Eva berpamitan dan kembali ke dalam kamar, setelah selesai berbincang dan berkenalan dengan ibu mertuanya. Namun dia bingung kali ini harus tidur di mana? Apalagi setelah melihat, Omar yang tak kunjung bangun dari tidurnya.
Di dalam kamar sama sekali tidak ada sofa atau semacamnya. Tidak mungkin dia tidur di lantai, apalagi malam begitu dingin, karena tiba-tiba saja turun hujan. Eva segera mengganti lampu dengan lampu tidur dengan cahaya temaram, dia tidak terbiasa tidur dengan cahaya terang.
“Ngeselin banget, sih. Dia tidur apa mati coba sebenernya? Dibangunin makan juga nggak bangun, jangan-jangan?” Eva menutup mulutnya menggunakan tangannya, Ia segera mendekati Omar, untuk memeriksa apakah suaminya itu masih hidup.
Setelah mendekat, Eva agak sedikit ragu ingin memastikan apakah Omar masih hidup atau tidak.
‘Ya, gila aja. Baru nikah tadi, masak udah harus menjanda secepat ini. Mikir apaan sih elo, Va?’
Eva bergulat dengan pikirannya sendiri. Antara penasaran dan juga takut jika ketauan dia mengamati Omar. Bukan Eva jika tidak jual mahal dengan pria. Bahkan, ketika dirinya masih berpacaran, dengan Max saja bisa dipastikan jika dirinya tak pernah melakukan kontak fisik yang berlebihan. Terlebih Eva sangat menjaga kehormatannya.
Namun, Eva juga heran mengapa dengan Omar yang baru dia temui, ketika Omar tak sengaja melakukan ciuman dan kontak fisik dengannya dia malah merasa tidak keberatan.
Akhirnya Eva memberanikan diri untuk menyentuh bagian bawah hidung Omar. “Astaga, dia demam,” gumam Eva. Dia memegang kening Omar untuk memastikan jika dirinya tak salah kali ini.
Namun ketika Eva mulai menyentuh kening Omar, tiba-tiba saja dia terbangun. Seketika itu juga, Omar meraih pergelangan tangan Eva lalu menariknya ke dalam pelukannya. Omar yang setengah sadar dengan cepat menindih tubuh Eva di dalam kungkungannya. Kedua tangannya menahan pergelangan tangan Eva ke atas, hal itu membuat napas Eva menjadi tercekat.
‘Situasi macam apa ini? Kenapa wajahnya begitu dingin, tatapannya kepadaku begitu dalam. Bagaimana ini, aku tak bisa melepaskan diriku. Haruskah Aku mendorongnya lagi?’ Namun entah mengapa, tatapan Omar yang mengunci membuat Eva sulit untuk berpaling. Dia bahkan mengikuti alur dari setiap sentuhan yang diberikan oleh Omar.
Omar menatap Eva dengan begitu intens, seolah dirinya sadar sepenuhnya. Omar mulai menyentuh wajah Eva, menyapu anak rambut Eva perlahan. Setiap sentuhan Omar, bagaikan candu yang tak bisa ditolak oleh Eva, meskipun hatinya berkata lain. Namun tubuhnya begitu menikmati setiap sentuhan itu. Omar mendekatkan bibirnya kepada Eva, hingga bibir keduanya bertaut dengan sempurna.
Perlahan-lahan bibir keduanya mulai bergerak seirama, diikuti dengan tarian lidah yang membuat, Eva seketika melupakan segalanya. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu Eva sudah tak bisa menghentikan kegiatan gila mereka. Persetan dengan apa yang terjadi, Eva sudah pasrah dengan apa yang dilakukan oleh Omar.
Jemari Omar mulai berjalan menyusuri bagian-bagian perut Eva. Tanpa sadar sebuah lengguhan indah mengalun keluar begitu saja dari bibir Eva. Hal itu sontok membuat Omar tersadar seketika. Dia segera membuka kedua maniknya, melihat apa yang tengah dia lakukan. Ternyata mimpi yang begitu dia nikmati adalah kenyataan.
Dengan berat Omar melepaskan tautan bibirnya. Eva terlihat begitu bingung seolah meminta penjelasan. Sementara napas keduanya masih saling memburu. Namun, entah mengapa Omar tidak bisa melanjutkan apa yang tengah mereka lakukan.
“Maaf,” lirih Omar dia mengusap anak rambut Eva. Namun pikiran Omar sama sekali tidak bisa berada pada Eva. Bahkan imajinasinya jauh melayang berada pada Maita, wanita yang kini telah menjadi istri sepupunya.
Omar bahkan sangat malu, jika sampai Eva mengetahui apa yang tengah dia pikir ketika dia sedang melakukannya bersama Eva, namun pikiran terpatri pada Maita. Tentu hal itu sungguh akan melukai hati Eva.
“Maaf,” lirih Omar. Pandangannya terpaut dalam pada manik Eva. Eva segera memalingkan wajahnya, hancur sudah harga dirinya di hadapan Omar saat ini.
Omar segera berpindah duduk membelakangi, Eva. Pria itu tengah merutuki kebodohannya, tangannya mengusap wajahnya dengan gusar.
“Maafkan aku, maafkan,” kata Omar penuh penyesalan.
Dia baru menyadari jika malam itu memang tidak terjadi apa ‘pun di antara dirinya dan juga Eva. Eva yang juga memunggungi Omar merasakan bagian dadanya terasa terkoyak.
“Beri, Aku waktu. Aku akan segera kembali,” kata Omar kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Eva.
Eva memijit pelipisnya. Rasanya, Dia sungguh ingin mengubur diri hidup-hidup karena kecewa dan juga malu. Tanpa terasa butiran bening mulai berjatuhan membasahi sarung bantal. Napasnya tercekat. Entah berapa lama Omar meninggalkannya hingga terlelap.
Sementara itu, Omar masih termenung menatap riak air yang dia lempari sebuah kerikil kecil, di kolam ikan yang terletak di belakang rumahnya.
‘Jika tadi saja aku tidak bisa melakukannya kepada Eva, berarti malam itu memang tidak terjadi apapun di antara kami. Akan tetapi kami sudah menikah, tentu pernikahan bukanlah sebuah permainan yang bisa dimulai dan diakhiri sesuka hati. Ya Tuhan, tanpa sadar aku telah melukai perasaan, Eva. Aku harus segera meminta maaf kepadanya.
Tapi, akankah aku bisa melalui semua ini dengannya. Apakah dia akan menerima pernikahan ini? Pernikahan yang kami dasari dari sebuah keterpaksaan. Bodoh kamu, Omar. Dengan percaya dirinya kamu mengatakan anak orang hamil anakmu. Sementara menebar benih saja tidak berani. Semoga saja Eva bisa menerimaku Kelak.
Sekarang saatnya aku kembali ke kamar dan meminta maaf kepadanya. Semoga saja dia mengampuni kebodohanku tadi.’
Omar kembali ke dalam kamar, akan tetapi Eva sudah terlelap. Omar memperhatikan wajah Eva, yang begitu damai. Bekas air mata yang belum mengering, membuat Omar merasa semakin bersalah.
“Maafkan kebodohan ku ya.”
Omar duduk bersimpuh di hadapan Eva seraya menggenggam jemarinya. Perlahan dia juga ikut terlelap di samping Eva.
Eva terbangun ketika cahaya mentari menggelitik menerobos masuk melalui sela-sela tirai kamar Omar. Eva menarik jemarinya, yang entah sejak kapan digenggam oleh Omar dengan sedikit kasar.
Omar terlihat kaget dengan apa yang dilakukan oleh Eva.
“kamu sudah bangun?” tanya Omar dengan suara paraunya. Wajah bau bantalnya membuat Eva hampir terbuai olehnya. Eva segera tersadar lalu memalingkan wajahnya.
Tanpa menjawab ucapan Omar, Eva segera berjalan meninggalkannya begitu saja. Kekesalan semalam masih bersemayam di dalam dirinya. Bahkan hal itu semakin membuat kekesalannya pada Omar meningkat.
Eva segera berkutat di kamar mandi menyelesaikan kegiatannya di pagi hari. Setelah selesai dia segera turun menuju lantai satu. Aroma berbagai masakan sudah tercium menguar di mana-mana. Eva semakin merasa tidak enak kepada ibu mertuanya. Bahkan dia baru turun setelah semuannya siap.
“Eva, Sayang. Kamu panggil Omar buat sarapan, ya. Mama mau pergi bersama Jackson.” Tanti melepaskan kichen apron yang melekat di tubuhnya.
“Mama tidak ikut sarapan?” Eva terlihat heran, mengapa Ibu mertuanya tidak ikut sarapan pagi.
“Mama akan sarapan di restoran, Jackson sambil membahas rencana pernikahan kalian,” kata Tanti seraya berjalan mendekati Eva.
“Mama pamit ya, kalian jangan lupa sarapan,” ucap Tanti seraya mencium pipi kiri, dan kana Eva dengan begitu lembut.
“Terimakasih, Ma. Mama seharusnya tidak perlu repot-repot. Eva bisa masak juga kok,” kata Eva beralasan. Padahal dia juga tidak terlalu pandai memasak. Akan tetapi jika hanya untuk dimakan sendiri dirinya sudah bisa, dengan rasa yang seadanya, tentu.
Setelah kepergian Ibu mertuanya. Eva kembali bimbang, apakah dia harus memanggil Omar atau membiarkannya makan sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk mengambil piringnya sendiri.
“Persetan dengannya, dia punya tangan dan kaki, tentu bisa makan sendiri,” kata Eva dengan sedikit kesal. Dia sudah tidak bisa membendung rasa kesalnya semenjak semalam.
Seolah dia sama sekali tidak menarik di mata Omar. Harga dirinya runtuh begitu saja. Namun, ucapan Mamanya mendadak menampar kenyataan. Bahwa seorang istri haruslah patuh kepada suami.
Eva kembali meletakkan piring nya dan berjalan menuju ke kamar Omar. Eva mengetuk pintu kamar, akan tetapi dia sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari Omar.
Akhirnya dia langsung memasuki kamar tanpa menunggu jawaban. Ketika Eva membuka pintu, ternyata Omar sedang mengenakan celananya. Yang mana ada bagian tubuhnya yang terekspose jelas dan menjadi pemandangan utama Eva saat ini.
“Hiya! Dasar nggak sopan, kalo pake baju tu ngomong kenapa sih, Om!” teriak Eva seraya membalik tubuhnya.
“Nggak usah heboh juga kali, kita sama-sama manusia. Toh aku juga sudah merasai beberapa bagian darimu,” bisik Omar yang entah sejak kapan menempel di samping telinganya.
“Dasar m***m! Menjauh dariku!” teriak Eva yang langsung berlari menjauh dari Omar.
Eva menuruni anak tangga dengan menggerutu di sepanjang jalan. “Dasar sinting, bisa-bisanya dia melakukan hal gila itu. Emangnya Gue ini nggak dianggap kali, ya?”
Eva segera duduk di ruang makan dan mulai mengambil nasi meletakkan di atas piring nya.
Omar yang sudah mengenakan pakaiannya menuruni anak tangga dengan cepat. Dia kini sudah duduk di samping Eva. Namun Eva berusaha mengacuhkan Omar dan menganggapnya tidak ada.
Omar yang merasa diacuhkan segera mengambil alih piring yang ada di tangan Eva. “Makan yang banyak, demi kesehatan anak kita,” kata Omar sedikit berbisik di samping telinga Eva.
“Susah Gue bilang ‘kan. Kalo emang nggak hamil. Kenapa sih, lo bersikeras kalo Gue hamil?” kata Eva mengambil kembali piring yang ada di tangan Omar.
Omar bahkan masih bersikap santai, seolah dia telah lupa dengan apa yang terjadi semalam.
‘Dasar pikun, secepat itu dia lupa kejadian semalam. Dasar Om-om m***m,’ gerutu Eva di dalam hatinya.
Eva segera menyendok sesuap nasi memasukkannya ke dalam mulutnya, setelah berdoa tentunya. Sementara Omar, dia menopang dagunya menatap Eva dengan intens. Lagi-lagi Eva berusaha kuat dengan godaan dan berusaha acuh kepada Omar.
“Aku ingin berbicara kepadamu, dan ini serius,” jelas Omar seraya meraih sendok yang dipegang oleh, Eva. Kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Lo nggak bisa makan sendiri?” tanya Eva sedikit geram.
“Nasi yang ada di tanganmu lebih menggiurkan,” jawab Omar singkat.
“Menjauh dariku, sebelum aku memukulmu!” ancam Eva.
“Jika itu membuatmu bahagia, aku bersedia,” jawab Omar dengan mudahnya.
“Dasar Om-om genit. Berhenti melakukan hal konyol. Itu sungguh memuakkan, asal lo tau!” kata Eva. Dia mengangkat piringnya kemudian menjauh dari Omar dengan berpindah ke kursi lain.
Omar yang tak ingin dijauhi 'pun kembali mendekati Eva.
“Aku ingin mengatakan dengan tulus kali ini. Maafkan aku semalam, Aku bahkan tak sadar jika Aku melakukan hal itu. Maafkan Aku,” jelas Omar.
Eva yang masih kesal kemudian menghadap ke arah Omar dan menampilkan gigi rapinya sekilas, kemudian segera meninggalkan Omar begitu saja.
“Ya Tuhan, sepertinya aku telah membuat kesalahan besar kali ini,” gumam Omar.
Eva menuruni anak tangga sembari menjinjing sepatu kets berwarna putih miliknya. Dia semakin kesal dengan tingkah Omar yang sama sekali tidak peka itu.
'Apa yang kamu harapkan dari pernikahan ini, Eva?' gumamnya di dalam hati.
“Mau ke mana?” tanya Omar heran ketika melihat apa yang dibawa oleh istrinya. Lebih lagi, ketika dia melihat celana yang dikenakan oleh Eva,seperti kekurangan bahan. Karena tidak menutupi bagian paha ke bawah.
“Bukan urusan, Elo!” ucapnya sembari berlalu meninggalkan Omar begitu saja.