Chapter 9 - Bimbang

1703 Words
Eva melempar sepatunya ke lantai, dia berharap agar Omar mendengarnya. Itu adalah bentuk kekesalan yang dia tahan sedari tadi dengan cemberut. Omar yang menyadari kesalahannya segera berusaha mengejar Eva. “Kamu mau ke mana?” Tanya Omar sedikit kasar. Omar meraih jemari Eva yang sudah bersiap untuk duduk memasang sepatu, hingga tersentak membentur tubuh Omar. Dengan cekatan, Omar menopang tubub Eva agar tidak terjatuh. Pipi Eva berubah merah muda, dia menahan senyumnya. “Lepasin nggak!” Jerit Eva seraya menarik tangannya kasar. Apalah daya, kekuatan Eva tak sebanding dengan Omar yang memiliki tangan kekar. Tentu saja tidak akan semudah itu, untuk lepas dari genggaman Omar. Omar segera meraih pinggang, Eva hingga tidak ada sama sekali jarak diantara keduanya. “Nggak, jawab dulu mau ke mana? Baru aku lepasin,” Bisik Omar yang tadinya kasar, kini mulai melunak. Ia sadar jika ucapannya mungkin membuat Eva tidak nyaman. Omar menahan senyumnya sedari tadi. “Udah Gue bilangin juga, Om. Kalo ini tuh bukan urusan Elo!” Eva menarik tangannya dari cekalan Omar, seraya mendorong tubuh suaminya dengan kasar. Eva bahkan tak segan melayangkan tatapan sinisnya kepada Omar. Darahnya berdesir merangkak naik ke wajahnya. Omar segera melepaskan dan mengangkat kedua tangannya ke atas, dia sebenarnya ingin tertawa dengan lepas, namun dia berusaha untuk terlihat garang di hadapan sang istri. Omar menyerigai ketika melihat Eva tengah mengenakan sepatunya. Omar tiba-tiba saja mendapatkan ide yang cemerlang. Omar yang merasa kesal karena tidak mendapatkan jawaban, dari pertanyaannya segera mengambil sepatu yang akan dikenakan oleh Eva. Sementara sepatu yang sebelah kanan sudah berhasil, Eva kenakan. “Apa-apaan sih, Om.” Eva langsung berdiri, berusaha meraih sepatu yang ada di tangan Omar. Tepat seperti dugaannya, omar segera mengangkat sepatunya ke atas menggunakan tangan kanannya. Karena dengan itu, Eva tidak akan sampai untuk mengambil sepatunya. Karena tinggi Eva hanya seratus enam puluh centi, sementara dirinya jauh lebih tinggi dua puluh lima centi dari Eva. Omar hanya bisa menahan tawanya melihat Eva yang begitu frustasi karenanya. “Ambil aja kalo bisa, lagian kalo Aku nanya itu dijawab dulu. Ya udah sana, pergi aja kalo emang mau pergi! Aku nggak akan melarang,” kata Omar dengan nada sedikit mengolok. ‘Ambil saja jika bisa, Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Enak saja dalam situasi seperti ini malah mau pergi,’ batin Omar seraya menyeringai. Eva mengepalkan kedua tangannya. Memikirkan cara bagaimana dia bisa mengambil sepatunya. Bukan Eva jika dia tidak bisa mengambil sepatu yang ada di tangan Omar. Eva menatap Omar dengan sinis seraya berkacak pinggang. ‘Mari kita lihat, siapa yang akan terjebak dalam permainan ini. Elo bahkan tak tahu siapa julukan Gue di SMA dulu. Jangan panggil Gue Eva si rubah ekor sembilan kalo, Gue nggak bisa menaklukkan sepatu itu, batin Eva. “Oke, Gue mengaku kalah. Balikin sepatu Gue, janji deh, kalo Gue nggak bakalan kabur. Udah siniin sepatu Gue.” Eva berusaha bernegosiasi dengan Omar. Siapa tahu ya ‘kan rayuan Eva bisa meluluhkan hati,Om-om yang berdiri dengan tangan di atas, sedari tadi memegang sepatu. Omar mengernyitkan dahinya, mencoba mempercayai ucapan yang barusaja keluar dari bibir Eva. “Ehm .... Gimana ya, bukannya Aku itu nggak percaya. Cuma ... Gimana ya jelasinnya. Kita masuk dulu aja deh, Mungkin dengan begitu Aku bisa berubah pikiran,” saran Omar. Dia mempersilakan Eva untuk masuk menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih setia di atas dengan sepatu Eva di genggamannya. “Oke.” Eva segera menyetujui ucapan yang diusulkan oleh Omar. Dia segera memasuki pintu, yang diikuti oleh Omar dari belakang nya. Setelah sampai di ruang tamu, Eva menghentikan langkahnya. “Udah masuk nih, mana?” pinta Eva dengan mengulurkan tangannya. Omar meraih pinggang Eva. “Akhh!” jerit Eva. Kemudian Omar, memanggul Eva selayaknya sekarung beras lalu membawanya berlari menuju kamarnya. “Lepasin, Om!” jerit Eva di sepanjang tangga menuju lantai dua. “Diem, nanti dikira Aku melakukan hal yang tidak-tidak sama tetangga,” sahut Omar dengan cepat. “Biarin. Biarin aja kita dikira.” “Sudah diam!” potong Omar. Setelah sampai kamar, Omar menaruh Eva di atas kasur. Omar membuka kaos berwarna putih yang dia kenakan melemparnya ke segala arah. “Akhh! Lo gila, ya?” Jerit Eva sembari menutupi kedua bola matanya menggunakan telapak tangannya. Omar semakin ingin mengerjai Eva, dia perlahan mendekati wajah Eva. “Emang kamu mengharapkan apa Dariku?” bisik Omar di samping telinga Eva. Hal itu mampu membuat pipi Eva merah merona karena malu. “Dasar Om-om m***m!” teriak Eva. Omar segera berlalu meninggalkan Eva menuju ke kamar mandi. “Jangan pergi, sebelum aku selesai mandi. Kali ini aku serius. Ada yang perlu kita bicarakan!” kata Omar sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu. Eva menghirup udara dalam -dalam, mengisi oksigen di rongga paru-parunya kemudian mengembuskannya dengan kasar. Mau tidak mau dia harus mematuhi perintah Omar. Dia mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Membuka salah satu sosial media yang dia miliki. Dia bahkan belum sadar sepenuhnya, jika dirinya masih berteman dengan mantan kekasih dan juga selingkuhannya di sosial media. Ketika Eva tengah asik menggeser ponselnya ke bawah dia mendapati sebuah postingan foto dari Maxim, mantan kekasihnya. Dengan caption yang membuat Eva semakin kesal karnannya. “Cih, Aku masih mengharapkanmu. Dasar b******k,” kata Eva mencibir. Eva segera mencari tombol block agar dia tak bisa melihat postingan dari mantan kekasihnya itu lagi. “Sial, argh ...!” geram Eva ketika ingatannya kembali ditarik ke masa di mana dia memergoki kekasihnya yang tengah b******u dengan wanita lain. Eva merebahkan tubuhnya ke atas kasur, menggulingkan diri ke dalam selimut tebal membungkus dirinya. “Dasar b******n, semoga kamu mati bersamanya!” teriak Eva dari balik selimut. Setelah puas dengan apa yang dia lakukan, Eva segera kembali berguling untuk bersiap duduk. “Akh ...! Kenapa ganti baju di situ!” teriak Eva lagi sembari melempari Omar dengan bantal. “Tutup tuh!” kata Eva menunjuk ke arah Omar, sembari berpaling ke arah samping. Omar tersenyum melihat Eva yang malu-malu. “Diam bisa nggak, sih? Seharusnya kamu terbiasa dengan situasi seperti ini. Kita sudah menikah, gimana kalo kita punya anak nanti, terus kamu teriak begini. Apa nggak kejang anak kita,” kata Omar dengan santai. Dia melempar handuk basah ke atas kasur. “Hei! Stop menaruh handuk basah di atas kasur!” tekan Eva. Namun, Omar merasa itu bukanlah masalah besar. Dia malah melanjutkan kegiatan mengeringkan rambutnya dan menatanya dengan rapi. Sementara Eva menghentak-hentakkan kakinya dan segera memindahkan handuk basah itu, di tempat menjemur yang memang ada di dalam kamar. “Sudah, ayo kita jalan!” ajak Omar dengan menarik tangan Eva di gandengannya. Ketika sampai di pintu kamar, Omar menghentikan langkahnya. “Kenapa lagi?” dengus Eva. “Hanti celana kamu!” titah Omar. “Ada yang salah sama celana Gue?” matanya menyipit seolah mengintimidasi. “Celana, Kamu itu. Ehm ....” Omar memegang bulu-bulu halus yang ada di dagunya seraya seolah berpikir. “Menganggu pemandangan,” lanjutnya. Eva menaikkan sebelah alisnya, berusaha mencerna ucapan Omar. Namun sayangnya dia malah tidak menemukan jawaban apapun. “Buruan ganti, itu hanya akan menggangguku di jalan,” kata Omar tanpa basa basi. “Huh? Menganggu Elo dari mana, celana Gue kan yang pake bukan Elo. Kenapa Lo yang harus repot sih!” sinis Eva. Omar menghadang Eva ketika istrinya hendak menerobos melewati pintu. “Buruan ganti, atau.” Omar menghentikan ucapannya dengan ekspresi sedikit menggoda. “Kenapa sih, semua harus diributin?” teriak Eva diambang frustasi. “Karena Kamu hanya akan menjadi pusat perhatian ketika mengenakan pakaian seperti itu!” bentak Omar. Deg. Jantung Eva serasa terhenti seketika, darahnya berdesir mengalir ke atas kepala. Baru kali ini dia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Bagi Eva, selama ini mengenakan celana hotpants dan juga baju kaos adalah hal yang biasa. Omar menatap Eva dengan tatapan nanar, dia sudah cukup menguras tenaga dan juga emosi ketika berdebat dengan Eva. “Sorry, Aku tunggu di bawah,” lirih Omar. Dia segera meninggalkan Eva yang masih mematung. Eva berdengus kesal, “kalo begini nih ya, kayaknya emang Gue kudu pensiun dini menjadi Rubah Ekor sembilan, deh.” Lima menit kemudian Eva mengetuk kaca mobil Omar. Pakaian Eva kini sudah jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Dia segera menaiki mobil Jeep yang berwarna putih itu. Di sepanjang jalan Eva memilih diam daripada berbicara yang mungkin hanya akan menimbulkan perdebatan di antara keduanya. Setelah perjalanan beberapa saat, mereka sampai di sebuah restoran yang tak terlalu ramai. Kebetulan ini adalah jam kerja, jadi tak banyak orang yang makan di sana. Setelah turun dari mobil, Eva dan Omar sudah disambut oleh Maita dengan senyumnya yang manis. “Tante!” teriak Mecca ketika melihat Eva yang berjalan ke arahnya. “Tante?” kata Eva sembari menunjuk dirinya sendiri. Eva memang pernah bertemu dengan Mecca sekali, namun itu. Ketika dua tahun yang lalu. Ketika Mecca belum bisa berbicara selancar ini. Meskipun Mecca mengenali dirinya, namun dia yang terlalu pikun tak bisa menemukan memori apapun dai ingatannya. “Tante Eva, Meme kangen,” katanya sembari memeluk Eva. Eva berusaha mencari jawaban dengan menatap Omar. Namun sayangnya, Omar yang tudak peka malah segera berlalu melewati Eva. “Ayo Masuk, jangan terlalu memaksakan jija memang tidak ingat,” kata Maita berusaha mencairkan suasana. “Ehhh, bukan itu kok. Gimana ya jelasinnya,” kata Eva mencari alasan. Eva yang mengingat foto di lorong rumah Omar mendadak menatap Mata dengan begitu intens. ‘Benar dugaan ku, dia adalah wanita yang bersama dengan Om genit. Jangan-jangan mereka dulunya pasangan lagi.’ “Eva, ayo masuk!” ajak Omar yang melihat Eva masih mematung di tempatnya. “Eh, iya” Eva segera memasuki restoran. Namun ternyata Maita membawanya menuju ke tempat lain. “Kita fitting gaun dulu ya?” kata Maita dengan tenang. “Untuk?” “Kalian dong,” jawab Maita seraya tersenyum ramah. Semakin banyak tanda tanya yang berada di kepala Eva saat ini. “Maaf, sepertinya saya belum siap dan harus segera pergi,” pamit Eva kepada Maita. Maita yang medengar ‘pun dibuat semakin bingung. “Belum siap?” gumam Maita. Eva keluar dari ruangan dengan sedikit berlari. Omar yang melihat Eva pergi segera mengejarnya. “Eva tunggu!” Eva menyetop sebuah taxi yang kebetulan lewat di hadapannya. “Jalan, Pak!” “Eva berhenti!” teriak Omar kepada Eva yang semakin menjauh darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD