Dari kedua versi cerita yang telah ditulis Olin sebelumnya, ia selalu menceritakan bahwa Olinda Mahaeswari dan Rafka Bhagaskara dipertemukan ketika mereka berada di bangku SMP, sekitar tahun 2010. Mereka berada di kelas yang sama pada tahun pertama masa putih biru itu. Apa yang dituliskan Olin merupakan latar belakang kejadian yang sebenarnya.
Kala itu, Olin tak lebih dari sekedar bocah polos yang baru lulus SD dan baru menginjak masa pubertas. Pola pikirnya pun masih seperti pola pikir anak SD. Ia masih suka bermain, entah itu bermain petak umpet, dakocan, sampai lompat tali. Ia juga belum mengerti dan tidak terlalu peduli tentang keharusan berpenampilan menarik. Sehingga Olin tidak terlalu ambil pusing dengan tubuhnya yang tumbuh lebih bongsor daripada teman-teman seusianya, sehingga ia kerap kali diejek 'gendut', 'babon', 'gajah bengkak', dan sebagainya. Meski berlagak tidak peduli terhadap ejekan-ejekan tersebut, seringnya diejek menjadikan Olin sebagai pribadi yang kurang percaya diri, tertutup, dan sulit beradaptasi terhadap orang-orang baru.
Sementara Rafka Bhagaskara juga tak lebih dari seorang bocah laki-laki yang bertubuh kurus dengan tinggi badan sedikit di atas rata-rata teman-teman seusianya, serta kulit kecokelatan akibat sering dikecup sinar matahari. Dari segi penampilan, tidak ada yang spesial dari sosok Rafka. Dia tidak tampan, karena ada banyak yang lebih tampan daripada Rafka di kelas mereka.
Dari segi kepribadian, Rafka pun biasa saja. Dia nakal, seperti bocah laki-laki pada umumnya, namun kenakalan yang dilakukannya masih berada pada batas normal. Hanya membuatnya dimarahi guru, tidak sampai menyebabkan orangtuanya dipanggil ke sekolah. Rafka ramah dan ceria, sehingga mudah baginya untuk berteman dan akrab dengan siapa saja. Rafka juga jahil, sering menggoda Olin dan yang lain dengan meniru gaya-gaya foto mereka yang dilihatnya di f*******:, tapi kejahilan yang dilakukan Rafka tak pernah sampai membuat orang lain sakit hati. Rafka tidak mudah marah dan tidak suka berkelahi, tapi sekalinya dia marah dan berkelahi, Rafka terlihat seperti dirasuki oleh orang lain dan Olin tidak suka melihatnya. Rafka juga baik, dia mau menolong apa yang bisa dia tolong, tapi tidak cukup baik untuk mau mengalah saat mereka berebut masuk ke angkot yang penuh sepulang sekolah.
Dari segi pemikiran, Rafka tidaklah pintar karena dia lebih sering menyalin PR Olin daripada mengerjakan sendiri, serta selalu menanyakan jawaban hampir di setiap ujian. Tetapi, Rafka juga tidak bodoh. Laki-laki itu hanya malas untuk belajar dan lebih memilih main futsal atau main PS ketimbang membaca buku, seperti kebanyakan bocah laki-laki pada umumnya.
Olin dan Rafka sangatlah bertolak belakang.
Mereka serupa langit dan bumi. Rafka yang ceria, Olin yang selalu terlihat muram. Rafka yang ramah, Olin yang pendiam. Rafka yang banyak teman, Olin yang jadi bahan ejekan teman-teman. Rafka yang pintar menarik perhatian, Olin yang selalu ingin menjauhi perhatian.
Dan perkenalan antara dua orang dengan sifat bertolak belakang itu terjadi bertahun-tahun lalu. Tepatnya di minggu kedua mereka menempati kelas yang sama.
Saat itu kebetulan sedang jam kosong, guru yang mengajar tidak hadir karena sakit sehingga kelas pun jadi ramai. Anak laki-laki sibuk bermain di depan kelas, sementara anak perempuan mengobrol antara satu sama lain untuk mengakrabkan diri.
Sementara Olin, di saat yang lain sibuk berinteraksi, dia lebih memilih untuk duduk diam di bangkunya yang terletak di baris paling belakang sambil mengamati keadaan kelas. Tidak, Olin berdiam diri bukan karena dia belum punya teman. Olin sudah mengenal beberapa orang dengan baik di kelasnya. Ada Fika yang sudah dikenalnya karena mereka duduk sebangku saat tes masuk SMP, ada juga Andita yang merupakan teman segugus Olin sewaktu MOS yang juga merupakan teman sebangku Olin saat itu.
Olin hanya sedang malas berinteraksi karena ia merasa sangatlah berbeda dari teman-temannya yang kebanyakan bertubuh mungil. Berada di dekat mereka kadang-kadang membuat Olin jadi tidak percaya diri, membuatnya merasa seperti seorang raksasa di tengah kumpulan kurcaci.
Maka Olin lebih memilih untuk duduk diam sembari bertopang dagu dan memerhatikan keadaan kelas yang ribut.
Sampai pada akhirnya, kesendirian Olin terganggu oleh seorang laki-laki yang datang menghampiri. Olin sudah tahu bahwa nama laki-laki itu Rafka Bhagaskara, karena nomor absen mereka berdekatan dan Rafka juga cukup dikenal oleh anak-anak kelas Olin. Bahkan salah satu teman SD Olin juga sempat mengatakan kalau Olin beruntung bisa sekelas dengan Rafka. Tapi saat itu Olin tidak terlalu mengindahkan ucapan temannya.
Olin memicingkan mata melihat Rafka yang datang mendekat. Mengingat Rafka tergabung dalam rombongan anak laki-laki yang sering mengejeknya—meskipun Rafka tidak pernah ikut mengejeknya, Olin tidak bisa untuk tidak merasa defensif.
Rafka tersenyum ramah pada Olin, sampai-sampai deretan giginya yang rapi terlihat dan matanya sedikit menyipit. Lalu, laki-laki itu duduk menyamping pada bangku yang sedang kosong di depan Olin dan menghadapnya.
"Hai," sapa Rafka.
Olin tidak menjawab dan hanya mengangkat sebelah alis, menatap Rafka penuh curiga.
Rafka melirik botol minum milik Olin yang berwarna merah muda dengan gambar Princess Aurora di bagian tutup botolnya. Tanpa seizin Olin, Rafka menyentuh botol itu dan membaca tulisan 'Aurora' yang melingkari botol.
"Boleh minta minum nggak, Aurora?" Tanya Rafka pada Olin, tatapannya berubah memelas. Ia menunjukkan satu tangannya yang sudah memiliki bercak hitam bekas tinta. "Buat cuci tangan, soalnya tanganku kena tinta spidol."
Olin memutar bola mata.
Salah sendiri main tinta spidol, kayak nggak ada mainan lain, pikirnya.
"Namaku Olin, bukan Aurora," kata Olin dengan nada jutek.
Rafka terkekeh. "Ya gapapa, aku mau manggilnya Aurora aja. Kan di botol ini ada tulisan Aurora."
"Ya, terserah."
"Jadi, boleh minta air minum ya? Dikit aja kok."
"Kenapa nggak sekalian cuci di toilet aja sih? Biar lebih bersih."
"Males ah, kan toilet cowok jauh dari kelas kita. Terus toiletnya bau, kadang nggak ada air, dan sering ada jackpot."
Olin hanya geleng-geleng kepala, namun diam-diam ia berpikir bahwa perkataan Rafka ada benarnya juga. Lantas, Olin pun mengiyakan permintaan Rafka. "Yaudah, boleh. Tapi jangan diabisin."
Rafka langsung berdiri dengan wajah sumringah dan meraih botol minum Olin. "Siap, nggak akan habis kok!" Serunya dengan penuh keyakinan. "Makasih ya, Aurora!" Ujarnya lagi sebelum pergi keluar kelas.
"Dibilangin namaku bukan Aurora," keluh Olin sebal sembari menatap Rafka yang menghilang di balik pintu.
Dan itu adalah interaksi pertama mereka.
Interaksi itu pun benar-benar membekas di benak Olin dan juga memberikan beberapa impact bagi keduanya. Seperti menjadi pemicu akan adanya interaksi-interaksi berikutnya di antara mereka, membuat Olin memberi nama 'Aurora' pada tokoh utama di cerita yang pertama kali ditamatkannya, sampai memberikan Olin sebuah pemikiran yang sebenarnya cukup ia sesali sekarang.
Selepas Rafka pergi untuk mencuci tangan, Olin kembali bertopang dagu. Dan ia berpikir, ada banyak anak-anak perempuan yang menyukai Rafka, bahkan teman Olin pun pernah menjadi salah satunya. Entah apa alasan mereka bisa naksir laki-laki itu. Padahal, Rafka tidak setampan Alif yang katanya mirip Justin Bieber di kelas mereka. Tidak juga sepintar Dito yang sejak SD sudah sering mendapat medali olimpiade. Lantas, bagaimana jika nanti Olin juga ikut menjadi salah satunya? Ikut jatuh pada pesona Rafka yang entah itu apa?
Sungguh, seharusnya waktu itu Olin tidak berpikir begitu. Supaya ia tidak jatuh hingga sejatuh-jatuhnya pada Rafka Bhagaskara di kemudian hari. Supaya ia tidak perlu berusaha keras untuk melupakan hingga bertahun-tahun setelahnya.