Jika mengatur perasaan saja aku tidak becus, maka semua akan sia-sia karena janji untuk membuat Hendrick bahagia. Meski dia orang asing yang kini menjadi orang tua asuh juga ayah mertuaku, tapi dia pria yang sangat baik. Aku hanya gadis biasa saja yang ditampung dalam keluarga besar Adelard, tapi mengapa perasaan ini harus berkorban demi orang lain sehingga aku memberontak dengan membuat dosa-dosa.
Seharian aku berada di rumah Haikal. Sore tadi aku pulang dalam keadaan perasaan tidak menentu dan tiba-tiba disambut akan pelukan itu, tangan yang selama ini sanggup memberiku rasa tak pasti. Libra terlihat khawatir tapi entah mulut itu malas berbicara atau bertanya ke mana aku pergi, tapi dasar tubuh ini menikmati setiap belaian juga kecupan bibirnya di wajah ini. Memang sialan sekali aku.
“Lain kali tolong kasih kabar Nak! Memang kemarin malam petir nyambar-nyambar sampai Papi juga ketakutan kalau rumah ini hancur.” Dari belakang, Hendrick menyahut, tawa itu seperti biasanya. Sangat menyenangkan di telinga.
“Maaf aku… Nggak bisa konsentrasi jadinya… Pergi gitu aja tanpa pamit!” Memang benar itu yang aku rasakan karena Tatia terus menghakimi.
“Iya, Papi tau kok Nak. Ya udah, sekarang kamu mandi terus makan dan… Libra akan mengajakmu ke acara pesta ulang Tahun temannya.” Begitulah Hendrick berkata saat logatnya tidak terlalu kental.
Ku lihat tangan Libra memudar dari pinggang, dia berjalan untuk mengambil jus jeruk. Aku menunggu pria itu berkata, tapi nyatanya tidak. Sampai Hendrick pergi dan menyisakan kami berdua saja Libra diam seolah bumi ini telah mengunci dirinya, dan aku ingin segera tahu teman Libra yang mana.
Tubuh tegap itu sedang sibuk mencari sesuatu, aku paham dan segera menarik satu helai tisu dan memberikannya untuk Libra. Sorot mata itu memandang, seperti magnet menarik segala detak yang berlangsung di dadaku, tapi sama sekali diri ini tidak tertarik untuk menjalin perasaan.
“Terima kasih.” Libra tersenyum kecil.
“Sama-sama,” aku melingkarkan tangan di pinggang Libra hanya karena aku tergoda melihat lengannya yang nyaman untuk kepalaku. “Papa marah sama Mama nggak?”
“Marah kenapa? Kan kamu udah pulang, jadi… Udah nggak ada masalah lagi sayang.” Seringan itu Libra menjawab.
Mata ku melihat pigura besar foto pernikahan kami, tidak ada tatapan saling mencintai. Sampai sekarang pun aku belum merasakan adanya perasaan tertarik, tapi berpisah rasanya aku berat karena aku merasa Libra membuatku nyaman. Dia bisa melindungiku dari suara petir saat hujan, benar-benar alasan menjijikkan.
“Oh ya, memang kita mau ke mana? Temen Papa yang mana sih?” Tanyaku mendekati sisi wajah Libra.
“Mama nggak kenal,” Libra melepaskan kedua tangan ku dari pinggangnya. “Makanya nanti Papa mau ajak Mama kenal sama semua temen dari Inggris. Mau ya?”
Kenapa Libra baru mengatakan hal itu jika aku berusaha mendekati? Aku mengangguk saja, pria itu pun tersenyum tipis kemudian pergi. “Papa mau ke mana?”
Suaraku membuat pria tampan itu menoleh. “Bentar, ada yang perlu diurus.”
Kedua mata ini berair, entah karena cahaya matahari sangat menyilaukan. Aku iri melihat keadaan alam ini yang sangat bahagia memberikan sinar dan keindahan nyata di kehidupan, tapi mengapa aku gagal membahagiakan diri sendiri. Aku pun berjalan lemah ke kamar, dan saat berpapasan dengan Tatia tiba saja perasaan ini tidak menentu tapi rupanya sikap itu biasa saja. Lega. Aku segera bersiap-siap ke pesta yang dimaksud Libra, tepatnya Hendrick yang berkata.
[...]
Memanjakan diri dengan aroma terapi yang menghiasi pinggiran bak mandi sudah cukup membuat aku tenang, tapi ingat jika Libra sudah menunggu aku pun buru-buru memakai handuk dan memilih gaun mana yang akan aku pakai. Warna yang berderet di dalam lemari selalu saja membuatku yakin betapa diri ini sangat beruntung mendapatkan suami kaya raya, seperti yang diharapkan banyak wanita di dunia ini. Pada pantulan kaca, aku melihat kain putih menutupi lekukan tubuhku terjatuh begitu saja. Tidak peduli dan diri ini sibuk melihat rambut yang masih basah bahkan airnya mengenai dadaku.
Bibir terlihat pucat ini menunjukkan betapa wajahku sosok wanita yang merugi karena tidak bisa mempercayakan satu mengenai rasa, aku menginginkan kebahagiaan dan selalu saja tangan ini memeluk lalu mengusap bagian terasa halus meski kulitku tidak seperti kebanyakan wanita pada umumnya yang kuning langsat, cenderung lebih putih untuk orang asli Indonesia.
Aku mendongak menikmati segala angan saat belaian Haikal masih terasa, hangat dan mampu menampung diriku dari rasa hampa. Saat tersadar aku mendapati tubuh ini hanya sendiri. Ah sudahlah, ini takdirku menjadi wanita milik pria itu. “Ok Ze, kamu harus kuat! Apa sih yang kamu inginkan? Segalanya kamu bisa dapatkan, iya ‘kan? Daripada hidupmu terlantar setelah Ayah pergi, sudah… Mengalah saja, lagipula Libra nggak kasar sama kamu!”
Titik lembut air mata ini segera aku hapus, lalu memilih lagi gaun-gaun yang berjejeran di dalam lemari khusus pakaian ku. Masih saja pilihan tentang warna yang pas dengan jas Libra membuatku kesulitan, tapi pilihan jatuh pada warna krem lalu menarik gaun dari gantungan.
Aku menempelkan bahan sutra itu di tubuh saat bersamaan aku melihat Libra sudah berada di belakangku, tanpa menoleh aku bisa merasakan tangan terasa keras mengusap punggung. “Pa, ini bagus nggak?”
Sepi. Aku melihat kedua warna berbeda pada mata itu menatap ke arahku, sayu sambil menyelipkan kecupan di pundak. Sungguh bibir itu mendarat mengurai arti lain ketika Libra merampas gaun dari tanganku, pria itu sibuk meluruhkan resleting gaun kemudian melingkarkan tangan di perut juga dagunya menyentuh bahu ku. Lembut, berlanjut Libra mengenakan pakaian dalam berwarna merah untukku.
Setiap inci sentuhan itu sangat lembut, aku suka bagian saat Libra merapikan bagian kain melekat di tubuhku. “Mas…,”
Jawaban hanya berupa ‘hm’ yang aku dengar, tanpa mengurangi sentuhan lain saat membetulkan kain di dadaku. “Jangan pilih sepatu hak tinggi ya! Aku mau pakai yang biasa aja!”
“Kenapa?” Suara bass itu menggenang di telingaku.
“Soalnya aku bosen aja pakai hak tinggi terus, aku mau pakai yang model sepatu sandal.” Aku terus memperhatikan jemari besar itu mencakup kedua dadaku, sedikit meremasnya di mana aku merasa tertarik untuk dimainkan.
“Iya, terserah Mama aja!”
Seketika aku terkejut saat Libra kasar mengubah posisi tubuhku menghadapnya, mata itu mengurung pandangan di wajahku lalu memburu leher ini dengan kecupan beruntun, bergulir membasahi dagu juga belahan dadaku. Aku menerima dan membiarkan meski sentuhan ini hanya mengatur hawa yang nikmat saja, aku mendekap tubuh itu dan merenyuk rambut coklat suamiku.
Libra tidak tahu aturan ketika membuat lumatan lembut di leher juga tangannya menyusup mulai dalam di bawah sana. “Aah, Mas…,”
Lengan kekar itu membuat kedua kaki ku melingkar di pinggangnya, tanpa pertimbangan lain aku sudah merasakan bentuk terasa keras itu sudah merasuki. Aku menggeliat hebat saat lidah itu memburu leher, menakar segala ambisinya di bagian dadaku yang rupanya sudah terbengkalai tanpa aku sadar. Entah segala sentuhan yang Libra terapkan membuatmu mabuk, aku bahkan menyanggupi dan membalas setiap kecupannya di bibir ini.
Tangan Libra berlaku meremasi paha dan menjagaku tetap melekat di tubuhnya saat penyatuan ini terus berulang, keluar lalu terbenam lagi hingga membuatku merasa sesak napas karena terus terang saja bentuk itu menembus terlalu dalam. “Aaah, terus Papa… Aaahh….”
Mulut ini aku akui memang liar, betapa Libra sudah merenggut kesempatan saat aku ganti pakaian. Tapi menolak tidak akan aku lakukan, karena melihat kedua mata itu aku gemar menikmati setiap hujaman miliknya. Penuh, terasa menguasai meski suara erangan saja yang aku dengar dari Libra.
“Peluk Papa yang erat Ma!” Ucap Libra di sela-sela aku menahan napas saat sentakan itu semakin kuat.
“Ugh, Papa… Aaahh, sshh aahh Mama nggak tahan. Engh…,”
Erat, sangat erat tangan itu berlaku memeluk pinggang. Aku semakin kasar meremasi rambut Libra saat pinggulku terus bergerak agar bentuk itu tertanam semakin dalam, luar biasa aku hanya menjerit kecil tanpa daya mengakhiri karena posisi berdiri seperti ini menjadi kesukaan Libra. Ya, memang pria itu terlihat lebih bertanggung jawab akan permainan ini.
Kami menyelesaikan apa itu rasanya yang hebat, sentakan dari pinggul Libra selalu membuatku sesak napas tapi aku menyukai ketika pria itu mencapai rasa nikmatnya. Libra memeluk menempelkan bibirnya di leher sementara aku masih mencerna milik Libra bergerak liar walau hanya pelan, tangan itu melepas pelukan kami sambil senyum itu tertera di wajah khas Eropa nya.
“Papa tunggu di luar ya Ma,” Libra mengecup kening ku. “Jangan lupa pakai lipstik yang Papa suka itu!”
Sikap tanpa salah karena sudah membuat pakaian ku kotor berlalu begitu saja, bagian kemejanya yang berantakan itu memberikan kesan maskulin pada diri Libra. Kambali aku melihat pantulan cermin menunjukkan tubuh ini telah terpakai, memang tidak masalah karena aku menikmatinya tapi mengapa harus pria yang sama sekali tidak aku cintai harus membuatku menari dengan rela seperti tadi.
Warna merah tua lipstik yang tertata rapi di meja rias pun mengingatkan aku betapa Libra sangat menyukai warna itu, meski gelap saat melekat di bibirku tapi kesan wajah ini benar-benar menantang. “Dia nggak bosen ya aku pakai warna itu terus?”
Tanpa berargumen pun aku segera memoles wajah ini dengan make up tipis karena Libra juga hanya suka ketika hasil riasan ini terlihat natural, menurutnya aku terlihat sangat cantik jika hanya dengan riasan seadanya. Ah, suami banyak menuntut. Tapi itu menguntungkan karena aku tidak terlalu suka dengan banyak atribut make up yang melekat di wajah ini.
[...]
Rasa panas saat berada di jalan beberapa menit terhempas ketika mataku dihadapkan oleh pemandangan epik pada penataan dekorasi meja makan, aku suka dengan bunga-bunga berwarna lebih tegas seperti lavender yang terletak di setiap sisi meja mengelilingi bangku. Jamuan pun berupa masakan lokal, aku sangat menyukai ketika orang-orang asing sangat membanggakan Indonesia tanpa terkecuali Libra yang sangat suka dengan masakan Indonesia.
Aku menuruti ke mana langkah suamiku berjalan, di sana ia menebar senyum ramah setiap menjumpai sapaan. Aku pun hanya melakukan hal seperti biasa saat berada di depan banyak orang, menyanggupi segala kemesraan Libra saat memelukku. Sungguh, hal paling menyebalkan tapi menyingkirkan kegiatan ini rasanya akan terlihat aneh.
Beberapa orang mempersilahkan tempat duduk untukku dan Libra, mereka sudah siap dengan obrolan dan tata meja yang dikuasai ketika memamerkan kekuasaan mereka, karena yang aku tahu dari Libra bangsawan Inggris akan sangat mengutamakan kesopanan. Berbeda posisi jabatan akan lain lagi tingkat tata meja mereka.
“Ayo silahkan Tuan dan Nyonya Adelard! Kami sengaja menyiapkan menu yang komplit di sini.” Seorang laki-laki berambut ikal memberikan kesempatan aku dan Libra menikmati menu di meja makan.
Terlihat sate juga kambing guling di mana aku benar-benar akan merasa mual saat mencium aromanya, tapi melihat di sekeliling rasanya tidak sopan jika aku menutup hidung. Tapi tampaknya Libra memahami itu dan menggenggam tanganku erat-erat.
“Mas, baunya nggak enak!” Aku berbisik, Libra mengangguk tapi menjawab saja ia tidak ingin. Menyebalkan memang.
Terpaksa aku diam sambil menerima kepulan asap mengenai hidung, sungguh kepala ini terasa pening karena aroma masakan kambing. Lalu aku menyibukkan diri menikmati jus lemon supaya rasa lidah ini sedikit segar, tak lama aku mendapati seorang pria menatapku sangat tajam bahkan bola matanya hampir keluar. Siapa?
Bagian yang sangat tidak aku suka adalah ketika teman Libra melihat ke arahku seakan aku ini mangsa empuk yang pas untuk diterkam, aku pun memilih lebih dekat duduk di samping suamiku. “Mas, aku mual bau kambing guling.”
Libra menoleh lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Sayang, nggak enak kalau sampai kamu keliatan tidak nyaman begitu. Santai aja ya!”
Bukan mengenai menu sebenarnya yang membuatku kurang nyaman, tapi pria dengan jas biru tua itu mampu mengusik ketenangan. Aku pun memilih diam sambil melihat ke halaman dan betapa aku langsung sesak napas melihat Haikal bersama beberapa orang perusahaan. Tatapan kami pun bertemu, aku menundukkan kepala ketika Libra mengecup pipi ini.
“Tuan-tuan semuanya, aku sudah menemukan siapa model yang pas untuk mengiklankan produk pakaian dalam wanita Tahun ini.”
Perhatianku tentang Haikal teralihkan ketika pria yang tadi menatapku beringas itu bangkit, mengumbar kabar yang aku pun tidak tahu kenapa dia semakin jeli dan mengacungkan jari telunjuk tepat ke arahku.
“Tuan Adelard, istri Anda sangat cantik. Aku yakin produk baru yang kami keluarkan akan sangat laku keras jika istri Anda menjadi model pakaian dalam di perusahaan kami.”
Apa? Aku melotot melihat kedua mata Libra, seakan tidak percaya tapi ini bukan ide yang baik. Semua orang menatapku, tak terkecuali Haikal. Bukan aku tidak ingin, tapi menjalani profesi sebagai penulis n****+ membuatku sangat nyaman. Aku bisa menyendiri tanpa memikirkan banyak pasang mata yang setiap saat mengatur sisi lain mengenai tubuh ini, juga tidak perlu memikirkan masalah-masalah lain yang menimpa rumah tanggaku.
Tangan Libra menggenggam erat jemariku. “Mama mau ‘kan jadi model AD Management?”
“Mas…,” Berat, setiap kali mata itu melihat seolah naluri ini dituntut untuk sanggup melakukan apa saja.
Libra mengecup punggung tanganku. “Cuma beberapa bulan, Papa janji!”
Aku melihat ke arah Haikal, dia hanya diam mengatur napas sambil menggelengkan kepala tanda tidak setuju dengan ide tersebut. Aku menahan apa yang hampir menetes di mata, dulu aku menuruti keinginan Libra untuk mengurus butik dan menjadi penulis saja. Tapi kali ini sebuah kata menginginkan aku mengerjakan tugas lain pun terjadi. Kenapa pria yang memiliki perilaku baik kepadaku selain Hendrick saat berada di keluarga Adelard itu harus bersikap seakan aku ini bonekanya saja? Tidakkah Libra tahu jika aku hanya ingin pernikahan yang sebenarnya? Kenapa orang-orang kaya sepertinya sangat mudah membeli tubuh?