1. Kenyataan yang tak dapat diterima

3273 Words
Senja perlahan beranjak menjadi gelapnya malam. Matahari menghitung waktu untuk tenggelam total di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang masih mewarnai langit senja. Desiran angin menerpa pepohonan sehingga menciptakan sorak-sorai bunyi dedaunan yang mulai gugur—pertanda musim gugur telah tiba, dan suatu pertanda akan datangnya musim dingin. Sunset mungkin suatu keindahan alam yang ditunggu-tunggu bagi sebagian orang di dunia ini. Karena menurut sebagian pendapat, suasana senja merupakan suasana paling romantis bagi sepasang kekasih untuk mengabadikan kisah cinta mereka. Senja adalah suasana yang mampu menyejukkan pikiran, apalagi jika disertai desiran angin yang menampar wajah, menambah kesan damai bagi penikmatnya. Tak sedikit orang menantikan suasana senja diiringi sunset yang mengganti warna langit biru menjadi jingga. Namun berbeda dengan seorang gadis yang bediri menatap senja dengan wajah suram. Aqueena Calysta namanya. Dia bukanlah penikmat senja. Gadis itu adalah salah satu dari sekian orang yang kontra terhadap suasana senja, atau mungkin hanya dia saja di dunia ini yang tidak menyukai senja. Dia bukannya tidak menyukai hal-hal yang berbau romantis, atau keharmonisan, hanya saja setelah dua kejadiaan nahas itu mengubah hidupnya, dan kedua kejadian itu berlangsung ketika senjakala. Aqueena menatap pada sang mentari yang terbenam. Dia membenci warna jingga yang terus muncul ketika matahari terbenam. Dia benci menyaksikan matahari yang perlahan sembunyi dibalik perbukitan. Namun, dia terus menatap sang mentari yang meninggalkan langit, karena dia tak ingin melupakan dua kejadian nahas itu. Melihat sang mentari terbenam setidaknya dapat membuat dirinya merasakan perasaan yang berbeda, ya sejenis perasaan marah dan dendam, bukan perasaan hampa dan kekosongan yang biasa dia rasakan. Hal itu membuat dirinya berpikir, bahwa dia masih seorang manusia, bukanlah robot yang hidup secara monoton. Dengan melihat suasana senja membuat Aqueena menyadari ada hal yang harus diselesaikan sebelum dirinya meninggalkan dunia ini, yaitu mencari tahu penyebab kematian ayah dan juga sahabatnya. Hal itulah yang selama ini membuat dirinya bertahan di dunia ini. Aqueena berpikir jika dirinya belum menuntaskan apa yang harus dicari tahu, maka selamanya dia tak berani bertemu ayah dan juga sahabatnya di akhirat. Kegelapan telah menutupi jingganya langit senja. Saatnya bagi Aqueena untuk pulang. Hari ini Aqueena pulang dengan wajah yang ditekuk seperti biasanya. Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, Aqueena pulang pada jam yang sama. Dia merasa sangat lelah dengan semua aktivitas yang dilakukan. Mulai dari sekolah yang selesai jam empat sore, dilanjutkan dengan mengikuti les, lalu berakhir dengan mengunjungi toko buku untuk mencari buku bacaan yang dapat digunakan sebagai penghibur. Tidak seperti biasanya, Aqueena memutuskan tidur lebih awal karena besok dia berencana mengunjungi panti asuhan dan bertemu dengan teman-teman kecilnya yang manis dan imut karena besok adalah hari libur. Biasanya gadis itu rutin mengunjungi sebuah panti asuhan yang terletak cukup jauh dari rumahnya setiap hari libur atau bahkan saat sempat. Alasannya sederhana, karena dia sangat menyukai anak-anak dan juga karena di sana dirinya diperlakukan seperti keluarga. Awal Aqueena mengenal panti asuhan itu saat dia berusia 7 tahun. Saat itu Aqueena bersama sang ayah pergi ke sana untuk bersilaturahmi karena ayahnya rutin memberikan bantuan pada panti asuhan itu setiap bulan, meskipun jumlahnya tidak banyak, sedikit banyaknya dapat membantu. Alasan yang paling dominan dirinya selalu mengunjungi panti asuhan itu karena di sanalah kenangan termanisnya bersama Ayahnya. Dia selalu merindukan kenangan itu. Saat Aqueena berada di sana, dia merasakan kehadiran sang Ayah disisinya, bahkan tak jarang dia merasakan halusnya belaian tangan sang ayah di rambutnya sebagai pengantar tidur. Sebelum tidur, Aqueena menyempatkan dirinya membuat pekerjaan rumah terlebih dahulu, karena gadis itu memang tidak punya pekerjaan lain. Semua pekerjaan rumah tangga telah dia selesaikan pagi-pagi buta sebelum berangkat ke sekolah. Di rumah ini, Aqueena tinggal bersama mamanya yang bernama Evelyn. Karena Evelyn adalah wanita karir, mamanya itu jarang pulang ke rumah sehingga Aqueena merasa dirinya tinggal sendiri. Kesepian? Tentu saja. Tetapi Aqueena bukanlah anak egois yang mengharuskan mamanya berada di rumah setiap waktu. Gadis itu mengerti jika keuangan keluarga harus terus mencair sehingga masa depannya bisa lebih terjamin. Aqueena pernah mendengar bisikan tetangga yang menggosipkan tentangnya. Mereka mengatakan bahwa hidupnya sangat menyedihkan. Setelah ditinggal oleh sang ayah, dan sekarang dia hampir kehilangan sosok sang mama karena pekerjaan. Tetapi dibalik itu semua, mereka juga mengatakan jika hidup Aqueena sangat sempurna. Meskipun mamanya disibukkan dengan pekerjaan, setidaknya mamanya mampu memiliki penghasilan yang cukup besar sehingga bisa membeli rumah mewah yang mereka tempati sekarang. Gosip itu ternyata menyebar dengan cepat sampai ke sekolahnya. Dia sudah menduga hal itu, karena dirinya tinggal satu kompleks dengan teman sekelasnya. Kompleks tempat Aqueena tinggal adalah kompleks yang dipenuhi ibu-ibu penggosip. Wajar saja kelebihan mereka menurun kepada anak mereka sehingga gosip tentang Aqueena meruak sampai ke penjuru sekolah. Mereka sedikit memuji Aqueena; memiliki paras yang cantik sehingga lokernya selalu dipenuhi bunga dan kotak cokelat serta surat yang entah siapa pengirimnya, pintar dalam mata pelajaran sains sehingga nilainya selalu meningkat setiap semester, pandai memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, menjadi famous girl di sekolah dan luar sekolah, serta merupakan most wanted yang ditakuti oleh siapapun karena wajah yang selalu sangar dan datar. Intinya, mereka menganggap Aqueena memiliki kecantikan yang misterius. Dari sekian pujian yang mereka ketahui tentang Aqueena, sedikit banyaknya mereka benar. Tetapi mereka salah dalam menilai hidup Aqueena. Hidupnya tak sesempurna yang mereka pikirkan. Dia hanya tidak ingin terlihat lemah dihadapan semua orang karena tidak punya ayah dan juga teman. Aqueena tak memiliki teman, dia selalu terlihat sendiri dimanapun dia berada. Bukannya Aqueena tak ingin punya teman, jauh di lubuk hatinya yang terdalam Aqueena ingin mengakhiri kesepiannya dengan memperbanyak teman. Namun di sisi lain, Aqueena masih ragu apakah dia akan berteman baik dengan orang lain, atau justru pertemanannya malah dimanfaatkan oleh orang yang punya kepentingan pribadi, seperti mencontek pekerjaan rumah atau pun minta traktiran. Bukan hanya alasan itu saja, Aqueena masih trauma dengan kematian Claryna. Aqueena selalu merasa dirinya adalah penyebab kematian Claryna dan juga ayahnya. Dia selalu merasa menjadi pembawa sial bagi orang-orang di sekitarnya, karena itu dia menolak untuk bersosialisasi. Lagi pula, orang-orang di luar sana juga takut padanya. Kematian Claryna yang tidak terduga membuat Aqueena semakin terpuruk. Setelah meninggalnya sang ayah, hanya Claryna-lah satu-satunya yang datang mengulurkan tangan dan menyapa Aqueena dengan senyuman, karena itu dia menganggap Claryna bukan hanya sekedar teman melainkan seorang saudara. Namun, Aqueena tak menduga Claryna akan meninggal dengan tragis, dan kejadiannya mengingatkan Aqueena pada kematian ayahnya. Saat itu Aqueena bersama Claryna sedang mengikuti acara tahunan yang diadakan sekolah saat SMP. Aqueena dengan kecerobohannya tersesat di hutan, dan untungnya Claryna berhasil menemukannya. Akan tetapi, itu tidak dapat dikatakan keberuntungan, karena Claryna yang berhasil menemukan Aqueena tidak tahu arah jalan pulang ke tenda. Kejadian nahas itu terjadi tanpa diketahui Aqueena secara detail. Yang masih tersimpan di memorinya, saat itu datang gumpalan asap hitam yang menyebar dalam hitungan detik, lalu Aqueena merasa dadanya teramat sesak, dan setelah itu dia tidak mengingat apa-apa lagi selain setelah bangun dia menyaksikan Claryna yang terkulai tak berdaya di sampingnya. Mengingat kejadian itu membuat Aqueena tak konsentrasi dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Meskipun besok adalah hari libur, setidaknya Aqueena harus menyelesaikan semua tugas agar tidak kelupaan. Tetapi untuk sekarang sepertinya Aqueena sudah harus tidur. Mengingat kejadian nahas itu selalu membuat Aqueena ingin menangis. Tok tok tok Suara ketukan pintu membuat Aqueena batal menaiki ranjang untuk merebahkan diri. Siapa lagi yang akan mengganggunya kalau bukan mamanya, karena tidak mungkin orang lain bisa masuk ke rumahnya yang telah dikunci rapat-rapat kecuali jika itu adalah maling berkelas yang jago nge-hack seperti di drakor. Aqueena sedikit terkejut mendengar ketukan pintu disertai suara khas mamanya. Bukan karena keadaan yang sedang hening, melainkan karena mamanya yang pulang malam ini. Menurut perhitungannya, mamanya akan pulang sebulan dari sekarang. “Nana! kamu sudah tidur, sayang?” “Iya, Ma!!” sahut Aqueena setelah meletakkan pulpen di atas meja, lalu gadis bersurai cokelat itu melangkah ke arah pintu dan membukanya. Evelyn berdiri di pintu kamar Aqueena seraya mengedarkan pandangan ke sepenjuru kamar. “Boleh Mama masuk?” Pertanyaan sederhana itu membuat d**a Aqueena serasa ditohok benda tajam. Sebut saja Aqueena lebay, tetapi itulah yang dia rasakan. Ibu manapun pasti akan nyelonong masuk ke kamar anaknya tanpa permisi sebagai tanda keakraban antara ibu dan anak. Tetapi berbeda dengan Aqueena dan Evelyn, mereka tak lagi seakrab dulu, begitulah kesimpulan yang didapat Aqueena setelah kematian ayahnya. “Masuk aja, Ma,” jawab Aqueena. Evelyn masuk ke kamar Aqueena dan langsung duduk di bibir ranjang yang berbalut sprey berwarna biru laut. Dari dulu warna kesukaan Aqueena selalu berubah, mungkin karena itulah yang membuat Evelyn susah untuk memahami Aqueena. “Kamu sedang belajar? Bukannya besok hari libur?” tanya Evelyn saat Aqueena kembali duduk di meja belajar. “Iya, Ma. Nana harus selesaiin PR. Lebih cepat lebih baik,” jawab Aqueena sembari memainkan pulpen dan fokus ke buku pelajaran dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya sebagai pembantu fokus matanya yang sedikit menderita rabun jauh. “Besok Nana sibuk, nggak?” tanya Evelyn, lagi, yang membuat Aqueena mengernyitkan dahi meskipun mamanya itu tidak dapat melihatnya. “Nggak juga. Rencananya besok Nana mau main ke panti,” jawab Aqueena masih di posisi yang sama tanpa menatap ke arah mamanya. “Kalau begitu besok bisa tidak Nana ikut sama Mama?” tanya mamanya seperti memelas. Langsung saja Aqueena memutar tubuhnya menghadap Evelyn. Pertanyaan mamanya mengundang rasa curiga dalam pikiran Aqueena, tidak biasanya mamanya mengajak dirinya pergi. “Kemana, Ma?” “Besok kamu akan tahu,” jawab mamanya yang disertai napas berat. Jika dilihat dari ekspresinya, sepertinya Evelyn menyembunyikan sesuatu. Aqueena tak ingin bertanya jika mamanya tak ingin bercerita. Tetapi Aqueena penasaran hingga merasa curiga. Mamanya berdiri dari duduk dan langsung melangkah mendekati Aqueena. “Baiklah! Kalau gitu besok pagi kita berangkat.” Aqueena belum menjawab tetapi mamanya sudah menyimpulkan sendiri, sehingga Aqueena harus pasrah dan menurut. Toh, tidak mungkin juga mamanya akan merugikannya. “Lanjut aja belajarnya! Mama masih banyak pekerjaan. Jangan tidur larut malam ya, Sayang!” kata mamanya. Lalu wanita yang berusia akhir tiga puluhan itu melenggang pergi dari kamar Aqueena. Tumben mama ngajak aku pergi, mama aja jarang pulang, baru pulang eh! langsung ngajak pergi. Benar-benar mencurigakan, batin Aqueena.   ψψψ   Matahari telah menampakkan sinar paginya yang redup—yang perlahan menembus jendela kaca kamar bermaniak warna biru. Kamar yang didominasi dengan berbagai tokoh kartun itu membuat siapapun enggan bangun karena kehangatannya. Pagi sudah datang menyambut gadis yang masih bergelut di atas ranjang big size, yang tepat di atas kepala ranjang terdapat sebuah foto berukuran besar yang tidak lain adalah milik empunya kamar. Aqueena bangun dan duduk di tempat tidurnya, lalu detik berikutnya merebahkan lagi tubuhnya seraya menarik selimut merasa malas untuk bangun. Hingga suara ketukan diiringi suara Evelyn menyentakkan Aqueena. “Nana!!!” teriakan itu bak bom karbid yang sering digunakan saat acara tujuh belasan—digunakan untuk keperluan lomba barisan 45 saat masih duduk di bangku SD. “Bangun! Nana, sejam lagi kita berangkat." “Iya, Ma. Nana udah bangun, 30 menit lagi Nana siap,” katanya yang masih berusaha mengusir iblis penggoda yang setia menggodanya setiap pagi hari. Aqueena keluar dari kamar setelah bersiap-siap dan telah merasa perfect dengan dandanannya. Seperti biasa, dia memakai celana jeans dan baju yang berbahan senada dengan celananya agar tidak mencolok. Lengan bajunya dilipat sedikit hingga memperlihatkan kulitnya yang seputih s**u. Rambutnya sengaja diikat seperti ekor kuda karena tak ingin kepanasan dengan cuaca yang cukup cerah. “Nana!!” sapa mamanya dengan dahi yang mengkerut, mata mamanya menatapnya dari atas ke bawah seperti menginterogasi seluruh bagian tubuhnya. “Kenapa, Ma? Ada yang salah?” Evelyn mengambil sebuah kotak berwarna coklat dan memberikan pada Aqueena, “Pakai ini!” “Emangnya kita mau kemana sih, Ma?” tanya Aqueena seraya sibuk membuka kotak cokelat yang cukup besar, “gaun?” “Udahlah, Na. Nggak usah banyak tanya, pakai aja!” kata mamanya yang menimbulkan pertanyaan di dalam pikiran Aqueena. Jika diilustrasikan, di atas kepalanya telah melayang sebuah tanda tanya besar. Kemudian tanda tanya besar itu berubah menjadi bom yang meledak dasyat ketika Aqueena membayangkan sesuatu. Mencurigakan! mama ngasih aku gaun? Apa mungkin dugaanku benar? Oh, tidak Na, nggak usah kebanyakan mikirin hal yang nggak mungkin terjadi, batinnya. “Iya! iya!” katanya sambil menundukkan kepala dan langsung kembali ke dalam kamarnya yang terletak di lantai dua. Aqueena segera mengganti pakaiannya dengan gaun yang diberikan mamanya. Kesan pertama Aqueena setelah memakai gaun itu adalah ‘indah’. Sangat cocok ditubuhnya; berwarna merah muda, di dadanya terdapat hiasan mutiara putih yang melingkar di sekitar leher, panjangnya hanya sedikit di atas lutut sehingga lebih mengekspos kaki jenjang Aqueena, gaun itu tak berlengan namun tak terlalu memperlihatkan d**a Aqueena. Aqueena terlihat cantik dibalut gaun indah itu. Di dalam kotak juga terdapat sepatu yang berwarna putih—yang didepannya sedikit terbuka dan sedikit tinggi. Sangat serasi dengan gaun yang dia kenakan. Aqueena duduk di depan cermin rias memperhatikan pantulan dirinya yang.. menurutnya sangat cantik, dia belum pernah merasa secantik ini. Perlahan tangannya bergerak ke atas melepaskan ikatan rambutnya. “Sini! biar Mama bantu,” Evelyn masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, lalu mengambil sisir dan menyisir rambut Aqueena. Mamanya bukan hanya menyisir rambutnya saja, wanita setengah baya itu mempermak penampilan Aqueena dengan menambahkan jepitan rambut, mengoleskan make up di wajah Aqueena beserta lipbalm, serta tak luput pula menata rambut Aqueena dengan menggulungnya ke atas dan meninggalkan sedikit bagian yang dibiarkan menjuntai agar terlihat alami. Baru kali ini Aqueena merasa dirinya teramat cantik, pasalnya sejak dia menginjak bangku SMA, dia belum pernah mengoleskan make up di wajahnya. Ketika SMP Aqueena pernah mengikuti kegiatan tujuh belasan sehingga dia pernah memakai make up. Meskipun demikian, dalam kesehariannya dia selalu mendapat pujian cantik dan juga manis seperti cotton candy. Aqueena merasa seperti gadis buruk rupa yang disihir menjadi Cinderella. Tetapi kenyataannya berbeda, dia bukan Cinderella yang menunggu pangeran menyelamatkannya, karena dia tak selemah itu menantikan seseorang yang tak tentu kehadirannya. “Selesai!!” kata mamanya. Dia memandangi Aqueena seraya tersenyum. “Putri mama sangat cantik. Kamu terlihat seperti Snow White.” Snow white? Yang benar saja! Snow White tidak pernah memakai gaun selutut, apalagi berwarna merah muda. Aqueena berani bertaruh kalau dia sama sekali tidak takut dengan apel yang diberikan penyihir. Kalau penyihir memberikan dirinya apel, Aqueena akan menyuruh penyihir itu yang memakan apel terlebih dahulu agar dirinya tak berakhir tragis seperti Snow White yang sungguh mudah ditipu. Dengan rasa penasaran, Aqueena bertanya lagi kepada mamanya karena merasa sangat aneh jika dia berdandan tanpa mengetahui kemana tujuannya. Aqueena sempat memikirkan kemungkinan yang tidak tidak seperti ‘perjodohan’. “Sebenarnya kita mau kemana, Ma?” “Nanti kamu juga akan tau sendiri,” kata mamanya masih dengan jawaban yang sama dan juga disertai napas berat. “Ya udah deh!” “Sekarang ayo berangkat!” Aqueena dan Evelyn keluar dari rumah yang disambut dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam menanti mereka di pagar rumah. Mamanya segera melambaikan tangan lalu berjalan ke arah mobil itu. Sementara Aqueena hanya mengikuti mamanya dari belakang. Aqueena dan mamanya memasuki mobil mewah yang entah dari mana asalnya. Yang pasti Aqueena yakin itu adalah salah satu fasilitas kantor karena mamanya menyebutkan kata CEO. Setelahnya, mobil segera melaju meninggalkan rumah. Aqueena melihat mamanya yang antusias mengobrol dengan pria paruh baya yang memakai setelan hitam, yang tak lain adalah orang yang sedang menyupiri mobil yang mereka tumpangi. Aqueena yakin mamanya sudah mengenal pria itu cukup lama karena mereka terlihat akrab. Yang anehnya, pria itu memanggil mamanya dengan sebutan 'Nyonya'. Merasa tidak tertarik dengan obrolan mamanya dengan si supir, Aqueena membuka kaca jendela mobil karena merasa bosan. Angin berhembus seakan menampar wajah Aqueena. Dingin dan segar dirasakan kala menghirup aroma hutan yang sangat kentara. Dia mengedarkan pandangan ke luar jendela sembari memperhatikan pengendara motor yang berkendara di samping mobil. Dan juga, pemandangan menuju tempat tujua sangat teramat indah dan juga menyegarkan. Bagaimana tidak, mereka menuju pegunungan yang khas dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi di kedua sisi jalan. “Sayang, tutup kacanya!!” perintah mamanya. “Udaranya sangat dingin!” Dengan sangat terpaksa, Aqueena menutup kaca mobil dengan rasa kesal. Lalu ia memilih menyumpal telinganya dengan earphone dan mendengarkan lagu All i ask dari Adele.   ψψψ   Setelah sampai di tempat tujuan, mereka langsung di sambut oleh beberapa orang, bahkan mamanya digiring menuju ruangan make up. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah villa. Langsung saja Aqueena menyadari bahwa di sana akan diadakan pesta. Mereka sampai di ruangan yang berisi beberapa orang wanita, disisi kanan ruangan terdapat sofa, sedangkan disamping sofa terdapat lemari kaca yang mempertontonkan sebuah gaun putih. “Pengantinnya sudah datang? Ayo duduk di sini, waktunya berhias supaya cantik!” kata seorang wanita yang mungkin saja teman mamanya. Kata-kata wanita itu membuat Aqueen mengernyitkan dahi tak mengerti. Lalu Aqueena menatap mamanya dengan penuh pertanyaan. Evelyn menghembuskan napas berat dan menatap mata Aqueena tepat di iris hazelnya. “Maafin Mama, Na. Mama tidak memberitahu...” “Mama yang akan menikah?!” Aqueena sedikit membentak dengan mata yang berkaca-kaca dan seluruh tubuhnya bergetar sebagai respon. “Maafin Mama, Na!” kata mamanya dengan penuh penyesalan. Aqueena tak hentinya menatap Evelyn dengan ketidakpercayaan. Lalu detik berikutnya dia merasakan bahunya disentuh oleh mamanya seakan menahannya. Ketika dia merasakan Evelyn ingin memeluknya, dengan kasar Aqueena menarik diri menjauh. Aqueena tersadar, dengan tatapan nanar, dia mencoba tertawa yang terdengar sangat terpaksa. “Hahaha... Aku benar-benar nggak percaya,” Aqueena menahan dadanya yang terasa sesak. “Jadi tujuan Mama ngajak aku pergi Cuma ingin aku ada di acara penting Mama? Tapi dadaku terasa sakit, Ma. Mama tahu nggak kalo aku merasa nggak diterima di sini? Mama tahu nggak kalo aku merasa bukan anak mama disini?!!” “Nana, jangan begitu!!” lirih Evelyn dengan tatapan sedu menahan air mata yang membanjiri kelopak matanya. Aqueena merasa sakit di dadanya, tubuhnya terasa lemas, matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan isakan. Semua yang berada di ruangan saat ini terdiam tanpa sanggup bersuara. Entah mereka menikmati drama yang dilihat secara nyata, atau karena mereka tak berani bersuara lantaran Aqueena dengan wajah sangarnya dan tatapan setajam siletnya seperti akan mencabik siapapun yang berbicara. Aqueena merasa tak sanggup lagi berada di ruangan itu. melihat wajah mamanya seakan mampu menggores pecahan kaca di dadanya. Aqueena berlari menuju sebuah pintu yang terletak di belakang vila. Tanpa pikir panjang, gadis bersurai cokelat itu berlari memasuki hutan. Aqueena sampai di sebuah ladang kecil yang ditumbuhi Dandelion. Di penghujung ladang dandelion itu terdapat tebing curam yang kedalamannya tak dapat diprediksi. Melihat sebuah tebing membuat Aqueena ingin berteriak melepaskan segala kesedihannya, meluapkan emosinya, memecahkan rasa sakit di dadanya. Aqueena menangis tak tertahan, suara tangisannya tak dapat keluar. Aqueena merasa telah dikhianati. Dia merasa tak dianggap oleh mamanya. Dia mengerti jika mereka sudah tak seakrab dulu, tetapi setidaknya mamanya bisa memberitahu jika ingin menikah. Atau mungkin... Aqueena bukanlah anak kandung Evelyn? Sejak kepergian ayahnya Aqueena punya pikiran bahwa dirinya bukanlah anak kandung Evelyn. Hal itu dirasakan Aqueena karena menurutnya antara dirinya dan Evelyn punya perbedaan yang cukup untuk membuktikan hipotesanya. Pertama, sifat Aqueena dan Evelyn sangat berlawanan. Evelyn orang yang lemah lembut, sementara Aqueena adalah orang yang kasar. Kedua, wajah mereka mungkin sedikit mirip, namun golongan darah mereka berbeda. Ketiga, makanan kesukaannya dan Evelyn tak pernah sama, seperti misalnya Aqueena suka kopi tapi Evelyn menyukai teh. Keempat, Evelyn alergi dengan makanan yang terbuat dari tepung, sementara Aqueena tak berpengaruh terhadap tepung. Dengan adanya kejadian ini membuat Aqueena semakin yakin bahwa dirinya bukanlah anak kandung Evelyn. Namun Aqueena tak pernah berani untuk bertanya karena dia tak ingin tahu kebenarannya. Bagaimana jika dia benar-benar bukan anak kandung Evelyn, apakah Aqueena masih pantas hidup dengan wanita itu? Atau bagaimana jika Aqueena benar anak kandungnya? Bukankah dengan bertanya membuat Evelyn bersedih? “AKHHHH!!!” Aqueena meremas kepalanya. “Apa aku nggak pantas jadi anaknya?!” Kali ini kalian bisa menyebut Aqueena khilaf, karena saat ini dia merasa tak ingin berada di dunia ini. Terlintas di pikirannya ingin terjun ke jurang yang berada di depannya. Sebut saja Aqueena berlebihan, tapi apa yang bisa dia lakukan? Batinnya sudah cukup menderita selama ini. Ini bukan kali pertama Aqueena terpikir untuk bunuh diri. Sebelumnya dia pernah menggoreskan pisau di lengannya, tetapi terhenti saat dering telepon mengusik telinganya. Niatnya terhenti lantaran mendapat telepon dari neneknya, sehingga hanya luka kecil saja yang tergores di lengannya. "AKU BERHARAP BISA PERGI DARI DUNIA INI!!!" teriak Aqueena bersiap melompat dari tebing. “Maafin Nana, Ma! Nana nggak bisa nerima kenyataan ini. Hidup ini terlalu buruk, Nana nggak sanggup lagi. Selamat tinggal!” Aqueena memejamkan matanya dan menghitung mundur untuk kematiannya. Belum sempat gadis itu melompat, kepalanya terasa berputar seperti terhisap ke dalam angin p****g beliung. Dia membuka matanya untuk memastikan bahwa dirinya benar-benar tidak terhisap ke dalam angin yang menggulung tersebut, karena dia sama sekali tidak merasakan adanya angin. Saat inilah hal aneh terjadi padanya. Tiba-tiba saja seluruh penglihatannya menjadi gelap. Aqueena masih merasakan seluruh tubuhnya, yang artinya dia tidak pingsan. Seluruh tubuhnya terasa kaku, jiwanya berteriak kesakitan seakan sesuatu mampu menariknya keluar, perutnya terasa mual, kepalanya sakit seperti tertusuk paku. Lalu sesaat kemudian, kegelapan berubah menjadi cahaya terang. “Dimana ini?”   >> To be continued <<
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD