Episode 11
#Struggle_and_Love
Bukan Gadis Biasa
"Ada yang harus kita bicarakan." Ucap Mimin pada Bayu. Sebelum masuk ke kamar Bayu, Mimin sempat memeriksa keadaan sekitar terlebih dahulu.
"Jangan lebay deh Min. Memangnya siapa yang mau menguping pembicaraan kita? Bicara saja, soal apa?" Ujar Bayu cuek. Mimin menghampiri Bayu dan duduk di depan laki-laki itu.
"Ini soal gadis itu." Ucap Mimin pelan.
Bayu mengerutkan kening. "Maksudmu Ruri?" Tanya Bayu.
Mimin mengangguk. "Sepertinya gadis itu bukan gadis biasa Bayu." Ucap Mimin sambil bergidik ngeri.
"Bicara yang jelas Min. Tidak perlu berbelit-belit." Bayu tampak tak sabar.
"Kemarin, tiba-tiba saja ada yang datang menghampiriku di kantor. Mereka bahkan membawaku dengan paksa. Ah aku hampir jadi korban penculikan." Ucap Mimin dengan wajah takut.
"Siapa mereka?" Selidik Bayu.
Mimin sengaja mendekat dan berbisik di telinga Bayu. "Mereka mencari Ruri. Mereka bahkan menyelidiki CCTV di sekitar tempat Ruri kursus dan menemukan Ruri yang sedang berjalan berdampingan denganku."
"Lalu kau bilang apa?" Tanya Bayu cemas.
"Karena sudah bertahun-tahun ikut denganmu, aku berakting sebisa mungkin dan mengatakan kalau aku mau kursus di tempat tersebut. Kebetulan sekali aku bertemu Ruri dan dia bersedia mengantar sampai ke dalam. Aku bahkan tidak tau namanya, kilahku saat itu." Mimin tampak bersemangat bercerita meski dengan suara pelan.
"Untung saja CCTV tersebut tidak merekam mobil kita. Jika tidak, kau dan aku dalam masalah Bayu." Ucap Mimin lagi.
"Jadi bagaimana kau bisa menyimpulkan kalau Ruri bukanlah gadis biasa?" Tanya Bayu semakin penasaran.
Mimin kembali berbisik pelan. "Kemarin aku di bawa paksa ke sebuah mobil Ferarri mewah keluaran terbaru. Di dalamnya, duduk seorang laki-laki tampan dan atletis yang bisa membuat liurku menetes dalam pandangan pertama."
"Please Min lewatkan bagian itu." Perintah Bayu.
Mimin bersungut-sungut sambil memanyunkan bibir. "Padahal itu bagian yang paling penting." Ucapnya kesal.
Tak lama Mimin melanjutkan ceritanya. "Sepertinya dia kaya raya. Laki-laki itu menunjukan beberapa foto Ruri dan memintaku mengenalinya. Aku pura-pura berpikir sebelum akhirnya menggeleng. Setelah itu barulah dia menunjukan fotoku dan Ruri saat masuk dan keluar dari tempat kursus. Kau tau lah aktingku seperti apa? Aku menepuk kening dan pura-pura menyadari kalau itu adalah Ruri." Jelas Mimin.
"Mereka percaya?" Tanya Bayu cemas.
Mimin mengangguk. "Saat laki-laki itu menunjukan vidio kami keluar dari gedung, Ruri tampak terburu-buru dan meninggalkanku di belakang. Lebih untungnya lagi aku sibuk menerima panggilan, jadi tidak menghiraukan Ruri. Vidio itulah yang ku jadikan alasan kuat agar mereka tidak curiga. Tapi rasa-rasanya wajah laki-laki yang mencari Ruri itu cukup familiar. Entah dimana, tapi sepertinya aku sering melihat fotonya." Ucap Mimin sambil memaksa otaknya untuk mengingat.
"Familiar dan kaya raya, apa dia dari kalangan artis? Atau pejabat? Coba ingat-ingat dengan jelas." Cecar Bayu.
Mimin menggeleng. "Aku benar-benar tidak bisa mengingatnya Bayu, tapi yang jelas dia kaya raya. Dari atas sampai kaki, pakaian yang dia kenakan semuanya barang bermerek. Sepertinya dia juga sangat terpukul dengan kepergian Ruri." Tambah Mimin.
"Sejak awal aku yakin kalau Ruri orang kaya. SMA Sakabumi adalah SMA yang menampung anak-anak orang elite, jika Ruri benar-benar berasal dari sekolah itu, maka dapat dipastikan kalau dia termasuk di dalamnya. Setahuku, sekolah kami tidak memberi beasiswa dan bantuan sosial kepada siswa dalam bentuk apapun. Ngomong-ngomong mereka tidak berbuat kasar padamu kan?" Tanya Bayu lagi.
Mimin menggeleng. "Setelah tidak mendapatkan apa-apa dariku, mereka memintaku pergi. Padahal jujur saja aku betah berlama-lama di dekat laki-laki tampan itu." Wajah Mimin tampak kesemsem mengingat orang yang sedang dia ceritakan.
Bayu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Mimin. Dalam hati, Bayu yakin kalau orang yang sedang mencari Ruri pastilah kakak yang sering dia ceritakan. 'Sepertinya Ruri harus tau.' pikir Bayu.
***
"Cari tau tentang laki-laki itu. Bisa jadi dia berbohong dan tau dimana Luna berada." Perintah Lando pada anak buahnya.
Lando tidak yakin Mimin dan Luna saling mengenal, tapi setidaknya Lando harus menyelidiki setiap kemungkinan. Sudah hampir seminggu Luna menghilang. Lando tidak bisa menghubungi polisi dan membuat media jadi ramai. Tapi satu hal yang bisa Lando simpulkan, Luna pergi atas kemauannya sendiri dan gadis itu sudah merencanakannya sejak lama. Terbukti dari pakaian yang sudah Luna siapkan di tempat kursusnya.
"Hari ini mama sudah membuat janji dengan Arumi, Lando. Mau tidak mau kau harus datang." Perintah Bu Ningsih pada anaknya.
"Mama saja yang pergi. Sebelum Luna ketemu, aku tidak akan pernah mengikuti apa yang mama perintahkan. Kalau-kalau mama lupa, mama lah penyebab perginya Luna dari rumah ini." Jawab Lando sinis.
"Kau bicara seolah hanya mama yang salah. Jangan lupa Lando, Luna juga pergi karena kau terobsesi padanya." Balas Bu Ningsih tak mau kalah.
Lando menghiraukan ucapan Bu Ningsih dan pergi ke kamarnya. Di dalam kamar Lando kembali melacak dan menyadap setiap obrolan teman-teman Luna. Bisa jadi Luna menghubungi salah satu sahabatnya, pikir Lando.
***
Malam ini Bayu syuting lagi setelah libur 2 hari. Luna tau karena laki-laki itu sempat mengirim pesan WA padanya. Sejak punya ponsel, Luna tidak terlalu kesepian. Gadis itu membuat akun baru dengan nama Ruri. Meski dia tidak menambahkan atau mengikuti teman-teman lamanya, setidaknya gadis itu masih bisa melihat kiriman terbaru mereka. Kadang-kadang tangan Luna gatal untuk membuka i********:, tapi gadis itu segera menepis keinginan konyol itu karena tau Lando pasti melacak aktivitas akun sosmed miliknya.
Sedang asyik main ponsel, pintu rumah Luna di ketuk. Mulanya gadis itu ragu untuk membuka pintu mengingat sudah pukul 10 malam. Tapi karena ketukan tak kunjung berhenti, mau tidak mau Luna membukanya.
"Tuan Bima? Ada apa?" Tanya Luna sopan di tengah keterkejutannya.
Bima tak langsung menjawab. Laki-laki itu nyelonong masuk tanpa permisi. Bahkan dia duduk dengan santai meskipun tuan rumah belum mengizinkan. Mendapati Bima duduk di satu-satunya sofa di rumah tersebut, Luna memilih duduk di lantai.
Mata Bima tertuju pada ponsel yang terletak di atas sofa. Menyadari itu Luna berniat mengambil ponselnya. Tapi sayang, gadis itu kalah cepat dari Bima.
"Ponsel baru?" Tanya Bima.
Luna menggeleng, takut kalau Bima jadi salah paham jika tau Bayu lah orang yang memberinya ponsel. "Bukan tuan. Itu ponsel lama. Hanya saja baru sempat saya pakai." Kilah Luna.
Bima menatap Luna penuh selidik. "Apa kau tau kalau ponsel ini baru rilis seminggu yang lalu dan resmi di jual di pasaran mulai Minggu ini? Aku bahkan di undang ke acara peresmiannya."
Luna jadi gugup karena ketauan berbohong. Bahkan gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Apa Mimin yang memberikannya padamu?" Tanya Bima.
Luna mengangguk. "Tapi saya tidak berani jujur karena itu sebenarnya ponsel untuk kak Bayu, Tuan. Hanya saja, kak Mimin bilang kak Bayu tidak berniat memakainya, jadi dari pada tidak di pakai, Kak Mimin memberikannya padaku." Jelas Luna panjang lebar. Entah dari mana dia punya keberanian untuk berbohong.
Bima tak lagi bertanya. Sepertinya laki-laki itu percaya dengan alasan luna. Tak lama Bima melakukan panggilan melalui ponsel Luna dan memasukkan nomor ponselnya ke sana. "Berhenti memanggilku dengan sebutan Tuan, Ruri. Kau bisa memanggil Bayu dengan sebutan kakak, lalu kenapa tidak denganku? Panggil saja aku kakak." Ucap Bima sembari menyerahkan ponsel Luna.
"Tapi tuan, nyonya bisa marah jika dia tau." Jawab Luna gugup.
"Lalu? Apa menurutmu mama tidak akan marah jika tau kau memanggil Bayu dengan sebutan kakak?" Tanya Bima sarkas. Luna tampak menunduk kehabisan kata.
"Aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu. Kalau aku menelpon dan memintamu datang, tengah malam pun kau harus datang. Paham?" Lanjut Bima lagi.
Meski tidak mengerti, Luna tetap mengangguk. "Baik tuan."
"Tuan lagi, apa karena aku terlihat sangat tua jadi kau tidak bisa memanggilku kakak?" Bima menatap Luna tajam.
"Eh maaf tu.. ah kak Bima." Ucap Luna salah tingkah.
"Begitu lebih baik." Ucap Bima.
Lama mereka terdiam. Luna sibuk menunduk, sedang Bima terus menatap gadis itu penuh selidik. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Bima. Gadis itu tampak tidak asing, tapi sekeras apapun dia mengingat, dia tidak bisa menemukan dimana dan kapan dia pernah melihat Luna.
Saat sedang terdiam, pintu rumah Luna kembali di ketuk. Luna dan Bima saling tatap. Bima tampak santai, sedang Luna panik luar biasa. Sebelum membuka pintu, Luna menyembunyikan Bima di kamarnya.
To be continue...