Dirga sudah berada di kantor sejak pagi tadi, ia mengecek kinerja para karyawannya sekaligus menanda tangani yang kemarin belum sempat ia tanda tangani. Waktu cepat berlalu, semua karyawan kini sudah datang dan langsung ke meja kerjanya masing-masing. Laki-laki tersebut mengecek jak di tangannya. "Sudah bangun belum dia," gumam Dirga.
Laki-laki tersebut mengambil handphonenya lalu membuka aplikasi w******p, ia langsung mencari nama wanita tersebut dan meneleponnya.
"Halo Om, ada apa?"
"Sudah bangun kamu?"
"Ya udahlah, kalau belum mana mungkin angkat telepon lu." Dirga yang mendengar jelas tersenyum tipis saja, belum sempat ia kembali berbicara pintu ruanganya terbuka yang menampilkan sekretarisnya.
Heni menunduk hormat melihat sang atasan dengan handphonenya yang masih setia dia telinga sang atasan. "Ada apa Heni?" tanya Dirga.
"Saya mau memberikan data yang di titipkan kemarin," ucap Heni.
"Ya letakkan saja di sini." Heni lalu melangkah perlahan untuk memberikan data yang berada di tangannya.
Sedangkan di sisi lain Erica mengernyitkan dahi bertanya-tanya, sesekali ia melihat handphonenya yang masih tersambung menelepon. "Ini orang enggak jelas banget si," cetus Erica. Ia mendlaudspeaker telepon tersebut, kini ia kembali menancapkan make up setipis mungkin.
"Halo."
"Kirain gue lu lupa kalau lagi telepon sama gue!" Dirga yang mendengar jelas tertawa pelan.
"Mana mungkin saya lupa, kamu kuliah hari ini?"
Erica menatap sekilas ke arah handphonenya. "Ini lagi dandan."
"Jangan tebal-tebal." Erica jelas menatap handphonenya sambil mengernyitkan dahi.
"Dih ngatur, belum jadi suami aja udah ngatur-ngatur."
Dirga jelas tertawa pelan mendengarnya. "Harus lah, cantik kamu cuman boleh di hadapan saya."
"Enak aja lu, gue di anugerahin cantik masa cuman ke elu doang!" Ia memutar bola matanya dengan jengah.
"Pulang mau saya jemput?"
"Enggak usah, gue mau bawa mobil."
"Kalau ada apa-apa kabarin saya langsung, kamu hati-hati di jalan. Semangat ya." Erica yang mendengar perkataan laki-laki di telepon tersebut tanpa sadar tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Wanita tersebut langsung mematikan teleponnya secara sepihak membuat Dirga menoleh ke handphonenya sambil tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya pelan. Ketukan pintu ruang kerjanya membuatnya tersadar. "Masuk."
"Pak, Mr. Jeling sudah mengatur jadwal siang ini untuk bertemu," ucap Heni.
Dirga hanya menganguk sambil mengecek laptop kerjanya. "Baik, saya akan bertemu dia siang ini."
"Kalau gitu saya kembali kerja Pak," ucap Heni. Laki-laki tersebut mengangguk seraya tersenyum tipis.
Baru saja Heni ingin melangkah keluar. "Oh iya Heni, Mr. Jeling ingin bertemu dimana?" tanya Dirga.
"Di restauran biasa, Mr.Jeling hanya berkata seperti itu tadi pas saya nanya bertemu dimana," jelas Heni.
Dirga hanya memgangguk-angguk saja seraya mengerti. "Baik saya sudah mengerti." Heni menunduk hormat lalu kembali melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan atasannya.
Sedangkan di sisi lain Erica kini sudah berpamitan kepada kedua orang tuanya, wanita tersebut lalu melangkah menuju mobilnya. "Akhirnya gue bisa ngendarain si merah lagi," cetus Erica sambil tersenyum menyeringai.
Kini ia melajukan mobilnya dengan kecepatan standar menjauh dari halaman rumahnya, tidak lupa ia menyetel lagu untuk menemani perjalanan menuju kampusnya, ia berdendang sambil jari-jarinya seolah berdendang di setir mobilnya.
"Hoo woo aku hanya ingin kau tahu besarnya cintaku, tingginya khayalku bersamamu." Erica bernyanyi seraya menghayati, bukan karena perasaannya namun karena lagu yang ia setel itu enak.
Tak selang berapa lama ia kini sudah sampai di parkiran kampusnya, tanpa pikir panjang ia langsung memarkirkan mobilnya di tempat biasa terparkir. Semua jelas menatap ke arah mobil tersebut, karena sudah beberapa hari tidak ada mobil tersebut terparkir.
"Eh Erica bawa mobil sendiri lagi."
"Emang cowok ganteng yang sering jemput kemana?"
"Jangan-jangan putus lagi." Masih banyak bisikan-bisikan ketika mereka melihat Erica membawa mobil sendiri lagi.
Wanita tersebut kini menuruni mobilnya dan melangkah untuk menuju ruang kelasnya, sesekali ia melihat jam di tangannya. "Enggak telat lah ya," gumam Erica.
Godaan kata-kata jelas masih terdengar dan terlintas ketika wnaita tersebut melewati lorong kampusnya, namun hanya senyuman yang terukir di wajahnya ketika mendengar.
"Erica!" Wanita tersebut menghentikan langkahnya sambil mengerutkan keningnya, ia lalu menoleh ke arah sumber suara yang ternyata sahabatnya yaps siapa lagi kalau bukan Rianti, sahabat satu-satunya yang ia percaya.
Rianti kini sedikit berlari menghampiri sahabatnya tersebut yang sudah kembali melangkah. Rianti tanpa pikir panjang langsung merangkul sahabatnya tersebut. "Tumben lu naik mobil sendiri? Mas Dirga lu kemana?" tanya Rianti sambil menaikkan kedua alisnya, Erica jelas menoleh karena pertanyaan tersebut.
"Siapa lu bilang?"
Rianti jelas mengerutkan keningnya. "Mas Dirga, lah emang siapa?" tanya Rianti.
"Mas Dirga? Dih. Om dia mah!" cetus Erica, namun beberap detik kemudian ia kembali menoleh ke arah sahabatnya yang membuat Rianti hanya mengangguk ke atas seraya bertanya.
Eric berkata, "Jangan panggil dia dengan embel-embel 'Mas'." Rianti yang mendengar jelas mengerutkan kening heran, namun setelahnya ia tertawa yang membuat Erica menatap bingung.
"Kenapa ketawa?"
"Lu cemburu kalau gue panggil dia 'Mas'." Rianti jelas menaikkan kedua alisnya seolah meledek sahabatnya.
Erica menghentikan langkahnya dan menatap sahabatnya dengan nyalang. "Enggak! Apaan si lu, gue enggak cemburu ya! Amit-amit deh buat apa cemburuin dia," cetus Erica.
"Kalau enggak cemburu santai aja dong," balas Rianti. Erica hanya mendengus kesal lalu berjalan dengan cepat meninggalkan sahabatnya yang kini tertawa pelan melihatnya.
Rianti berceloteh, "Sepertinya hukum alam sedang bekerja untuk membuat sahabat gue jatuh cinta secara benar." Ia lalu tersenyum menyeringai, tak lama kemudian ia sedikit berlari untuk menyamai jalannya dengan sahabatnya kembali.
"Kebiasaan banget lu!" Ia lalu merangkul Erica yang masih dengan raut wajah kesal.
Erica hanya menatap sekilas dengan rasa kesalnya. "Udah yaellah maaf, maaf," ungkap Rianti, wanita tersebut hanya berdehem saja untuk menjawab perkataan sahabatnya. Mereka berdua lalu kembali melangkah menuju ruang kelasnya.
"Pak Rifkan jadi ganti hari ini juga?" tanya Erica.
"Kayanya si gitu, mana gue lupa bawa tugas dia lagi," balas Rianti.
Erica menoleh sekilas ke arah sahabatnya dan berkata, "Bukannya udah biasa lu lupa bawa tugas dia." Rianti yang mendengar pernyataan sahabatnya lalu menyengir kuda menghadap sahabatnya.
"Lagi ngapain si dia minta ganti kelas, gue kan mau hangout," ujar Rianti.
Erica yang mendengar hanya menghendikkan bahunya. "Emang lu mau hangout sama siapa?" tanya Erica.
"Kepo lu ah."
"Awas ya lu kalau ketemu sama cowok enggak bener lagi!" cetus Erica.
Rianti menjawab, "Iya iya enggak bakal kok, ini baik kok. Serius deh."
"Oke, gue percaya." Erica memang termasuk posesif terhadap Rianti terlebih kejadian yang membuat sahabatnya sampai harus menginap di rumah sakit, memikirkannya saja membuatnya emosi.
"Eh Ri, kok calon lu kaya enggak asing deh."
Erica menyela, "Iya jelas enggak asing lah, kita udah dua kali ketemu secara enggak sengaja."
Rianti jelas langsung menatap sahabatnya dengan lekat. "Serius? Dimana?" tanya Rianti.
"Restauran dan lampu merah," jawab Erica, Rianti yang mendengar hanya ber Oh ria seraya kini mengingat.
"Ahhh iya gue ingat-ingat, cowok yang enggak sengaja nubruk lu kan pas di restauran," ungkap Rianti.
Erica hanya mengangguk saja mendengarnya. "Emang benar hukum alam sedang bekerja," gumam Rianti yang membuat Erica menoleh karena mendengarnya.
"Hukum alam apa maksdu lu?" tanya Erica.
"Hukum alam buat lu lah, lu di pertemukan sama laki-laki yang enggak lu kenal dan tidak melihat pesona lu, dan pertemuan lu sama dia mungkin kurang mengenakan," ucap Rianti panjang lebar.
Mereka kini sudah berada di dalam kelas, Erica dan Rianti seperti biasa memilih bangku di bagian belakang. "Lu kok tahu pertemuan gue kurang mengenakan?" tanya Erica.
"Lah pas di restauran kan lu marah-marah, atau jangan-jangan lu juga pernah ketemu lagi," ujar Rianti sambil menunjuk sahabatnya, Erica hanya menghela nafasnya jelas di lihat penuh selidik oleh sahabatnya.
Rianti kembali berkata, "Jangan-jangan pas lu cerita mukul cowok itu dia?" Erica mengangguk sambil menyengir, ia kini menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Astaga! Erica! Beneran!" Rianti berteriak yang membuat penghuni kelas menoleh ke arah mereka berdua, Erica langsung menutup mulut sahabatnya.
Erica menyela, "Bacot lu!"
"Maaf keceplosan, gue kaget." Erica memutar bola matanya dengan jengah menanggapi perkataan sahabatnya.
Erica membalas, "Keceplosan lu keseringan ya."
Dosen mereka telah masuk dalam ruang kelas, kini semua mengikuti pelajaran begitu juga dengan Erica dan Rianti tentunya. "Ri, gue masih enggak ngerti yang ini. Dosennya buru-buru banget," ucap Rianti berbisik.
Erica hanya tersenyum tipis lalu mulai menjelaskan secara pelan kepada sahabatnya tersebut. Jam pelajaran untuk mata kuliah pertama telah selesai. "Kantin yuk, laper gue," keluh Rianti.
Wanita tersebut lalu beranjak berdiri dan mengambil tote bagnya begitu juga dengan Rianti. Mereka berdua kini melangkah keluar kelas untuk menuju kantin, sudah menjadi santapan mereka berdua terutama dengan Erica mendengar kata-kata gombal yang di tujukan untuknya.
"Gue mau siomay aja," ucap Erica.
Rianti menyela, "Lu yakin? Makan berat aja si sekalian." Erica hanya menggelengkan kepalanya, ia lalu melangkah ke kedai siomay dan sedangkan Rianti kini ke arah kedai ayam penyet.
"Eh Erica, enggak usah bayar biar gue aja." Erica yang mendengar langsung menoleh ke arah sumber suara.
Erica berkata, "Makasih, tapi enggak usah. Lu enghak lihat ada macan yang siap nerkam gue." Laki-laki yang mendengar jelas mengerutkan keningnya.
"Macan?" tanyanya, Erica jelas mengangguk sambil melirik ke arah wanita yang sedang duduk dengan beberapa temannya tentunya dengan tatapan ingin memangsa.
Laki-laki tersebut mengikuti arah pandamg Erica. "Gue sama dia enggak ada hubungan," ujarnya.
Erica jelas yang mendengar terkejut sambil menatap wanita tersebut dan kini wanita tersbut menutup mulutnya seraya menahan ketawanya. "Hah? Udah enggak ada hubungan apa-apa lagi? Tapi kok masih ngaku-ngaku si," ucap Erica sedikit lantang jelas dia sengaja menyindir juga.
Wanita yang sejak tadi memperhatikan menahan amarahnya, ia sempat mengepalkan tangannya di atasa meja. "Sabar Dev, dia cuman mancing lu emosi."
"Siyalan juga tuh cewek nyari masalah sama lu Dev." Devi wanita tersebut jelas menatap sekilas ke arah Erica yang kini seolah meremehkan dirinya.
Erica kini tertawa hambar kepada laki-laki tersebut. "Makasih ya sudah mau bayarin," ucap Erica sambil mengedipkan mata dan berlalu dari hadapan laki-laki tersebut dengan membasa sepiring siomay tersebut.
Wanita tersebut kini menuju tempat duduknya, ketika melewati Devi dkk ia hanya tersenyum meremehkan dan menaikkan kedua alisnya. "Kenapa lu senyam-senyum," ucap Rianti ketika melihat sahabatnya.
Erica kini duduk berhadapan dengan Rianti. "Abis di bayarin sama cowok," balas Erica.
"Ah tahu gitu gue mesen sama lu tadi," cetus Rianti yang membuat Erica tertawa mendengarnya. Mereka berdua menikmati makanan masing-masing yang telah di pesan.
Brak!
Erica yang baru saja menyuap jelas menghela nafasnya dengan kasar, ia kembi meletakkan sendok di atas piring. Sedangkan Rianti jelas terkejut, ia menoleh ke arah siapa yang menggebrak mejanya. "Erica buat masalah apa lagi ini yasalam," batin Rianti.
"Ada apa?" tanya Erica santai sambil mendongak ke arah wanita yang ada di sampingnya kini, yaps wanita tersebut Devi.
Devi menyela, "Lu bilang ada apa? Lu sengaja mau nyari masalah sama gue?"
Erica jelas tertawa hambar. "Nyari masalah sama lu? Sejak kapan?" tanya Erica lalu kembali tertawa meledek, Rianti jelas menatap melongo ke arah sahabatnya ia benar-benar tidak masuk akal.
Devi mengepalkan tangannya, tak lama kemudian Devi melayangkan tangannya dengan niat hati ingin menampar namun sayang Erica menahannya dengan raut wajah menyeringai. "Mau nampar gue? Lu harus pikir berulang kali untuk itu," cetus Erica lalu menghempaskan tangan Devi dengan sedikit kasar.
"Ri udah!" Rianti jelas memperingati.
"Mending lu pergi selagi belum makin malu di hadapan anak-anak," ujar Erica, ia kembali duduk dan melanjutkan memakan siomaynya. Jelas, mereka menjadi pusat perhatian ssat di kantin.
Devi hanya mengepalkan tangannya ingin sekali menampar atau memukul wanita yang ada di hadapannya kini. Erica melirik sekilas ke arah Devi dkk, ia menatap dengan jengah lalu berkata, "Bawa teman lu pergi." Kedua sahabatnya Devi lalu membawa paksa Devi untuk berlalu dari hadapan Erica.
Rianti menatap lekat ke arah sahabatnya seolah meminta penjelasan. "Lu ada masalah apa sama Dia?" tanya Rianti penasaran.
"Enggak ada masalah apa-apa," balas Erica sambil tersenyum simpel.
Rianti menyela, "Mana ada enggak ada masalah tapi sampai ngelabrak lu."
"Lah gue emang enggak ada masalah sama dia, tapi kalau dia ada masalah sama gue ya mana gue tahu," cetus Erica sambil menatap lurus ke arah sahabatnya yang kini menatap tak percaya atas perkataan sahabatnya.
"Astaga Erica!" Rianti menepuk jidatnya yang membuat Erica jelas tertawa pelan melihatnya, mereka berdua kini melanjutkan makan yang sempat terhalang.
Deringan telepon Erica berbunyi yang membuat ia mengambil handphonenya. "Ngapain nih orang telepon, tumben amad." Rianti hanya mengernyitkan dahinya.
"Siapa? Calon lu?" Erica lalu berdehem, tak lama kemudia ia mengangkat teleponnya.
"Ada apa?" Di sisi lain Dirga yang mendengar nada ketus dari wanita tersebut hanya tersenyun simpul.
"Kamu sudah makan siang? Saya lagi ada di restauran demat kampus kamu."
"Udah, ini lagi makan. Ngapain lu di sana?"
"Ada client yang ingin bertemu, mau saya jemput?"
Erica menghela nafasnya dengan kasar yang membuat Rianti mengerutkan kening. "Om, kan gue udah bilang gue bawa mobil."
"Iya tahu kok."
"Kalau udah tahu ngapain nanya lagi."
Dirga tertawa pelan. "Saya suka saja meledek kamu." Erica yang mendengar tersebut memutar bola matanya dengan malas.
"Ya udah ah gue mau makan lagi. Bye." Erica lalu mematika telepon tersebut secara sepihal, ia meletakkan handphonenya di atas meja dan melanjutkan makan yang tinggal sedikit tersebut.
Sedangkan di sisi lain Dirga kembali tersenyum tipis dan meletakkan handphonenya di jas hitamnya, ia melirik ke arah jam di tangannya sambil melirik kesana kesini menunggu seseorang.
Laki-laki tersebut tak lama kemudian mengangkat tangan ketika melihat orang yang ia tunggu datang. "Hai Mr.Jeling." Dirga mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
"Hai Mr.Dirga." Laki-laki dengan perawakan bule tersebut menyambut jabatan tangan dari Dirga.