4 : Doa

787 Words
Pertemanan antara Olin dan Rafka itu terkesan lucu. Saat di dalam kelas, mereka sangat akrab dan bisa berinteraksi serta bercanda dengan mudah. Bahkan, di saat Rafka masih merasa canggung dengan anak-anak perempuan lain di kelas, termasuk dengan Farah setelah gosip tidak benar yang terjadi antara mereka, ia bisa bersikap santai dengan Olin. Seperti lebih memilih duduk di dekat Olin setiap harinya, entah itu di samping, di depan, atau di belakang Olin dan mengajaknya mengobrol. Rafka juga lebih memilih untuk menyalin PR Olin dan menanyakan soal pelajaran pada Olin. Padahal, Olin tidaklah sepintar itu dan masih banyak yang jauh lebih pintar darinya di kelas dan juga masih berbaik hati untuk membiarkan tugas atau PR-nya disalin oleh anak-anak di kelas. Namun entah kenapa, Rafka lebih memilih Olin. Dan tidak bisa dipungkiri, Olin merasa seolah dispesialkan karenanya. Hanya saja, semua sikap baik dan bersahabat Rafka itu hanya berlaku di dalam kelas. Jika sudah di luar kelas apalagi di luar sekolah, Rafka seolah lupa pada Olin dan bersikap berjarak padanya. Padahal, mereka sering sekali bertemu di luar sekolah. Entah itu ketika berjalan mencari angkot untuk pulang ke rumah atau saat mereka tidak sengaja bertemu di warung yang ada di sekitar lingkungan rumah mereka (Olin dan Rafka memang tinggal di kecamatan yang sama namun letak rumah mereka tidak berdekatan). Melihat bagaimana mereka bersikap seperti orang asing di luar kelas membuat Olin sadar bahwa hubungan pertemanan mereka hanya akan bertahan dan hanya akan ada selama mereka berstatus sebagai teman sekelas. Tanpa status itu, bisa dipastikan semuanya akan selesai. Dan jujur saja, itu membuat Olin sedih. Ia tidak mau berhenti berteman dengan Rafka, tidak mau berhenti berkomunikasi dengan lelaki itu, tidak mau berhenti mendapat senyuman darinya setiap pagi. Sebab Rafka merupakan salah satu semangat besar bagi Olin di sekolah dan rasanya sangatlah berat memikirkan jika semangat itu akan menghilang di kemudian hari. Dua semester sudah Olin mengenal dan menyukai Rafka. Itu artinya sudah selama satu tahun. Saat liburan akhir semester, Olin tidak bisa berhenti memikirkan desas-desus yang dibicarakan teman-temannya tentang re-shuffle kelas saat mereka naik ke kelas delapan nanti. Berat rasanya memikirkan itu sebab Olin tidak mau berpisah dari teman-teman yang sudah mulai dekat dengannya. Seperti Caca, Arini, dan Maria. Selain itu, Olin juga tidak mau berpisah dengan Rafka. Di hari pertama tahun ajaran baru, setelah upacara bendera dilaksanakan, seluruh siswa sekolah mereka dikumpulkan di dalam aula. Katanya, mereka dikumpulkan untuk diberitahu pengumuman tentang pembagian kelas yang baru. Mendengar itu, semua orang langsung mengeluh. Ternyata bukan hanya Olin yang merasa enggan untuk berpisah dari teman-teman kelas yang sudah dikenalnya selama setahun. Olin ingat sekali, kala itu jantungnya berdegup kencang karena takut bercampur gugup dan ia lebih memilih diam di saat teman-temannya yang lain berceloteh tentang re-shuffle kelas ini. Dari tempatnya berdiri, Olin memandang Rafka. Laki-laki itu terlihat biasa saja, tidak khawatir sama sekali, bahkan ia masih bisa tertawa dan bercanda bersama dengan teman-temannya. Melihat tawa Rafka, hatinya semakin terasa berat. Kemudian tercetus di benak Olin untuk berdoa di dalam hati. “Ya Allah, aku masih mau berteman dengan Rafka, masih mau tertawa bersamanya. Aku tau, kalau kami nggak sekelas lagi tahun ini, aku nggak bisa jadi teman dia lagi. Ya Allah, kalau memang kami ditakdirkan nggak sekelas nggak apa-apa, aku terima itu dan aku akan berhenti suka sama Rafka. Tapi kalau kami ditakdirkan sekelas lagi, aku mohon Ya Allah, jadikanlah itu sebagai tanda kalau aku dan Rafka akan ditakdirkan bersama nantinya, entah itu kapan.” Kalau dipikir-pikir sekarang, doa itu benar-benarlah konyol. Mengingatnya pun membuat Olin geli dan jijik sendiri. Bagaimana mungkin dirinya yang dulu hanyalah seorang remaja tanggung memikirkan hal semacam takdir begitu? Padahal, dirinya baru naik kelas delapan saat itu, hidupnya masih panjang dan masih banyak sepak terjang yang harus dilaluinya. Ternyata, sejak dulu Olin benar-benar telah dibutakan oleh Rafka. Sampai sekarang pun masih, sebenarnya. Waktu itu, tidak lama setelah Olin menuturkan doanya dalam hati, guru yang berdiri di depan pun memberikan pengumuman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa. Katanya, “Khusus untuk tahun ini, tidak ada re-shuffle kelas. Jadi, kalian masih satu kelas dengan anggota kelas kalian yang lama. Kelas 7-1 langsung naik kelas 8-1, kelas 8-1 naik ke kelas 9-1, begitupun seterusnya.” Semua langsung berseru bahagia. Dan apakah Olin juga merasa bahagia? Oh, tentu saja. Olin benar-benar bahagia karena bisa sekelas lagi dengan teman-temannya dan juga Rafka selama setahun lagi. Ia pun mulai menumbuhkan harap karena mendapat jawaban langsung atas doanya. Satu bagian dalam diri Olin percaya dengan takdir yang disebutkannya dalam doa. Tetapi, semua kepercayaan itu pada akhirnya tetap runtuh dan Olin hanya menganggap apa yang terjadi sebagai kebetulan belaka. Sebab setahun kemudian, Olin dan Rafka tidak lagi berada di kelas yang sama. Dan apa yang ditakutkan oleh Olin memang benar terjadi. Mereka berhenti berteman. Berhenti saling mengenal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD