Permintaan yang belum aku sanggupi itu selalu terngiang di kepala, membayangkan diri ini berpose dengan lincah di depan kamera mengenakan pakaian yang menurutku akan sangat terbuka mengenai di mana AD Management bekerjasama dengan perusahaan besar merk pakaian dalam. Mungkin aku masih menerima jika hanya mengenakan gaun atau baju renang saja, masih sekiranya ini bisa dipertimbangkan.
Angin semilir dengan cuaca yang memang tidak lagi bersahabat, aku memutuskan untuk berada di balkon lantai 2 ruang kantor ku di butik. Segelas kopi hitam sangat pas menemani saat sore seperti ini, tak lama aku lihat mobil putih milik Haikal sudah berada di parkiran. Aku sengaja hanya melambaikan tangan, tersenyum manja ketika pria dengan rambut hitam sedikit ikal itu menunjukkan buket bunga Lavender. Memang aneh, aku lain dari kebanyakan para wanita yang hanya menyukai mawar atau bahkan bunga cantik lainnya. Entah, warna pekat bunga itu sangat menenangkan. Haikal selalu mengerti ke mana kemauan ini berlangsung, bahkan hampir setiap hari aku dapat kiriman bunga agar kantor terlihat cantik, tidak masalah jika banyak orang mengira aku ini kolektor aneh.
Pintu diketuk, pelan Haikal membukanya. Aku segera meraih tengkuk itu dan sedikit berjinjit agar sampai mengecup pipi tanda terima kasih. “Aku pikir kamu nggak akan dateng.”
Haikal meraih pinggang lalu sedikit membawaku ke atas. “Tadi memang ada rapat penting, makanya telat. Udah makan?”
“Makan malam maksudnya?” Godaku menyisir rambut hitam itu dengan tangan, entah aku gemar melihat rambut Haikal berantakan.
Tawa itu mengumbar senyumanku mengembang, Haikal menggelengkan kepala. “Iya maaf kita nggak sempet makan siang bareng tadi, aku sibuk sayang.”
“Iya, nggak kamu dan Libra sama-sama sibuk!” Celetukku sadar wajah Haikal seketika berubah murung setiap mendengar nama suamiku.
Sempat aku bingung bagaimana mengembalikan mood Haikal karena aku tidak sadar saat bercanda, tapi sikap itu berubah ketika aku membawa vas kosong dan menyodorkan ke arahnya. Seperti biasa, priaku itu yang akan menata bunga-bunga di ruangan. Dia sangat romantis seperti Leonardo kepada Sarah, aku memang tidak pandai mengatur dekorasi apa lagi mengenai kantor yang aku tempati.
Melihat punggung itu membelakangi, aku pasti memeluknya dari belakang. Mengecup pundaknya seperti saat Sarah mencium setiap aroma tubuh Leonardo, aku mendamba pria yang ada di dalam tokoh ceritaku. Meski buku itu belum selesai namun setiap kata dan maknanya sudah lama hinggap di kepala, membayangkan hal itu aku tidak sadar sampai menangis dan karena menahannya sangat mustahil.
Tangan itu meraih pundak lalu memelukku erat, rasa hangat pelukannya memang tidak sama seperti Libra yang bisa seketika membuatku ingin tertidur. Tapi Haikal yang aku inginkan dalam hidup ini.
“Besok aku bilang ke bos kalau modelnya biar tim ku yang aja nyari!” Ungkap Haikal di mana aku hanya bisa menggeleng saja.
“Sayang, aku tau kamu mencoba buat setia dan menyenangkan Hendrick. Tapi nggak gini caranya,” Haikal mengusap bulir air mata di pipiku. “Aku juga nggak rela kamu harus menuruti kemauan si bos itu. Maksudku… Libra.”
Wajah tampan itu terlihat marah, tapi aku segera menegaskan bahwa ini akan baik-baik saja dari membelai rambutnya. “Aku bakal bicara sama dia, tapi bukan sekarang! Aku tunggu sampai mertuaku pulang ke Inggris.”
“Ada atau nggak ada itu tidak akan bawa pengaruh Ze! Kamu lupa AD Corp itu sudah pindah tangan? Mana mungkin Hendrick ikut andil lagi di perusahaan, yang ada…,”
Bibir itu menjadi sasaran saat aku tidak sanggup mendengar kenyataan, aku melumat rasa penuh bibir bawah Haikal. Aku tahu pria ini sedang menahan amarahnya karena Libra sudah setuju akan ide dari salah satu CEO perusahaan luar negeri, tapi posisi ini sangat sulit untukku karena sejujurnya aku menginginkan Libra bersikap layaknya pria kepada istrinya, tidak sedingin Kanada.
Setelah pelukan juga kecupan ini terlepas, barulah Haikal membawaku ke sofa dekat dengan jendela. Angin di sana lebih sejuk meski hawa di Jakarta sangat menyengat. Aku sedikit tenang saat sibuk memainkan arloji Haikal, ingin rasanya aku lari dari semua ini bersamanya tapi akan mustahil bagi adik-adikku yang juga masih bergantung pada Libra mengenai biaya kuliah.
“Aku kasih liat nih barang baru apa aja yang diproduksi sama perusahaan mereka,” Haikal menunjukkan beberapa file gambar dari ponselnya. “Pakaian dalam wanita dan pria, kami sudah punya kandidat dan para model udah resmi tanda tangan. Lagi, baju olahraga di AD Management juga punya jagoannya, lalu… Ini nih, yang mereka tunjuk kamu sebagai model mereka. Lingerie.”
Tidak percaya bahkan aku sesak napas karena pada desain itu terlihat sama seperti yang biasa aku pakai saat di kamar, aku ingat Libra selalu menyediakan baju-baju tidur di lemari khusus, memang aku suka dengan warna dan modelnya yang transparan sehingga lekukan juga dadaku terlihat jelas tapi hanya saat bersama suami saja aku memakainya.
“Emang b******k mereka! Dan Libra, bisa-bisanya dia malah setuju? Istrinya buat jadi model perusahaan? Yang bener aja? Kan dia bisa ngandelin aku buat masalah kayak gini!” Haikal membentak dan hampir membanting ponselnya.
“Udah sayang!” Aku meraih tangan Haikal, untuk merebut ponsel itu dari tangannya.
Baru saja aku akan berbicara mengenai ini, ponsel di tangan berdering dan aku melihat nomor rumah Haikal. Aku memberikan padanya, sempat kami saling memandang tidak mengerti tapi ketika itu Haikal seketika tegang. Ada apa? Aku mengusap punggungnya, tampak dia seketika sedih.
Ponsel pun tiba-tiba mati, aku mencoba untuk memeluknya tapi juga pikiran ini tegang. “Sayang, ada apa?”
Ku lihat wajah itu tertunduk. “Mesya, dia… Jatuh di kamar mandi.”
Mataku terbelalak, tidak menyangka dan Haikal seketika bangkit lalu pergi meninggalkan kantor. Aku cemas tapi jika mengikuti langkah itu pasti aku hanya akan menambah beban, cuaca di luar mendung. Sambil menahan apa itu perasaan resah aku kembali pada bunga yang tertata di atas meja, bahkan di sisi jendela. Bagus.
Dari luar kaca, aku melihat Haikal buru-buru bersama datangnya gerimis dan segera diri ini siapkan earphone agar sedikit menghalau suara guruh. Hari pun sudah petang dan memang aku memutuskan untuk menutup butik karena cuaca sedang tidak baik, aku merasa kasihan jika para karyawan pulang terlambat. Dan sekarang aku sudah siap dengan pekerjaan yang lain, berimaginasi tidak jelas di mana itu bisa membuatku tersenyum senang.
[...]
Lega ketika langit kembali tenang, aku pun memutuskan untuk berbenah karena jam di tangan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tidak terasa jika sudah 3 jam aku berada di depan laptop dengan segala perasaan cinta Leonardo kepada Sarah, bab bagian ke 16 pun sudah aku tulis dengan hasil memuaskan.
Rasa lelah membuat aku ingin menikmati kopi lagi tapi sadar jika ini sudah malam, dan malas jika Tatia memiliki prasangka buruk tentang ini. Lampu-lampu ruangan aku padamkan. Lantai dasar sudah sepi karena aku lihat satpam juga baru pulang dengan motor maticnya, aku mulai berjalan keluar tapi suara guruh seketika menciutkan nyali. Aku takut, dan menjauh dari pintu adalah solusi tapi ternyata ini salah karena tiba-tiba tiang listrik di depan tersambar petir. Aku menjerit bahkan berjalan saja tidak sanggup.
Hujan kembali turun sangat deras, aku menangis sambil merangkak mencari di mana tempat untuk berlindung. Kosong, yang aku lihat hanya manekin juga baju-baju tergantung di sana. Guruh terdengar dan terus terdengar, kaki ini terasa kaku. Gemuruhnya seperti hendak menghancurkan tubuhku, kilatan cahaya itu seperti pedang yang siap menghunus jantung.
Dua kali petir menyambar-nyambar. Aku terus merangkak dan bersembunyi di lemari susun paling bawah, aku menyingkirkan semua baju-baju tertata rapi di sana. Menutupi telinga dengan kedua tangan, juga memeluk tubuhku terasa menggigil. Sialnya tas tangan tertinggal saat aku terjatuh saat ingin menghubungi Haikal, aku pun melihat di luar sangat menyeramkan. Aku berdoa agar Tuhan melindungi penderitaan dari fobia yang sangat menyiksa, juga mengirimkan Haikal kembali ke sini.
Suara-suara menyeramkan itu terus terdengar bahkan seperti bergerak masuk, aku memejamkan mata karena takut saat suara pintu kaca bergetar. “Cukup! Plis, berhenti! Plis!”
Bukan tidak pernah bisa mensyukuri karunia-Nya mengenai hujan, tidak. Ini penderitaan yang tidak pernah aku inginkan, tapi suara petir memang seperti malaikat maut dalam hidupku. Getar di tubuh ini sangat terasa bahkan aku seperti diguncang hebat ketika mendengarnya.
Kembali terulang, suara itu siap menghukum dan aku hanya bisa menjerit. Namun apa yang dirasakan dari tubuh ini berbeda, sebuah pelukan datang membantuku menutup daun telinga. Dingin. Tubuh di pelukanku basah dengan pakaian yang aku raba, tapi mata tidak dapat terbuka karena petir membuatku sangat ketakutan.
“Tidak apa sayang, jangan takut!”
Aroma ini. Lebar dadanya terasa mampu menampung tubuhku, bulu halus pada rahangnya menyentuh leher, tangannya terasa menghangatkan punggung juga bagian yang lain. Aku membuka mata. Dan menemukan warna berbeda dari biru seperti berlian safir juga warna abu-abu seperti kabut di Kanada saat musim dingin.
“Mas…,”
Libra tersenyum kecil. “It’s ok Honey!”
Sungguh, aku menangis sesenggukan mengapa diriku harus membutuhkannya saat seperti ini. Selalu saja segala sentuhan Libra bisa melindungiku dari suara bahaya saat hujan. Aku meremasi kain kemejanya yang basah kuyup, entah perasaan menjadi tenang meski suara petir masih terdengar mencekam.
Aku masih dengan tangis karena merasa malu mengakui pada diri sendiri jika hanya Libra yang bisa menghancurkan rasa takut ini, juga merasa kasihan ketika melihat rambutnya basah dan tangannya mulai berkerut menahan dingin. Aku mengambil beberapa baju yang berserakan di lantai untuk menutupi punggung lebar Libra, tapi nyali ku kembali pudar saat petir terdengar lagi.
Tubuh itu kembali mendekap, tapi aku sibuk melihat wajah terutama matanya. “Mas, kamu kedinginan ya?”
“Sedikit.” Singkat sekali Libra menjawab.
“Maaf ya mas aku merepotkan, sebenernya tadi aku mau pulang tapi…,”
"Nggak apa-apa, nanti kalau hujannya berhenti aja kita pulang!” Tegas Libra menyela sambil sibuk melihat ke luar ruangan.
Aku mengangguk sibuk mengeringkan rambut Libra dengan pakaian, tapi tangan itu mencegah dan menatap tajam tanpa senyuman seperti tadi. Kenapa? Pria ini kadang menyeramkan saat sedang serius, tapi entah hangat bibirnya mendarat tiba-tiba mempererat ciumannya di bagian bibir bawahku, sekali melumat aku menanggapi lidahnya berburu di dalam mulut ini, tangan Libra menutupi telinga kanan juga membenamkan sisi wajahku ke dadanya.
Hanya di bibir. Ya, tapi reaksi tubuhku berbeda dan aku berada di antara perasaan benci dengan diri sendiri juga enggan menolak saat Libra menyudutkan punggungku pada dasar lemari, suara dari luar seperti hilang entah ke mana yang menyisakan arti malam ini hanya Libra sibuk dengan leher juga bibirku, mengulang dan terus diulang apa kesenangan.
“Masih takut?” Tanya Libra melepas kecupan tanpa mengendurkan pelukannya.
Keadaan luar masih hujan, mataku menatap liar ke semua arah halaman parkir butik dan terlihat kilat menyerang aku pun terkejut tapi Libra membungkam mulutku dengan ciumannya lagi. Apa ini? Dia sedang berusaha menjauhkan rasa takutku dengan merayu? Aku sesak menerima keadaan, tapi yang bisa ku lakukan membelai rambut basah suamiku, menerima segalanya termasuk aroma tubuh menikam pikiran.
[...]
Hampir semalaman aku dan Libra menghabiskan waktu di butik, tepatnya di dalam lemari susun paling dasar. Hampir tertawa jika mengingat hal itu, hanya karena aku Libra melakukan hal konyol yang memang tidak pernah dilakukan. Biasa aku pulang lebih awal jika sudah tahu hujan akan turun, tapi karena asyik dengan imaginasiku mengenai Leonardo dan Sarah jadi lupa diri jika cuaca buruk mengintai. Tapi berkat Libra datang aku menjadi lebih tenang.
Lampu ruang utama langsung menyala saat aku dan Libra berjalan ke kamar, aku lihat jam di dinding pukul 5 pagi. Di dekat lemari menyimpan pernak-pernik kesukaanku berdiri Tatia masih dengan baju tidurnya, wajah cantik asli Indonesia tak lagi muda itu terlihat tidak suka saat melihatku.
“Dari mana aja sih kalian? Jadi begini tingkah laku kamu setiap hari ya Shafira? Manja!” Tatia berkacak pinggang.
“Maaf Mi, aku…. Tadi mau pulang cuma… Hujan lagi.” Jawabku meremasi tangan Libra, jujur saja setiap Tatia marah aku selalu mendapat tekanan.
“Kamu kan bisa minta jemput supir, kamu nggak tau kalau Libra…,”
“Mami,”
Terlihat Libra menghela napas, ia hanya mengangguk tanpa melanjutkan perkataan yang hampir diucapkan. Tanpa perkataan lain pun Tatia hanya diam sementara Libra mengajakku masuk ke kamar, sedikit lega tapi aku lihat wajah Libra memerah juga mata itu sayu. Bahkan sampai di kamar pun aku tidak berhenti melihatnya yang tampak lelah saat melepas pakaian, ku lihat pria itu memijat tengkuk.
Karena aku tidak tega juga Libra sudah membantuku malam ini, ku siapkan baju juga aksesoris lain untuknya bersiap-siap ke kantor. Seperti biasa, aku membantunya memakaikan kemeja tapi menyentuh punggung itu aku paham jika suhu tubuh Libra meningkat. Dia demam.
“Mas, kamu mau ke kantor?” Tanyaku penasaran melihat wajah itu tertunduk.
“Iya sayang, kenapa?”
Aku menyentuh kening juga caruk leher Libra. “Tapi… Kamu demam mas, apa nggak sebaiknya istirahat aja?”
“Sama aja di rumah juga pikiran ke kerjaan,” Libra menyambar jam tangan yang sudah aku siapkan di meja. “Lagian membosankan di rumah!”
Langsung aku diam tanpa berani bertanya. Kenapa Libra berkata mengenai bosan? Apa pernikahan ini membosankan baginya dan memang pekerjaan lebih penting? Aku tahu semua harus memerlukan uang dan uang untuk mengurus hidup yang serba mahal, tapi tidakkah dia peduli? Paling tidak mengenai dirinya sendiri, aku tidak berharap Libra peduli tentangku!
Libra memakai dasi tanpa meminta bantuan, tapi aku menawarkan diri untuk membetulkan posisinya yang sedikit ke kanan. Aku lihat dia sempat tersenyum tapi samar-samar ketika menyisir rambut coklat terang yang terlihat lebih panjang, kemudian kedua warna berbeda mata itu menatapku. Lama, kami saling menemukan pikiran yang aku sendiri tidak pernah tahu dan Libra pun pergi tanpa meninggalkan kata bahkan kecupan lain sebagai tanda berpamitan.
Lagi-lagi aku setia melihat punggung lebar itu menjauh, semakin jauh dari pandangan sampai aku kehilangannya. “Hati-hati di jalan, Mas.”