Interaksi pertama antara Olin dan Rafka yang bermula karena air minum itu membuat mereka jadi berteman. Olin yang mulanya bersikap cuek terhadap Rafka dan menganggap Rafka sama saja dengan teman-temannya yang sering datang mengejeknya perlahan sadar bahwa Rafka berbeda, seiring dengan banyaknya interaksi yang terjadi di antara mereka berdua.
Olin jadi tahu kalau Rafka itu baik. Rafka mau berteman dengan siapa saja, tanpa pandang bulu. Rafka juga pintar mencairkan suasana dengan membuat orang lain tertawa karena lelucon garingnya. Dan yang paling Olin suka dari Rafka adalah, laki-laki itu tidak pernah mengejek penampilan fisik Olin yang berbeda dari anak-anak seusianya.
Sejak kejadian air minum itu, hampir setiap hari Olin dan Rafka berinteraksi satu sama lain. Entah itu Rafka mengajaknya mengobrol, bertanya tentang pelajaran, atau sekedar membuat Olin tertawa.
Karena Rafka, hari-hari Olin di sekolah yang mulanya dipenuhi kemuraman karena rasa percaya dirinya yang kurang, perlahan terasa menyenangkan. Olin senang dengan kehadiran Rafka, dan lambat laun Rafka menjadi penyemangat bagi Olin untuk datang ke sekolah setiap harinya. Bertemu dan berinteraksi dengan lelaki itu seolah menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan. Dan jika sehari saja Olin tidak mendapat senyuman Rafka, rasanya seperti ada yang kurang. Sehari saja mereka tidak bertemu, maka hari Olin akan terasa tidak lengkap.
Hingga pada akhirnya, Olin menyadari bahwa ia menyukai Rafka. Sangat menyukainya. Entah kapan perasaan itu mulai tumbuh, Olin tidak pernah benar-benar tahu. Yang pasti, Olin tahu bahwa perasaan itu ada ketika ia sadar bahwa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya ketika Rafka datang mendekat dan wajahnya terasa panas tiap kali mata mereka bertatapan.
Rafka juga kerap kali membuat Olin salah tingkah karena sikapnya. Seperti Rafka yang beberapa kali duduk di sebelah Olin secara tiba-tiba, Rafka yang beberapa kali tertangkap basah memerhatikan Olin dari tempatnya duduk, Rafka yang menghias buku kumpulan lirik lagu Justin Bieber milik Olin dengan gambar grafitinya, Rafka yang membaca Al-Qur'an di belakang Olin, Rafka yang memberinya sebuah gelang, Rafka yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya sebelum upacara dimulai, sampai Rafka yang minta diajari cara menggunakan busur di pelajaran Matematika, dan masih banyak lagi sikap Rafka yang sukses membuat Olin salah tingkah dan merasa spesial, meski sesungguhnya ia tidaklah sespesial itu. Bahkan, tidak spesial sama sekali.
Saat itu Olin baru berusia dua belas tahun dan tak lebih dari seorang remaja tanggung yang menyukai lawan jenis karena efek pubertas yang menggebu-gebu. Pikirannya masih dipenuhi khayalan-khayalan tentang kisah cinta ala negeri dongeng yang selalu berakhir indah.
Sikap Rafka yang baik padanya membuat Olin jadi salah paham, membuat Olin menumbuhkan harap di hati dan khayal di pikiran tentang akhir kisah cintanya dengan Rafka yang bisa saja berakhir bahagia seperti cerita dongeng. Saat itu Olin percaya tentang adanya secuil kemungkinan Rafka akan menyukainya terlepas dari semua kekurangan yang dia punya.
Namun, realita yang ada justru menampar Olin. Dipikir secara logika, laki-laki yang ditaksir oleh banyak perempuan seperti Rafka tentunya tidak akan mau dengan perempuan seperti Olin, di saat ia bisa memilih perempuan lain yang jauh lebih baik. Kesadaran itu pun membuat Olin yang krisis kepercayaan diri jadi lebih membatasi diri untuk tidak banyak berharap. Bisa jadi teman Rafka saja, seharusnya Olin sudah harus bersyukur.
Terlepas dari kesadarannya tentang apa yang tidak boleh diharapkan itu, imajinasi Olin tentang kisah cinta manis ala negeri dongeng bersama Rafka masih tetap mengalir lancar. Hingga pada akhirnya, Olin terpikir untuk menuangkan apa yang dikhayalkannya dalam sebuah tulisan. Dan tulisan yang ingin dibuatnya itu bukan sekedar diary yang biasa ditulisnya, melainkan tulisan dalam bentuk cerita fiksi.
Olin ingat sekali, sesaat setelah ide itu tercetus di dalam otaknya, ia langsung mengambil buku tulis kosong dan pena, kemudian langsung menuliskan jalan cerita yang dipikirkannya sambil tersenyum memikirkan Rafka. Setelah selesai, ia membaca ulang apa yang telah ia tulis dan hatinya berbunga-bunga sendiri.
Cerita itu diberi judul "I Love You", bercerita tentang seorang perempuan yang diam-diam menyukai temannya dan meyakini bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan karena ia merasa dirinya tidak cukup baik untuk bisa disukai balik oleh temannya itu. Di luar dugaan, ternyata temannya itu juga balas menyukainya dan menyatakan perasaan padanya tepat setelah dirinya diejek oleh beberapa perempuan yang juga menyukai laki-laki itu.
Dilihat dari judul dan jalan cerita, apa yang Olin tulis itu benar-benar cheesy. Jika di masa sekarang Olin disuruh untuk membaca cerita itu lagi, maka dia pasti akan meringis jijik. Ditambah lagi, saat itu pengetahuannya tentang EYD dan penggunaan tanda baca yang benar sangatlah minim sehingga membuat cerita tersebut semangkin cringe-worthy.
Meski cerita itu jelek, memiliki banyak kekurangan, dan terkesan menjijikkan jika dibaca ulang, Olin tidak menyesal pernah menulisnya. Sebab cerita itu merupakan karya pertamanya, kunci yang membuka kesadaran tentang minatnya dalam dunia fiksi. Cerita itu merupakan sebuah pemicu yang menjadikan menulis sebagai hobi yang ditekuninya sampai sekarang.
Tetapi, cerita itu juga tidak akan ada jika Rafka tidak hadir dalam hidup Olin dan menghadirkan khayalan-khayalan yang menjadi ide dari cerita tersebut. Karena itu, kadang-kadang Olin mengucapkan terima kasih dalam diam kepada Rafka. Karena Rafka adalah alasan mengapa Olinda Mahaeswari menulis untuk yang pertama kalinya.
Bahkan hingga saat ini pun, Rafka Bhagaskara masih menjadi alasan mengapa Olin masih setia menarikan jemarinya di atas keyboard dan merangkai cerita yang (selalu saja) terinspirasi karenanya.