words
Pepohonan mengelilingi setiap sisi hutan dengan ranting yang berserakan di sekitarnya, disertai dedaunan yang berguguran—yang telah berubah warna menjadi cokelat tua. Ada satu pohon yang menarik perhatian bagi siapa saja yang menyaksikannya, yaitu sebuah pohon beringin tua yang sangat rimbun. Akarnya menjuntai seperti tali kusut yang sengaja digantung tak menentu, batangnya puluhan kali lebih besar dari beringin-beringin biasa yang pernah dilihat Aqueena, tak luput juga kulit batangnya yang telah megering membentuk suatu pola yang tidak jelas. Pohon beringin itu dilihat dari sisi manapun sama seperti pohon beringin yang digunakan setan sebagai rumah alih-alih digunakan sebagai tempat kencing kaum-kaum penyuka kejijikan. Aqueena perlahan mendekati pohon beringin itu untuk sekedar melepaskan penat karena sedaritadi gadis itu berusaha mencari jalan keluar dari hutan. Pasca dirinya terdampar ke hutan gelap itu, Aqueena merasa takut dan mencoba mencari jalan keluar dengan kekuatan yang tersisa. Tak ada cahaya matahari di hutan ini. Dedaunan pohon yang rindang menutupi setiap sisi hutan. Bukan hanya cahaya, di hutan ini bahkan tak ada angin dan tak ada air sehingga Aqueena tak merasakan suhu yang terlalu panas maupun terlalu dingin. Hutan ini lebih tepat didefinisikan sebagai hutan hampa. Merasa masih memiliki tenaga, Aqueena bergegas pergi dari pohon beringin itu. Sebenarnya dari tadi dia merasakan ada hal yang berbeda selama bersandar di pohon itu. Seperti ada yang mengintip, tetapi tidak ada siapapun. Merasa mendengar suara desisan ular, tetapi tak ada satupun binatang di sana. Aqueena dapat bernapas lega saat melihat sebuah bangunan tua dari kejauhan. Saking bahagianya, dia berlari terbirit-b***t menuju bangunan tersebut. Setelah sampai di depan bangunan itu, Aqueena langsung saja mengetuk pintunya tanpa rasa was-was, berharap agar ada orang baik yang mau membantunya. “Permisi! Ada orang di dalam?” Tok tok tok “Biarkan aku masuk! Aku sungguh minta tolong!” Tak butuh waktu lama bagi Aqueena mengetuk pintu bangunan tersebut. Dalam hitungan detik setelah Aqueena mendaratkan tangannya dari ketukan pintu, perlahan pintu bangunan tersebut terbuka lebar. Aqueena sedikit terkejut, tanpa pikir panjang dia melangkahkan kakinya memasuki bangunan itu. Baru saja kaki kanannya menginjak bagian dalam bangunan, Aqueena terkesiap lantaran lengan kirinya tiba-tiba ditarik oleh seseorang sehingga membuat Aqueena tak jadi memasuki bangunan itu. Seperti terseret, Aqueena terpaksa mengikuti orang yang menarik lengannya. Langkahnya begitu cepat sehingga Aqueena tak sempat untuk sekedar meronta dan melepaskan diri. Hingga hutan gelap tertinggal jauh di belakang mereka, orang yang menarik lengan Aqueena masih belum melepaskan genggamannya. Sekarang, Aqueena dapat merasakan teriknya matahari, terpaan angin, dan terdengarnya suara sungai. Tunggu! Tapi siapa dia? Seenaknya aja narik lengan orang, batin Aqueena ingin sekali memaki. Aqueena menghentikan larinya sekuat tenaga dengan tangan kanan yang berpegangan pada batang pohon kayu manis yang masih kecil. Dengan begitu, aksi lari-larian orang yang menarik paksa Aqueena terhenti seketika sehingga gadis itu dapat menghempaskan lengannya dan terbebas dari orang lancang yang tak dikenal. “Kenapa berhenti?! Ayo cepat sebelum mereka melihatmu!” suara beratnya terdengar panic, seakan mereka sedang dikejar oleh pembunuh berantai. Sementara Aqueena, telinganya seperti tersumpal sesuatu. Suara desiran angin yang menerpa pepohonan tak lagi terdengar, hanya gelombang suara merdu itu saja yang mampu ditangkap telinganya. Iris mata hazel itu tak berkedip menatap lelaki yang ada di depannya. Waktu seakan melambat kala matanya bertemu dengan iris biru laut yang menyimpan kedalaman. Sungguh indah. Dia adalah satu-satunya insan tertampan yang pernah menggenggam lengan Aqueena. “Ayo cepat!! Jangan melamun!!” lelaki tampan dengan keindahan iris biru laut itu kembali meraih lengan Aqueena. Sebelum sempat melanjutkan larinya, Aqueena segera tersadar dari terlena akan keindahan iris biru laut. “Apa yang kamu lakukan?!! Kenapa kamu menarik lenganku?! Dasar tidak sopan!!” Aqueena membentak, namun tak menimbulkan amarah pada lelaki itu. Lelaki itu bergeming, namun tatapannya tak lepas dari Aqueena. Tak ada ucapan yang akan keluar dari mulutnya, hal itu membuat Aqueena semakin emosi karena tak diberi penjelasan. “Cepat jawab!! Kamu siapa?! Kenapa seenaknya menarik lengan orang!!” Lagi, lelaki itu tak menjawab dan hanya memperlihatkan sebuah ekspresi, dingin, bahkan hanya menatap matanya Aqueena dapat merasakan dinginnya dasar samudera. “Sudah terlambat!” “Apa?!” Alis Aqueena hampir menyatu memikirkan dua kata yang diucapkan lelaki itu. Sesaat kemudian gadis itu mengerti kala beberapa orang berjubah hitam mengepung mereka. Masing-masing orang berjubah hitam itu memegang tombak yang ujungnya sangat runcing hingga mampu membelah buah apel yang jatuh dari pohonnya. Lelaki itu melepaskan jubah yang sedaritadi berada membalut tubuhnya, lalu melemparkan ke sembarang arah. Aksinya memuat Aqueena semakin terpukau hingga melupakan bahaya yang ada di depan mata. Aqueena belum sempat menarik napas ketika lelaki itu telah berada di belakangnya. Aqueena bahkan tak tahu sejak kapan lelaki itu berpindah tempat ke belakangnya. Aqueena dan lelaki itu saling memunggungi, punggung mereka beradu sehingga lelaki itu dapat berbisik. “Jangan bergerak sebelum aku memberi intruksi!” Aqueena mengangguk patuh karena tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Aqueena masih belum paham kenapa gerakan lelaki itu begitu cepat. Apa mungkin tipuan mata? Atau lelaki itu dapat melakukan teleportasi? Untuk sekarang itu tidak penting. Sekarang Aqueena hanya harus menuruti lelaki itu. Karena Aqueena sangat takut melihat rombongan berjubah mengarahkan tombak pada mereka. Jika boleh jujur, Aqueena akan memilih menaiki roller coaster dibandingkan terbunuh di tangan beberapa orang berjubah tersebut. “Setelah mendengar intruksiku, kau harus berlari menjauh!” “Tapi... gimana dengan kamu?” “Tidak usah memikirkanku. Pikirkan dirimu, aku bisa menjaga diriku.” Suaranya membuat Aqueena tak bisa menolak, gadis itu mengangguk patuh. Lelaki itu mulai menghitung dengan berbisik. Dalam hitungan ketiga, lelaki itu menendang tombak yang mengarah pada mereka. Beberapa dari orang berjubah itu langsung mendarat di tanah akibat hentaman dan tinjuan dari lelaki itu. Aqueena benar-benar mengikuti perintah lelaki itu. Dia berlari menjauh tanpa ingin melihat ke belakang. Tetapi kesadarannya kembali saat dia mendengar suara dering tombak yang beradu dengan pedang. Aqueena menoleh, yang pertama ditangkap matanya adalah pemandangan yang sangat luar biasa. Aqueena membulatkan matanya tak percaya. Lelaki itu sangat hebat, dan harus Aqueena akui ilmu bela diri lelaki seperti tokoh kartun Naruto dengan tendangan U-zu-ma-ki Naruto Rendan yang bisa membuat lawan tak bergerak. Dia mampu mengalahkan lima orang berjubah tersebut meskipun hanya sendiri. Lima orang berjubah tersebut ternyata masih belum kalah. Mereka bangkit dan langsung menyerang lelaki dengan keindahan iris biru laut itu secara bersama. Dengan gerakan serupa Avatar Aang, lelaki itu menghindari serangan lima orang tersebut dengan melompat ke atas. Salah satu dari orang berjubah itu mencoba menyerang dari belakang setelah lelaki itu mendarat dari lompatannya. Aqueena bergidik ngeri sehingga tanpa sadar teriakannya malah keluar. “DI BELAKANG!!!” Kekhawatiran Aqueena tak berarti apa-apa, karena lelaki itu memang begitu kuat. Seakan memiliki penglihatan 360 derajat, lelaki itu tak berbalik untuk melawan serangan dari belakang, dia hanya mengarahkan kepalan tinju kirinya ke samping, membuat si jubah hitam kalah telak dengan sekali pukulan. Si jubah hitam yang sok jago itu terlempar beberapa meter ke belakang disertai ledakan yang membuat beberapa pohon tumbang. Aqueena seperi menonton film Action secara live. Saliva Aqueena menyangkut di tenggorokannya ketika salah satu dari lima orang berjubah tersebut menatap padanya yang berdiri dengan jarak yang cukup jauh. Orang berjubah tersebut bergerak mendekati Aqueena. Refleks, Aqueena berlari sekencangnya. Tetapi sayang, sudah terlambat baginya untuk kabur karena orang berjubah itu tiba-tiba muncul di depannya seperti angin. Si jubah hitam itu menarik paksa Aqueena. Meskipun sudah meronta, Aqueena tak dapat lepas dari cengkeramannya yang begitu kuat. Hingga suara seseorang menginterupsi, “LEPASKAN JUBAHNYA!!” Aqueena masih mencoba meronta meskipun mendengar ucapan lelaki itu dengan jelas. “LEPASKAN JUBAHNYA!!!” sekali lagi lelaki itu berusaha memberitahu Aqueena. Dia meneriaki Aqueena, menyuruh Aqueena membuka jubah itu. Tetapi respon Aqueena terlalu lambat. Gadis itu melongo berusaha mencerna ucapan si iris biru, lalu detik berikutnya Aqueena tersadar dan mengangguk. Aqueena menarik tudung jubah hitam yang menutupi kepala si berjubah yang berusaha menarik lengannya. Seperti adanya sengatan listrik, orang itu tiba-tiba mengejang dengan getaran yang dasyat. Aqueena bingung, matanya membulat melihat kejadian aneh bin ajaib itu. Detik berikutnya, tubuh yang tadinya kekar nan tinggi itu perlahan berubah menjadi abu yang langsung menghilang kala di hembus angin, menyisakan jubah yang perlahan jatuh ke tanah. Tanpa berkedip sedikitpun, Aqueena meremas kepalanya, lalu perlahan kakinya mulai terasa lemas. Aqueena jatuh terhenyak, deru napasnya tidak beraturan. Lalu detik berikutnya, tubuhnya terkulai jatuh ke tanah, kesadarannya langsung hilang digantikan dengan kegelapan.   ψψψ   Aqueena terbangun dengan penglihatan yang masih memburam, lalu mengedipkan matanya berulang kali agar penglihatannya jernih. Aqueena mendapati dirinya sedang berada di sebuah ruangan yang terbuat dari kayu. Pandangannya langsung mengedar ke sepenjuru ruangan berharap menemukan seseorang yang telah membawanya ke tempat ini. “Kau sudah bangun?” Suara itu berasal dari pintu. Seorang lelaki berdiri di sana dengan sebelah kaki ditekuk seraya memegang pedang di tangannya. Perlahan, lelaki itu mendekati Aqueena dan duduk di bibir ranjang yang menampung Aqueena. “Aku dimana?” tanya Aqueena yang sedang dilanda kebingungan, persis seperti seseorang yang baru tersadar dari koma. “Kau harus istirahat dahulu,” kata lelaki itu sambil mengambil sebuah gelas yang berada di atas nakas dan memberikannya pada Aqueena. “Minumlah agar kau segera pulih!” Aqueena menerima gelas itu, namun dia hanya memandangi isi gelas itu tanpa ingin meminumnya. Ingatan Aqueena kembali pada saat-saat sebelum pingsan. Dia bergidik ngeri membayangkan bagaimana orang berjubah itu terbakar di bawah sinar matahari. “Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu ketika melihat perubahan raut wajah Aqueena. “Wajahmu sangat pucat. Apa kau belum makan? Mau kuambilkan makanan?” Aqueena menggeleng. Dia menatap lelaki itu dengan penuh selidik, bisa saja lelaki itu punya niat jahat padanya. Keberadaan lelaki itu di hutan saja telah membuat Aqueena curiga kalau dia bukan orang baik-baik. Ditambah lagi kemampuan bela dirinya yang luar biasa membuat Aqueena berpikir kalau lelaki itu bisa jadi adalah penculik handal ataupun pembunuh bayaran. “Ka-kamu si-siapa?” tanya Aqueena tergagap. Meskipun punya wajah tampan, bukan berarti Aqueena tak was-was terhadapnya. Jangan lupa kebanyakan psikopat kejam punya wajah manis dan juga tampan. “Kau tidak perlu takut! Aku bukan orang jahat!” katanya dengan tatapan dingin yang menatap hazel Aqueena. Bukannya tenang, Aqueena semakin takut. Mana ada orang baik menatap dengan pandangan dingin seperti itu. Tatapan matanya membuat Aqueena berpikir kalau lelaki itu bisa saja membunuhnya saat ini, apalagi pedang tajam yang berada di tangan lelaki itu membuat Aqueena semakin bergidik ngeri dan beringsut mundur. “Aku sudah bilang, aku bukan orang jahat.” Lagi, lelaki itu berusaha meyakinkan Aqueena, namun gadis itu masih belum yakin karena tatapan lelaki itu masih begitu dingin. Aqueena memperhatikan pedang tajam yang berada di tangan lelaki itu. Kemudian salivanya tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. Aqueena membayangkan bagaimana mudahnya lelaki itu menebasnya saat ini. Merasa Aqueena memperhatikan pedang yang dipegangnya, lelaki itu dengan gerakan lincah memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang yang terbuat dari logam mengkilat. “Jika aku berniat membunuhmu, aku tidak mungkin menyelamatkanmu dari para pengikut iblis tadi!” Benar juga, batin Aqueena mulai berpikir kritis. Jika lelaki beriris biru berniat membunuhnya untuk apa dia membawa Aqueena yang pingsan ke gubuk ini. “Kau tenang saja! Aku tidak akan membunuh orang lemah sepertimu! Lemah? Aqueena merasa kesal. Selama ini Aqueena merasa dirinya bukanlah gadis lemah. Buktinya selama ini dia mampu bertahan dari kerasnya hidup. Ingin rasanya Aqueena menendang b****g lelaki yang berani mengatakan dirinya lemah. Namun Aqueena takkan berani melakukannya lantaran memang benar dirinya lebih lemah ketimbang lelaki yang bisa menggunakan tendangan Konoha Senpu. “Arthur! Kau bisa memanggilku dengan nama itu!” katanya dengan suara yang masih sangat dingin. “Namamu?” Suara dinginnya masih membuat Aqueena takut. Tapi setidaknya Aqueena bisa tenang setelah melihat pedang bersarung putih itu dipautkan oleh lelaki itu ke punggungnya. “Namaku Aqueena Calysta, panggil aku Aqueena,” kata Aqueena yang cukup kesal setelah dipanggil lemah. Merasa risih dengan tatapan Aqueena yang terlihat kesal padanya, lelaki itu balik menatap Aqueena. “Berhentilah menatap seseorang seperti itu!” “Siapa kau sebenarnya?” tanya Aqueena penuh selidik. “Bukan orang jahat!” “Aku tak bertanya kau jahat atau tidak. Aku bertanya kau siapa?!” “Meskipun kujelaskan kau takkan tahu,” ujarnya membuat Aqueena ingin sekali menonjoknya. Rasanya percuma berdebat dengan orang seperti dia. Suara dingin dan ekspresi datarnya membuat Aqueena naik pitam. Lelaki iris biru ini mampu mematahkan ucapan Aqueena. “Kalau aku jahat, aku tak akan menyelamatkanmu dari para [1]Sontan!” “Apa? Santan?” Aqueena mengernyit, dia berpikir-pikir tentang apa yang dimaksudkan lelaki itu. “Menurut kamus besar bahasa indonesia, santan adalah cairan yang dihasilkan dari perahan kelapa yang sudah dikukur. Jadi mana mungkin orang bisa kebakar tadi itu santan. Disbanding santan, mereka lebih mirip Vampire.” Lelaki itu masih mempertahankan ekspresi dingin-datarnya. Penjelasan gadis di hadapannya agak melenceng jika dilihat dari wajahnya. Mungkin saja Aqueena masih trauma setelah melihat bagaimana sadisnya pembakaran para Sontan tadi. “Yang kau lihat tadi adalah manusia yang sudah menjadi iblis.” “Iblis?” tanya Aqueena. “Kayaknya kamu salah deh. Mereka jelas-jelas Vampire.” “Tidak ada Vampire di dunia ini,” kata lelaki itu masih dengan suara dingin. “Siapa bilang? Isabella Swan aja nikah sama Vampire, ganteng lagi.” “Sudah kukatakan di dunia ini tidak ada Vampire.” “Bukti udah di depan mata masih aja ngeles, keras kepala banget sih!” Aqueena sedikit meninggikan suaranya. Bukannya emosi mendengar sanggahan dari lelaki itu, Aqueena emosi melihat ekspresi Arthur yang sungguh... menyebalkan. “Ini adalah dunia sihir. Baik Vampire maupun Serigala tidak ada di sini, karena di sini khusus bagi penyihir.” “Penyihir? Harry Potter, ya?” “Terserah!” Jika kalian bertanya kenapa Aqueena seakan seperti bukan gadis dingin dan pendiam, jawabannya karena Aqueena memang bukan gadis seperti itu. Sebetulnya dia adalah pribadi yang ramah meskipun sedikit kasar, mudah tersenyum dan kadang-kadang melucu yang terdengar garing, tetapi cukup mampu membuat semua orang tersenyum, meskipun terpaksa. Hening sesaat. Lalu detik berikutnya Aqueena tersadar, dia masih takut dengan tempat ini, terutama dengan kemungkinan buruk lainnya yang mungkin saja terjadi padanya. “Kamu benar-benar bukan orang jahat?” tanya Aqueena, suaranya melembut. “Apa wajahku terlihat jahat?!” Mentang-mentang ganteng, kepedean banget, sih, batin Aqueena yang tak ingin disuarakannya. Karena biar bagaimanapun haram hukumnya bagi Aqueena memuji lelaki tampan, sebab hal itu menjadikan mereka kegeeran. “Ada sih, dikit!” Lelaki itu tiba-tiba mengeluarkan tatapan elangnya menatap Aqueena seakan berkata ‘berhentilah mencurigaiku’ yang membuat Aqueena tersedak ludahnya. “Kalau emang bukan.. yang tadi itu apa?” “Sudah kukatakan padamu. Mereka adalah iblis.” “Berhentilah bercanda!” “Aku tidak bercanda. Ini adalah dunia sihir Magical World,” jelas lelaki itu. Aqueena tertawa renyah mendengar nama tak biasa dari dunia tempat dirinya berada sekarang. Dia tidak akan mudah percaya dengan tipuan seperti itu. Baginya dunia sihir hanya ada di film Harry Potter. “Ini bukan film Harry Potter. Kamu jangan ngaku jadi Harry Potter deh, nggak mirip. Nggak lucu aja tiba-tiba Harry Potter punya mata sipit.” “Aku sedang tidak bercanda!” lelaki yang bernama Arthur sedikit kesal mendengar ocehan Aqueena. “Apakah nyawamu adalah candaan?” Aqueena menundukkan kepalanya. Dia berusaha mencerna setiap perkataan Arthur, dan menurutnya memang benar, itu semua bukan candaan. Itu semua real, sangat nyata, bahkan orang berjubah itu juga nyata. Lelaki itu menatap Aqueena tajam, “Kutanya padamu, kenapa kau bisa berada di dunia ini?!” Aqueena terkesiap, raut wajahnya berubah seketika. Suara dingin Arthur seperti ancaman baginya. Aqueena tidak mungkin jujur dengan mengatakan yang sebenarnya bahwa dia mengalami kejadian aneh. Tetapi Aqueena juga tak bisa berbohong pada Arthur yang jelas punya indera yang tajam, yang membuat siapapun tak berani berbohong padanya. Tetapi dunia ini juga tidak masuk akal, lebih baik jujur daripada dosa, batin Aqueena berusaha meyakinkan dirinya. “Aku nggak tau kenapa. Tiba-tiba aja aku udah ada di hutan gelap tadi.” Arthur mengernyitkan dahinya. Lalu perlahan wajahnya mulai datar kembali. “Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang!” “Ba-baiklah!” Mereka bergegas meninggalkan gubuk kayu itu. Dengan langkah cepat, Arthur meninggalkan Aqueena dan memilih berjalan mendahului gadis itu. Arthur benar-benar mengantarnya keluar dari hutan. Aqueena sempat berpikir apakah Arthur benar-benar tahu jalan keluar dari hutan atau hanya memutari hutan saja agar terlihat ahli? Entahlah! Aqueena tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Sepanjang perjalanan, Aqueena dan Arthur tidak banyak bicara. Canggung, tentu saja mereka merasa demikian. Aqueena tidak akan menyapa terlebih dahulu, karena gadis itu memang tidak pandai berbasa-basi. Hingga satu kejadian memecahkan keheningan diantara mereka. Dimana tepat di depan mereka terdapat sebuah batang pohon besar—yang tumbang melintang di tengah jalan—yang menghalangi jalan mereka menuju tempat tujuan. Tidak ada jalan lain selain menaiki batang tersebut agar bisa melanjutkan perjalanan. “Kau, naiklah!” perintah Arthur. “Aku punya nama!” kesal Aqueena karena di sini namanya seakan tidak berguna. “Lagipula kamu nggak lihat kalo aku pakai rok? Dasar m***m! Jangan cari kesempatan dalam kesempitan.” Tanpa menggubris Aqueena, Arthur terlebih dahulu menaiki batang pohon tersebut dengan sekali lompatan, dan langsung saja melompat turun tanpa mempedulikan Aqueena yang masih berada di seberang sana. Lompatan Arthur membuat Aqueena menganga lagi dan lagi. Aksinya benar-benar cepat hingga mata Aqueena tak bisa memperhatikan gerakannya. “Bantuin dong!” Aqueena tersadar bahwa dirinya harus menyusul Arthur ke seberang pohon. “Maaf, aku bukan lelaki m***m yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Pikirkan saja bagaimana caranya agar kau bisa melewati pohon ini!” Aqueena kesal bukan main. Sepertinya, gelar manusia ternyebelin versi Aqueena yang dipegang Bella si kaki unta sekarang sudah berpindah pada Arthur. Sungguh luar biasa, Arthur lebih menyebalkan dibandingkan Bella. Aqueena tak mau kalah. Dia bukan orang lemah yang suka minta tolong. Dengan berpegangan pada dahan kecil, Aqueena mencoba naik ke atas pohon tumbang tersebut. Pada percobaan pertama, dia gagal melakukannya. Aqueena mencoba berkali-kali hingga pada percobaan ketujuh dia berhasil naik ke atas batang pohon tumbang tersebut. Betapa bahagianya jika suatu usaha yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh membuahkan hasil. Begitulah yang dirasakan Aqueena, gadis itu tak hentinya menggumamkan kata ‘yes’ berkali-kali. Akan tetapi, Aqueena baru menyadari kenyataan memilukan. Dia sama sekali tidak bisa turun dari sana. Jika melompat, sudah dipastikan kakinya akan menjadi korban karena pohon tumbang ini cukup tinggi untuk dilompati oleh Aqueena. “Arthur! Tolong dong! aku nggak bisa turun.” “Pikirkan caranya sendiri. Bisa naik tapi tidak bisa turun, ck ck ck.” Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan Aqueena yang masih berusaha mencari jalan keluar dari masalahnya. Lagi dan lagi, ekspresi dingin Arthur sambil berdecak membuat Aqueena merasa kesal. Karena terlalu memakan waktu, akhirnya Arthur harus turun tangan membantu gadis itu. Berlama-lama di sini benar-benar membuang waktunya yang sangat berharga. “Pegang tanganku!” “Apa?!” “Pegang saja tanganku, lalu melompat. Aku akan menahanmu.” Aqueena mengikuti intruksi Arthur. Dia meraih tangan Arthur untuk dijadikan pegangan agar bisa turun dari sana. Aqueena melompat secara tiba-tiba yang membuat Arthur terkejut. Bahkan lelaki itu tak mampu menahan tubuhnya akibat benturan dengan tubuh Aqueena. Selanjutnya yang terjadi adalah mereka terjatuh ke tanah dengan posisi yang tidak dapat dikatakan biasa. Tubuh Aqueena berada di atas tubuh Arthur, tatapan keduanya terkunci, Aqueena lagi-lagi dibuat terpesona dengan indahnya iris biru itu. Sementara Arthur, lelaki itu amat terkejut hingga wajahnya mengeluarkan semburat merah jambu, dia tidak menyadari bahwa posisi mereka sangat tidak biasa. Matanya terpaku pada iris hazel yang cantik, lalu selanjutnya beralih pada hidung gadis itu, lalu berakhir dengan terpaku pada bibir mungil yang sekiranya sangat menggemaskan. Suara kicauan burung menyadarkan keduanya. Mereka langsung bangkit dengan saling berdeham satu sama lain. Entah karena merasa malu entah apa, yang jelas mereka harus melanjutkan perjalanan. Mereka sampai di hutan setelah lama menelusuri hutan dengan keadaan hening. Aqueena memperhatikan sekelilingnya yang nampak familier. Tentu saja, ini adalah desa tempat Aqueena menghabiskan masa kecilnya. Desa itu adalah desa dimana neneknya tinggal dan menetap di rumah penuh kenangan yang hangat. “Aku hanya bisa mengantarmu sampai disini,” kata Arthur. “Gapapa kok. Thanks ya, karena kamu udah mengantarku keluar dari hutan,” kata Aqueena yang diakhiri dengan senyuman canggung. Arthur mengangguk singkat, “Aku pergi!” “Iya, hati-hati. Sekali lagi, makasih.”   ψψψ   Aqueena berdiri di perbatasan hutan tanpa melakukan apa-apa. Dia telah menyaksikan kepergian Arthur yang telah menghilang di balik lebatnya hutan. Aqueena bingung apa yang harus dilakukannya. Sekarang sudah jam tiga sore dimana sekolahnya belum bubar. Jika Aqueena memilih mengunjungi neneknya, wanita tua itu pasti akan terkejut dengan kehadiran Aqueena yang mendadak. Jika memilih pulang, sepersenpun dia tak membawa uang karena dompetnya tertinggal di dalam tas yang berada di kelas. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Aqueena memilih pilihan ketiga, yaitu bermain di sekitar hutan dan akan ke rumah neneknya setelah jam sekolah usai. Aqueena tak bersemangat lantaran kawasan ini yang dulunya adalah ladang bunga sekarang sudah berubah menjadi semak. Tak ada keindahan yang mampu membuat Aqueena betah berlama-lama. Dilihat dari manapun, kawasan ini bukanlah tempat terbaik untuk melepaskan lelah. Suara dentuman keras disertai suara erangan mengganggu Aqueena. Refleks, Aqueena mengedarkan pandangannya ke dalam hutan. Gadis itu menajamkan pendengarannya, dan lagi-lagi dia mendengar suara erangan. Tanpa aba-aba, Aqueena langsung berlari ke dalam hutan mencari tahu sumber suara erangan tersebut. Siapa tahu saja jika seseorang membutuhkan bantuannya. Dan bisa saja orang itu adalah Arthur. Karena kecerobohannya yang panic tanpa menggunakan otak, Aqueena harus menerima kenyataan bahwa dirinya sekarang telah tersesat di hutan. Niat baiknya yang ingin membantu seseorang yang sedang kesusahan malah berujung buruk untuknya. Aqueena lagi-lagi dilanda rasa takut. Tadi saat dia bersama Arthur membuatnya masih merasa paranoid, apagi sekarang dia sendirian. Berbagai pikiran buruk melintas di kepalanya. Hingga berpikir bisa saja Kali ini Aqueena menyadari bahwa niat baik tak selalu berujung baik. Mengikuti jejak kakinya mungkin bisa menuntunnya keluar dari hutan dengan selamat. Pikiran itu sempat membuatnya tenang. Tetapi ketenangan itu dikacaukan dengan suara auman dari belakangnya yang cukup keras terdengar di telinganya. Sontak saja Aqueena membalikkan tubuhnya mengkonfirmasi kebenaran akan auman tersebut. Disinilah Aqueena merasakan memerlukan do’a seribu umat agar selamat. Berkaki empat dengan tubuh besar disertai loreng berwarna hitam dan kekuningan menatap Aqueena dengan tajam. Sesekali menggelengkan kepalanya memperhatikan secara detail mangsa yang tepat berada di depan mata. Aqueena merasakan lemas seketika. Dadanya mulai bergemuruh. Sempat terpikir di benaknya ingin pasrah saja menghadapi kematian, tetapi dia urung karena merasa mati diterkam hewan buas tanpa diketahui oleh siapapun akan sangat menyedihkan. Apalagi tanpa petunjuk sedikitpun, berarti tak ada pemakaman baginya. Sangat miris. Dengan bergerak pelan, Aqueena menggerakkan tubuhnya berusaha mencari celah agar dia bisa pergi tanpa diikuti oleh harimau bertubuh besar itu. Aqueena mulai berhitung seraya bersiap untuk berlari sekencangnya. Satu!! Dia perlahan mengangkat sebelah kakinya. Dua!! Dengan pelan Aqueena menggerakkan sedikit demi sedikit tubuhnya. dan.. Tiga!! Aqueena berlari menjauhi harimau itu tanpa menghiraukan apa yang berada di depan dan belakangnya. Dia merasakan perih di lengannya yang terkena duri tumbuhan. Tetapi itu tidak penting, yang terpenting sekarang dia harus bebas dari hewan berloreng itu. GEDEBUK Aqueena jatuh tersungkur kala kakinya tak sengaja tersandung pada akar pohon tua yang sudah membesar. Dia merasakan perih yang teramat di bagian sendi luncurnya—yang menghubungkan antar tulang pada pergelangan kakinya. Harimau itu menghentikan larinya dan menatap Aqueena dengan tatapan sengit beserta taring runcing yang terlihat dari mulutnya yang menyeringai. Tenggorokan Aqueena tersekat. Dia menyadari jika kematian sudah hampir tiba. Mungkin saja Malaikat maut sudah bersiap-siap membawa dirinya menuju alam lain. Aqueena menyaksikan harimau yang berlari dan melompat ke arahnya. Refleks, dia melindungi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Jika seseorang menemukan jasadnya, mereka akan mudah mengenalinya sehingga Aqueena bisa lebih tenang dan tidak bergentayangan nantinya. Semenit sudah Aqueena di posisinya dengan kedua tangan yang masih terangkat melindungi wajah. Aqueena bertanya-tanya, apa mungkin dirinya telah meninggal? Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasakan sakit. Perlahan Aqueena membuka matanya dan menurunkan kedua tangan. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah darah yang bececer di tanah. Darah itu berasal dari harimau yang terkapar dengan bagian perut yang terbelah. Darah segar terus mengalir bak banjir darah. Tanah yang awalnya berwarna cokelat telah berubah menjadi merah. Aqueena masih dapat melihat harimau itu bergerak singkat, seakan tengah mengalami pencabutan nyawa. Aqueena mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dia mendapati seorang lelaki tinggi bertubuh tegap dengan bahu kekar berdiri membelakanginya dengan pedang yang telah berlumuran darah di tangannya. Mata Aqueena menangkap sesuatu berwarna merah mengalir dari lengan lelaki itu. Aqueena yakin bahwa itu adalah cakaran harimau. Laki-laki itu membalikkan tubunya menghadap Aqueena. Wajahnya seakan dicuci dengan darah. Pakaiannya terdapat percikan darah yang mengotori pakaian berwarna putih itu. Lelaki itu melangkah mendekati Aqueena. Tangan kanannya masih memegang pedang, sementara tangan kirinya dijulurkan pada Aqueena agar gadis itu meraihnya dan berdiri. Wajah sengit lelaki itu seakan menambah kebengisannya. Tetapi Aqueena yakin jika lelaki itu adalah orang yang baik.   >> To be continued << [1] Sontan adalah Singkatan dari person-satan, adalah manusia yang berubah menjadi setan setelah ditumbalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD